"Aaakh! Kenapa ada centaurus?!" tanya gadis itu mengambil langkah mundur.
"Dasar manusia bodoh! Jangan samakan aku dengan mereka! Aku ini satir!" Dia mengikatkan tali ke tangan Zhura. Gadis itu menelan ludahnya menyadari sekawanan makhuk yang sama ternyata berdiri di sekitar. Tangan mereka menahan gadis-gadis lain, seolah baru saja menangkap kumpulan narapidana yang kabur dari sel. Menatap mereka, kandung kemih Zhura mendadak penuh, jadi selama ini dirinya asik berjalan di sekitar makhluk-makhluk aneh ini. Setelah dipikir-pikir, dihantui arwah penasaran jauh lebih baik."Sekarang waktunya kembali ke tempatmu! Sayang sekali kau menjadi budak mereka, padahal gadis sepertimu pasti laku keras di pasar," ungkap satir itu menatapnya dengan tatapan menjijikkan."Kau pikir aku sayuran?" tanya Zhura gemetar.Karena penasaran, dia memberanikan diri menatap bagian bawah satir di depannya. Seluruh jiwa kerohaniannya bergema melihat pemandangan menjijikkan di sana. Polos sekali Zhura yang mengharapkan seekor satir untuk memakai pakaian dalam. Daripada itu, kesialan untuk tujuh turunan yang datang serempak sangat tidak realistis. Mulai dari ia terjatuh ke dalam lubang di lantai rumah misterius tadi, hingga ia melihat bagian bawah tubuh satir yang sangat berbulu.."Hei, Pak Satir! Kau salah orang, aku ini bukan budak! Aku cuma orang biasa yang kebetulan lewat di sini! Coba lihat baik-baik, aku bukan orang yang kau cari!" tukas Zhura berusaha membela diri sembari mengalihkan pandangan ke arah mana pun asalkan terhindar dari pusat kejantanan makhluk itu.Satir bergigi kuning itu termenung kemudian tertawa, ada campuran embik di tawanya sehingga itu terdengar lucu tapi juga menakutkan. "Tentu saja! Semua gadis yang kabur ke hutan juga mengatakannya. Saat tertangkap, mereka akan langsung memasang wajah memelas dan berkata seperti itu. Jadi, jangan harap aku akan percaya, sekarang cepat ikut!""Tidak mau!" Zhura mendorongnya kuat-kuat hingga tubuh kambing itu tersungkur ke tanah. Sadar akan hadirnya kesempatan, Zhura berbalik dan melarikan diri. Ia mendengar beberapa dari mereka berteriak memanggil, tapi gadis zamrud itu tidak mau repot-repot mengacuhkannya. Ia hanya terus lari sejauh mungkin dari bencana ini. "Maaf saja tapi aku tidak berencana menjadi budak, apalagi dibawa oleh sekumpulan makhluk aneh seperti kalian!" serunya bergema di pepohonan.Zhura menyibak semak-semak dengan kedua tangan yang terikat. Begitu sulit, ikatan itu membuatnya merasa ingin terjatuh. Kakinya yang baru ia gunakan untuk berjalan pun terasa nyeri karena dipaksa lari. Akar dan ranting ia lewati asalkan bisa lolos dari makhluk jadi-jadian seperti mereka. Setelah yakin sudah lari jauh, ia menoleh ke belakang memeriksa keberadaan satir-satir tadi. Entah lari mereka yang lambat atau Zhura sebenarnya pelari yang handal, para satir tadi tidak terlihat."Ke mana mereka?"Zhura menetralkan laju napas yang tak terkendali. Bayangkan tentang bagaimana ia sampai di sini dan berakhir bertemu dengan satir membawa rutukan yang tak ada habisnya. Sosok manusia setengah kambing itu hanya sosok fiksi. Dengan kata lain, mereka itu tidak ada di dunia. Mereka hanya karakter dongeng, yang mana itu adalah hasil imaginasi para leluhur. Makhluk-makhluk karangan, penghuni fantasi anak-anak di waktu tidur. Jika ini sungguhan, maka ini terlalu mengerikan. Keberadaan satir itu benar-benar membuat Zhura ragu kalau ia masih berada di dunianya.Kabut perak dan manusia setengah hewan, sepertinya benar ia berada di dunia lain. Zhura bergidik saat membayangkan makhluk apa lagi yang mungkin hidup di tempat ini. Segera ia sapukan mata, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memutus tali pada tangan. Belum juga ia menemukannya, sebuah jaring besar dilemparkan ke arahnya. Tubuh gadis itu yang tidak siap lantas tersungkur hingga ia merasakan tanah liat masuk ke dalam mulutnya."Sebagai seorang budak kecil, tenagamu lumayan juga," tutur seekor satir mendekat, dadanya tampak naik turun setelah berlari kencang."Kubilang aku bukan budak! Menjauh kau dariku! Aku hanya sedang lewat!" teriak Zhura meronta-ronta saat satir itu meraih tubuhnya. Makhluk itu tidak menjawab melainkan hanya tertawa hingga air liurnya yang bau meloncat ke segala arah.Zhura memasang wajah serius dan mencoba kooperatif. "Pak, sungguh aku tidak bohong! Aku hanya kebetulan lewat di sini! Percayalah! Kenapa kalian tidak punya data siapa yang akan kalian tangkap?!""Kaupikir aku bisa termakan ucapanmu begitu saja, hah?!" Satir itu menghentikan tawanya, menatap Zhura dengan pandangan dalam yang begitu menusuk. "Hei, Manusia! Taktik apapun tidak akan berguna. Manusia seperti kalian selalu banyak akal dan licik, berpikir bahwa kami adalah makhluk bodoh. Tidak, kami sangat pintar. Dan lagi, alasanmu itu sudah terlalu biasa. Telingaku sudah hapal karena terlalu sering mendengarnya dari para gadis yang akan dikorbankan seperti dirimu!""Apa maksudmu ... dikorbankan?" Di antara kabut yang dingin, Zhura merasakan suhu tubuhnya naik bersamaan dengan aliran darah yang mengalir ke ujung kepala. Memeriahkan suasana, jantungnya turut berpacu begitu makhluk kambing itu membuka bibir besarnya untuk memperdengarkan kalimat yang luar biasa menakutkan."Kau dan para gadis akan mati!"***Angan-angan adalah sebuah proses berpikir yang dipengaruhi oleh harapan-harapan terhadap kenyataan yang logis. Semua orang pernah memilikinya kecuali seseorang yang gila sejak lahir. Kisahnya dimulai saat ia masih kecil, ketika ibu selalu menceritakan dongeng-dongeng dunia antah-berantah sebelum tidur. Mulai dari kisah anak kecil yang mempunyai hidup mengenaskan bersama penyihir jahat, hingga kisah romansa antara seorang pangeran tampan dan puteri yang cantik jelita.Karena dongeng-dongeng itu, Zhura tumbuh menjadi anak yang senang berkhayal. Peristiwa yang paling membekas adalah saat di mana satu sekolah gempar akibat ia mengatakan ada bangsa liliput yang tinggal di bawah lantai kelas. Dia menceritakan mereka selalu muncul untuk mengambil pena dan penghapus dari anak-anak yang nakal. Berkhayal memang menciptakan perasaan yang menyenangkan bagi dirinya sendiri, tapi tetap saja itu hanya omong kosong.Duduk meringsut bak orang idiot di sudut belakang, ia sibuk menahan gejolak menyebalkan dari dalam perut. Saat ini Zhura tengah menaiki kereta kuda. Alih-alih menaiki kereta yang mewah bersama pangeran, ia justru disempilkan di dalam kereta sempit, pengap dan gelap bak rongsokan. Keadaan sangat buruk sejak gadis itu jatuh ke lubang di rumah kayu dan sekarang kondisinya bertambah naas dengan menjadi tawanan makhluk-makhluk aneh.Logika tidak bekerja lagi untuk menelaah situasi, yang ia pikirkan saat ini hanya bagaimana ia bisa kembali ke dunianya. Mencoba tenangkan diri dengan menarik napas, tapi ia justru mencium aroma tidak sedap dari tali kasar yang melilit tubuhnya. Jika diibaratkan, aromanya seperti kotoran kambing. Saat teringat bahwa penculiknya adalah satir, isi kepalanya langsung meledak di tempat.Pada akhirnya, mimpi tetap mimpi."Paman, lepaskan aku! Kau salah membawa orang! Aku bukan budak!" seru Zhura kepada satir yang bertugas sebagai kusir."Diamlah!" Dia menyahut, lalu kembali menatap ke depan. "Hei, kau bodoh, ya?!" Zhura menghentakkan kaki beberapa kali pada lantai kereta. Peduli setan pada gadis-gadis di sebelahnya yang terganggu, ia akan berusaha keluar dari kereta buluk ini untuk mencari jalan pulang. Fakta bahwa tempat tujuan kereta ini mungkin adalah akhir riwayatnya membuat Zhura semakin gencar minta dilepaskan. "Paman, dengarkan aku! Aku hanya kebetulan lewat di hutan itu dan tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Lihatlah, aku bahkan tidak mengenal siapapun di sini!"Seorang gadis asing yang duduk di sampingnya menyela, "Aku juga tidak mengenal siapa pun di sini."Mata Zhura mengerjap. Ia menutup bibir rapat-rapat menahan umpatan yang membahayakan nama baik. Di dalam kereta kini ada sepuluh gadis yang duduk bersamanya. Mereka adalah gadis-gadis yang ditangkap di hutan berkabut perak tadi. Be
"Zhura, sadarlah. Hari sudah malam."Di dalam tidurnya, Zhura merasakan tepukan di bahu seolah pelakunya sedang mencoba membuatnya terbangun. Sejujurnya ia sudah terjaga, tapi dirinya hanya enggan untuk membuka mata. Entah sudah berapa lama Zhura tidak istirahat, tapi tubuhnya benar-benar kelelahan. Diulurkan lengan ke sekitar pembaringan, kernyitan lantas menyusul di kening saat ia tidak menemukan bantal kesayangan."Hei, cepat bangun, Bocah!" teriak sosok lainnya dengan nada marah.Dikibaskan tangannya beberapa kali di udara seraya berkata, "Keluarlah, aku masih mengantuk. Ibu tahu, aku baru bermimpi masuk ke dunia dengan makhluk-makhluk konyol. Di sana aku bertemu dengan paman-paman mesum berkaki kambing yang tidak memakai celana dalam. Memimpikan itu semua membuat tubuhku sangat lelah, rasanya seperti aku baru saja mengikuti kompetisi ninja.""Dia orang gila, ya?" Suara familiar itu terdengar lagi, begitu samar seakan pemiliknya tengah berbisik."Pokoknya aku masih ingin tidur, to
"Aku terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Saat tertarik ke bawah kukira aku akan mati, tapi tubuhku justru terbawa ke dunia kalian. Lubang pada rumah kayu itu, mengarahkanku pada hutan tempat kita tertangkap para satir itu. Lalu, aku mencoba berjalan untuk mencari bantuan. Tapi, siapa sangka aku justru dikira bagian dari kalian.""Itu berarti mereka sudah salah tangkap. Dirimu tidak seharusnya berada di sini," kata Inara memperhatikan kalung yang sekarang melingkar di leher Zhura. Lalu, gadis elf itu terlihat menautkan kedua tangannya di depan dada seolah sedang memohon ampun. "Ceritamu sulit untuk dipercaya, tapi aku mengerti. Sejak di hutan, aku sadar auramu terasa berbeda. Aku sempat mengira kau berbohong saat di kereta, ternyata kau memang tidak berasal dari sini. Maafkan aku, Zhura."Udara malam berembus sedikit kencang membuat dinding tenda bergoyang. Tiupannya yang dingin teganya meninggalkan gigil pada tubuh Zhura yang bahkan sudah terbalut mantel. "Aku hanya berharap b
"Tidak ada yang tahu nasib mereka. Ada yang percaya mereka sudah mati terbunuh oleh pemilik Naga Biru, penguasa dataran Hidee. Ada juga yang bilang mereka terjebak di sana.""Kenapa gadis suci harus mencari darah pemilik Naga Biru? Apakah sosok itu adalah orang yang mengutuk dunia?""Itu memang yang kami percayai selama ini. Dialah mengutuk dataran Firmest semenjak ribuan tahun. Membuat kita harus selalu mengorbankan nyawa gadis-gadis, sebelum bulan purnama merah yang akan muncul setiap enam belas musim semi," lanjut Inara.Zhura mengalihkan pandangan pada lentera kecil yang berada tak jauh dari tempatnya terduduk. Redup, itu bergoyang tertiup angin dari sela-sela tenda. "Apa yang akan terjadi jika tidak mengobankan para gadis? Dan tidak perlu mencari darah suci pemilik Naga Biru?" "Kutukannya akan datang, dataran Firmest akan tertimpa nasib buruk. Mulai dari kekeringan, pandemi, dan bencana alam. Aku pernah mendengar ceritanya dari ayahku. Saat itu, kelima kerajaan sepakat untuk men
"Seharusnya Putera Mahkota ada di sana juga, tapi aku tidak yakin dia akan datang. Kupikir, dia adalah orang yang tertutup dan jarang keluar. Sebenarnya ada beberapa alasan juga yang menyebabkan ia sebaiknya tidak banyak pergi bertemu orang lain. Kau tahu? Putera Mahkota itu adalah sosok yang aku ceritakan tadi malam. Yang aku dengar, perangainya pun sangat dingin dan tak berperasaan.""Sosok yang kau ceritakan semalam?" Sejujurnya Zhura tidak ingat."Mereka mulai membaca mantra!" Seorang gadis berambut cokelat yang berdiri di baris paling depan tiba-tiba berseru. Zhura lantas mengedarkan pandangan, mengolah situasi. Para gadis dari kalangan biasa terlihat panik, sementara gadis-gadis bangsawan mulai mempersiapkan senjata. Yang Zhura lakukan hanya melongo karena yang ia punya hanya peniti di baju yang kebesaran. Sekarang ia bahkan tidak memegang apapun selain doa-doa yang terus dipanjatkan. Zhura berusaha tenang tapi rasa panik terus menggelayut ketika pria dengan jubah biru gelap mul
Jadi seperti ini ritual pengorbanan yang mereka lakukan pada gadis-gadis. Entah itu berlari atau pun merangkak di tanah, gadis-gadis yang dipenjara ketakutan itu menangis berlumuran darah. Bahkan saat garis lembut wajah mereka penuh keringat, mereka tetap berjuang keras untuk tetap hidup. Zhura memang bukan bagian dari apapun di sini, tapi melihat berbagai penyiksaan di depannya membuat dirinya merasakan sakit hati."Sudahlah, Zhura!" Inara yang menyadari kehadiran hewan-hewan buas di sekitar mereka lantas menarik Zhura berlari ke arah rumput-rumput tinggi. Banyak tubuh-tubuh gadis yang gugur terkapar di seluruh tempat ini. Mati-matian Zhura mengabaikan itu dan menjaga pandangan yang mengabur agar hanya tertuju pada jalan. "Akh!" Sesuatu yang keras membuatnya tersandung, dan untuk pertama kalinya sejak berlari ia terjatuh.Duduk, Zhura mengusap lutut kanannya yang terasa panas akibat tergores bebatuan kecil. Bersamaan dengan itu, datang guncangan pada tanah yang samar-samar memperdeng
"Zhura!" seru Inara yang tergeletak di tanah. Gadis elf itu menangis, merasakan aura keberadaan Zhura yang melemah.Di tempatnya, kepala Zhura berdentang seperti gong yang dipukul berulang-ulang, pening dahsyat. Gendang telinga pun berdesing, berdengung dan tuli secara bersamaan. Yang ia rasakan selanjutnya adalah sakit yang tak karuan. Zhura menarik napas dalam saat dadanya mulai terasa sesak. Ia merasa seperti baru saja ditabrak kereta, hancur berantakan. Zhura bahkan tidak bisa memperkirakan lagi bagaimana posisi kaki dan tangannya, rasanya itu menghilang."Ah..." Sebuah cairan terasa menuruni pelipis kiri dan masuk ke helaian rambut. Bahkan sebelum Zhura memikirkannya, ia sudah tahu apa cairan panas itu. Dalam keremangan, daun telinganya yang berkedut mendengar suara Inara. Gadis elf itu terus meneriakkan namanya dengan suara parau dan kering. Sekujur tubuh Inara terluka, penuh luka robekan. Entah sudah berapa gigitan dart yang elf itu terima pada tubuhnya. Yang jelas Inara juga k
Bayangan gadis-gadis yang berlarian dengan tubuh terkoyak mulai datang. Kilasan mengenai Inara dan Valea yang sedang berjuang melawan dart, menumbuhkan keprihatinan Zhura. Seharusnya ia tidak perlu mengenal mereka sejak awal. Jika Zhura tidak mengenal siapapun, keputusannya untuk pergi pasti mudah untuk dibuat. Hidupnya bukan drama di mana ia bisa menjadi protagonis utama yang harus menyelamatkan orang. Zhura hanya gadis sembilan belas tahun yang ingin bersikap egois dengan kembali ke rumah dan bertemu ibunya."Zhura, jangan khawatir, kita akan melalui ini bersama-sama." Ucapan Inara terngiang.Ia sungguh ingin pulang ke rumah, tapi ia tidak mau teman-temannya mati, bahkan meskipun mereka baru bertemu. Zhura membayang mengenai dirinya pulang ke rumah, beraktivitas seperti biasa seolah-olah ini semua tidak pernah terjadi dan melupakan Inara dan Valea. Namun, suara Inara terngiang di tempat yang sama ia letakkan keraguan. Berdengung, merasuki kepalanya bersama berbagai perasaan gundah.
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun