"Zhura."Suara kecil terdengar mengalihkan perhatian Zhura dari mayat gadis di dekatnya. Ia lekas melarikan pandangan ke arah jam sepuluh. Di sana, seonggok tubuh gadis elf yang dikenal tergeletak mengenaskan. Tubuh gadis elf itu terbaring dengan pakaian yang robek hingga memperlihatkan bagian tubuhnya. Di sekitarnya, Valea juga tampak memprihatinkan. Gadis berambut merah itu terpejam dengan cairan merah yang keluar dari mulutnya. Mereka berdua sekarat. Hawa kehidupan padam tergantikan oleh aura keprasahan pada datangnya kematian.Zhura mengamati Valea lagi. Menurutnya gadis itu bukan jenis orang yang akan menyerah sebelum tubuhnya sampai pada batas kemampuan. Melihat kondisinya sekarang, ia pasti sudah berjuang mati-matian melawan dart yang kini berdiri di belakangnya. Makhluk itu masih berdiam di sana. Menunggu kematian Valea dengan sabar, sebelum kemudian memakan daging lawan tangguhnya dengan lahap.Gadis zamrud itu mengerjap ketika bayangan gelap menyelimuti tempat ritual dari at
Zhura diburu waktu, dirinya tak bisa menahan panik ketika ia tidak melihat senjata yang bisa ia gunakan. Seekor makhluk buas di depannya pun tak ingin berbaik hati memberikannya kesempatan untuk berpikir. Dart dengan tubuh penuh luka itu tampaknya belum ingin mengakhiri kekejamannya dengan mengacungkan moncong tepat di depan wajah Zhura. Dengan sisa kekuatan pada kakinya, Zhura sontak melompat menghindarinya, alhasil bunyi gemelutuk terdengar begitu keras seakan persendiannya rusak. Rasa sakit yang teramat menyeruak menyesakkan, Zhura lekas mengulurkan tangan untuk mencengkram kuat-kuat dada kirinya yang berdenyut Pandangan Zhura beralih ke tempat para petinggi kerajaan itu duduk menyaksikan akhir ritual. Beberapa dari mereka terdiam dengan wajah datar sementara sisanya sibuk berbincang sembari menunjuk-nunjuk ke arahnya. Jaraknya dengan mereka mungkin sekitar lima puluh meter, tetapi entah bagaimana Zhura bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Jika dipikirkan lagi, ia
"Jadi, delapan puluh tiga gadis lainnya?" Akal pikiran Zhura yang belum terhubung sontak bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa menjadi bagian dari tujuh belas gadis yang bertahan hidup. Haruskah ia bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup, sementara nyawanya juga berada di ujung tanduk saat menjadi bagian dari kelompok gadis suci. "Saya turut berduka atas kepergian korban dan mewakilkan rekan tabib lain menyampaikan bela sungkawa pada keluarga mereka. Meskipun saya bukan bagian dari kalian, sebagai seorang wanita rasa sakit atas penderitaan kalian semua juga menyakiti hati saya. Namun, siapa yang bisa mengelak dari itu." Sang tabib menunduk, terdapat raut keruh menandakan perasaan turut berdukanya atas peristiwa tiga hari lalu.Zhura mengangguk. Kemudian sebuah gagasan datang saat ia menatap lebih lama wanita paruh baya di depannya. "Bagaimana Anda bisa menjadi tabib seperti sekarang? Tidakkah setiap wanita harus dikorbankan?""Tidak semua, hanya para gadis yang terpilih
"Kenapa dengannya?" tanya gadis berambut merah, membuat pikiran Zhura kembali tersadar."Aku tidak tahu, tapi kupikir dia bilang jika kalungku indah," jawab Zhura menggeleng seraya mengambil duduk di hadapan Valea yang masih lesu di tempat tidurnya. Dengan rambut merah yang tergerai bebas dan juga beberapa lebam di wajah, lekas membuat penampilan gadis itu terlihat berantakan dan penuh dengan kesan liar. Zhura masih mengamati penampilan urakan Valea, saat gadis itu mulai menyilangkan kedua tangannya di dada."Lalu, mengapa kau masih ada di sini?" tanyanya menaikkan alis.Zhura mengangkat wajahnya seraya mendecakkan lidah. "Kenapa kau masih bertanya?! Tentu saja aku datang untuk mencekikmu!" teriaknya membuat gerakan seolah-olah tengah mencekik Valea. Ia sungguh kesal. Sudah mati-matian Zhura melawan makhluk mengerikan di ritual atas namanya. Namun, kini Valea justru bersikap seperti seorang perundung padanya. Mengingat kondisi sekaratnya saat itu, Zhura tidak menyangka gadis merah di
Hanya orang melankolis yang mengatakan kalau perasaan mendebarkan hanya datang di saat seseorang sedang jatuh cinta. Tidak, debaran juga bisa terjadi ketika ketakutan. Kebanyakan penyebabnya karena tubuh sedang melakukan pengantisipasian terhadap luka fisik maupun batin terhadap berbagai sebab. Begitulah yang kira-kira gadis itu rasakan. Yang menyebalkan, perasaan itu bahkan sudah menetap jauh sebelum Zhura memasuki ruangan pertemuan, tempat di mana ia kini berdiri menundukkan kepala. Orang-orang pasti mengira ia pemalu, tapi sebenarnya ia hanya sibuk membatin doa-doa agar usaha penyamarannya dilancarkan."Jangan perlihatkan rasa gugupmu, Zhura. Mereka nanti akan curiga."Zhura terkesiap, ia menoleh ke samping kanannya lalu mengangguk dua kali. Inara tampak berdiri dengan tenangnya menatap lurus ke depan. Zhura pun turut menggulirkan matanya ke arah pandangan elf itu. Di bagian depan ada tempat yang disediakan khusus untuk anggota kerajaan. Sebuah kursi singgasana emas berada di tenga
Zhura memalingkan wajah, bibirnya mengerucut penuh emosi. Meskipun Azhara seorang pangeran, tapi pria macam apa yang memperhatikan tubuh seorang gadis di pertemuan pertama mereka. Dia gila, orang mesum, atau cabul. Zhura sibuk merutukinya dalam hati saat ia melihat pemuda itu justru menaikkan pandangan ke arah zamrudnya. Tanpa ba-bi-bu segera ia buang muka kepada pria yang entah menjelaskan apa di depan.Zhura menghirup napas dalam-dalam, mencoba meredakan laju jantung yang melesat seakan-akan tidak peduli dengan nyawa Zhura yang bisa ketinggalan. Dia bisa mati. Hanya gara-gara tatapan pemuda brengsek itu, tubuhnya tiba-tiba saja langsung panas dingin."Kau baik-baik saja?" tanya Inara melihat gelagat aneh Zhura. Zhura yang masih terjebak perasaan gila itu hanya bisa mengangguk."Para gadis suci dipersilakan memperkenalkan diri," tukas pria berjubah biru tua menyelesaikan penjelasan panjang kali lebarnya. Seorang gadis yang duduk paling ujung depan kini bangkit dan maju. Dia berdiri d
"Semua gadis sudah mengirimkan data identitas mereka pada kerajaan. Namun, aku tidak melihat ada surat identitas dengan namamu. Hanya kau yang belum memberikannya. Di mana surat itu?"Zhura diam membatu terjebak bayangan dirinya yang diseret keluar oleh para prajurit berwajah seram, lalu mereka akan mengaraknya keliling kerajaan untuk dieksekusi di depan warga. Tidak ada jawaban atau ide apapun yang datang membuatnya hanya bisa membisu bahkan saat ia sadar bahwa itu justru akan menarik kecurigaan orang lain."Mohon ampuni dia, Yang Mulia." Suara seseorang terdengar, Zhura sontak menoleh ke samping. Dirinya hampir meloncat begitu menyadari pemilik suara itu adalah Valea yang kini duduk bersimpuh di sisinya. Belum juga Zhura berhasil keluar dari mode terkejut, gadis merah itu tiba-tiba menyorotnya dengan pandangan aneh yang langsung membuat ubun-ubun Zhura keheranan.Dengan wajah polos yang terlihat seperti malaikat tak berdosa, Valea menyerahkan selebaran berwarna cokelat pada Raja Ama
"Valea adalah keturunan suku penyihir Dulcis. Ciri khas mereka adalah berambut merah. Sebenarnya kami lebih sering menyebut mereka sebagai kaum ras penyihir yang paling kuno di Firmest, mereka hidup menyebar di Firmest."Valea hanya mengangkat bahu atas penjelasan, sementara Zhura mulai menyapukan matanya menelusuri penampilan gadis merah itu. "Hei, bisakah kau gunakan sihir itu untuk membawaku kembali?" Sudah mati-matian Zhura menampilkan raut wajah memelas, tapi Valea justru mengibaskan tangannya seraya menampilkan ekspresi tidak peduli."Aku tidak bisa. Lagipula aku tidak tahu di mana dunia asalmu itu."Zhura mengeluarkan napas berat. Rasanya seperti ia baru saja dihempaskan dari langit ketujuh. Inara yang masih sibuk mengunyah kini tampak berpikir. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Zhura turut melahap nasinya yang entah kenapa justru diletakkan di dalam mangkuk. Beberapa saat keheningan masuk di antara mereka, hingga elf cantik di depan tiba-tiba meletakkan sumpitnya."Sebenarnya
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun