"Semua gadis sudah mengirimkan data identitas mereka pada kerajaan. Namun, aku tidak melihat ada surat identitas dengan namamu. Hanya kau yang belum memberikannya. Di mana surat itu?"Zhura diam membatu terjebak bayangan dirinya yang diseret keluar oleh para prajurit berwajah seram, lalu mereka akan mengaraknya keliling kerajaan untuk dieksekusi di depan warga. Tidak ada jawaban atau ide apapun yang datang membuatnya hanya bisa membisu bahkan saat ia sadar bahwa itu justru akan menarik kecurigaan orang lain."Mohon ampuni dia, Yang Mulia." Suara seseorang terdengar, Zhura sontak menoleh ke samping. Dirinya hampir meloncat begitu menyadari pemilik suara itu adalah Valea yang kini duduk bersimpuh di sisinya. Belum juga Zhura berhasil keluar dari mode terkejut, gadis merah itu tiba-tiba menyorotnya dengan pandangan aneh yang langsung membuat ubun-ubun Zhura keheranan.Dengan wajah polos yang terlihat seperti malaikat tak berdosa, Valea menyerahkan selebaran berwarna cokelat pada Raja Ama
"Valea adalah keturunan suku penyihir Dulcis. Ciri khas mereka adalah berambut merah. Sebenarnya kami lebih sering menyebut mereka sebagai kaum ras penyihir yang paling kuno di Firmest, mereka hidup menyebar di Firmest."Valea hanya mengangkat bahu atas penjelasan, sementara Zhura mulai menyapukan matanya menelusuri penampilan gadis merah itu. "Hei, bisakah kau gunakan sihir itu untuk membawaku kembali?" Sudah mati-matian Zhura menampilkan raut wajah memelas, tapi Valea justru mengibaskan tangannya seraya menampilkan ekspresi tidak peduli."Aku tidak bisa. Lagipula aku tidak tahu di mana dunia asalmu itu."Zhura mengeluarkan napas berat. Rasanya seperti ia baru saja dihempaskan dari langit ketujuh. Inara yang masih sibuk mengunyah kini tampak berpikir. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Zhura turut melahap nasinya yang entah kenapa justru diletakkan di dalam mangkuk. Beberapa saat keheningan masuk di antara mereka, hingga elf cantik di depan tiba-tiba meletakkan sumpitnya."Sebenarnya
"Tangkap gadis bincacak itu! Hei, berhenti kau!" Gadis-gadis pengikut Arlia itu begitu keras kepala, sudah hampir setengah jam berlari dan tampaknya mereka belum ingin menyerah di mata Zhura.Sembari menahan umpatan, gadis zamrud itu mencoba berbelok ke kanan. Ia melewati lorong-lorong tinggi yang membawanya keluar ke halaman luar. Dengan gesit ia gulirkan mata ke segala arah, dicobanya menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk perlawanan. Entah kemana lari membawa dirinya, tapi yang Zhura ketahui tempatnya saat ini masih bagian dari istana. Namun, bentuk bangunannya sedikit berbeda dari bentuk bangunan yang ada di wilayah utama para petinggi kerajaan. Melihat banyak orang berlalu-lalang dengan seragam pelayan, gadis itu menyimpulkan tempat ini adalah wilayah pelayan istana.Pada saat itu juga, aroma menyengat masuk ke dalam hidung, ia sadari aroma itu berasal dari sesuatu yang berjejer di sisi halaman. Dia lihat masing-masing dari mereka dijemur dengan jarak satu meter. Zhura menga
"Minumlah.""Anda tidak perlu melakukan ini." Zhura tengah menggeleng, menunjukan tanda tidak ingin merepotkan seseorang yang baru saja menyilakan mereka minum. Namun, Valea yang kehausan sudah maju menyerobot cangkir teh itu, tanpa ragu menenggak isinya dengan cepat."Anda tahu saja jika kami kehausan. Terima kasih banyak," ujar gadis merah itu meletakkan cangkirnya yang kosong. Zhura hanya bisa menatapnya jengah."Tidak masalah, aku tahu kalian pasti kelelahan mengikutiku sampai ke sini." Mendengar ucapan wanita tua di depan membuat Zhura merasa tidak enak. Sekarang mereka sedang berada di sebuah bangunan yang disebut rumah."Nyonya, apakah ini rumahmu?" Zhura menyapukan pandangan ke sekitar. Dilihat dari gaya dan bentuk bangunannya, rumah ini jelas berbeda dengan rumah yang ada di ujung desanya. Rumah kayu misterius tempat ia terjatuh ke dunia aneh ini, Silvermist."Ini memang rumahku," sahut wanita tua itu.Zhura menganggukkan kepala. Tatapannya kemudian hinggap pada sisi wajah wa
Suara-suara bisikan menguar semakin kuat ke dalam telinganya. Bukan hanya para gadis suci, bahkan barisan tetua yang duduk di sisi aula pun bersaut-sautan mengeluarkan kalimat keterkejutannya. Sepertinya saat ini batin setiap orang menggila ketika melihat Zhura bersimpuh di depan Azhara. Tidak ada yang harus diperdebatkan dari ucapan gadis itu, satu-satunya kesalahannya adalah lawan bicaranya. Memecah keheningan, seorang tetua berdiri dan menunjuk-nunjuk dengan raut marah. "Lancang! Seorang gadis rusa berani-beraninya meminta hal itu pada Putera Mahkota! Tidak tahukah kau akibatnya?!""Bagaimana bisa dia melakukannya? Sudah tertulis di dalam gulungan, orang yang bertugas melatih para gadis suci hanyalah kelima jenderal!" "Gadis suci itu benar-benar tidak tahu batasan!""Dia pasti gila!""Bukan hanya gila, dia tidak bermoral. Dia harus dihukum karena merendahkan Putera Mahkota!" seru mereka kemudian menyetujui usulan tersebut."Ini bencana!" sahut orang-orang.Bahkan melihat keributan
"Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, cepat pergi sana!"Teriknya mentari sudah cukup membuat sekujur tubuh Zhura merah tersengat hawa panas, dan sekarang ia masih dihadapkan pada cobaan lain di mana seorang pemuda berwajah kaku menahannya masuk ke paviliun Azhara. Gadis itu menghela napas, memperhatikan sosok yang kini erat memegang lengannya. Dirinya ingat pemuda itu adalah pengawal yang setia mengekor kemana pun langkah Azhara pergi. "Kawan, aku harus menyerahkan gulunganku padanya. Tolong biarkan aku masuk," ujar Zhura melepaskan diri. Belum sempat ia melangkah ke bangunan besar di depan, tangannya sudah kembali dicekal oleh pemuda elf bernama Ramia itu."Nona, apa kau lupa tuanku sudah menolakmu tadi? Tolong pergilah dari tempat ini. Jika kau berbuat kacau, aku terpaksa melakukan tindakan yang serius," ancam Ramia.Zhura mengunci tatapannya pada bangunan besar yang berada di ujung istana itu. Begitu terpencil dan jauh dari keramaian, seakan-akan pemiliknya membuang di
Hari itu dimulai dengan dirinya yang bangun kesiangan. Kaki-kakinya bergelut dengan rasa kram karena ia bawa lari tanpa pemanasan. Tak adanya cukup waktu bagi tubuhnya beristirahat membuat segalanya kacau. Lalu, entah bagaimana hawa kesialan miliknya pun semakin memuncak ketika ia melihat pemuda elf berseragam hitam berdiri di hadapannya dengan wajah cerah. Firasatnya tidak salah, apa yang ia pikirkan ternyata benar. Ramia dengan wajahnya yang berseri, tiba-tiba mengulurkan sebuah sapu, menunjuk ke sekeliling halaman."Tolong, sapu halamannya," ujar pemuda elf itu dengan entengnya.Zhura menatap halaman paviliun Azhara yang sangat luas itu dengan bingung, sebelum kemudian berkacak pinggang. "Kau pikir aku pesuruh?!" semburnya.Ramia meletakkan sapu itu di tangan Zhura, lalu berbalik hendak pergi. "Eh, siapa yang kemarin bilang akan melakukan semuanya untuk menjadi murid putera mahkota? Kebetulan pelayan kebun kami sedang cuti melahirkan, jadi kau bisa menggantikan tugasnya. Jika kau m
Sebuah gagasan hinggap di kepala. Gadis muda itu tergesa berlari ke arah kolam ikan. Sepertinya ia mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai pertahanan. Sebuah kapak tergeletak di samping kolam, tanpa pikir panjang ia langsung menggapainya."Azhara, kau tidak akan menyesal menerimaku jadi muridmu." Zhura kuatkan mental seraya berlari masuk ke dalam paviliun. Tidak ada tanda-tanda keberadaan para penjaga tadi. Saat ia sampai di dalam ruangan, banyak benda-benda berserakan di lantai pualamnya. Entah apa yang terjadi, seisi ruangan pun terlihat seperti dilanda gempa.Siapapun itu, Zhura harus menangkap lebih dulu tersangka yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Kedua tangannya naik, menguatkan cengkeraman pada kapak. Diedarkan pandangan dengan waspada bersama langkahnya berjalan ke dalam. Paviliun harum bernuansa kayu putih ini sebenarnya lebih cocok disebut istana. Luas rumah Zhura di desa saja bahkan tidak cukup memenuhi bagian depan paviliun Azhara yang gila mewah ini. Yang men
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun