"Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, cepat pergi sana!"Teriknya mentari sudah cukup membuat sekujur tubuh Zhura merah tersengat hawa panas, dan sekarang ia masih dihadapkan pada cobaan lain di mana seorang pemuda berwajah kaku menahannya masuk ke paviliun Azhara. Gadis itu menghela napas, memperhatikan sosok yang kini erat memegang lengannya. Dirinya ingat pemuda itu adalah pengawal yang setia mengekor kemana pun langkah Azhara pergi. "Kawan, aku harus menyerahkan gulunganku padanya. Tolong biarkan aku masuk," ujar Zhura melepaskan diri. Belum sempat ia melangkah ke bangunan besar di depan, tangannya sudah kembali dicekal oleh pemuda elf bernama Ramia itu."Nona, apa kau lupa tuanku sudah menolakmu tadi? Tolong pergilah dari tempat ini. Jika kau berbuat kacau, aku terpaksa melakukan tindakan yang serius," ancam Ramia.Zhura mengunci tatapannya pada bangunan besar yang berada di ujung istana itu. Begitu terpencil dan jauh dari keramaian, seakan-akan pemiliknya membuang di
Hari itu dimulai dengan dirinya yang bangun kesiangan. Kaki-kakinya bergelut dengan rasa kram karena ia bawa lari tanpa pemanasan. Tak adanya cukup waktu bagi tubuhnya beristirahat membuat segalanya kacau. Lalu, entah bagaimana hawa kesialan miliknya pun semakin memuncak ketika ia melihat pemuda elf berseragam hitam berdiri di hadapannya dengan wajah cerah. Firasatnya tidak salah, apa yang ia pikirkan ternyata benar. Ramia dengan wajahnya yang berseri, tiba-tiba mengulurkan sebuah sapu, menunjuk ke sekeliling halaman."Tolong, sapu halamannya," ujar pemuda elf itu dengan entengnya.Zhura menatap halaman paviliun Azhara yang sangat luas itu dengan bingung, sebelum kemudian berkacak pinggang. "Kau pikir aku pesuruh?!" semburnya.Ramia meletakkan sapu itu di tangan Zhura, lalu berbalik hendak pergi. "Eh, siapa yang kemarin bilang akan melakukan semuanya untuk menjadi murid putera mahkota? Kebetulan pelayan kebun kami sedang cuti melahirkan, jadi kau bisa menggantikan tugasnya. Jika kau m
Sebuah gagasan hinggap di kepala. Gadis muda itu tergesa berlari ke arah kolam ikan. Sepertinya ia mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai pertahanan. Sebuah kapak tergeletak di samping kolam, tanpa pikir panjang ia langsung menggapainya."Azhara, kau tidak akan menyesal menerimaku jadi muridmu." Zhura kuatkan mental seraya berlari masuk ke dalam paviliun. Tidak ada tanda-tanda keberadaan para penjaga tadi. Saat ia sampai di dalam ruangan, banyak benda-benda berserakan di lantai pualamnya. Entah apa yang terjadi, seisi ruangan pun terlihat seperti dilanda gempa.Siapapun itu, Zhura harus menangkap lebih dulu tersangka yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Kedua tangannya naik, menguatkan cengkeraman pada kapak. Diedarkan pandangan dengan waspada bersama langkahnya berjalan ke dalam. Paviliun harum bernuansa kayu putih ini sebenarnya lebih cocok disebut istana. Luas rumah Zhura di desa saja bahkan tidak cukup memenuhi bagian depan paviliun Azhara yang gila mewah ini. Yang men
Empat musim seakan hadir serempak di hadapannya. Segala jenis perasaan pun campur aduk mengisi relungnya ketika untuk pertama kalinya Zhura dan Azhara berdiri secara empat mata. Tinggi gadis itu sebenarnya hanya sampai di dada Azhara, tapi itu tidak menghentikan sengatan tajam sorotnya kepada Zhura. Lebih banyaknya perasan gelap yang datang membuat gadis itu lekas menunduk, pasrah menjatuhkan segala buncah kegelisahan ke tanah. Terdengar suara tergopoh-gopoh dari belakang, Ramia mendekat bersama anak-anak buahnya. Kernyitan hinggap lebih dalam pada dahi Zhura menyadari pakaian yang mereka semua kenakan mirip dengan para pencuri tadi."Anda baik-baik saja?" tanya Ramia melihat keadaan Azhara yang hanya dibalas anggukan oleh tuannya. "Wajah Anda kotor." Diambilnya sesuatu dari balik saku, itu sapu tangan. Ramia hendak membersihkan noda di wajah tuannya ketika tangan Azhara naik menghentikannya. Pangeran itu menyerahkan kotak emasnya pada Ramia, sebelum mengusap sendiri bercak tanah di w
"Kau tidak ingin masuk?"Zhura menatap rumah panggung yang terbuat dari kayu-kayuan di hadapannya. Tempat tujuan dari alamat yang dituliskan oleh pengurus dapur istana, dengan kata lain inilah rumah di pemasok rempah-rempah. Zhura menggelengkan kepala pada Inara, lalu menunjuk ke arah bangku yang terbuat dari batang pohon besar di sisi sungai. Melihat diameternya yang selebar mobil, Zhura mulai bertanya-tanya seberapa besar pohon yang ditebang."Pemasok itu akan bingung kalau yang datang tiga orang, hanya kalian yang disuruh, 'kan? Aku akan duduk di luar saja, kalian berdua cepatlah masuk," ujarnya.Sesaat IInara tampak berpikir, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi jangan kemana-mana! Aku dan Valea akan mengambil rempah-rempahnya dengan cepat. Jika ada sesuatu yang mengganggumu langsung panggil kami, mengerti?"Demi lampu gantung besar Azhara yang Zhura hancurkan, Inara benar-benar terlihat seperti ibunya. "Ya, aku tidak akan kemana-mana, dan tolong jangan perlakukan aku seperti anak keci
"Mohon terimalah pemberian dari saya, Yang Mulia!"Dengan gemetar samar di kedua tangan, gadis itu mengabaikan seluruh harga dirinya untuk menunduk sempurna pada sosoknya. Namun, faktanya daripada memberikan hormat, Zhura lebih berniat untuk membuang muka dari sorot pemuda sialan itu. Sejak terakhir kali mereka bertemu, tidak sedikit pun batinnya berdamai akan rasa gelisah bahkan saat Zhura meyakinkan dirinya kalau ia tidak bersalah. Meskipun kedatangan Zhura tidak bisa disebut pada waktu yang tepat, tapi sekarang juga bukan waktu yang salah."Lailla, apa yang sedang kau lakukan?"Bukan Azhara, suara Ramia adalah yang menyahutnya. Padahal Putera Mahkota itu duduk tepat di depan Zhura. Gadis itu bahkan bisa melihat dengan gamblangnya ujung kaki Azhara ketika menunduk, tapi pemuda itu dengan sombongnya bersikap bak tokoh figuran. Mengabaikan rasa sakit hati, Zhura memberanikan diri mengangkat pandangan. Seolah-olah pemuda perak itu tengah berada di ruangan berwarna putih, di mana Zhura
"Lawan aku."Hari masih pagi dan matahari bahkan baru saja naik beberapa saat lalu. Zhura mendongak, ia melihat langit di atas juga sangat cerah. Tidak ada satu gemuruh pun yang bersiap melemparkan petirnya ke bumi atau entahlah. Semuanya baik-baik saja hingga sekujur tubuhnya terlonjak seakan ratusan petir yang menyambarnya bersamaan dengan keluarnya kalimat Azhara. Jika diingat lagi, dirinya belum pernah menerim bimbingan teori apapun dari gurunya, bagaimana bisa mereka langsung melakukan praktek?"Lailla hanya orang lemah yang tidak punya kekuatan untuk melawan, dan lagi saya tidak tahu apapun mengenai pertarungan. Tolong pertimbangkan lagi, Guru," ujar Zhura."Kenapa? Kau bilang akan melakukan apapun asal aku mengampunimu?" sergah Azhara.Jadi begitu.Zhura memutar bola matanya, dalam hati ia merasa terhina. Ia sudah susah payah menahan rasa gelisah selama berhari-hati untuk meminta maaf, tapi Azhara dengan lagaknya masih menyimpan dendam kesumat padanya. Yang benar saja! Daripada
Zhura sibuk menyipitkan mata, memperhatikan deretan kata di dalam buku yang ia pegang. Demi sumur ayam yang ia makan pagi tadi, sungguh tidak ada apapun yang masuk ke dalam otaknya bahkan setelah ia membaca bukunya berulang kali. Telapak tangan gadis itu pun sudah basah akibat keringat setelah ia membolak-balik halaman demi halaman selama berjam-jam. Ketika ia berada di akhir bagian, punggungnya sampai pada titik di mana ia tidak dapat lagi duduk tegak."Aku lelah!"Pada saat itu ia memilih menenggelamkan wajah di antara lengan di atas meja, seseorang datang mendekat. Gadis itu sontak mengangkat wajahnya dan menyadari kehadiran seorang wanita muda. Dia datang dengan wajah berseri dan senyum anggun. Zhura mengerjapkan mata ketika wanita itu menggeser buku-bukunya untuk meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat. Aksinya juga tertangkap mata Azhara yang memilih tidak acuh "Salam, Yang Mulia Azhara. Carmina datang membawakan teh hangat yang saya seduh sendiri untuk Anda. Udara pagi yan
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun