"Saat mengarahkannya ke musuh, buatlah kuda-kuda yang kuat lalu pusatkan kekuatan tangan pada pegangan pedangnya. Ketika sudah menemukan titik yang tepat-"Azhara menghentikan penjelasannya tentang bagaimana seseorang menggunakan senjata karena ia menyadari sorot aneh dari orang di hadapannya. Pemuda perak itu tak bisa berkata-kata dan hanya menatap lawan bicaranya yang sejak tadi mematung. Di tempatnya, iris Zhura tak berpindah dan lekat mendalami jernihnya mata biru itu. Alih-alih mendengarkan penjelasan dari Azhara, gadis itu justru fokus dan mendalami perannya sebagai perusak konsentrasi mengajar pemuda di depannya.'Pertama, pastikan diri Anda terlihat dengan jelas oleh mereka. Tatap lekat wajah orang yang ingin Anda tarik perhatiannya. Berikan tanda dengan menggunakan pandangan konstan. Jika mereka menyadarinya dan tersipu, itu berarti mereka memperhatikan Anda. Jika mereka menyadarinya, tapi tetap diam, berikanlah kalimat pujian agar mereka merespon. Respon yang berupa senyuman
"Benci orang yang bernapas terlalu keras."Seolah-olah kain hitam dibentangkan sejauh mata memandang, langit begitu gelap gulita karena mangkirnya bulan dan antek-anteknya. Akibatnya malam terlihat muram. Di tengah jalan sepi, Zhura menatap catatan yang Ramia tuliskan pada kertas untuknya. Di kertas tertulis bahwa Azhara tidak suka pada orang yang menghela napas terlalu kuat.Entah benar atau salah, itu yang Zhura tangkap dari pemahamannya karena pengabjadan yang terbatas. Selain poin itu, ada hal-hal lain yang disukai dan dibenci oleh Azhara. Jika dipikirkan lagi, sebenarnya ini sangat menggelikan. Semua poin yang tercatat di sini adalah bukti bahwa Zhura sama sekali tidak mengenal gurunya sendiri.Bagi gadis itu, pikiran Azhara adalah sesuatu yang pantang untuk tersentuh. Saking tersembunyi tempat itu, palung terdalam di dunia saja kalah. Palung itu sudah pernah terjamah oleh manusia, tapi tidak dengan Azhara. Zhura mengira tidak ada satu orang pun di dunia, yang benar-benar mengert
Sekujur tubuh Zhura gemetar karena sosok-sosok itu begitu serius ingin membunuhnya. Lebam sudah memenuhi pergelangan tangan tapi ia tidak bisa diam dalam kegelapan. Pada saat itu, Zhura putuskan untuk bersembunyi di balik semak-semak rimbun. Sembari mengontrol laju jantungnya yang ingin meledak, ia mengamati benda yang ia sita dari sosok bertudung itu.Pedang panjang dengan bilah perak, terlihat motif berbentuk bunga terukir di gagang putihnya. Lebih cermat lagi diteliti, Zhura menyadari bentuk bunganya mirip seperti mawar. Meskipun begitu, ia ragu karena tidak ada duri di tangkainya."Darah?" Zhura tersentak saat menyadari ada darah di telapak tangannya yang juga mengotori gagang pedang itu. Panas dan nyeri. Pantas saja ia merasakan sakit sejak tadi, tidak ia sangka kuku jari manisnya patah.Ctak!Tubuh Zhura bangkit ketika sebuah kunai melesat dan menghantam pedang di genggamannya hingga terlempar. Di arah jam sembilan, sosok bertudung kini berdiri memegang pedangnya. Dari keempat t
"Masuklah."Gadis itu merapikan pakaiannya dengan mengusap-usap pelan sebelum melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Sesaat mata Zhura memandangi arsitektur dalam ruangan seluas lima belas kali sepuluh meter itu. Tiang-tiang besar berdiri di atas lantai berkarpet kemerahan yang menguarkan aroma harum. Zhura melongo ketika mendapati hiasan-hiasan kuno yang antik dan mempunyai nilai estetika tinggi di seluruh penjuru tempatnya berada. Langkah gadis itu berlanut hingga wanita berpakaian tabib yang menuntunnya, mengantarnya ke bagian bangunan yang terbuka.Atap tidak lagi menaungi mereka berdua, kini ia sampai di taman luas yang hijau dan sejuk. Di sisi kiri hamparan subur itu ada kanopi besar yang juga menjadi tempat pertemuan mereka. Tabib Ma berhenti menuntun Zhura ketika mereka sampai di bawah kanopi berbahan terpal kecokelatan itu. "Salam, Yang Mulia. Dia sudah datang." Tabib Ma menunduk hormat pada sosok di hadapannya."Kemarilah, jangan takut." Seorang nenek yang jauh lebih tua da
Kedua tangan mungil itu menarik sisi busur panah berbahan kayu angsana hingga melengkung berbentuk setengah lingkaran. Segera setelahnya, anak panah dengan ujung runcing yang ada di genggamannya terlontar kala tarikannya dilepas. Benda itu melesat di udara dan menimbulkan bunyi melengking. Beruntung, rerumputan hijau berbaik hati meredam suaranya. Dengan cermat, diikutinya lesatan panah itu hingga ia berakhir di sebuah papan bundar di tengah halaman."Lumayan, kau sudah bisa mengunci target." Ramia mengangkat tangannya, menghalau sinar matahari sore yang menyilaukan pandangan. Pemuda itu berbalik dan menatap sosok di dekatnya, "Sekarang sudah sore, latihan hari ini cukup sampai di sini. Jujur saja tidak kusangka kau cukup handal. Jika kau menjaga performa tetap seperti ini, aku yakin kau pasti bisa menjadi yang terbaik di evaluasi bulanan."Zhura mengibaskan rambutnya ke belakang punggung, sebelumnya itu berantakan karena turut terseret lontaran anak panahnya. Ia mulai memikirkan sebu
Zhura merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Helaan napasnya terdengar ketika otot-ototnya yang dipaksa bekerja seharian akhirnya bisa melemas. Bahkan saat suasana malam begitu pas untuk terlelap, nyatanya ia masih belum memejamkan mata. Dipandanginya langit-langit kamar yang mengkilap dengan mata nyalang, jauh lebih lekat, bayangan tentang apa saja yang ia lalui hari ini tergambar di sana. Latihan panah yang melelahkan, cerita masa lalu kelam Ramia, dan sebuah fakta lain tentang Azhara yang tak pernah Zhura kira sebelumnya."Hati yang mati adalah hati yang tidak lagi dimiliki oleh sang pemilik, seseorang yang memilikinya harus hidup tanpa merasakan segala macam perasaan duniawi." Bibir Zhura mengerucut ketika dirinya teringat perkataan Ramia. Sebuah dengkusan lolos tak lama setelahnya, dengan perasaan campur aduk Zhura memukul kasurnya. Ini tentang bagaimana kepalanya yang tidak berhenti memikirkan hal-hal yang tidak ingin ia bayangkan. Bagaimana ia bisa menjadi segila ini hanya k
Brengsek!Bibir Zhura yang tertutup rapat mengirimkan sumpah serapah pada Azhara. Tidak masalah, jika pemuda itu tidak bersedia membantunya, Zhura akan temukan cara lain untuk datang ke perjamuan. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda tapi dia sudah tak tahan berdampingan dengan gurunya. Gadis itu pun mengatur laju jantungnya yang menggebu untuk membuang emosi. Ia melihat kandang Rou-rou yang digantung di sudut ruangan bergoyang saat angin bertiup kencang."Ini sudah sangat larut, kenapa kau belum tidur dan malah berdiri di luar seperti tadi?" tanyanya mencari topik lain untuk mengisi keheningan.Tanpa mengatakan apapun, Azhara mengusap pinggiran cangkir tehnya. Tampaknya ia sedang memperbaiki suasana hati. Zhura pun memperhatikan sosok di depannya. Sepertinya Ramia pernah bilang bahwa Azhara kerap terbangun di malam hari karena dihantui seorang gadis di mimpinya yang terjadi berulang kali."Mimpi buruk itu datang lagi, jadi kau tidak ingin kembali tidur. Aku benar, 'kan?" tan
Pagi itu, Zhura membuka pejaman mata ketika sinar matahari menembus ke balik kelopaknya. Ia mengangkat sebelah tangan ke atas untuk menghalau silau. Tak lagi ada harapan untuk kembali terlelap, gadis itu memutuskan bangkit dan mengambil kesadarannya. Zhura mematung memperhatikan selimut putih yang membungkus separuh badannya. Dilihat dari segi apapun, itu bukan selimut yang biasa menemaninya tidur. Dengan wajah panik segera ia berdiri dan menemukan kenyataan bahwa kamar tidur ini bukanlah kamarnya."Di mana aku?!"Ditatapnya penjuru ruangan kamar yang luasnya hingga puluhan meter tersebut. Kemudian kilasan kejadian kemarin mulai tergapai dan menimbulkan keheranan di batin Zhura. Bagaimana bisa ia berakhir di dalam kamar, sedangkan ruang baca Azhara adalah tempat terakhir yang ia lihat sebelum jatuh tertidur. Fakta bahwa ia hanya bersama dengan gurunya itu menamparnya telak. Apakah Zhura sungguh berjalan sendiri atau Azhara yang membawanya ke kamar ini? Sungguh pagi yang menyenangkan,
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun