"Kau sungguhan?"Bahkan saat ia sudah mendengarnya dengan jelas, Zhura tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Azhara menggigit bibir, diam-diam menahan rasa sakit yang sejak tadi terus menggerogotinya. Sebuah anggukan ia hantarkan pada gadis itu ketika suhu udara yang menggigit tiba-tiba berubah panas. Perubahan yang drastis itu segera disadari oleh mereka berdua. Zhura dan Azhara pun bangkit, menatap ke arah hawa membakar itu terasa."Mereka datang?!" tanya Zhura gusar.Segerombol pasukan mendekat ke pemukiman suku Wiyyam. Api yang dinyalakan di obor sebagai penerangan mereka membuat hutan terang benderang. Hewan-hewan di pohon yang terusik berlarian menjauh, kesunyian yang tentram seketika hilang. Azhara menajamkan pendengarannya. Pasukan itu berjumlah ratusan, terlalu besar untuk pasukan yang ditugaskan menangkap dua orang yang kabur."Aku akan mengatasi ini, kau pergilah dan evakuasi warga. Sembunyikan diri kalian di sisi selatan bukit," tutur Azhara lalu berniat pergi, ta
"Kau cukup tangguh tapi di sinilah saatnya untuk kau berhenti. Kami akan membawamu pada Sacia dan kebebasan dunia pun akan datang!""Apa maksudmu?" Zhura meringis saat punggungnya terasa nyeri. Orang-orang Shar itu sungguh tidak memberinya celah untuk kabur."Kau tidak perlu tahu. Jika saja kau menyerah sejak awal, orang-orang tak berdosa ini tidak akan mati. Tapi kau memilih terus lari, dan inilah yang kau lihat. Ini semua salahmu!" Sosok itu menjambak rambut Zhura untuk memperlihatkan padanya pemandangan padang rumput yang kini berkubang darah. Ia melihat Kakek Maral tergeletak di kejauhan dengan anak panah yang menancap di perutnya, dia mati."Biadap." Air mata keputusasaan menuruni sisi wajahnya dan meresap ke rumput. Azhara tengah memberikan perlawanan sengit pada orang-orang bertudung yang menyerangnya. Puluhan anak panah sudah tertanam di tubuhnya yang tak mempunyai waktu untuk menghindar. Mengesampingkan keadaannya yang telah sampai pada ambang batas pertahanan, pemuda itu te
Inara mengerjap, langit-langit kamar tempatnya bernaung entah bagaimana sangat asing. Menyanggupi rasa hausnya akan jawaban, ia pun menggulirkan pandangan lebih lanjut dan terkesiap saat menemukan Aryana tengah sibuk mengupas apel. Sepertinya ada banyak hal yang ia pikirkan hingga pemuda itu tidak menyadari kalau gadis di hadapannya sudah sadar.Inara memperbaiki posisinya menjadi duduk, lalu berdehem.Aryana yang mendengar itu pun mendongak. Ia tanpa sadar mengulas senyuman lega, "Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?""Saya sedikit pusing." Inara yang masih lemas teringat kejadian demi kejadian kemarin. Memori itu lekas saja membuatnya teringat akan mantra peledak yang dipasang orang-orang Shar. Ia meraba punggungnya dengan sebelah lengan. Ada sedikit rasa sakit yang terasa, tapi tidak sekuat sebelumnya. Rasanya lebih ringan seakan tidak ada lagi segel apapun di sana."Jika kau penasaran soal peledak itu, aku sudah mengeluarkannya. Kau bisa tenang." Aryana menyodorkan apel yang tel
Kekacauan yang sebelumnya pecah sudah sepenuhnya padam. Entah istri yang kehilangan suaminya atau anak yang kehilangan ayahnya, mereka yang selamat dari pertempuran semalam meratap kepergian keluarga mereka yang gugur. Keadaan padang rumput terasa pilu, penyerangan pasukan Shar sungguh meninggalkan trauma yang berat di setiap orang. Begitu juga dengan Zhura. Seiring hatinya yang menggelap, gadis itu semakin menundukkan kepalanya.Bahkan meski ia telah bersembunyi jauh di hutan, dirinya tetap tak sanggup menahan hawa kepedihan yang menyebar ke sekitar. Saat ini ia berada di tenda darurat yang ia buat seadanya untuk bernaung. Di sisinya Azhara masih belum sadarkan diri. Terkadang Zhura akan mengusap kulit dingin pemuda itu dengan air hangat. Ia bahkan sudah menggunakan seluruh cadangan pakaiannya untuk menyelimuti Azhara, tapi suhu rendah tetap saja bersarang di tubuhnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat.Zhura memutuskan untuk memeriksanya, betapa terkejutnya ia saat menemukan Yar
"Syukurlah, Anda terlihat lebih baik."Azhara menganggukkan kepalanya merespon ucapan Nenek Manira. Meskipun berwajah kaku, Azhara tidak lagi menundukkan kepalanya yang kini tidak dibungkus selendang. Ia seperti sudah pasrah pada siapapun yang melihat penampilannya. Senyum ramah sekaligus canggung terpatri di wajah nenek tua yang berdiri di hadapannya. Semua orang datang mengantarkan mereka, beberapa di antaranya sangat hangat sementara sisanya masih ragu dan takut karena mengingat kejadian kemarin."Kami tidak akan pernah melupakan kalian." Zhura berujar seraya tersenyum haru. "Tinggal bersama kalian terasa sangat menyenangkan. Hari demi hari terlewat mengajarkan saya pengalaman berharga tentang arti pentingnya keluarga. Saya sangat menyayangi kalian semua.""Karena kau adalah gadis suci, kau akan pergi ke dataran terkutuk itu seperti Ra. Bagaimana jika kau tidak kembali sepertinya? Aku tidak mau kehilanganmu, Kak!" Yara memeluk Zhura dengan erat seakan tak ingin melepas kepergiannya
"Benarkah ini tempat yang dimaksud Nenek Manira?"Zhura memeriksa alamat yang tertera di kertas, ia yakin ini adalah tempat yang cocok dengan alamatnya. Azhara yang masih belum mau membuka suara, kini memilih berdiam diri di belakangnya. Tak menunggu lama, Zhura langsung saja membuka pintu masuk. Yah, sepertinya Sanguina mulai beralih profesi sebagai pedagang karena seperti yang terlihat, tempat mereka berdiri sekarang adalah toko. Wajar saja, catatan yang ditulis di buku catatan Kakek Maral terjadi hampir sepuluh tahun lalu. Sebelum melangkah lebih jauh, ia sempatkan untuk melihat ke pasar di depan toko. Sama seperti pasar yang biasa Zhura temui, banyak penjual menggelar dagangannya di meja atau karpet. Orang-orang berseliweran dari berbagai ras, kesibukan menyeruak di sana. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pasar di alun-alun dekat istana, pasar di hadapan Zhura sekarang terlihat lebih unik. Gadis itu mengernyitkan kening, tidak ada satu pun manusia murni yang melintasi jalanan
Tak adanya ketersediaan waktu untuk menghindar, memaksa Zhura untuk menunduk, bersiap menerima apapun yang dia layangkan. Kedua lengannya naik melindungi kepala saat Azhara ternyata sigap menangkap pergelangan tangan wanita itu, mengarahkan serangannya ke rak-rak di belakang.Brak!Zhura merasakan hempasan angin kencang saat cahaya merah itu menghantam rak-rak tersebut. Ketika ia menatapnya, rak-rak kayu itu sudah hancur dengan sisa percikan berwarna merah. Barang-barang yang diletakkan di dalam benda itu pun luluh lantah. Ia bergidik membayangkan bagaimana jika cahaya tadi mengenai kepalanya. Sanguina yang terkejut karena serangannya dialihkan, kini melebarkan matanya ke arah Azhara. Mata Sanguina melebar dua kali lipat karena murka."Siapa kau?! Siapa yang beraninya mengendalikan sihir milikku?!"Azhara yang tak tertarik mengarungi pergolakan situasi, membuka tudungnya dengan malas."Kau ... Putera Amarhaz?!" Sanguina yang melihat sosok pemuda itu terlonjak menutup mulut seraya mund
"Sisik siren, duri mawar pelangi, air mata musang putih, serbuk peri hutan kabut, irisan lidah buaya rawa.""Kuharap itu bukan lidah buaya rawa sungguhan," ujar Zhura menatap wanita bergamis putih yang kini sibuk memasukkan bahan-bahan aneh ke dalam kuali berbahan perunggu di depannya. Sudah beberapa jam sejak ia membuat penawar itu, tapi proses pemasakannya belum juga selesai. Di tengah keheningan, Sanguina menggerakkan bibirnya seolah-olah menggumamkan mantra. Dalam sekejap kemudian cahaya putih berpijar dari telapak tangannya.Racikan di dalam kuali bergemelutuk. Ruangan seluas empat kali empat meter, tempat khusus bagi Sanguina untuk membuat racikan penawar pun seketika menjadi terang benderang. "Tinggal satu lagi!" Sesaat cahaya putih itu meremang, ketika Sanguina mengulurkan tangannya, tanpa aba-aba wanita itu mencabut satu helai rambut Zhura. Gadis itu sontak saja merintih seraya mengusap kulit kepalanya yang terasa nyeri."Bahan terakhir! Rambut kepala," ujar Sanguina mengambi
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun