The Coven
Turta (Bagian Dua)
Hei, para pembaca sekalian. Akhirnya kita berjumpa lagi. Biar kuingatkan kembali mengenai kisah yang berjalan ini. Kita tahu bahwa Dannies dibawa pergi oleh keluarga Mr. Vaughan dari panti asuhan itu bukan? Kupikir gadis itu akan lebih bahagia di sana, nyatanya tidak seperti itu. Baiklah, kita akan melihat ke kediaman keluarga baru Dannies.
Sudah tiga hari Dannies tinggal di rumah mewah itu. Orang tua barunya memperlakukannya dengan baik. Bahkan ibunya, dia sangat memanjakan Dannies. Perlahan Dannies mulai terbiasa dengan keadaan di rumah besar itu bersama keluarga barunya. Tapi hati kecilnya merindukan suasana panti yang ramai. Tentu saja ada dua sosok yang paling dia rindukan, Helyna dan Helea.
“Dannies sayang, kau belum tidur?” wanita cantik yang kini menjadi ibu bagi Dannies itu terkejut melihat gadis berkacamata itu masih duduk bersandar di ranjang. Kedua matanya terbuka lebar, menandakan dia belum mengantuk.
Dannies menoleh ke arah Ms. Vaughan. “Mom, aku belum mengantuk.”
“Apa ada yang menganggumu, sayang?” tanya wanita itu yang kini duduk di ranjang Dannies.
“Aku hanya ... merindukan saudara-saudaraku yang lain di panti, Mom,” sahut Dannies pelan.
Ms. Vaughan mengusap lembut kepala Dannies. “Kau akan terbiasa.”
“Mom, can you do something for me?” pinta Dannies.
Ms. Vaughan tersenyum tipis lalu mengangguk.
“Pray for me before i sleep, can you?”
Wanita itu sekali lagi mengusap kapala Dannies. “I hope my daughter be a succsess people in the future.”
Awalnya Dannies tersenyum, detik berikutnya senyum itu menghilang. Rasanya ada yang berbeda bagi Dannies. Itu memang sebuah doa, tapi bukan doa yang biasa diucapkan kakaknya untuknya. Entahlah, Dannies justru kurang nyaman dengan doa itu.
***Helyna berdiri mematung di depan jendela. Matanya melihat langit gelap, tak ada bintang maupun bulan yang menghiasi langit malam. Tatapannya kosong, seperti kehilangan sesuatu di dalam dirinya.
“Lyn, ayolah, sampai kapan kau akan berdiri di dekat jendela seperti itu?” Helea yang sedari tadi mengamati adiknya itu menggelengkan kepala pelan melihat tingkahnya.
“Langitnya sepi.”
Helea mendekati Helyna lalu mengerutkan kening. “Ya terus kenapa?”
“Seolah menggambarkan keadaan di sini, sepi, tidak Dannies di sini.”
Helea mematung mendengar ucapan barusan. Mendadak dia teringat adiknya itu. Sudah beberapa hari ini dia tidak melihat batang hidungnya, membacakan doa untuknya sebelum tidur, seperti yang sering dia lakukan.
“I wanna check on her in the morning,” gumam Helea, “Lyn, sebaiknya kau tidur, besok pagi bantu aku membereskan meja makan, jangan bangun kesiangan, jangan kabur ke halamamb elakang.”
Helyna memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya bejalan ke ranjangnya. “Mother earth, please meet me with her,” ucap Helyna pelan sebelum membaringkan tubuhnya di atas ranjang umpuk.
Well, tak hanya Helea yang berdoa untuk dipertemukan lagi dengan gadis yang kini memiliki keluarga baru. Bahkan Helyna melakukan hal yang sama. Apa doa dua gadis ini akan didengar oleh Bunda Alam dan dikabulkan?
***Paginya, Helea bangun lebih pagi. Dia tak berniat membangunkan Helyna dan adik-adiknya yang lain karena langit masih gelap. Dia melangkah turun dari ranjang, berjalan pelan keluar dari kamar. Langkahnya sebisa mungkin tak menimbulkan suara agar tidak menganggu penghuni lainnya. Kira-kira Helea ingin melakukan apa ya?
Gadis itu akhirnya sampai di ruang baca. Di sana terdapat cermin tua yang dipasang di dinding. Cermin itu milik adiknya, Helyna. Sengaja diletakkan di sana agar tak ada yang curiga kalau cermin itu sebenarnya adalah cermin ajaib. Oh, apa aku bilang ajaib? Ya, memang ajaib. Hanya Helyna dan Helea yang bisa menggunakan cermin tua itu karena mereka adalah penyihir.
Cermin itu mulai memunculkan sosok Dannies yang sedang tidur meringkuk di atas ranjang empuk. Selimut menutupi sampai bagian lehernya. Napasnya terdengar pelan dan tenang, sepertinya dia tidur dengan nyenyak.Helea memiringkan kepalanya. Melihat adiknya itu bisa tidur dengan nyenyak membuatnya sedikit lega.
“Kau tidak mengajakku untuk melihat keadaan dia? Teganya kau ini,” ucap Helyna yang tiba-tiba muncul di belakang Helea.
“Kau bangun lebih pagi dari biasanya, huh. Tumben,” komentar Helea. Tentu saja Helea hafal kalau adiknya ini tidak mau repot-repot bangun pagi untuk membantunya. Helyna lebih suka bermain di dekat waduk di dekat panti asuhan. Benar kan, Lyn?
“Setelah tahu Dannies baik-baik saja, aku berniat ke waduk kalau begitu.” Helyna membalikan badan, hendak meninggalkan ruangan penuh buku itu.
Helea buru-buru bangkit lalu menagan langkah Helyna dengan meraih tangannya. “Enak saja, bantu aku menyiapkan sarapan, ayo!”
Helyna yang malang, pupus sudah harapannya untuk pergi ke waduk untuk menghibur dirinya. Helea menyeretnya pergi ke dapur untuk membantunya.
Sarapan akhirnya siap di atas meja makan. Dua penyihir, oh maksudku kakak beradik itu selesai membuat sarapan lebih cepat karena mereka bangun terlalu pagi. Bahkan pengasuh panti terkejut melihat dua gadis itu bekerja sepagi itu. Baik Helea dan Helyna tak mempermaasalahkan hal itu.
Meja makan ramai dengan obrolan tidak penting penghuni rumah sederhana ini. Tentu saja suasana ini menjadi pemandangan sehari-hari, mengingat rumah ini adalah tempat berkumpulnya anak-anak yang memiliki nasib yang sama, tidak memiliki orang tua. Helea dan Helyba tak berniat berlama-lama menghabiskan waktu di meja makan. Bagi mereka, masih banyak yang harus mereka lakukan. Helea misalnya, membantu pengasuh panti mencuci pakaian. Berbeda lagi dengan Helyna yang sibuk dengan eksperimen ramuan ajaibnya.
“Helea tunggu,” sebuah suara membuat langkah Helea berhenti. Helyna yang sejajar dengan Helea pun ikut menghentikan langkah. Mereka melhat Ms. Chamila melangkah mendekati mereka.
“Ada apa Ms?” tanya Helea sopan.
“Kau diminta menemui Ms. Veronica di ruangannya,” ucap salah satu pengasuh panti itu yang kemudian berlalu.
Helea menatap Helyna. Gadis yang ditatap hanya mengangkat bahu sebagai respond.
“Semoga kau tidak dalam masalah, Lea,” ucap Helyna yang kemudian melesat pergi meninggalkan Helea yang kesal karena ucapannya barusan.
***Helyna menatap tumpukan baju yang sudah rapi di dalam kopernya. Tentu saja dia tidak mengerjakannya sendiri, Helea membantunya. Tatapannya kosong, tak bersemangat, entahlah, aku pun tak bisa mendeskripsikannya. Kalian tahu kan, Helyna tak pernah sedih, kecuali hari di mana Dannies dibawa oleh keluarga barunya.
“Lyn, ayolah, jangan murung begitu. Kau akan memiliki keluarga baru, berbahagialah,” ucap Helea seraya menepuk pundak adiknya itu pelan.
Helyna membalas, dirinya masih mematung dengan tatapan kosong itu. Oh, jangan seperti itu, aku tak tega menceritakan itu pada para pembaca, Helyna.
“Apa iya aku akan meninggalkan panti asuhan ini, Lea? Tempat ini adalah rumahku,” ucap Helyna pelan. Terlihat kalau dirinya enggan meninggalkan bangunan tempat dia singgah saat ini.
“Ayolah Lyn, tidak biasanya kau sedih begitu. Harusnya kau bahagia. Pasti Bunda Alam sudah memilihkan keluarga yang terbaik untukmu.”
Helyna awalnya tidak berpikiran demikian, dia ingin menolak keluarga yang hendak mengadopsinya itu. Tapi dia menghorhamti Ms. Veronica, akhinya hanya menurut saja. Pertama dia berpisah dengan Dannies, sekarang dia akan berpisah dengan seluruh penghuni panti. Helyna menggelengkan kepalanya pelan.
“Ngomong-ngomong, keluarga yang mengadopsimu itu, kalau tidak salah dengar memiliki sebuah toko kue di kota, ya?” Helea mencoba mencairkan suasana yang canggung itu.
Gadis yang diajak bicara itu menatap Helea sebentar lalu beralih ke pemandangan di luar jendela. “Benar, toko di kota. Sepertinya aku akan sibuk.”
“Jangan khawatir, aku akan menggunakan cerminmu untuk menghunungimu. Atau kau ingin membawa cermin itu?” tanya Helea.
Helyna terdiam sesaat. Dia memejamkan mata untuk beberapa detik lalu membukanya lagi. Senyum tipis mulai terbentuk di wajahnya. “Tidak perlu, biarkan cermin itu di panti ini. Aku akan kembali, pasti. Tidak hanya aku, tapi Dannies juga.”
Helea memutar bola matanya dengan malas. “Kau melantur atau apa?”
“Aku tidak bohong, Bunda Alam pasti menjawab doaku dan doamu, supaya kita bertiga dipersatukan dan tidak akan berpisah lagi!” seru Helyna.
Helea menghela napas panjang. “Baik baik ... sudahlah. Keluargamu akan menjemput sore nanti, coba periksa barangmu, apa ada yang tertinggal?”
Helyna tampaknya tak peduli dengan barang-barang yang ada di dalam koper. Dia langsung menutup koper itu tanpa memeriksa isinya. Diletakannya koper itu di belakang pintu lalu dia duduk di atas ranjang.
“Apa Dannies merindukanku, ya?” gumam Helyna tiba-tiba. Kedua bola matanya yang hitam itu berkaca-kaca. Semoga tidak ada tetes air mata keluar dari kelopak mata itu. Oh tidak, tetes air mata itu sungguh keluar. Perlahan mengalir ke pipi putih pucatnya itu hingga jatuh ke pundaknya.
Helea yang menyadari ini tak tinggal diam. Dia buru-buru menyentil kening Helyna. “Sejak kapan kau jadi cengeng, huh? Sudahlah, sebaiknya kau bersiap sambil menunggu sore tiba.”
Kedua gadis itu menghabiskan waktu dengan pikiran mereka masing-masing. Aku tak mengerti apa yang dipikirkan kedua gadis penyihir itu. Jika aku memaksa menembus kepala mereka, bisa-bisa mereka menghajarku dengan spell mematikan.
***Pandangan Helyna menyapu bersih keadaan di sekitarnya. Kini dia berada di dalam sebuah toko kue yang mengeleuarkan aroma khas kue. Helyna mengamati satu persatu kue yang terletak di etalase. Ada kue tart, roti, bolu, brownies, dan berbagai jenis kue lainnya. Satu jenis kue yang menarik perhatian Helyna adalah kue dengan gula beku di atasnya. Kue itu dikenal dengan nama cupcake.
“Aku yakin Dannies akan menyukai kue itu,” ucap Helyna sambil berjalan mendekati cupcake dengan gula beku berwarna pelangi itu.
Ayah angkat Helyna membiarkan anak angkatnya itu memperhatikan seisi toko. Tiba-tiba ponsel yang ada di saku pria berusia empat puluhan itu berdering. Dia segera mengangkat panggilan mendadak itu lalu melangkah ke dalam kamarnya yang ada di bagian belakang.
Helyna yang penasaran mengekor di belakang pria itu. Oh Helyna, kau memang bandel ya. Bersyukurlah tidak ada Helea di sana, atau kau akan tekena omelannya lagi.
“Ya Pak, aku sudah mendapatkan gadis yang kujanjikan. Kupastikan dia akan memuaskanmu, aku berharap dia berharga tinggi,” ucap pria berkumis yang tak lain adalah ayah angkat Helyna.
Helyna mengerutkan kening. “Harga tinggi?” gumam Helyna pelan.
“Datanglah ke tokoku malam ini, aku akan menyerahkan gadis muda ini padamu. Dia cantik, kau tak akan kecewa. Kau bisa menjadikan gadis penghibur di klub malammu,” lanjut pria itu.
Merasa kalau yang dibicarakan ayah angkatnya itu adalah dirinya, Helyna tersenyum lebar. “Waw, Tuan, kau berurusan dengan penyihir di sini.” Helyna melangkah menjauhi pintu kamar ayah angkatnya. Di dalam kepalanya muncul rencana jahat untuk memberskan ayah-bukan, pria berkumis beserta rekannya itu.
Sekitar satu jam kemudian, rekan pria berkumis alias ayah dari Helyna itu datang juga. Si gadis penyihir tersenyum lebar, menmembunyikan niat buruknya. Helyna mendadak menjadi iblis berkulit manusia, berparas cantik, dan menggoda.
Ayah Helyna mempersilahkan tamunya untuk duduk. “Helyna, tolong siapkan dua cangkir kopi,” pinta pria berkumis itu.
Helyna mengangguk. “Baik Ayah.”
Sekitar lima belas menit kemudian, Helyna kembali membawa dua cangkir kopi hitam. Perasaanku mengatakan kopi itu akan menjadi malapetaka bagi dua manusia yang kini menghisap rokok mereka. Bau asap rokok itu seketika memenuhi ruangan, pastinya akan menganggu indra penciuman siapapun yang menghirupnya. Tapi itu bukan masalah bagi si gadis penyihir.
“Oh, jadi gadis ini yang kau tawarkan padaku?” pria beralis tebal serta bertubuh jangkung yang duduk di hadapan ayah Helyna itu menatap Helyna dari atas hingga bawah. Ssaat kemudian dia mengusap dagunya. Matanya mengamati Helyna dengan sangat jeli, seolah sedang mengamati sebuah perhiasan di depannya.
“Maaf Tuan, kopinya silahkan diminum,” ucap Helyna sopan.
Pria jangkung itu pun mengangkat gelas kopinya bersamaan dengan pria berkumis di depannya. Helyna tersenyum lebar sebelum membalikkan badan untuk meninggalkan mereka berdua.
‘Bunda, maafkan aku karena menyakiti orang. Aku akan terima karmamu, aku lakukan ini karena dua manusia itu memang pantas,’ ucap Helyna dalam hati.
Baru dua langkah, Helyna mendengar gelas pecah di belakangnya. Disusul dengan kaca pecah, suara mengunyah seseorang yang terdengar rakus dan menjijikkan. Helyna menoleh sedikit kebelakang. Yang dia lihat adalah dua manusia kelaparan. Mereka memborong kue-kue yang ada di etalase toko.
“Makanlah kalian hingga tak ada yang bisa dimakan di tempat ini. Kalian akan mati kelaparan atau terbunuh karena yang kalian makan sendiri,” gumam Helyna yang kemudian tertawa kecil.
Begitu Helyna berada di luar toko, mendadak langkahnya terhenti. Jantungnya berdebar kencang, napasya tak beraturan. Helyna jatuh berlutut, keringat dingin membanjiri keningnya. Dia menahan gejolak yang ada di dalam dirinya. Sebenarnya dia sendiri juga tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Butuh beberapa detik sebelum dirinya kembali tenang. Akhirnya gadis penyihir itu bisa berdiri dengan kedua kakinya.
“Hanya ada satu alasan mengapa aku bisa begini. Sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi.” Helyna berlari secepat yang dia bisa meninggalkan tokko. Dia menyusuri jalan yang sepi. Berbelok ke kanan, lurus, ke kiri dan seterusnya. Dia pergi ke kediaman Mr. Vaughan rupanya. Tapi untuk apa?
***Dannies yang berada di lantai dasar mendengar keributan di lantai dua. Lebih tepatnya di kamar kedua orang tuanya. Sudah biasa dia mendengar keributan di kamar itu, hingga dia mulai terbiasa dengan suasana itu. Dannies tahu keributan itu adalah pertengkaran Ms. Dan Mr. Vaughan. Dia sudah sering melihat kedua orang tua angkatnya itu bertengkar. Apalagi belakangan ini, Mr. Vaughan membawa seorang wanita muda ke rumah.
“Sepertinya Nona Rose tidak akan datang ke rumah malam ini. Syukurlah, aku harap aku bisa tidur dengan nyenyak malam ini,” ucap Dannies yang sedang duduk di sofa di ruang tengah.
Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu rumah yang membuyarkan lamunannya. Dannies heram, siapa tamu yang repot-repot datang pada malam hari seperi ini? Oh, jangan wanita muda itu lagi yang datang. Jujur saja Dannies tak ingin menyambutnya ramah. Tapi dia tetap berjalan ke pintu utama untuk membukanya.
“Apa ayahmu di dalam?” sosok wanita muda berambut pirang dengan wajah cantik penuh make up berdiri di hadapan Dannies.
Wanita ini yang tak ingin disambut Dannies. Tapi sekarang dia malah berdiri di depannya. Bagaimana Dannies tidak dongkol karenanya?
“Iya ada, Nona. Di lantai atas,” jawab Dannies singkat.
Wanita muda yang dipanggil Dannies Nona Rose itu menyingkirkan Dannies dari depan pintu dengan mendorongnya ke samping. Dengan sangat tidak sopan dia menyelonong masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya cepat menaiki anak tangga putih pergi ke lantai dua. Dia pasti ingin menemui ayah angkat Dannies.
Dannies membuang muka setelah menerima perlakuan tak sopan itu. Dia tak berniat menyusul nona menyebalkan itu, lebih memilih menghabiskan waktu di kamarnya. Beberapa buku novel tentang penyihir akan membuat suasana hatinya membaik. Biasanya Helyna yang akan menceritakan cerita tentang penyihir, dia tidak perlu membaca buku karena Helynalah bukunya.
Lima belas menit berlalu, Dannies mulai merasakan kedua matanya berat. Dia menutup novel yang dibacanya. Tinggal separuh halaman lagi. Mungkin besok dia akan menyelesaikan novel itu jika dia tidak pergi ke mana-mana.
Telinganya mendengar suara teriakan yang berasal dari lantai atas. Mendadak Dannies yang tidak peduli menjadi khawatir. Dia tahu suara teriakan itu adalah suara ibunya. Imajinasinya bermain, membayangkan hal-hal mengerikan yang sedang terjadi di lantai atas. Merasa tak bisa membiarkan hal itu, Dannies bergegas keluar dari kamarnya dan pergi ke lantai dua.
Kebetulan pintu kamar kedua orang tuanya terbuka lebar. Dannies langsung masuk ke dalam tanpa memperdulikan etika sopan santun yang diajarkan ibunya padanya. Matanya melebar melihat Mr. Vaughan yang melempar benda tumpul ke arah ibunya. Ms. Vaughan tampak ketakutan, dia tak bisa menghindar atau bergerak dari posisinya. Nona Rose terdiam di pojok ruangan, menonton aksi kekerasan itu.
Mata Dannies tertuju pada dua botol alkohol. Barulah dia mengerti asal bau alkohol yang mengganggu hidungnya berasal dari dua botol itu.
“Kurasa ayah mulai kehilangan akalnya,” gumam Dannies. Matanya tertuju pada Mr. Vaughan yang sedari tadi mencoba mencelakai istrinya sendiri.
Tak disangka, Mr. Vaughan membenturkan kepala istirnya sendiri ke dinding beberapa kali membuat darah mengucur deras. Ms. Vaughan tak bisa bertindak banyak selain berteriak dengan merintih kesakitan. Sebenarnya Dannies ingin menolong ibunya tapi tidak punya keberanian melihat ayahnya bersiap seperti itu. Sedangkan Nona Rose, dia menatap pria itu penuh ketakutan.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Ms. Vaughan tak tertolong. Sialnya, pria itu tak berhenti sampai di sana. Dia beralih ke arah Nona Rose, hendak melakukan kekerasan seperti yang dia lakukan pada istrinya. Nona Rose tidak tinggal diam. Dia meraih benda apapun yang dapat diraihnya lalu melemparkannya ke kepala pria yang hilang akal itu. Begitu sebuah vas bunga mengenai kepala Mr. Vaughan, itu cukup membuat pria itu tumbang ke lantai.
“Oh my god!” Nona Rose berseru melihat pria tumbang di hadapannya. Kini tatapannya tertuju pada Dannies.”Kau melihat semuanya, kan?”
Dannies menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sepertinya situasinya sedang tidak bagus. Dannies segera membalikkan badan lalu meninggalkan ruangan itu. Dannies mendengar suara langkah tak jauh dari belakangnya. Dia yakin wanita muda itu mengejarnya. Jantung Dannies berdebar, napasnya pun menjadi pendek. Panik, itu yang dia rasakan sekarang.
Setelah berhasil menuruni anak tangga, Dannies membalikkan badannya. Dilihatnya Nona Rose menuruni anak tangga dengan cepat. Tapi tiba-tiba saja, sesuatu yang ganjil terjadi. Dannies melihat sesuatu seperti akar mencuat keluar dari anak tangga yang sedang dipijak oleh Nona Rose lalu melilit pergelangan kakinya. Wanita muda ittu ambruk dan berguling menuruni anak tangga. Dengan cepat Dannies berlari menjaga jarak dengan wanita muda itu.
Mulut Dannies membentuk huruf o dengan sempurna. Matanya melebar melihat sosok Nona Rose yang kini telungkup di tengah lantai dasar. Detik berikutnya, lampu gantung mewah yang berada di langit-langit terjun bebas hingga menghantam kepala wanita muda itu. Mengenaskan, darahnya menggenang membasahi lantai putih itu.
“Bagaimana bisa?” Dannies heram dengan apa yang dia lihat. Mulai dari akar yang muncul tiba-tiiba sampai lampu gantung yang terjun bebas.
“Dannies! Syukurlah aku tepat waktu!”
Dannies menoleh ke arah suara yang menyerukan namanya. Dia melihat gadis pendek dengan rambut terurai yang mengenakan pakaian seperti pelayan sebuah toko. Dannies tentu mengenal siapa gadis itu. Gadis itu tak lain dan tak bukan adalah ....
“Lyn? Apa yang kau lakukandi sini?”
“Menyelematkanmu. Syukurlah wanita itu belum menyentuhmu.” Helyna berdiri di samping Dannies lalu menatap tubuh Nona Rose yang tak lagi bernyawa. “Mengenaskan.”
“Kau yang melakukan itu?” Dannies menunjuk akar yang muncul di salah satu anak tangga.
“Benar.”
“Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?”
Helyna berpikir sejenak. “Menolongmu?”
“Kau membunuh wanita itu! Bagaimana bisa kau bertindak sejauh itu?” suara Dannies meninggi.
“Dia mencoba menyakitimu, aku tak bisa biarkan itu,” jelas Helyna tenang dan santai SANTAI, huh? Bahkan dia tidak merasa bersalah karena membunuh orang.
“Iya aku tahu ... tapi ....” Dannies menatap mayat Nona Rose. Beberapa detik kemudian dia menggelengkan keaplanya. “Lupakan. Kenapa kau ada di sini? Kau kabur dari panti?”
Helyna memasang senyum misterius di wajahnya. “Bukan, ceritanya panjang. Akan kuceritakan di perjalanan, sebaiknya kita pergi sekarang.”
“Ke mana?” tanya Dannies bingung.
“Ke rumah kita, panti asuhan.”
***Well, sungguh banyak tragedi tak menyenangkan di episode kali ini. Jangan khawatir, ini baru permulaaannya saja. Aku harap kau tidak berhenti di sini. Cerita ini masih akan terus berlanjut. Aku sebagai pendongegng di sini tidak akan memberimu banyak bocoran. Tapi yang pasti, episode berikutnya akan lebih seru.
The CovenKaliga (Bagian Tiga)Pada episode kali ini aku tak akan banyak berbasa-basi. Aku yakin kalian sudah tidak sabar mengikuti episode kali ini. Sekilas kuingatkan tentang episode lalu. Helyna mendatangi kediaman keluarga Dannies setelah membereskan keluarganya sendiri. Helyna mengajak Dannies untuk pergi dari kediamannya, pulang ke panti asuhan. Sepertinya Bunda Alam memang menghendaki mereka pulang ke panti asuhan.Mereka sampai di panti asuhan pukul tiga pagi. Siapa yang akan membukakan mereka pintu di waktu seperti itu? Padahal mereka berdua sangat kelelahan karena menempuh perjalanan cukup jauh dengan berjalan kaki dan berlari. Sesekali mereka beristirahat di trotoar jalan yang sepi. Sialnya, tidak ada kendaraan umum yang melintas di sepanjang perjalanan.“Please Lyn, siapa yang sudah bangun pukul tiga pagi begini?” ucap Dannies yang kemudian duduk bersandar di pagar panti asuhan.&ldq
The CovenPorta (Bagian Empat)“Paladin? Paladin apa?” Dannies tak merasa bahwa tiga sosok berpakaian putih serta berjubah itu membahayakan walaupun mereka membawa cambuk. Baginya, cambuk sesuatu yang normal untuk dibawa ke manapun. Bisa saja mereka bertiga penjinak hewan liar, pikir Dannies seperti itu.Helyna menepuk jidatnya. “Aduh, aku belum pernah jelaskan ini ya?”Dannies menggeleng.Dalam hati Dannies, dia heran melihat wajah panik Helyna. Biasanya gadis itu bersikap tenang dan ceria, tiba-tiba menjadi panik serta pucat. Dannies tak memahami situasinya sama sekali, tapi yang pasti situasinya sedang tidak bagus.“Paladin itu, kelompok yang memburu penyihir. Seperti aku dan Lea. Tidak hanya penyihir, bahkan makhluk dengan kemampuan magis lain juga diburu. Mereka menganggap keberadaan kami membahayakan,” jelas Helyna. “Tak kusa
The CovenElidma (Bagian Lima)Oh, sepertinya keadaan bertambah buruk. Beberapa jam setelah Dannies dan ketiga penyihir itu tiba di kabin tua itu, tiga sosok yang mengejar Helea juga sampai di sana. Untungnya ketiga penyihir itu sempat beristirahat dan memulihkan energi mereka. Dannies hanya bisa melongo melihat tiga sosok yang dia lihat di cermin Helyna kini berada di depan matanya.“Kalian pikir kalian bisa lari, huh?” ucap salah satu dari mereka. Sosok paling tinggi serta mengenakan kacamata bundar.“Apa kita harus mealwan?” tanya Helea. “Sebaiknya minta mereka pergi baik-baik.”“Kau bisa coba,” usul Mandy.Helea maju dua langkah dari posisinya semula. “Maaf, tapi kami tidak ingin cari ribut. Bisa kalian pergi dari sini?” terdengar lembut tapi maksudnya tersampaikan dengan jelas. Cara mengusir yang baik dan benar, menurutku.
The CovenInamu (Bagian Enam)Oh wow, kedatangan Momo ke kabin itu membuat suasana menjadi sedikit ramai. Setelah Momo dan Helea bertatap muka di warung kcil itu, Helea memutuskan untuk mengundang Momo ke rumahnya. Sebenarnya Helea mengundangnya juga berniat untuk mendiskusikan ajakan Momo tersebut. Walaupun Helea anak tertua, bukan berarti dia bisa mengambil keputusan seenaknya tanpa berdiskusi terlebih dahulu.“Wah, satu lagi penyihir, kereeen!” seru Dannies. Pandangan berbinar-binar menatap ke arah Momo.Momo balas menatap Dannies lalu tertawa kecil. “Yes Little girl, banyak sihir di luar sana. Apa kau mau melihat lebih banyak?”Helea menggelengkan kepalanya. Dia sudah bisa menebak jawaban Dannies akan sepeerti apa.“MAU MAU MAU!”Yep, seperti tebakan Helea. Hal-hal tentang sihir selalu berhasil membuat Dannies tertarik. Terkad
The CovenGarta (Bagian Tujuh)Panik.Ricuh.Yep, dua kata itu cukup menggambarkan suasana Coven Childern Of Salem untuk saat ini. Setelah Mandy membawa Dannies yang pingsan dan menceritakan kalau adiknya itu tercebur ke danau, seperti inilah suasananya. Mandy malah heran, kenapa para healer dan perawat panik. Bahkan yang non magic seperti Rhena juga ikut panik. Apa gerangan yang membuat mereka panik?“Bagaimana keadaan dia sekarang, Mad?” tanya Rhena setelah Mandy menidurkan Dannies di ruang kesehatan.Mandy memiringkan kepalanya. “Masih belum sadar, tapi dia masih bernapas.”“Benarkah?” Rhena justru tampak kaget. Respond Rhena yang tak biasa ini membuat dahi Mandy berkerut. Bukannya dia harusnya senang karena Dannies masih hidup? Oh tidak, Mandy membaca isi kepala Rhena secepat kilat.“Kau pikir adikku sudah mati, huh? Dia tidak
The CovenErtoz (Bagian Delapan)Baik Dannies maupun Helea, tak menyangka akan menyaksikan pemandangan tak menyenangkan itu. Sudah kubilang mereka terlalu terburu-buru. Jika mereka lebih lambat beberapa menit saja, Delnessie sudah terlepas dari akar mematikan milik Helyna. Yah, walaupun di lehernya terdapat luka, tapi lebih baik daripada melihat pemandangan seperti ini, kan?“Dannies aku ....”Dannies menggeleng. “Ya ya, aku paham. No need to explain, Lyn. Bisa tolong lepaskan dia? Dia meringis, Lyn.” Dannies menatap Delnessie penuh simpati. Dannies tahu walaupun Delnessielah yang membuatnya celaka, namun dia tetap tidak tega melihat keadaan Delnessie yang seperti itu.Helyna mengangguk. Detik berikutnya, akar yang melilit Delnessie itu terlepas dan kembali masuk ke dalam tanah. Delnessie menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor. Delnessie melirik Helyna sinis lalu berjalan menjauhi Helyn
The CovenRha (Bagian Sembilan)Oh baiklah, sampai di mana kita. Ah, aku ingat. Kita sampai pada bagian Delnessie menantang Helyna untuk berduel. Aku sendiri juga heran, apa duel bisa menyelesaikan masalah? Mungkin bagusnya kita menyimak cerita ini supaya mendapatkan penjelasan.“For Loki Sake, kau sudah jelas bersalah, tapi masih mengadukan duel?” Mandy menatap Delnessie geram. Kekesalan tampak jelas di matanya. Bukan, bukan kesal karena Delnessie yang tidak mau mengalah. Melainkan karena janjinya tidak akan cepat lunas kalau Delnessie seperti ini.“Kenapa, Anak Baru? Kau tidak suka? Memang seperti ini aturan di coven ini, tahu,” balas Delnessie seraya melipat tangan di dada. “Mother Coven, aku mohon undur diri untuk duel besok pagi.” Delnessie memberi hormat lalu meninggalkan ruangan.“Ah, sial,” gerutu Mandy.“Monic, bisa kau bawa
The CovenNagda (Bagian Sepuluh)Dannies dan ketiga saudarinya sedang berkumpul di ruangan Helyna dirawat. Kondisi Helyna tidak baik saat ini. Infus terpasang di tangan kirinya, wajahnya pucat, rambutnya acak-acakkan. Yah, walau Helea sudah merapikan rambut adiknya itu tadi. Helyna baru saja mengonsumsi herbal yang diberikan perawat untuknya. Untuk sementara, dia belum bisa menggunakan sihirnya karena chakranya sangat tipis.“Dann, bisa kau berhenti menatapku? Aku risih tahu,” komentar Helyna pada Dannies yang memang sudah menatapnya bermenit-menit yang lalu.“Sorry, aku hanya ingin memastikan kondisimu, Cuma itu,” balas Dannies.Helyna tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, serius.”Helea dan Mandy hanya diam, memperhatikan kedua adik mereka yang asyik berbicang itu. Helea memperhatikan mereka berdua bergantian, begitu juga Mandy. Tampaknya duel hari
The Coven Ertozagza (Delapan Belas) Pagi hari, penghuni coven menjalani rutinitasnya masing-masing. Meja makan sudah ramai dengan anak-anak yang ingin sarapan mengisi perut mereka. Suasana hangat itu selalu menjadi ciri khas di dalam bangunan coven ini. Mereka berkumpul dalam satu atap. Walau tak sedarah, namun memiliki ikatan bagai keluarga.Mandy, Helyna, dan Cat sudah duduk berkumpul di satu meja. Ada yang kurang. Helea dan Dannies tidak bergabung bersama mereka. Belum. Dua anak itu masih belum kelihatan badang hidungnya.“Si anak cengeng itu mana? Belum bangun?” cetus Mandy. Dia sibuk mengoleskan selai pada rotinya.“Tadi aku lihat Helea masuk ke ruangannya. Mungkin mereka sedang bicara empat mata,” jawab Cat. Dia menyantap sup hangat di hadapannya. Sesekali menawarkan Helyna menu sarapan miliknya.Helyna tak banyak bicara pagi ini. Padahal biasanya dia selalu cerewet di setiap keadaan. Entahlah, ses
The CovenGartaagza (Bagian Tujuh Belas)“Tujuanku memang menghancurkan coven kecil ini, Nona Madicum.” Theo bersiap dengan cambuk listrik di tangannya.Baku hantam pun tak bisa dihindari. Cambuk listrik milik Theo berhasil dihindari dengan Delnessie dengan mulus. Di mata Delnessie, pergerakan cambuk itu lambat, dengan mudah dia menghindarinya.Delnessie melompat mundur. “Kau berurusan dengan penyihir yang salah, Theo.” Delnessie menggerakkan telunjuknya, membentuk sebuah rune.Detik berikutnya, sosok Delnessie lenyap dari pandangan. Theo sudah memahami trik murahan ini. Dia tidak panik, matanya mengamati tiap detail keadaan di sekitarnya. Theo mengeluarkan sesuatu dibalik jubahnya, sebuah botol kecil berisi cairan perak.Botol kecil itu dia pecahkan dengan melemparnya ke tanah. Seketika cairan silver itu mengeluarkan asap yang tak tampak
The CovenInamuagza (Bagian Enam Belas)Pagi itu, Dannies berdiri di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Mata Dannies menyapu keadaan di sekitarnya. Bosan. Dia menunggu salah satu kakaknya yang menjanjikan tontonan menarik. Sebenarnya Dannies ragu. Menarik bagi Mandy, belum tentu manrik bagi dirinya. Contohnya saja seperti kejadian di kuburan waktu itu.“Lama,” keluh Dannies. Dia ingin sekali pergi meninggalkan tempat itu. Tapi Mandy memintanya menunggu sebentar.”Hal apalagi yang mau Kak Mad tunjukkan?”Tiba-tiba saja sesuatu menyentuh bahu Dannies dari belakang, sukses membuatnya meloncat terkejut. Spontan Dannies berbalik badan. Didapatinya Mandy yang cekikikan pelan melihat reaksinya.“Jantungku, Kak. Tidak kasihan sama jantungku?” Dannies menunjuk dada.“Tapi kau masih hidup, tuh,” balas Mandy santai.Dannies menggel
The CovenElidmaagza (Bagian Lima Belas)Helyna menopang dagu dengan kedua tangan. Kedua matanya tak lepas dari sosok Cat yang memberikan penjelasan mengejutkan. Helyna buta situasi. Dia tidak tahu kalau saudarinya sedang menghadapi situasi yang buruk. Kenapa tidak ada satupun yang memberiahukan ini padanya? Helea? Mandy? Bahkan Momo? Lupakan soal Dannies, Helyna tak ingin melibatkan dia dalam hal berbahaya semacam ini.“Informasi terakhir yang kudapatkan, Kak Hena berhasil mendapatkan cawan suci untuk ritual pemanggilan itu,” tambah Cat. Dia menutup buku tua di hadapannya lalu mengembalikannya ke dalam rak perpustakaan.Helyna terdiam untuk berpikir. “Berarti, masih ada dua material lagi. Darah healer dan buku fenriz warior.”“Darah healer yang dibutuhkan dalam ritual itu cukup banyak, Lyn. Minimal tiga individu berdarah healer akan menjadi tumbal.” Cat menjelaskan
The CovenPortaagza (Empat Belas)Helea mengelap keringat yang mengalir di keningnya dengan punggung tangan kanannya. Napasnya memburu, karena telah berjalan cukup lama. Akhirnya, dia berhenti di suatu titik. Helea mengatur napas, tatapannya lurus ke depan. Momo yang berdiri sejajar di samping Helea juga ikut berhenti. Mereka berdua menatap ke arah yang sama.“Ini tempatnya?” komentar Momo kemudian.Momo mengamati bangunan tua yang berdiri di hadapannya. Bangunan kuil tua yang dibangun dengan kayu dan bata. Kuil ini sangat tua, tapi masih terawat. Sebenarnya, tidak ada yang merawat kuil ini. Tapi kuil itu yang merawat dirinya sendiri. Momo pernah membaca arsip tentang kuil kuno yang kini ada di hadapannya. Dijelaskan di sana bahwa kuil ini sebenarnya hidup. Walaupun kuil ini dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab, bangunan ini akan memperbaiki dirinya sendiri.Seram? Tidak juga. Setidaknya ban
The CovenKaligaagza (Tiga Belas)Malam itu, semua anggota coven berkumpul di meja makan untuk menyantap makan malam. Suasana hangat disertai dengan hidangan yang memanjakan lidah. Penghuni bangunan itu tampak menikmatinya. Dannies terutama. Suasana hangat ini mengingatkan dirinya tentang panti asuhan. Suasana hangat, ramai, makanan lezat, dan dikelilingi keluarga. Well, memang Dannies masih baru berada di keluarga para penyihir ini. Tapi tidak masalah. Baginya, selama tiga saudarinya ada di sisinya, tak ada yang perlu dia khawatirkan.“Lho, Kak Momo mana?” Dannies menoleh mencari sosok Momo. Biasanya Momo akan ikut makan bersama dengannya, Helyna, dan Helea. Tapi sosoknya tidak ada. Dannies mengerutkan keningnya.“No worry, dia ada sedikit urusan,” jawab Mandy santai.“Urusan? Hmm ...,” gumam Dannies pelan.Mendadak Dannies mengingat kisah yang dibaw
The CovenTurtaagza (Dua Belas)Baiklah, para pembaca sekalian. Sampai di mana kita? Oh, aku ingat. Kita sampai di mana kita mengetahui beberapa fakta. Fakta bahwa Mother Coven berencana meanggil 13 demon menggunakan portal. Itu mengejutkan. Baik Helea maupun Mandy, tak menyangka akan menghadapi masalah yang sebesar ini.“Apa kita beritahu dua anak itu?” tanya Mandy. Dia baru selesai sembahyang langsung menemui Helea yang berada di pinggir waduk.“Maksudmu Dann dan Lyn? Tidak, mereka pasti akan terkejut,” balas Helea tak setuju. “Mereka masing anak-anak, Mad.”“Membuat mereka terkejut, memang itu tujuannya.” Mandy mengibaskan tangan kanannya.“Mad, please.”“Yea yea, i will shut up then.”“Kau juga, Monic. Tolong jangan biarkan dua adikku itu tahu,” pinta Helea p
The CovenHaagza (Bagian 11)Nah, sampai di mana kita. Oh iya, aku ingat. Mandy, dia masuk ke dalam mimpi Delnessie untuk mencuri informasi yang dia butuhkan. Mandy melihat sosok Momo di dalam kamera perekam itu. Dia tak menyangka Momolah yang memberikan benda terlarang itu pada Delnessie untuk memenangkan duel. Mandy mencengkram kamera perekam di kedua tangannya.“Sulit dipercaya. But, pada akhirnya aku tahu juga.”Tiba-tiba saja, terdengar suara tepuk tangan di belakang Mandy. Spontan Mandy berbalik. Dia lihat Delnessie yang berpenampilan layaknya anggota kerajaan itu berdiri di hadapannya. Gaun besar, mewah, dengan motif-motif rumit, perhiasan di pergelangan tangan, leher, serta daun telinga, tak lupa mahkota emas di kepalanya, membuatnya tampak seperti seorang putri kerajaan. Well, ini memang mimpinya. Terserah dia membayangkan dirinya menjadi apa, kan?“Wah wah wah, ada tamu tak diudang
The CovenNagda (Bagian Sepuluh)Dannies dan ketiga saudarinya sedang berkumpul di ruangan Helyna dirawat. Kondisi Helyna tidak baik saat ini. Infus terpasang di tangan kirinya, wajahnya pucat, rambutnya acak-acakkan. Yah, walau Helea sudah merapikan rambut adiknya itu tadi. Helyna baru saja mengonsumsi herbal yang diberikan perawat untuknya. Untuk sementara, dia belum bisa menggunakan sihirnya karena chakranya sangat tipis.“Dann, bisa kau berhenti menatapku? Aku risih tahu,” komentar Helyna pada Dannies yang memang sudah menatapnya bermenit-menit yang lalu.“Sorry, aku hanya ingin memastikan kondisimu, Cuma itu,” balas Dannies.Helyna tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, serius.”Helea dan Mandy hanya diam, memperhatikan kedua adik mereka yang asyik berbicang itu. Helea memperhatikan mereka berdua bergantian, begitu juga Mandy. Tampaknya duel hari