Ia belajar dari pengalaman pribadinya bahwa sistem pendidikan di masa kini harus dibuang ke tempat sampah. Rais merayakan ulangtahunnya yang ke-21 beberapa saat setelah ia meraih gelar Ph.D. Banyak hal yang dipelajarinya dari universitas, hanya saja baginya itu tidak lebih dari keping-keping butiran debu jika dibandingkan dengan apa yang didapatnya di luar kampus.
Rais sering berkeliling di malam-malam yang dingin. Diamatinya kehidupan masyarakat, di negara yang disebut orang sebagai adidaya. Pada kenyataannya banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang hidup dengan menggunakan mantel di setiap malam hari, tidur beratapkan langit, dan harus menyalakan api dengan membakar sampah.
Ia menjadi seorang insinyur jalanan, memperbaiki alat-alat pemanas dari keluarga-keluarga gelandangan, maupun membuat alat-alat rumah tangga sederhana dengan kemampuannya. Ia kagum akan keteguhan orang-orang itu hidup dari hari ke hari.
Rais punya seseorang yang disebutnya “teman”. Orang ini adalah gelandangan yang tidak pernah terjamah pemerintah kota Boston. Setiap kali Rais menemuinya, keadaan orang yang menyebut dirinya “John” ini tetap sama. Ia gelandangan yang tubuhnya beraroma tidak sedap, entah kapan terakhir kali ia mandi. Untuk makan pun hanya mengandalkan belas kasihan orang. John selalu berkata kepada Rais bahwa ia menunggu suatu saat ketika “home” memanggilnya.
Saat Rais bertanya di mana “home” yang dimaksud, John menunjuk ke arah langit.
Pada akhirnya, dari John, ia belajar bahwa ada sesuatu yang bisa menggerakkan umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan kediktatoran ataupun pemerintahan tangan besi.
Sesuatu ini bisa membuat seseorang percaya untuk melakukan sesuatu tanpa diminta, bahkan mengorbankan miliknya yang paling ia cintai.
Semuanya dilakukan dengan sukarela, karena hal tersebut.
Ia adalah keyakinan.
Faith...
Ketika tiba saatnya nanti, Rais sangat ingin mempelajari bagaimana milyaran manusia bisa digerakkan oleh ajaran yang dibawa oleh orang-orang yang mereka sebut dengan “Utusan”. Padahal mereka hidup belasan bahkan puluhan abad sejak utusan yang menjadi panutan mereka menghembuskan napasnya yang terakhir.
Ini sangat menarik baginya.
Orang yang disebut “Utusan” pasti memiliki karisma khusus. Tidak mungkin milyaran orang mau bergerak memenuhi arahan seseorang, tanpa seseorang itu memiliki suatu hal yang menjadi daya tarik. Rais bertekad suatu hari ia akan menemukannya. Ia yakin hal seperti ini tidak akan ditemuinya di bangku pendidikan formal.
Karenanya, Rais tidak lagi peduli kepada derajat pendidikan. Ia telah meraih gelar yang tertinggi. Tidak ada lagi tantangan di dunia akademik baginya.
Saat ini ia hanya duduk bersandar di kursinya, memandang ke luar jendela, dan menikmati senja di hari-hari terakhirnya di Boston. Sebelum ia meninggalkan kota ini, mungkin untuk selamanya.
Ia sedang mengingat profesornya, yang selama lebih dari enam tahun sejak pertama kali Rais mengenalnya, masih mengenakan kemeja, jas, dan tas yang sama. Rais yakin bahwa ia pasti mengenakannya lebih lama dari itu.
Bahkan hari-hari terakhir Rais di universitas, Sang Profesor masih dengan antusias membicarakan jembatan antara ilmu pengetahuan dan agama. Ia memberitahu Rais bahwa dirinya ingin melebur dua hal tersebut. Rais hanya mengangguk dan mengangguk saat Sang Profesor menceritakan tentang kisah-kisah dalam kitab suci yang harus dapat dijelaskan pada ilmu pengetahuan saat ini.
Karena ia mengenal Rais sebagai seorang Muslim, maka sesekali ia pun mengambil kisah-kisah dari Al Quran. Rais pun tetap melayaninya dengan mengangguk. Dirinya telah membaca lebih banyak buku keagamaan dibandingkan Sang Profesor, dan semua itu gagal menarik minatnya, kecuali mungkin sedikit.
Semua paparan mengenai monolitik, maupun neolitikum telah dibacanya. Profesornya masih berceramah tentang hubungan antara agama samawi saat ini dengan mitos-mitos yang berasal dari masa pengisahan dewa-dewa. Ia berusaha melihat semua agama sebagai hal yang sama. Bahwa agama-agama yang ada saat ini tidak lebih dari turunan atau adaptasi dari cerita-cerita tentang dewa-dewa langit.
Ah ya tentu, Rais telah mempelajari semuanya.
Ia tahu apa yang diinginkan Sang Profesor tidak lebih hanyalah persetujuannya. Sementara Rais sama sekali tidak tertarik pada semua paparan tersebut. Ia lebih suka deduksinya sendiri. Namun ia masih sangat menghormati Sang Profesor.
Sang Profesor mengatakan pada Rais bahwa ia belum pernah bertemu orang seperti dirinya sebelum ini. Juga ia akan sangat merindukan Rais. Ia pun sekali lagi (setelah ribuan kali sebelumnya) meminta Rais untuk tinggal dan mengajar di fakultas.
Senyum selalu menjadi jawaban Rais.
Rais sudah sangat bosan dengan semua urusan universitas. Terkadang ia hanya ingin membaca cerita-cerita fiksi dan mendapatkan kembali keluguan masa kecil yang tidak pernah didapatkannya. Ia sudah membaca kalkulus sejak ulang tahunnya yang kesepuluh. Lalu fisika kuantum, teknologi nano, dan sebagainya.
Tidak ada dari semua itu yang memberinya alasan kenapa ia dilahirkan ke muka bumi ini.
Rais telah bersumpah bahwa ia tidak dan tidak akan pernah kembali ke dunia akademik. Telah ditandatanganinya surat pengunduran diri dari dunia tersebut. Rais telah melupakan semua pencapaian akademisnya.
Tapi ia berjanji bahwa proses belajar tidak akan pernah berhenti.
Beberapa saat kemudian, Rais memutuskan untuk turun dan berjalan-jalan. Ia benar-benar ingin menikmati hari-hari terakhir di Boston. Sedikit mengejutkan dirinya bahwa ia sungguh menikmati pemandangan senja di kampusnya.
Disadarinya bahwa selama ini ia telah terperangkap oleh kehidupan tidak bahagianya sebagai mahasiswa. Orang-orang berkata bahwa ia brilian, tapi ia lebih tahu bahwa sebenarnya dirinya sedang dipenjara. Selama bertahun-tahun pikirannya terkungkung pada urusan sang profesor, tesis, disertasi, dan kelas-kelas.
Rais ingin melupakan semuanya.
Sekalipun begitu, ia juga terkejut mendapati dirinya terus berpikir mengenai hari-harinya yang telah lalu di universitas. Terutama tentang saat-saat ia membaca cerita yang berasal dari sejarah. Sangat banyak cerita sejarah tentang perang yang ia temui. Rais mendapati bahwa sejarah lahir dari perang. Tanpa perang, tidak akan ada sejarah. Bahkan hingga kini, perang masih mendominasi berita.
Rais menyadari bahwa peradaban manusia saat ini hanya mengaku-ngaku bahwa mereka “beradab”. Pada kenyataannya, tidak ada yang berbeda dari manusia di masa kini dengan nenek moyangnya.
Perang, perang, dan perang di mana pun.
Pikirannya terinterupsi oleh satu hal, apakah dirinya akan terlibat dengan perang suatu saat nanti?
Lalu apa yang akan dilakukannya?
Apa arti semua pencapaiannya selama ini jika nanti ia mati oleh sebuah tembakan?
Ke mana semua karyanya akan pergi?
Lalu pikiran Rais melayang lebih jauh ke hari-hari yang telah lalu. Ia adalah jenius yang selalu menjadi bintang keluarganya, keluarga Hoetomo.
Rais Hoetomo menjadi fenomena karena telah meraih gelar kesarjanaannya pada usianya yang ketujuhbelas.
Orangtuanya menggelar pesta untuk merayakan kelulusan Rais. Mereka mengundang semua warga Indonesia-Amerika maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Washington DC.
Rais tahu bahwa ini adalah hari yang spesial bagi orangtuanya. Ia tidak terlalu paham tentang bagaimana pesta kelulusan seharusnya dilakukan. Yang diketahuinya hanya wisuda. Sementara Rais tidak terlalu paham mengenai kenapa wisuda harus dirayakan.
Baginya semua itu terlalu “biasa”.
Salah satu teman Ibunya berkata bahwa seharusnya Rais disekolahkan di sekolah orang-orang jenius. Teman tersebut adalah teman lama Ibunya semasa kuliah. Ia datang berkunjung sebulan sekali, kadang lebih.Rais tahu bahwa orangtuanya tidak setuju dengan temannya tersebut.Ayah Rais menginginkannya mengikuti sekolah biasa. Ia ingin Rais menjadi orang yang “merakyat”, “mengetahui kehidupan masyarakat”, dan “tidak manja”. Ibu Rais juga mengatakan bahwa tidak ada sekolah khusus anak jenius di Amerika. Jika ada, maka sekolah tersebut harus dimasukkan keranjang sampah karena membuat anak-anak jenius menjadi “eksklusif”.Akhirnya mereka memutuskan bahwa Rais akan pergi ke sekolah umum. Ia akan bersekolah di kota kelahirannya, yang juga tidak jauh dari tempat tinggal kedua orangtuanya.Setiap kali ada kesempatan, Ayah dan Ibu Rais mengajarinya semua pengetahuan tentang alam. Pengetahuan-pengetahuan tentang sains
Rais tidak telalu menyukai pesta kelulusan dirinya yang dibuat keluarga Hoetomo. Ia mencoba, tapi tetap tidak bisa. Tidak pernah disukainya pesta-pesta semacam itu. Ayah dan Ibunya mengundang semua orang yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Rais. Mereka para keluarga Muslim dan juga Indonesia-Amerika yang dikenal keluarga Hoetomo.Selama bertahun-tahun lamanya Ibunya telah mengenalkan Rais kepada sejumlah anak, terutama anak perempuan. Hanya sebagian di antara mereka yang Muslim, karena orangtuanya selalu mengajari Rais untuk tidak menjadi eksklusif. Terkadang Rais bermain ke rumah mereka, terkadang sebaliknya mereka yang mengunjungi Rais.Semula terasa aneh berkunjung ke rumah orang lain, namun lama kelamaan Rais menjadi terbiasa. Dari sini Rais belajar mengeksplorasi kehidupan pertetanggaan mereka. Sesekali mereka bertanya apakah diizinkan bermain ke rumah Rais, di mana rumah itu sangatlah mewah meskipun Ayah Rais berusaha untuk membuatnya “sesederhana mung
Ikhwan sekalian, hari akhir kian dekat. Aku telah diberitahu bahwa Sang Messiah akan segera datang. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Kupikir sudah jelas bahwa Pemimpin Besar kita adalah Sang Mesiah.Dia adalah penyelamat kita. Dia yang akan membawa kejayaan Islam di seluruh dunia, dan memusnahkan Dajjal Amerika Serikat. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan penyambutan untuknya. Kita harus memulai serangan.Aku telah menyelesaikan rencana kita. New York City akan menjadi alat eksperimen pertama. Aku pribadi tidak berharap banyak dari serangan pertama ini. Aku hanya ingin seluruh Muslim bersatu kembali. Kita harus melawan musuh kita. Dan kita memiliki satu musuh utama: Amerika Serikat.Seluruh Muslim harus berjihad melawan Amerika. Tidak ada keraguan untuk itu. perang mungkin bukan jalan yang utama. Tapi saat ini, tidak ada cara lain.Orang-orang kafir telah menginvasi negara-negara Islam dan mendudukkan para koruptor di pucuk-pucuk ke
Rais tidak melihat World Trade Center sebagai tempat yang istimewa. Ia bahkan tidak mengerti kenapa orang mau bekerja di sini. Ini hanya gedung pencakar langit, seperti gedung-gedung pencakar langit lainnya. Rais hanya pernah membaca tentang World Trade Center dari artikel, dan itu didapatnya dari internet.Ia tahu bahwa orangtuanya memiliki saham dalam jumlah besar pada mayoritas perusahaan di dunia. Dan sebagian perusahaan itu memiliki kantor di World Trade Center.Ayahnya ingin Rais sesekali mengunjungi kantor mereka. Kantor-kantor perusahaan di bawah bendera Hoetomo Group. Termasuk yang berada di World Trade Center.Rais tidak mengenal New York City dengan baik. Tapi ia merasa sesekali harus memenuhi keinginan ayahnya.Maka pagi ini ia memasuki salah satu bangunan menara kembar tersebut. Baginya ini seperti sebuah istana, tapi dengan kubik-kubik. Diliriknya arlojinya. Ini masih terlalu dini untuk memulai hari.Baru ada sedikit orang di sini, da
Letnan Andrea Izmaylov mencapai rumahnya menjelang tengah malam. Adiknya, Svetlana, telah meninggalkan makan malam untuknya. Mereka telah tinggal di New York sejak lahir. Orangtua mereka yang imigran telah berusaha sangat keras untuk bisa keluar dari Soviet dan menjadi warga negara Amerika.Andrea mendapati adiknya telah tidur. Svetlana telah menumpang di rumahnya selama enam tahun sambil berusaha mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.Tak disangkanya, Svetlana terbangun. Ia lalu mengambil segelas air dan menemani kakaknya menonton televisi sambil makan malam.“Sangat mengerikan,” kata Svetlana.“Bisa dibilang demikian,”“Memang,”“Andai kau ada di sana untuk melihat apa yang terjadi,”“Kuharap tidak perlu. Menyaksikannya dari sini saja sudah cukup membuatku bermimpi buruk.”Andrea menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa.“Kau tidak apa-apa?” Svetlan
Beberapa hari telah berlalu.Pada sebuah pagi yang terik, Rais menghadiri pemakaman puluhan orang yang menjadi korban 11 September. Mereka diantar dan dimakamkan dengan diiringi tangisan dari keluarganya.Rais ingin ikut menangis, ia sangat ingin. Bagaimanapun di antara mereka ada pegawai-pegawainya. Ia ingin menunjukkan simpati, tapi sekeras apapun ia berusaha, air matanya tak kunjung turun.Kerumunan orang saling mengucapkan bela sungkawa, lalu disusul dengan ucapan-ucapan selamat tinggal. Rais berdiri di samping ayahnya sampai seluruh upacara pemakaman selesai. Perlahan langit tertutupi awan. Tidak lama kemudian cuaca cerah berubah menjadi rintik-rintik gerimis.Pandji Hoetomo, ayah Rais, menepuk pundak anaknya.“Ini akan menjadi masa sulit. Aku harap kau kuat.”“Maksud Ayah?”“Kita mengalami kerugian cukup besar, tapi asuransi akan menanggungnya. Tidak akan ada masalah finansial. Tapi ada sebuah kerug
Hari ini Rais telah melewati semuanya. Di usianya yang keduapuluh dua, ia memperhatikan apa yang terjadi dari waktu ke waktu sejak kejadian yang memilukan di New York City. Dari sana ia berpikir bahwa diriya harus bisa menjadi pembela masyarakat sipil. Membela mereka dari teror-teror besar maupun kecil. Juga menghancurkan para teroris yang menebar ketakutan di mana-mana.Maka ia harus mempelajari ilmu bela diri. Semua itu sebagai awalan dari rencana-rencana besarnya. Satu tahun sudah dihabiskannya waktu mempelajari martial arts yang sangat dinikmatinya.Ia menghadapi satu demi satu lawan tandingnya. Memukul, menendang, menghindar, mengelabui, dan merobohkan. Hari-hari indah yang sangat ia nikmati. Selain itu, apa yang ia lakukan ini juga cukup untuk membuatnya teralih dari tragedi besar umat manusia, di mana ia sendiri menjadi saksi hidupnya.Selama setahun Rais tidak pernah menghubungi keluarganya. Ia merasa perlu untuk mengunjungi orangtuanya, melihat
Ikhwan sekalian, hari ini aku berjalan-jalan berkeliling. Kudapati dunia ini begitu indah. Kuhirup napas dengan segar dan kuhembuskan kembali dengan nikmat. Di sini terasa keindahan dunia yang sesungguhnya.Tapi dunia di luar sana telah rusak. Itu tidak perlu terjadi andai saja dunia tidak perlu dikotori oleh ketamakan dari Amerika Serikat. Ya, andai saja Amerika Serikat tidak perlu ada di muka bumi.Dunia ini tentu akan lebih baik.Ikhwan sekalian, hari ini juga aku teringat bahwa diriku tidak akan selamanya berada di dunia. Secepatnya harus kulaksanakan misiku. Tentaraku sudah siap. Pasukanku akan melaksanakan apa yang kuperintahkan. Akan kuakhiri masa yang mengenaskan dari dunia ini. Kuharap semua akan berhasil. Meskipun akan ada harga yang harus kubayar.Telah kuputuskan untuk menyalurkan semua ilmuku kepada kalian, para pasukanku, para mujahidinku. Bagaimanapun aku harus memiliki penerus. Dan aku harus memilih orang-orang terbaik untuk menjalankan re
Silvester Morran memasuki ruangan kantornya. Ia telah menyaksikan apa yang terjadi. Walaupun Morran menyatakan turut bersukacita atas apa yang dicapai Abdul Aziz, tapi ia tidak pernah serius mengatakannya.Bagi Morran, saat ini yang penting adalah pencalonan dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat semakin memiliki saingan kuat. Dan ia tidak bahagia akan hal itu.“Pagi.” Sebuah suara mengagetkannya.Seseorang telah berada di ruangan kerja Morran sebelum dirinya masuk.“Ka...kau...” Morran tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Kejutan, bukan?” tanya orang tersebut.“Dengar, kau tidak seharusnya ada di sini.”“Begitu juga denganmu.”“Apa maksudmu?”“Kau sama sekali tidak layak berada di tempat ini. Tidak sedikit pun.”Orang itu mengokang pistol, membidik ke arah kepala Morran.“Hei, tunggu, ada apa ini?” Morr
Di kantor FBI, Andrea Izmaylov telah menerima pesan dari nomor tidak dikenal mengenai posisi Al Qassar. Walaupun nomor tersebut tidak dikenalnya, ia tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Andrea segera memerintahkan mobilisasi.“Cepat, siagakan pasukan dan bergeraklah menuju Gedung Putih!!!” perintahnya.Sementara itu di Gedung Putih, Presiden menyambut Abdul Aziz. Mereka adalah saingan berat pada pemilihan sekarang, namun Presiden merasa perlu untuk menunjukkan wajah hangat Amerika Serikat.Karena itu ia mengundang Abdul Aziz, Janna, dan Fathia, putri mereka. Presiden memandu sendiri tur mereka mengelilingi bagian dalam Gedung Putih. Ia menunjukkan kantor-kantor, sayap Barat dan Timur, bahkan Oval Office.Tidak lupa, Presiden juga menunjukkan area residency.“Ini tempat Presiden Amerika Serikat menjalani kehidupan pribadinya.” Kata Presiden.Abdul Aziz dan Janna mengangguk-a
Penjara Distrik Columbia yang baru saja menerima tamu istimewa semalam tidak terlihat akan mendapat kejutan di hari yang baru ini. Betapa tidak, malam sebelumnya mereka baru saja merayakan keberhasilan gabungan pasukan MPDC, SWAT, dan Garda Nasional dalam meringkus seorang teroris paling berbahaya di Washington.Tapi kini, justru keadaan berbalik. Orang tersebut berjalan dengan bebasnya di area penjara, bahkan tidak ada seorang pun petugas keamanan yang mencegahnya.Al Qassar berdiri di hadapan kepala penjara.Di sekitar mereka, pasukan berseragam petugas penjara berjaga-jaga sambil bersiap dengan senjata masing-masing.“Kau... benar-benar orang gila.” Kata kepala penjara.“Jika kau tidak keberatan, akuilah, bahwa pasukanmu lebih loyal kepadaku dibandingkan bos mereka sendiri.”Si kepala penjara terdiam menahan geram.“Aku tahu kau marah. Aku tahu kau juga sedih. Tapi inilah kenyataan. Kau harus belajar u
Washington Monument, keesokan harinya.Podium telah disiapkan. Tidak ada panggung khusus, hanya podium. Masyarakat Washington telah ramai memenuhi area tersebut. Pers juga tidak tertinggal.Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Abdul Aziz menaiki podium. Janna menyaksikan di antara masyarakat Washington.Sementara dari sisi lain kota, di sebuah griya tawang, Rais Hoetomo menyaksikan CNN yang meliput Abdul Aziz.“Telah banyak tersebar berita dalam beberapa waktu ke belakang ini. Berita-berita yang membahas tentang pencalonan sejumlah nama sebagai Presiden Amerika Serikat. Banyak nama yang beredar, di antaranya nama saya. Tapi hal itu bukan menjadi perhatian saya pada waktu-waktu tersebut.“Perhatian saya tertuju kepada timbulnya kelompok-kelompok ekstremis dan teroris, baik di Amerika Serikat maupun seluruh dunia. Aksi dari kelompok-kelompok tersebut, sejak awal saya percaya, tidak mewakili apa pun di atas muka bumi i
Abdul Aziz telah berada di mobil evakuasi. Sesuai rencana, pasukan SWAT akan segera membawanya pergi sesaat setelah Al Qassar datang.Sasaran mereka adalah Al Qassar. Sejak awal, tidak ada niat dari pasukan SWAT maupun MPDC untuk membiarkan Abdul Aziz menjadi umpan yang akan disantap Al Qassar.Di depan dan belakang mobil yang ditumpangi Abdul Aziz, terdapat masing-masing dua mobil SWAT yang mengawal mereka. Sekilas, mereka tampak aman.Namun itu hanya nampaknya.Mobil pengawal paling belakang tiba-tiba terjungkal. Dari bawahnya terlihat api berkobar.Di belakang mereka, terlihat pasukan Al Qassar.Al Qassar memang bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa sejak awal tidak mungkin mereka menempatkan senatornya sebagai tumbal.Karena itu ia menempatkan seorang Al Qassar palsu untuk menyerang Northwest, sementara ia sendiri mengamati ke mana Abdul Aziz akan dibawa pergi.Kini Al Qassar hanya me
Jika dibandingkan dengan peperangan-peperangan yang telah dialaminya, baik di Timur Tengah maupun tempat lain, malam ini bukanlah hal yang aneh bagi Rais. Ia akan berhadapan dengan satu atau sekelompok teroris.Dan ini bukan hal baru baginya.Tapi Rais tahu bahwa ia harus tetap waspada. Al Qassar bukan teroris biasa. Ia adalah seorang mastermind. Bahkan masih belum dapat dipastikan apakah Al Qassar akan memakan umpan Rais.Jika umpan ini berhasil, Al Qassar akan menyerang Abdul Aziz di Northwest. Saat itulah Rais akan beraksi.Rais juga menyadari bahwa Al Qassar tidak akan datang sendirian. Orang ini tidak cukup bodoh untuk menghadapi pasukan MPDC seorang diri. Ia pasti membawa pasukannya.Dalam hatinya Rais berharap semua rencananya bersama Abdul Aziz berhasil. Lalu Al Qassar akan ditangkap dan dipenjarakan dengan keamanan maksimum sebelum menerima hukuman terberat dari pengadilan. Mungkin hukuman mati.Tapi seperti yang telah dika
02.30 am“Saudara sekalian, perubahan di posisi perolehan suara terus terjadi. Fenomena yang terjadi dari detik ke detik semakin tidak terprediksi. Saat ini secara mengejutkan, Massachussets berada di posisi puncak perolehan suara menggeser Washington yang lima belas menit lalu menjadi pendulang suara terbanyak. “Sejumlah netizen yang mengaku sebagai warga Massachussets mengatakan bahwa mereka menduga kuat bahwa warga Washington memveto Massachussets sebanyak mungkin untuk menyelamatkan negara bagian mereka.“Netizen yang mengaku sebagai warga Massachussets ini mulai melakukan provokasi kepada seluruh warga negara bagian lain agar memveto Washington. Mereka bahkan menyebarkan tagar #VoteWashington di Twitter. Hal ini segera ditanggapi oleh sejumlah netizen yang mengaku sebagai warga Washington yang membalas dengan tagar #VoteMassachussets sambil mereka juga membantah tuduhan yang di
01.00 amWarga negara Amerika Serikat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang berusaha melarikan diri dari negaranya. Mereka mencoba melakukan segala cara untuk menembus perbatasan ke Meksiko dan Kanada.Perdana Menteri Kanada telah membuka perbatasan negaranya untuk mempersilakan orang-orang dari Amerika Serikat yang hendak berlindung di negeri tersebut. Meskipun ada beberapa pemeriksaan oleh petugas, namun semua itu hanya dilakukan sebagai syarat administratif untuk memastikan orang yang mengungsi tidak memiliki catatan criminal apalagi tercatat sebagai teroris.Sementara pemerintah Meksiko memberlakukan kebijakan yang jauh berbeda. Meksiko menutup perbatasan sehingga para pengungsi dari Amerika Serikat menumpuk di daerah batas antara dua negara.Ada belasan ribu orang Amerika yang berada di perbatasan Meksiko dan menunggu pemerintah negara tetangga mereka tersebut membuka perbatasannya dan mengizinkan mereka
Iqbal Anwar membalas tatapan Abdul Aziz. Mereka berdua beradu pandang tanpa berkedip. Iqbal mengeluarkan senyum liciknya. Sementara Abdul Aziz masih bergeming.Abdul Aziz berdiri dan duduk di sisi meja tempat Iqbal duduk.“Aku tidak ingin membuang banyak waktu di sini. Jadi, sebaiknya kau bekerja sama.” Kata Abdul Aziz.Iqbal tersenyum lagi.“Aku tahu kau berusaha mempermainkan kami. Tapi percayalah, di sini bukan tempat kau bisa melakukan itu. Pikirkanlah, berapa lama kau akan bisa bertahan dengan terus bersikap seperti ini.”“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”“Itu bukan wewenangku. Bahkan bukan hakku untuk berada di sini dan menginterogasimu. Tapi aku bisa berada di sini, di hadapanmu, tanpa ada satu pun petugas yang mendampingiku. Kau tahu kenapa? Karena mereka sudah muak terhadapmu sehingga harus memintaku untuk turun tangan. Dan kau tahu? Aku tidak memiliki dasar pelatihan interogasi. Karena