Di dalam ruang kerjanya, Silvester Morran mengurung diri. Ia telah memerintahkan kepada sekretarisnya untuk mengusir siapa pun yang datang. Morran tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Saat ini, yang ada di dalam pikirannya adalah menyelamatkan karir dan bisnisnya.
Seseorang bernama Al Qassar telah menemuinya beberapa hari lalu. Orang itu menunjukkan bahwa jaringan milik Morran telah dihabisi oleh Caliph. Semua aliran dana, perdagangan bawah tanah, dan sejenisnya, telah diblokir.
Caliph memang benar-benar bukan isapan jempol.
Salah seorang anak buah Morran telah mendatangi dirinya kemarin. Orang itu melaporkan tentang terhambatnya aliran dana mereka di Timur Tengah.
Lalu muncul Al Qassar.
Orang ini menjanjikan kematian Caliph, asalkan Morran bisa menuruti kemauan Al Qassar.
Bloody hell, yang kupedulikan saat ini bukan hanya Caliph, tapi juga Abdul Aziz, pikir Morran. Dua orang itu adalah masalah utamanya sekarang. \
Ia mulai m
“Anda yakin ini tempatnya?” tanya Abdul Aziz.“Tidak ada yang bisa memastikan. Tapi mungkin ia akan muncul di sini.” Jawab Andrea Izmaylov.Mereka berdua berada di sebuah gang sepi yang terletak pada sisi lain Washington.“Bagaimana Anda bisa begitu yakin?” tanya Abdul Aziz.“Karena aku melihat sinyal ponsel kalian berdua ada di tempat yang sama.” Terdengar sebuah suara, lalu sosok gelap muncul.Caliph.“Kami memang mengharapkanmu datang.” Kata Andrea.“Sudah kuduga.” Jawab Caliph. “Senator.” Ia menyapa Abdul Aziz.“Cukup Abdul Aziz, terima kasih.”“Langsung saja, pergerakan kelompok baru sedang memanas. Arab Spring menjadi pemicunya.” Kata Andrea.“Agen Izmaylov, kau berbicara tentang Al Mualimin?”“Tepat.”“Al Mualimin? Ia yang menjadi pemegang dana di Timur Teng
Esok paginya, Aisha Mahmood menerima pesan singkat dari Rais Hoetomo.“Bawah tanah.” Demikian pesan singkat itu.Aisha menemui Rais yang sedang menginspeksi pesawat tempurnya.“Ada misi khusus?” tanya Aisha.“Al Mualimin.”“Jadi kau akan pergi ke Irak?”“Kau yang harus tentukan.”“Saluran mana yang harus kupilih?”“Bahrun Hamzah, itu bonekanya. Ia yang memegang dana Mualimin.”“Saudagar sabun itu?”“Tepat.”“Jadi kau ingin aku menjalin kontak dengannya?”“Ya, dan perangkap sinyalnya. Dari situ akan kuurus Mualimin.”“Oke, kau akan bawa pesawat ini?”“Hanya untuk jaga-jaga.”“Jadi, penerbangan manual?”“Mungkin. Tapi aku akan menggunakan jalur normal untuk sampai ke Irak.”“Berarti ak
Rais telah berada di dalam pesawat yang membawanya ke Baghdad. Ia mendapatkan kursi dekat jendela. Rais sengaja tidak membeli tiket kelas satu. Di sini, Rais bisa melihat para orang tua yang sibuk menenangkan anaknya di udara.Mereka semua bertampang Arab.Rais berpikir, apakah mereka adalah orang Irak?Jika ya, berarti mereka orang Irak yang tinggal di Amerika.Berarti mereka hendak pulang ke negaranya?Lalu mengapa mereka hendak pulang?Bukankah di sana masih banyak konflik?Apalagi mereka membawa anak-anak.Arab Spring sedang panas-panasnya.Apakah mereka tidak tahu?Ataukah memang ada hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika.Rais pernah mempelajari tentang hal ini, bahwa kerinduan akan tanah air dan kampung halaman dapat mengalahkan logika apa pun. Walaupun mereka telah berada di Amerika yang damai, namun kerinduan akan kampung halaman di Irak bisa jadi tidak dapat dibendung. Karena itu mereka pula
Bangunan tempat pertemuan geng teroris masih terlihat seperti biasa. Seperti biasanya juga, tidak aka nada orang yang akan curiga dengan bangunan tersebut. Bangunan yang nampak seperti bangunan terabaikan, bahkan berhantu.Para teroris sedang berunding di dalamnya. Mereka memperhatikan gambaran-gambaran yang diperlihatkan oleh seseorang yang nampaknya adalah pimpinan di sana. Semua diam dan menyimak apa yang disampaikan orang tersebut.Tiba-tiba pintu dibuka dan seseorang masuk ke sana.Semua mata terarah kepada orang yang masuk tersebut.Sebuah sosok berjalan perlahan ke arah mereka sambil tersenyum.“Siapa yang mengizinkanmu masuk?” tanya si pimpinan.“Kenyataan bahwa sekarang aku berkuasa di sini.” Jawab orang itu, yang tak lain adalah Al Qassar.“Kau tahu sedang berada di mana?”“Aku tahu.”“Dan kau tahu sedang berhadapan dengan siapa?”“Aku tid
Aisha Mahmood memastikan Bahrun Hamzah yang nampak di layar komputernya bisa melihat dirinya. Ia melakukan percakapan via Skype dengan Bahrun Hamzah untuk sebuah kerjasama bisnis yang telah mereka janjikan sebelumnya.“Mohon maaf karena pembicaraan seperti ini terjadi secara mendadak, Mr. Hamzah.” Kata Aisha Mahmood.“Itu dapat dipahami, Ms. Mahmood. Hal seperti ini biasa terjadi pada perdagangan tingkat tinggi.” Jawab Hamzah.“Terima kasih atas pengertian Anda.” Aisha tersenyum.“Jadi, apa yang bisa Anda tawarkan?”“Saat ini kami ingin memastikan terlebih dahulu, apakah kita benar-benar bisa bekerja sama?”“Tentu saja. Hoetomo adalah mitra bisnis terbaik, justru saya yang merasa sangat tersanjung.”“Baiklah jika demikian. Saya yakin Dr. Hoetomo akan sangat senang mendengarnya.”“Sama-sama, Ms. Mahmood.”“Saya akan menga
Rais Hoetomo baru saja melewati pemeriksaan di Bandar Udara Internasional Baghdad ketika ia menerima pesan dari Aisha. Rais mengagumi negeri yang telah sewindu dilanda konflik ini. Namun ia kagum, karena dalam hatinya ia masih merasakan bahwa Negeri Para Khalifah ini tidak pernah kehilangan jiwanya.Era Saddam Hussein dan Partai Bath telah lama usai. Sejak itu Irak seperti kehilangan keseimbangan. Konfllik yang semula benar-benar ditekan agar tidak terjadi selama kepemimpinan Saddam Hussein, kini seperti dibiarkan muncul di mana-mana.Rais teringat kepada negeri leluhurnya, Indonesia. Negeri yang sama-sama telah terbebas dari kepemimpinan seorang dictator, beberapa tahun sebelum tumbangnya Saddam Hussein di Irak.Keadaan di Indonesia memang jauh lebih baik dibandingkan Irak. Tidak ada konflik bersenjata di sana. Namun yang ada adalah konflik di media sosial.Bagi Rais, peperangan yang ada di Indonesia sama potensi perpecahannya dengan yang ada di Irak.
Rais Hoetomo kembali mendapati dirinya berada di Timur Tengah saat ia menginjakkan kaki di Irak. Memang ini bukan kali pertamanya berada di sini. Bahkan bukan kali pertama dalam waktu yang lama.Tapi ini memang pertama kalinya ia datang ke Irak sebagai Rais Hoetomo.Sebelumnya, ia selalu datang sebagai Caliph.Terakhir kali Rais datang sebagai masyarakat sipil, menjajaki dan mengikuti kehidupan organisasi teroris, bahkan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan mereka, adalah tujuh tahun silam. Ia telah mengalami masa-masa tersebut, dan tidak pernah ingin berhenti. Justru di saat itu, ia benar-benar mendalami alasan mengapa orang-orang tersebut menjadi teroris.Ketika itu ia benar-benar berperan menjadi bagian dari mereka. Rais menumbuhkan jenggot dan brewok, berdagang barang ilegal untuk dana organisasi, bahkan merencanakan serangan terhadap masyarakat sipil. Sesekali Rais harus terjun ke lapangan, walaupun para pimpinan kelompok yang disusupinya lebih menyuk
“Anda hanya membuang waktu Anda.” Kata Mualimin di depan Andrea.“Mungkin saja. Tapi saya memiliki banyak waktu, Mr. Mualimin.” Jawab Andrea.“Silakan, tapi Anda tidak akan mendapatkan apa pun dari saya.”“Coba saja. Apakah sekarang ada yang akan mempedulikan Anda? Anda di sini, sendirian, menghadapi kami. Di mana teman-teman Anda?”“Saya tidak akan mengkhianati saudara-saudara saya.”“Oh ya? Lalu bagaimana dengan para mafia di Washington? Mereka saudara Anda juga?”Mualimin terdiam.“Kenapa? Anda tidak menyangka bahwa saya mengetahui itu?” lanjut Andrea.Mualimin masih diam.“Anda sudah kalah, Mr. Mualimin. Sekarang Anda tinggal menentukan sikap Anda.”“Aku akan berikan semua kontakku di Washington.”“Bagus.”“Dengan syarat.”“Anda sebenarnya tidak sedang b