Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan memilihkan dan kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi dan bahagia adalah bonus." - Fiersa Besari.
***
Tampan, kaya raya, pintar, itulah ciri-ciri pria yang sudah hampir punah di dunia. Mungkin, sebagian besar dari mereka masih dapat ditemukan tapi kebanyakan sudah bersegel sold out. Ya, kebanyakan dari mereka sudah memiliki kekasih yang setara dengan tingkat level dan wajahnya.
David Mahesa, pria berdarah Bali yang terkenal dengan mata elang juga senyumannya yang menawan. Sebenarnya, bukan hanya kali ini mereka mendapati warga asing dari luar kota. Tapi, David yang paling populer di antaranya.
"Mr. David. Yuhu..." pekik seseorang di balik pintu yang membuat Tiffany dan Salsha yang sedang asik berbincang berjengit kaget. Tiffany langsung merasakan hawa tidak enak.
"Astaga, Vina. Apa kau tidak bisa berhenti memanggilnya Mr seperti itu? Terdengar menggelikan." sahut Salsha kesal. Tiffany yang memang tidak tahu apapun hanya diam dan mengikuti Salsha dari belakang. Lagi-lagi, ia menjadi pusat perhatian di dalam ruangan ini. Bahkan, seseorang yang sebelumnya sedang sibuk di depan komputer malah menatapnya dari atas hingga bawah.
"Aku tidak bisa. Saat aku memanggilnya Mr seperti itu terlihat sangat seksi. Ah, dia benar-benar sangat tampan." balas gadis yang bernama Vina Anastasia atau akrab di sapa Vina seraya merengek.
"Dia siapa? Astaga, cantik sekali." Vina memelankan suaranya di akhir kalimat menutupi rasa kagumnya pada Tiffany. Gadis centil itu berjalan menghampiri seraya menatap Tiffany dari ujung kaki sampai kepala.
"Dia sepupuku dari Seoul."
"Wah, dari Seoul? Astaga, dia benar-benar seperti aktris Korea yang ada di drama. Siapa namanya? Aku Vina Anastasia, kau bisa memanggilku dengan sebutan Vina."
"Aku Tiffany Hwang." Tiffany hanya membalas ucapan Vina tanpa berniat membalas jabatan tangan Vina. Mulut Vina menganga.
"Wah, namamu sangat bagus! Semoga kita bisa menjadi teman baik di Divisi ini seperti aku dan Salsha. Jika perlu apa-apa, aku siap membantu, kau tinggal sebut saja namaku."
"Ya."
"Ya?" Vina sontak memekik saat mengatakannya. Entah bagaimana, ia mendapat teman satu Divisi yang angkuh dan sesombong Tiffany.
Sejak tadi, Salsha sudah menahan tawanya. Melihat wajah Tiffany yang tak berdosa dan wajah Vina yang nampak terkejut benar-benar hiburan baginya. Ya, begitulah seorang Tiffany Hwang. Salsha yakin jika sikapnya masih terus seperti itu akan ada banyak orang yang membencinya kelak.
"Permisi, kau yang bernama Tiffany Hwang?" sela seorang pria berkacamata yang datang dengan beberapa kertas.
"Ya."
"Aku Bryan, ketua Divisi Keuangan. Aku ingin menyerahkan berkas ini yang sepertinya tertinggal."
"Oh, iya. Aku melupakannya tadi." Tiffany dengan sigap langsung meraih dua map bersampul coklat. Ah, melihat itu membuatnya kembali teringat dengan pria bermata elang tadi.
"Tiffany."
"Hm."
"Kau-" Belum sempat Salsha melanjutkan ucapannya saat seorang pria masuk ke dalam ruangan mereka membuat suasana yang sebelumnya nampak gaduh kini mendakak hening. Dari penampilannya, Tiffany menyimpulkan bahwa sosok pria itu adalah orang yang cukup terpengaruh. Dengan cepat, Salsha menarik kursi dan duduk di samping Tiffany.
"Dia siapa?" Tiffany bertanya saat melihat sosok itu malah menghampiri Vina dan duduk di sebelahnya dengan senyuman manis.
"Pria itu bernama Aditya, dia kekasih Vina. Aditya juga pria yang cukup populer di sini, dia sekretaris CEO. Mereka sudah menjalin hubungan saat Vina bekerja di sini. Kapanpun itu saat waktu luang, Aditya akan menyempatkan diri ke sini untuk menemui Vina, aku rasa dia sangat mencintai Vina."
Tiffany berdecih, "Romansa yang menggelikan."
Salsha terkekeh, "Kau tidak boleh berkata seperti itu. Bukannya wajar jika dua insan yang saling mencintai memadu kasih."
"Kau berkata seperti itu seolah kau pernah mengalaminya."
"Aku setuju denganmu, terlihat menggelikan. Tapi, itu hanya berlaku bagi orang-orang yang belum tahu apa artinya jatuh cinta."
"Jatuh cinta? Itu lelucon. Kau pernah jatuh cinta?"
Salsha menggeleng, "Bahkan, aku tidak tahu rasanya menyukai bagaimana jatuh cinta."
"Baguslah. Jatuh cinta hanya membuang-buang waktu, itu tidak penting. Bagaimana bisa kau berkonsentrasi pada pekerjaanmu jika terus di ganggu seperti itu. Kalau mereka saling mencintai kenapa tidak menikah saja."
"Menikah? Kurasa, itu akan menjadi target terakhir dalam hidup Vina. Gadis centil pecinta nomor satu pria tampan. Apalagi Direktur Bali itu."
"Apa maksudmu? Direktur Bali?"
Vina mengangguk, "Beberapa bulan yang lalu, perusahaan ini mendapatkan Direktur Utama baru karena yang sebelumnya memilih pensiun. Biasanya tidak akan seheboh ini sebelumnya karena bukan pertama kali perubahan ini menerima orang dari luar kota. Tapi, pria yang satu ini berbeda. Direktur Bali sangat berbakat, karena ketika dia ada di sini semuanya nampak stabil dan berjalan normal, hampir tidak pernah ada masalah. Juga, dia memiliki kemampuan bahasa asing yang bagus. Itu yang membuatnya sangat mudah populer apalagi dengan wajah tampannya itu. Bahkan, akan menjadi suatu keberuntungan jika kau berhasil melihat lesung pipinya yang membuatnya semakin tampan. Banyak orang yang bilang, dia memiliki tubuh yang seksi, banyak gadis di sini yang menggilainya, bukan hanya Vina."
"Ah, apa kau salah satunya juga?"
Salsha mengedikkan bahunya, "Aku tidak bohong jika aku mengakuinya dia tampan. Dia menunjukkan keberhasilannya menjadi CEO di usianya yang masih muda. Kurasa, itu yang membuat gadis di sini menyebutnya menantu atau suami idaman. Dia sangat bekerja keras."
"Benarkah?"
Salsha mengangguk, "Tapi, aku rasa kau tidak perlu berurusan dengannya. Meski, dia adalah sosok populer di sini, tapi tak ada seorangpun yang mau berteman dengannya. Mungkin, Aditya tergiur gaji tinggi."
"Memangnya kenapa?"
"Ada rumor yang mengatakan bahwa keluarganya di Bali adalah buronan polisi dan dia ke sini untuk bersembunyi. Aku tidak tahu itu hanya berita miring saja atau kebenaran. Tapi, banyak sekali yang menghindarinya karena itu. Lagipula, wajahnya yang dingin menambah kesan misterius yang malah membuat kita semakin curiga. Di sini ada banyak gadis yang menyukainya tapi tak ada satupun yang berani mendekatinya. Bahkan, dia tidak segan-segan menatap tajam seseorang yang terang-terangan memperhatikannya. Ah, dia mengerikan."
"Tapi, kenapa dia bisa menjadi Direktur di sini jika latar belakang dan juga sikapnya yang seperti itu."
"Aku juga tidak tahu. Aku akui jika sudah berurusan dengan pekerjaan, dia akan jauh lebih serius dan nampak seperti biasa saja. Mungkin, jika di depan kolega dia ramah."
"Mungkin, bisa saja dia menyuap pimpinan perusahaan ini agar dia bisa bersembunyi dengan aman. Lagipula, kalau memang dia adalah seorang buronan kenapa tidak ada yang menangkapnya atau dikembalikan saja ke daerah asalnya."
"Aku juga tidak tahu. Yang kutahu, hidup pria itu memang penuh dengan teka-teki."
"Ta-"
Tiffany tak melanjutkan ucapannya kala suasana mendadak hening dan terasa canggung. Tiffany dan Salsha serempak menengadahkan kepalanya, melihat apa yang sedang terjadi di depan sana.
Samar-samar, Tiffany melihat sesosok pria yang sedang berjalan dengan angkuhnya melewati Divisi mereka. Ruangan yang ada di perusahaan ini memang hanya di lapisi oleh kaca pembatas yang di mana dapat melihat suasana ruangan lain dan juga aktivitas luar. Bahkan, tidak ada celah juga dengan ruangan CEO yang menghadap langsung ke arah Divisi mereka bagian belakang.
Para gadis terpesona dengannya. Vina yang memang sejak tadi mengharapkan sosok itu kini menatapnya dengan penuh binar seolah tidak peduli bahwa sang kekasih ada di sampingnya.
Barulah, saat sosok itu sudah menghilang suasana kembali kondusif. Aditya yang notabenenya adalah sekretaris pria itu langsung bangkit setelah sebelumnya mengecup kening Vina kilat.
"David Mahesa, Direktur Utama."
"Dia?"
Salsha mengangguk seraya pindah ke bilik kerjanya, "Sudahlah, kita di pantau dua puluh empat jam. Kerjakan pekerjaanmu, Tiffany."
Tak ada sahutan, Tiffany nampaknya masih memikirkan pria itu. Tidak asing, begitu pikirnya. Dan, ketika ia hendak berkutat dengan komputernya tanpa sengaja ia menatap lurus ke arah depan yang berhadapan langsung dengan ruangan CEO. Tiffany terdiam, lagi-lagi pria itu muncul di hadapannya seakan ingin menjelaskan sekali lagi akan besarnya pesona pria itu di tempat ini.
"Hey, Tiffany. Kenapa kau menatapnya seperti itu? Apa kau juga menyukainya?"
"Tentu saja, tidak." balas Tiffany kikuk. Matanya merunduk saat lagi-lagi pria itu tersenyum padanya.
"Jatuh cinta itu terjadi secara alami dan spontan. Jadi, saat jatuh cinta waktunya emosi yang maju dan logika yang mundur dulu untuk istirahat." - Ollyjayzee***Saat membuka pintu kamarnya, sosok yang pertama kali Tiffany temui adalah wanita paruh baya yang sedang terduduk diam sambil mengamati sebuah kotak musik berwarna pink. Tiffany ingat, itu hadiah dari sang Ayah saat ulang tahunnya yang ke sepuluh."Tiffany? Kau sudah pulang?" Anita meletakkan sebuah kotak musik yang ia ambil dari nakas kecil di samping ranjang. Lalu, bangkit dari duduknya."Sedang apa kau di kamarku?" tanya Tiffany ketus. Sungguh, sebenarnya ia juga ingin seperti anak yang lain yang nampak akur dengan Ibu mereka."Aku sedang bosan. Jadi, aku melihat-lihat kamarmu. Seperti biasa, kau memang selalu rapih menata barang."Tiffany menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bersender di ambang pintu. "Bosan? Memangnya sudah semua negara kau kunjungi? Ah, aku tahu. K
"Dear David Mahesa,Maafkan aku telah lancang menulis di atas kertas putih ini, yang spesial di tujukan hanya buat kamu seorang. Susah aku berfikir untuk membuatnya hingga mohon kau sudi untuk membacanya walaupun hanya sekali saja.Ku ukir kata demi kata, dengan rasa berdegug dalam hatiku yang tak menentu. Tapi ini harus aku lakukan, karena aku tak lagi sanggup menahannya. Aku ingin meluapkan semua, perasaan yang kupendam sejak kita pertama berjumpa.Jika boleh aku katakan aku mencintaimu. Apapun jawabanmu aku terima, karena pilihanmu adalah kebahagiaan bagimu yang berarti kebahagiaan aku juga. Jika di terima aku janji untuk setia bersamamu dan jika pun di tolak maka aku tetap akan menjagamu.Sekali lagi aku minta maaf atas kelancangan ku, tapi apa dayaku, ku terlanjur jatuh hati padamu.Yang menanti jawabanmu-""Jatuh hati?" sambung seseorang dari arah belakang Vina, membuat gadis itu terperanjat kaget setengah mati."Adi
"Hey, Tiffany!" pantau Adit yang membuat Salsha dan Vina yang baru saja hendak ke cafetaria bersembunyi di balik pintu. Kecuali, Tiffany yang malah refleks menoleh ke arah suara, membuat mata Tiffany untuk sekian kalinya beradu tatap dengan pria pemilik mata elang itu. Belum lama memang Tiffany menegaskan bahwa ia ingin menjelaskan semuanya ketika ia bertemu dengan David, tapi di saat sudah terjadi niatannya itu sontak buyar. Pesona pria itu memang luar biasa, hanya dengan tatapan tajam itu membuat bibirnya mati rasa.Tiffany Hwang, gadis berambut panjang gelombang itu mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak peduli pada semua orang yang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Baginya, tatapan dingin David yang sekarang ini menjadi titik fokusnya. Pria Bali itu sama sekali tidak mengedipkan matanya. Tiffany menelan ludah dengan kasar, untuk pertama kalinya ada seseorang yang berani menatapnya dengan sangat tidak bersahabat. Setelah cukup lama berdebat dengan batinnya, Tiffany berdehem. Ras
Tiffany membanting gelas kaca itu di atas meja dengan kencang sampai Salsha yang ada di sampingnya terperanjat kaget."Aish, kau mengagetkanku saja!" omel Salsha seraya mengelus dadanya."Dia benar-benar menyebalkan! Rasanya, aku ingin mengacak habis wajahnya sampai tidak berbentuk lagi." geram Tiffany seraya mengepalkan kedua tangannya.Salsha menghela napas, setelah menjelaskan apa yang terjadi padanya dan David sore tadi, Tiffany nampak uring-uringan, kilat marah terpancar mengerikan dari matanya."Sudahlah, kau percuma jika terus seperti ini."Salsha tahu, sifat temperamen Tiffany turun dari sang Ayah, begitu marah saat sesuatu benar-benar mengusik hidupnya."Jika, kau masih ingin berusaha menjelaskan semuanya lagi pada David, datanglah ke kantor sejak pagi karena biasanya, David selalu datang lebih awal."Tiffany berdecak, "Aku rasa itu bukanlah pilihan yang tepat. Dia itu menyebalkan. Bagaimana bisa dia pergi begitu saja saat aku ingin menjelaskan semuanya?""Kau hanya perlu men
David melirik ponselnya yang menyala, tertera nama sang Paman yang memenuhi layar. Meninggalkan pekerjaannya dan mengangkat panggilan itu."Halo?""Aku hanya memberitahu bahwa kabar Ibumu semakin lama semakin mengkhawatirkan, David. Sudah dua hari belakangan ini, dia sama sekali tidak mau menyentuh makanannya.""Tolong bujuk Ibu, Paman. Dia tidak bisa terus-terusan di infus seperti itu. Dia juga butuh nutrisi dari makanan.""Aku sudah membujuknya, tapi aku memang harus mencobanya lagi. Lalu, bagaimana dengan pencarianmu? Kau sudah menemukan gadis itu?"Kedua mata pria itu menatap lurus, menembus kaca dinding pembatas yang langsung menampilkan ruangan Divisi Keuangan. Namun, bukan itu yang menjadi titik fokusnya tapi gadis berambut panjang dengan bandana merah yang kini nampak uring-uringan di mejanya. Tanpa sadar, David menarik sudut bibirnya ke atas, meninggalkan dua lubang yang selalu membuat para gadis terpesona."Aku sudah menemukannya, Paman." ucap David tanpa mengalihkan pandang
"Jika, kau sudah mengerti maksudku apa, seharusnya kau juga tahu bahwa sekarang kau sudah menjadi milikku, Tiffany. Bukankah begitu?" Perkataan David satu itu membuat semua orang mendelik juga menjerit kaget, termasuk Tiffany sendiri. Tiffany menggelengkan kepalanya, heran. Pria di hadapannya ini yang sialnya tampan sungguh gila! Bagaimana bisa orang yang sama sekali tidak mengenal pun dapat menjalin sebuah hubungan dalam kurung waktu tidak lebih dari dua puluh empat jam! "Kau salah paham, surat-""Ah, aku sangat lapar." David memotong ucapan Tiffany seraya memegang perutnya. Semua gadis yang ada di sana berkedip, bersama Tiffany membuat mereka melihat untuk pertama kalinya sang bos tampan berlagak seperti anak kecil yang merengek."K-kau-""Ayo! Temani aku.""Kau gila?!" Tiffany memekik, kali ini ia tidak bisa menutupi raut terkejutnya."Kau sangat menggemaskan, Tiffany. Tapi, aku sangat lapar dan aku ingin kau temani.""Aku tidak mau!" "Oh, ayolah. Kita ini sudah sepasang kekasi
Berada di belakang kantor, jauh dari pusat keramaian jalanan ibu kota membuat taman kecil ini menjadi tempat favorit para karyawan saat sedang tengah hari seperti ini. Duduk di kursi dengan semilir angin yang berhembus, menerbangkan helai rambut Tiffany yang sedang menikmati makan siangnya. Saat ini, taman sedang ramai-ramainya karena sudah jam makan siang. Menurut gadis itu, tidak ada yang membuatnya kecewa sepanjang ia memperhatikan sekitar, apalagi hanya selisih satu lorong untuk pergi membeli makanan di cafetaria. Tempat ini memang sangat cocok untuk bersantai, melepas penat dari pekerjaan.Kepala gadis itu memutar ke arah lorong yang terhubung dengan kantin. Sebenarnya, Tiffany tidak sendirian di sana, ada Vina dan juga Salsha yang sedang membeli jus. Namun, gerakan matanya terhenti pada sosok pria yang sedang berjalan ke arahnya dengan wajah datar seperti biasa. Tiffany terdiam. Pikirannya seketika terasa kosong saat pria itu memilih duduk di kursi kosong di sebelahnya. Demi
Belum sempat Tiffany menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja dari arah berlawanan seseorang menabraknya dengan cukup kencang hingga menumpahkan warna kuning jus jeruk itu pada blouse putih yang Tiffany kenakan, menampilkan pakaian dalamnya. Tak hanya Tiffany dan juga Salsha yang terkejut, tapi semua mata memandang yang ada di situ membeliak kaget. Tiffany menggerakkan giginya."Kau buta?! Kau tidak bisa melihat ada orang di sini?!" "A-aku- tidak sengaja. Aku sedang terburu-buru. Ma-maafkan aku, Tiffany." Nampak terlihat jelas raut takut dari gadis berambut pendek ini."Maaf? Mudah sekali kau bicara maaf seperti itu! Kau tidak melihat bajuku sekarang! Kau senang melihat tubuhku di pandang banyak orang?!" "Ma-afkan aku, Tiffany. A-aku akan menggantinya.""Menggantinya?" Tiffany berbalik ke arah Salsha, mengambil paksa minuman si sepupu dan membawanya pada gadis yang tengah berdiri gemetar di depannya. "Kau juga harus merasakannya."Byurr...Sekali lagi, semua orang yang berada di te
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin