Tamara terdiam, wajahnya dipenuhi kebingungan. Dia tidak mengerti kenapa sikap Davis tiba-tiba berubah drastis terhadapnya. Sejak dia terbangun dari pingsan, semuanya terasa berbeda. Davis menjadi begitu perhatian dan lembut, sebuah sikap yang membuat Tamara merasa asing.Lamunannya buyar ketika pintu kamar terbuka. Lilya melangkah masuk dengan membawa troli makanan yang berisi sarapan untuk Tamara. Di atasnya, ada semangkuk bubur yang tampak hangat, tepat untuk kondisinya yang masih lemah. Lilya mendekat, mendorong troli ke sisi ranjang Tamara."Nyonya, saya membawakan semangkuk bubur untuk anda.”“Terima kasih, Lilya.”“Omong-omong, bagaimana perasaan anda sekarang? Apakah anda sudah merasa lebih baik?" tanya Lilya dengan nada penuh kekhawatiran.Tamara mengangguk pelan sebagai jawaban. "Hanya masih sedikit pusing. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa?"Lilya menatap Tamara sejenak sebelum menjelaskan dengan hati-hati. "Kemarin, anda pingsan sa
Davis baru saja selesai mengenakan pakaian lengkap setelah mandi. Namun, meski telah bersiap sepenuhnya, langkahnya tertahan ketika matanya tertuju pada sosok Tamara yang masih terbaring lemah di atas ranjang.Tamara terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dan napasnya terdengar halus. Davis terdiam, memperhatikan setiap detail wajah wanita itu. Dalam keheningan seperti ini, kecantikan Tamara tampak lebih mencolok. Ada kehangatan dan ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meskipun kondisi tubuhnya sedang tak berdaya.Perlahan, Davis mendekat dan duduk di tepi ranjang, pandangannya masih tertuju pada Tamara. Wajah wanita itu begitu damai, jauh berbeda dari biasanya. Seakan-akan, dalam tidur, semua masalah dan beban hidupnya menghilang sejenak, meninggalkan hanya kedamaian.Tatapan Davis kemudian beralih ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, tergeletak sebuah gelang yang baru saja ditemukannya. Gelang itu terlihat biasa saja, terbuat dari tali kulit dengan sebuah liontin
Davis dan Tamara akhirnya duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan mereka setelah satu minggu yang penuh ketegangan di Aqualuna Isles.Matahari pagi menerangi ruangan dengan sinarnya yang lembut, dan angin laut yang segar menambah suasana damai. Tamara yang baru saja sembuh dari demamnya tampak jauh lebih segar dan ceria. Wajahnya yang sempat pucat kini mulai kembali berwarna. Meskipun sebagian besar waktu bulan madu mereka tersita karena sakit Tamara, hari ini mereka bisa duduk bersama tanpa ada rasa cemas.“Bagaimana perasaanmu pagi ini?” tanya Davis, suaranya lembut namun penuh perhatian. Matanya tak lepas dari Tamara.Tamara tersenyum, meneguk jus jeruk dari gelasnya sebelum menjawab, “Aku merasa jauh lebih baik. Tubuhku sudah tidak seberat sebelumnya, dan demamku juga sudah benar-benar hilang.”Davis mengangguk, merasa lega mendengar itu. Selama empat hari terakhir, Davis dengan telaten merawat Tamara hingga wanita itu benar-benar pulih. Meski lelah, tapi melihat Tamara yan
Tamara terdiam sambil memandangi pemandangan laut yang terbentang luas di hadapannya. Matahari pagi bersinar lembut, memantulkan cahaya keemasan di atas permukaan air, menciptakan pemandangan yang menakjubkan.Tamara berusaha menikmati pemandangan itu sepuas mungkin untuk terakhir kalinya, menyerap setiap detailnya ke dalam ingatan. Angin laut yang sejuk berhembus pelan, mengibaskan ujung-ujung rambutnya. Perasaan nostalgia tiba-tiba menyergapnya, mengingatkan betapa singkatnya waktu yang mereka habiskan di Aqualuna Isles.Di belakangnya, Davis tengah sibuk mengeluarkan koper-koper mereka dari kamar. Beberapa pelayan dengan sigap membantu memasukkan koper-koper itu ke dalam bagasi mobil yang sudah siap mengantar mereka ke bandara. Davis terlihat serius, berusaha memastikan tidak ada barang yang tertinggal.Tamara yang tadinya asyik dengan pemandangannya, segera mengalihkan perhatian ketika Davis menghampirinya."Kau sudah siap?" tanyanya dengan suara tenang, sambil menatap istrinya.T
Tamara duduk terpaku, pandangannya tak lepas dari jendela pesawat. Awan-awan putih yang bergumpal-gumpal di luar jendela melintas perlahan, seolah mengikuti irama pikirannya yang kalut.Sejak masuk dan duduk di pesawat, benaknya terus dihantui oleh perkataan Lilya. Tamara masih tidak mengerti kenapa Davis berbohong tentang siapa yang sebenarnya menemukan gelangnya. Kenapa suaminya tidak mengakui saja bahwa dialah yang menemukan gelang itu, dan malah menyebut Lilya sebagai orang yang berjasa?Tamara menggeleng pelan, berusaha mengusir kebingungannya. Namun, semakin lama ia mencoba memahami, semakin ia merasa tersesat dalam pikirannya sendiri. Kenapa Davis melakukan itu? Apakah dia hanya ingin membuatku merasa lebih baik? Atau ada alasan lain yang tidak aku ketahui?Di sisi lain, Davis duduk di sampingnya dengan tenang. Namun, tatapan matanya tak lepas dari Tamara. Dia menyadari bahwa istrinya itu terlihat jauh dan terjebak dalam lamunannya. Rasa khawatir mulai muncul di benaknya, dan t
Tamara dan Davis akhirnya tiba di rumah dengan selamat setelah perjalanan panjang dari Aqualuna Isles. Begitu mereka memasuki apartemen, Tamara merasa tubuhnya langsung melemas, lelah setelah perjalanan yang tidak singkat itu. Davis dengan sigap membimbingnya ke ranjang di kamar mereka, memastikan bahwa Tamara bisa beristirahat dengan nyaman.Malam itu, suhu tubuh Tamara sempat naik lagi. Davis segera menyadarinya dan langsung memberikan obat serta menyuruh Tamara untuk kembali beristirahat."Minum obat ini. Jangan sampai kondisimu semakin parah," kata Davis dengan nada tegas, tetapi lembut. Tamara meraih obatnya, dan kembali merebahkan diri di atas ranjang mereka.Setelah pulang kembali ke rumah, Davis dan Tamara memutuskan untuk mengambil satu hari lagi untuk libur agar mereka bisa beristirahat. Mereka perlu memulihkan tenaga mereka sebelum memulai kembali menjalani rutinitas yang sibuk.Setelah satu hari penuh mengambil libur untuk beristirahat, Davis merasa bahwa Tamara sudah terl
Tamara memeluk Dalena erat, merasakan hangatnya pelukan ibunya setelah seminggu lamanya berpisah. Mata Tamara bersinar penuh kebahagiaan, tak bisa menyembunyikan rasa rindu yang selama ini ia pendam.Dalena membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang, senyumnya merekah saat ia akhirnya bisa merasakan putrinya kembali dalam pelukannya. Perasaan cemas yang sempat menghantui pikirannya selama seminggu terakhir perlahan sirna, tergantikan oleh kebahagiaan karena Tamara ternyata baik-baik saja.“Mama sangat senang bisa melihatmu lagi, sayang,” ujar Dalena sambil menepuk-nepuk punggung Tamara dengan lembut. Ada kelegaan yang tak terkatakan dalam suaranya. “Mama sempat khawatir. Entah kenapa, selama seminggu ini mama merasa tidak enak hati.”Tamara tersenyum lembut, melepaskan pelukan itu perlahan. “Aku juga rindu sekali dengan mama. Maaf kalau sempat membuat mama cemas,” katanya sambil menatap Dalena dengan penuh kasih. Ia tahu betul bagaimana ibunya selalu khawatir akan dirinya, dan mes
Davis baru saja kembali ke ruang kerjanya setelah makan siang ketika dia mendapati sosok yang tidak terduga duduk di sofa ruang kerjanya, menunggunya sejak beberapa saat yang lalu.Dominic—ayahnya, tersenyum lebar begitu melihat putranya masuk. Davis sedikit terkejut melihat kehadiran ayahnya yang tak terduga itu. Biasanya, Dominic memberi tahu terlebih dahulu sebelum datang, namun kali ini berbeda."Bagaimana kabar putraku yang baru saja kembali dari bulan madu?" tanya Dominic dengan nada ceria sambil beranjak bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Davis yang masih berdiri di pintu dengan wajah terkejut.Davis menghela napas, mencoba menenangkan diri dari rasa kagetnya. "Dad, kenapa mendadak datang tanpa memberitahu dulu?" tanyanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di belakang kursi.Dominic hanya tertawa kecil dan mengajak Davis untuk duduk. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik. Lagipula, aku sangat penasaran dengan bagaimana bulan madumu bersama T