Cassie memejamkan matanya yang lelah. Satu, dua, tiga, …sepuluh, dihitungnya pelan-pelan sesuai tarikan dan hembusan napas. Kepalanya berdenyut lebih menyakitkan setiap membaca satu lagi kalimat dari salah satu jurnal yang tersimpan dalam l**k cloud yang dihapalnya (ya, Cassie menghapal browsing address panjang itu dan bukan bit.ly-nya).
Satu kata: MOQ.
Skenario apa yang harus Cassie pilih? Cewek itu tahu jawabannya, namun otaknya harus berpikir seratus kali untuk memilih kata-kata di hadapan orang-orang ini. Satu kesalahan kecil bisa jadi alasan mereka untuk makin membenci Cassie dan memaksanya mundur dari posisinya sebagai CEO PT Bellezza.
“Saya masih pada pendapat saya di awal,” ujar Pak Hendra, COO (Chief Operating Officer) PT Bellezza. Umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, sepertiganya diabdikan untuk perusahaan ini. Singkat kata, mayoritas BOD (board of director) akan memercayai nyaris semua ucapannya. “Memesan bahan baku lagi untuk MOQ (minimum order quantity) sebesar satu juta pcs final goods menurut saya kurang bijaksana. Vitamin yang kita produksi rata-rata hanya terjual lima ribu pcs setiap bulan. Bahan baku bisa rusak bila disimpan terlalu lama.” Kata-katanya diucapkan dengan kalimat halus yang tegas dan reason dibaliknya sangat masuk akal. Sayangnya, Cassie tidak bisa setuju kali ini.
“Tapi bila kita tidak memesannya sekarang, akan terjadi out of stock di market. Bukankah tidak akan menguntungkan bagi kita? Toko-toko pasti akan protes, apalagi menjelang masa festive di mana penjualan bisa meningkat hingga dua kali lipat,” bantah Cassie. Cewek itu sadar suaranya nyaring dan terdengar seperti anak kecil yang tidak mau kalah. Di mata para BOD, mungkin dia terdengar seperti seseorang yang memaksakan pendapat amatir. Sayang bagi mereka, sebagai CEO (Chief Executive Officer), keputusan terakhir tetap ada di tangan Cassie.
“That’s it. Dua kali lipat.” Cassie melirik ke sisi kanannya. Bu Andini, CFO (Chief Financial Officer) PT Bellezza membuka suara. Wanita itu diam sepanjang presentasi dan baru mulai memberikan pendapatnya, dan tampaknya ia akan menentang Cassie seperti BOD lain. “Dan hanya di masa festive, berarti hanya sekitar dua bulan kan? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk sisa bahan bakunya? Masa simpannya hanya satu tahun. Misal lima ribu pcs kita kalikan empat belas karena penjualan di masa festive naik dua kali lipat. Hanya 70.000 pcs per tahun.”
C-health adalah signature product PT Bellezza yang tidak boleh dihentikan produksinya apa pun alasannya. Sebagai identitas dan asal-usul PT Bellezza, C-health memang tidak relevan lagi sebagai sales driver product, tetapi masih dapat digunakan untuk keperluan lain. Dua kalimat tersebut menghantui Cassie sejak awal meeting dimulai. Kak Vino, ayah Dhika, sudah menulisnya seperti ini, yang berarti Cassie harus memperjuangkan pembelian bahan baku produk C-health bagaimanapun caranya.
“Bagaimana dengan keperluan lain?” tanya Cassie setenang mungkin.
“Kita memproduksi barang untuk menjualnya, Bu Cassie,” sergah Bu Andini dingin, membuat keringat dingin mengalir dari leher belakang Cassie ke punggungnya. Namun saat kau sudah mengalami yang lebih menyakitkan dibanding menghadapi kematian, satu dua kalimat tak berperasaan tak akan mampu menembus otakmu terlalu dalam. “Kita bukan organisasi non-profit.”
Satu tarikan napas, dan Cassie menutup laptopnya dalam satu hentakan. Ia akan menyelesaikan ini dan pulang secepatnya, lalu memeriksa suhu tubuh Dhika. Dirutuknya jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. “Bapak Ibu, C-health adalah signature product PT Bellezza. Mungkin kita tidak bisa menjualnya secara mass lagi, tetapi kita bisa menggunakannya sebagai hampers untuk relasi, hadiah-hadiah giveaway, atau sebagai gift untuk pembelian produk lain. Tiga puluh tahun lalu, PT Bellezza dimulai dengan C-health. Kita sudah cukup dinamis dengan berbagai produk baru setiap tahun, tetapi C-health adalah identitas kita yang tidak boleh hilang. Pak Hendra,” Cassie mengunci pandangannya pada pria berkemeja biru yang duduk di seberang kursinya. “Berapa penjualan seluruh produk kita setiap tahun? In pcs?”
“Sekitar lima puluh juta pcs,” jawabnya singkat. Kemeja lengan panjangnya digulung sampai siku dan meskipun tampak masih yakin dengan pendapatnya, pria itu mulai terlihat lelah dan ingin menyelesaikan meeting ini secepatnya.
“Pak Hari, alokasikan C-health untuk aktivitas marketing sebesar 200.000 pcs per tahun. Oke?” Cassie kini menyapukan pandangannya pada CMO (Chief Marketing Officer) yang duduk di ujung kiri. Pria paruh baya itu mengangguk. “Berapa persen dari total pengajuan free product marketing?”
“Lima puluh persen, Bu Cassie.”
“Noted. Bu Anggi.” Cassie menyebut nama CCO (Chief Commercial Officer) yang duduk di samping Pak Hari. “200.000 pcs untuk marketing, 70.000 pcs untuk penjualan organik. Bisa habiskan 730.000 pcs sisanya untuk program sales yang menunjang penjualan produk lain?”
Bu Anggi mengangguk mantap. “Ya, Bu Cassie. Ada banyak program tim sales yang membutuhkan free product.”
“Bagus. Apakah ada sanggahan lagi dari Bapak Ibu yang lain?”
Cassie menahan napasnya, namun semua orang hanya diam. Lalu, saat Cassie akan menutup meeting, suara Pak Hendra kembali terdengar.
“Bu Cassie, bukannya saya tidak menghargai pendapat Ibu. Hanya penasaran, kenapa Ibu sangat ingin mempertahankan C-health? Ini bukan yang pertama kalinya.”
“Karena CEO sebelumnya bilang demikian,” jawabnya singkat.
Mengangguk sopan, Cassie meninggalkan ruangan dengan cepat.
***
“Oke, nanti Cassie akan jadi CEO saat umur tiga puluh ya. Siap kan?” Vino memandang calon adik iparnya dengan mata berbinar-binar. Bahkan saat SMA, anak ini sudah mengelola online shop yang cukup besar dan terkenal di kalangan penjual pernak-pernik. Tiga belas tahun mendatang, rasanya Vino sudah cukup tua untuk melepas perusahaan, dan pilihan terbaiknya untuk meneruskan PT Bellezza adalah Cassie. Anak ini punya sense of business yang begitu bagus. Tiga belas tahun tentunya waktu yang cukup untuk mengasahnya jadi CEO yang hebat. “Pokoknya harus sudah hapal semua jurnal ini di luar kepala, baru boleh jadi CEO.”
“Siap, Kak Vino,” jawab Cassie mantap. Disimpannya l**k cloud tempat jurnal-jurnal Vino tersimpan. Kemudian cewek itu mengernyit. “Aku nggak yakin akan hapal semuanya meski sudah umur tiga puluh. Ini banyak banget.”
Vino mendelik. “Mau jadi CEO nggak?”
“Memangnya aku punya pilihan?” Cassie bertanya main-main.
“Nggak. Soalnya, Kak Vino sudah nulis nama Cassie di surat wasiat.” Cassie tertawa ringan menanggapinya, sadar benar ia masih punya banyak waktu untuk belajar mengelola PT Bellezza. “Oh, Cass, satu lagi.”
Cewek itu menutup laptopnya. “Hm? Apa Kak?”
“Act like a leader, not a victim. At all costs, at all times.” Pria itu menatap calon adik iparnya dengan serius. Ada kilau yang familiar di matanya dan Cassie tidak bisa berpaling. “Akan ada waktunya masalah merundungmu, terutama dari mereka yang beranggapan kamu hanya mendapatkan posisi CEO karena hubungan keluarga.”
“Well it’d be true.” Cassie menyeka poninya ke balik telinga. Membayangkannya saja sudah membuatnya down, bagaimana saat ia mengalaminya nanti?
Vino masih memandangnya serius. Ditepuknya laptop Cassie yang tertutup. “Well, apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menyalahkan keadaan, oke? Karena CEO bukan korban, Cass, mereka pemimpin.”
“Itu artinya mereka nggak lari dari keadaan, mereka mencari cara untuk menyelesaikan masalah dari keadaan yang nggak diinginkan.”
Vino tersenyum. “Good girl. Pantes aja bisa punya online shop segini besar.” Vino menyinggung toko online Cassie yang menjual berbagai pernak-pernik khas wanita dan kini sudah cukup besar. Penghasilan rata-ratanya sudah sekitar lima juta per bulan hanya sebagai dropshipper!
Menanggapi calon kakak iparnya, Cassie cemberut sedikit. “Nggak ada hubungannya sama kerjaan sampinganku, Kak.” Vino hanya tertawa.
Suara langkah kaki membuat keduanya menoleh. Rupanya Dhika menghampiri sembari membawa tiga gelas jus mangga. “Pasti ngomongin wasiat ya? Matanya ijo semua tuh.”
“Dhika, anak kesayangan Papa!” seru Vino heboh. Diambilnya segelas jus manga, lalu diteguk banyak-banyak. “Yapp, lagi nakut-nakutin calon tantemu tentang betapa susahnya jadi CEO.”
Menyerahkan salah satu gelas ke Cassie, Dhika duduk di antara ayahnya dan cewek yang akan menjadi tantenya beberapa bulan ke depan. “Eh, nggak boleh ditakut-takutin. Nanti dia nolak dan aku bakal gantiin namanya di wasiat Papa. Cass, nggak serem kok. Tetep jadi CEO ya? Please! Please!”
“Tenang aja. Posisimu sebagai pemilik semua asset ayahmu nggak akan berubah kok, calon pendiri perusahaan IT,” goda Cassie.
Calon keponakannya mengangguk semangat. “Tiga belas tahun lagi, aku akan jadi CEO perusahaanku sendiri, kamu akan nerusin PT Bellezza, sedangkan Papa dan Tante Lila akan duduk-duduk santai di rumah sambil menikmati suasana halaman belakang. Isn’t life amazing?”
Cassie menghembuskan napas saat membuka sepatunya di pintu depan rumah. Lehernya pegal dan kepalanya pusing setelah meeting panjang dan flashback singkat malam ini. Jika dihitung, cewek itu yakin ia menghela napas lebih banyak hari ini dibanding ia mengedipkan mata. Rencananya malam itu hanya dua: membuat segelas mojito dan tidur cepat. Cewek itu ingat jelas ia masih punya sedikit sirup leci di kulkas. Namun, pemandangan Dhika yang menonton film di ruang tengah membuyarkan rencana yang sudah tersusun rapi tersebut. Cassie melangkah mendekat. Memangnya apa sih yang ditonton Dhika sebegitu seriusnya?Diliriknya layar lebar televisi,”Aaaaa!” Dan berteriak kaget. Apa-apaan?!“Cass!” seru Dhika. “Mau ngagetin apa gimana, sih? Kamu tau aku nggak kagetan.” Dipelototinya Cassie dengan kesal karena mengganggu acara nonton filmnya persis di bagian action yang seru. Backsound menegangkan memenuh
Cassie yang sedang tidur tampak seperti malaikat.Nafasnya halus dan berirama. Dadanya naik turun dengan lembut, menandakan tidurnya damai tanpa terusik mimpi buruk apa pun, membuat Dhika bersyukur.Berbeda dengan Cassie, Dhika dihantui mimpi buruk setiap malam. Keringat dinginnya selalu keluar, membasahi seprai lembut yang dibelikan Cassie khusus untuk apartemennya. Kadang-kadang, cowok itu bahkan menemukan bantalnya basah karena air mata. Sayang sekali Dhika tak pernah ingat apa mimpinya, namun yang ia tahu, setiap mimpi itu selalu mendekatkannya ada Cassie. Bila boleh menebak, mimpi-mimpi itu pastilah kilas balik masa lalu yang ia lupakan.Cowok itu tidak pernah bisa memutuskan apakah ia harus bersyukur atau merutuk pada Tuhan atas mimpi-mimpinya. Di satu sisi, ia selalu terbangun dalam keadaan lelah dan hati tidak tenang. Namun di sisi lain, Dhika juga merasakan hubungan yang makin erat dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum kehilangan ingatan setelah mi
Kebanyakan wanita akan bilang bahwa cowok berkemeja biru, berkulit putih cerah, dan berambut cepak itu sempurna. Mobil yang dikendarainya cukup mewah, menandakan ia orang berada. Wajahnya tampan dan seringkali ia disangka aktor yang sedang menyamar apabila berkeliaran sendirian dengan kacamata hitam di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Tidak hanya itu, tutur katanya sopan dengan suara lembut yang mengalun bagai harpa. Namun bagi Cassie, cowok ini hanyalah Beni.Jangan salah sangka, Cassie menyukai Beni mungkin sebesar cowok itu balik menyukainya. Akan tetapi rasa suka tersebut tidak terbentuk dalam waktu satu hari. Beni harus ada di samping Cassie, bersabar akan keangkuhannya, dan terus menyayanginya selama dua tahun penuh sebelum Cassie luluh akan pesona cowok itu. Untungnya, Beni benar-benar merasa bahwa Cassie layak diperjuangkan.Malam ini, dengan keberuntungan yang dipaksakan, ia mengajak Cassie makan malam di luar tanpa janji terlebih dahulu.
Mood Cassie benar-benar bagus setelah sealing the deal dengan Beni. Beni –yang sudah siap rekeningnya terkuras plus mendapat ocehan dari tim legal perusahaannya—hanya bisa menyeringai. Apa artinya tabungan banyak kalau tidak bisa menyenangkan kekasihnya? Lagipula, sebagai pewaris tunggal perusahaan milik ayahnya, cowok itu punya satu-dua privilege terkait finansial. Masa bodoh. Beni senang sekali malam ini.Beberapa menit lalu setelah Cassie menyelesaikan dessert-nya, mereka berdua bercerita panjang lebar tentang hari masing-masing. Beni meeting dengan klien super menyebalkan yang meminta early commitment program dengan potongan harga keterlaluan.“Bukannya kamu hobi bagi-bagi voucher diskon setengah harga?” ejek Cassie, merujuk pada tawaran Beni sebelumnya.Cowok itu berdecak gemas. “Memangnya aku bakal memperlakukan bapak-bapak paruh baya asing sama dengan aku me
Beni akhirnya membiarkan Cassie turun dari mobilnya setelah pelukan panjang yang berujung pada gerutuan Cassie. Punggungku sakit, protes cewek itu. Meskipun begitu, ada senyum di wajah kekasihnya saat ia melambai, menunggu sampai cewek itu mengunci pintu pagarnya dengan aman.Sementara itu, Cassie bersandar di pagar setelah Beni menghilang dari pandangan. Membayangkan ia akan punya satu hari untuk liburan –setelah sekian lama, akhirnya ia bisa pergi ke pantai lagi!—membuat hati cewek itu hangat. Beni dengan segala kerendahan hati dan taktik busuknya, huh, betapa kontradiktif. Namun Cassie tau semua adalah untuknya. Memang siapa Cassie berhak untuk protes?Paper bag berukuran sedang di tangannya kemudian mengalihkan perhatian Cassie dari Beni. Pukul 23.50. Apa Dhika masih bangun? Tidak setiap hari seseorang bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-22, jadi sebuah kue yang cantik memang harus mendampingi pergantian umur Dhika.Sayangnya,
Lagi-lagi rencana Cassie gagal. Tidak apa-apa sebenarnya. Surprise yang diberikan teman-teman Dhika sungguh meriah, heboh, dan berisik—Cassie tahu benar keponakannya menyukai acara yang seperti itu. Semuanya bagai de javu kejadian tahun lalu, saat teman-teman terdekat Dhika menyelinap ke dalam rumah tengah malam buta dan dipergoki salah seorang pelayan yang kebetulan bangun karena mendengar suara berisik. Walaupun diam-diam cewek itu merasa bahagia karena Dhika memiliki banyak teman yang begitu baik, ia juga mengancam anak-anak itu untuk tidak pernah melakukan hal semacam itu lagi. Menyusup ke rumah seseorang diam-diam merupakan suatu tindakan kriminal. Bagaimana kalau Bi Atiek sudah menelepon polisi saking takutnya dan bukannya melapor ke kamar Cassie malam itu? Berbeda dengan Cassie, Bi Atiek tidak mengenal wajah teman-teman Dhika yang memang selalu main ke apartemen ketimbang rumah tersebut. Jadilah, seharusnya Cassie sudah menduga kalau akan ada
Seharusnya hari ini akan menyenangkan. Kenyataannya, belum apa-apa Dhika sudah merasa lelah luar biasa. Semalaman tidurnya gelisah dan lengannya yang terluka berdenyut-denyut menyakitkan. Beberapa kali ia terpikir untuk pergi ke dokter, tapi Cassie akan tahu kalau ia pergi dan berujung dengan pertanyaan tiada akhir di mana jawaban satu-satunya yang akan diterima cewek itu sama dengan jawaban yang tidak ingin Dhika berikan. Kau laki-kali. Kau kuat. Ini hanya luka kecil. Demi Cassie. Demi dirimu sendiri. Kuatlah! Demamnya muncul lagi begitu ia terbangun pukul dua dini hari. Beruntung Cassie masuk ke kamarnya dan memeriksa sebelum dahinya cukup panas. Bukannya Dhika tidak tahu apa yang akan terjadi di hari spesial ini. Akibat tidurnya yang tidak nyenyak, cowok itu menyadari kehadiran Cassie di depan pintu kamarnya sejak pukul lima. Cewek itu akan menempelkan telinganya sesekali untuk memeriksa apakah Dhika sudah bangun, jelas sekali dar
Bukannya Cassie berlebihan, tetapi bisa dibilang ia adalah orang yang tertutup. Sebagian orang pasti setuju dengan pendapatnya berhubung cewek itu selalu memasang topeng dingin sok berkuasa bagai malaikat kematian di depan para BOD (yang terus-terusan meremehkannya, meskipun ia memang pantas diremehkan jika dilihat dari pengalaman kerja dan umurnya. Hell, alih-alih pengalaman kerja, Cassie bahkan belum lulus sarjana), serta berpura-pura jadi orang dewasa yang lebih tahu segalanya di depan orang-orang seumurannya. Cassie tidak selalu seperti itu. Ada kalanya ia hanyalah seorang cewek remaja arogan yang mempunyai uang jajan sedikit lebih banyak dibanding teman-teman dengan status ekonomi yang sama akibat sudah hobi berbisnis online sejak kecil. Plus, teman terdekat sekaligus adik kecilnya adalah Dhika sang pewaris utama PT Bellezza yang tumbuh pesat di dunia kosmetik dan vitamin. Keadaanlah yang memaksa Cassie untuk jadi dewasa lebih
Satu bulan sebelum ulang tahun Dhika yang kedelapan belas… “Apa gunanya penasaran, sih?” Putra berdecak kesal. Sedari pagi, sohibnya yang bernama Andhika Pratama terus menerus merundungnya tentang kado apa yang akan diberikan Cassie, calon pacar garis miring calon tante cowok itu untuk ulang tahunnya yang kedelapan belas (well, Putra agak bingung menentukan title Cassie di sini karena hubungan keduanya memang sangat rumit, tapi masa bodoh karena jika Cassie menjadi tante sohibnya, dia akan punya banyak kesempatan untuk jadi calon pacar Cassie). “Karena kado ini dari Cassie. Dan cewek itu nggak pernah ngasih kado sembarangan.” Dan apa maksudnya itu? “Bro, ulang tahun lo sebulan lagi. Tunggu aja. Kado kan memang harusnya jadi kejutan.” Putra kini menyibukkan diri dengan ponselnya, malas menanggapi Dhika yang memang super terobsesi pada Cassie. Sayangnya, Dhika punya pikiran lain. “Bayangin kalau dia ngasih gue sepatu
“By the way,” Cassie berdiri sembari membawa kotak mentai rice yang sudah kosong. “Aku belum kasih ucapan selamat secara official untuk the birthday boy.”“It’s me.” Dhika menambahkan.Beni, objek sasarannya, menanggapi santai, “I know. I accompanied Cassie to the bakery shop.”“So,” sela Cassie, menghentikan adu mulut keduanya. “Happiest birthday. Aku ambil kuenya dulu.”Cassie kembali dengan kue dan korek api. Kali ini, cewek itu tidak melihat tanda-tanda ada perdebatan kekanakan lagi di antara keponakan dan kekasihnya kali kedua para cowok itu ditinggalkan berdua saja di dalam satu ruangan.“Just for your information,” Dhika berdeham saat Cassie tiba, matanya tidak meninggalkan Beni. “Ada korek api di rumah ini bukan berarti aku atau Cassie merokok. Aku bahkan ng
Hal paling awkward yang mungkin pernah terjadi di hidup Cassie adalah salah masuk ruang meeting saat ia baru saja menjabat sebagai CEO sementara. Cassie ingat benar bagaimana tangannya yang mendorong gagang pintu langsung dingin dan kaku seketika saat berpasang-pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh. Apa dia karyawan baru yang datang terlambat di hari pertama? Mungkin sebagian besar berpikir seperti itu, berhubung ruangan yang salah dimasukinya adalah ruang induction. Parah sekali, terlambat satu jam! Lebih mungkin lagi, itulah kalimat yang semua orang pikirkan. Saat itu, Cassie ingin kabur secepatnya dan mengubur diri di tong sampah terdekat, tetapi tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan dalam angan-angan. Lagipula cewek itu sudah berjanji untuk menjaga PT Bellezza sebaik mungkin. Jadi dengan penuh percaya diri, Cassie membenarkan postur tubuhnya, dan berkata dengan nada bass yang sudah ia latih sema
“Rule number one, behave, ada Dhika di dalam.” Beni bukan orang yang gampang terintimidasi, apalagi dengan orang yang lebih muda dibandingkan dirinya. Jika ingin contoh ekstrim, Beni bahkan tidak terintimidasi oleh deretan C-level bertampang seram di perusahaannya sendiri (tapi posisinya sebagai calon penerus perusahaan mungkin berpengaruh besar dalam hal ini). Jadi, bertemu keponakan Cassie seharusnya bukan hal yang sulit. Dhika mungkin tidak menyukainya dengan alasan kuno seperti kau-tidak-cukup-baik-untuk-tanteku-yang-sempurna, tapi cowok itu tidak mungkin membencinya, kan? Beni belum (jangan sampai!) berbuat sesuatu yang menyebabkan Cassie marah besar atau sedih luar biasa, jadi seharusnya ia ada di posisi aman. Jika Beni boleh jujur, malahan ia sudah memiliki rasa peduli pada Dhika walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali. Kekasihnya selalu bercerita tentang Dhika, keponakannya, dan satu-satunya keluarganya. Beni tahu mereka bukan tant
Beni tahu dan paham semua teori dan nasihat tentang fokus mengemudi dan jangan melihat ke arah lain selain spion dan jalanan. Cowok itu bukan pengemudi ugal-ugalan, sungguh. Saat orang-orang lain membuat SIM A dengan jalur dalam (atau jalur uang, well, sama sajalah), Beni mengambil les mengemudi selama dua minggu untuk mempersiapkan diri dalam tes pengambilan SIM. Hasilnya, dia lulus dengan mudah dan murah. Jadi, Beni tahu benar apa yang dilakukannya ini salah. Jalanan ibukota malam-malam begini memang cukup lengang, namun bukan berarti tidak akan ada mobil atau motor yang mencoba menyalip (baik dari sebelah kanan maupun kiri). Meskipun begitu, lebih dari setengah perhatian Beni kini tidak tertuju pada jalanan. Tangan kirinya memang masih berada di atas setir, namun tangan kanannya merangkul pundak Cassie yang practically bersandar pada bahunya. Beni melirik ke tangan cewek itu yang gemetaran sesering yang ia bisa tanpa membuat mereka olen
“Masih beef bowl terenak yang pernah gue makan.” Putra berkata di sela-sela kunyahannya. Setelah selesai mengambil surat rekomendasi magang di TU, cowok itu dan Dhika makan di Kafe Kafe, kafe tempat Dhika bekerja part-time. Nama yang aneh? Definitely. Namun nama-nama unik seperti inilah yang menimbulkan kesan kekinian dan membuat orang-orang tertarik untuk mencoba. Apalagi di lingkungan dekat kampus yang sasaran utamanya mahasiswa. Nama Kafe Kafe yang unik juga diiringi dengan interior kafe yang menarik, seperti berteriak-teriak kepada cewek-cewek pecinta I*******m, “Ayo foto di sudut ini!” atau semacamnya. Ada tema musim gugur di satu sisi ruangan, lengkap dengan dedaunan dan rumput-rumput yang mulai menguning. Bahkan ada lampu sorot berwarna kekuningan yang mengarah ke sudut itu sehingga suasananya khas sendu musim gugur. Di sisi lain, ada tembok dan pintu warna-warni seperti yang sering ditemukan di tempat wisata bergaya Belanda. Tambaha
Untungnya, Dhika sampai di kelas sebelum Pak Rodi tiba. Sebenarnya nyaris terjadi malapetaka karena cowok itu berlari begitu kencang dari perpustakaan dan dia nyaris menabrak meja dosen karena berhenti mendadak. Momentumnya bisa dipastikan sangat kuat dalam kecepatan berlari penuh seperti itu. Di saat yang sama, Pak Rodi melangkah santai melewati ambang pintu. Mata tajam di balik kacamata bergagang hitam milik dosennya menatap Dhika heran. Apa yang dilakukan anak ini di depan meja saya? Kira-kira seperti itulah pikiran yang terlintas di kepala Pak Rodi. Dhika, being Dhika, one of the favs dengan segala privilege yang menyertainya, hanya tersenyum canggung. “Saya anxious Bapak belum datang, jadi nggak bisa diam aja di meja.” Untungnya, Pak Rodi tidak langsung menatap wajah setengah penghuni kelas yang menahan tawa (setengahnya lagi masih setengah sadar, mungkin baru bangun tidur siang). Smooth one, Dhik, b
Perpustakaan Universitas Aditama tampak seperti ada dalam dunia Harry Potter. Tentu saja, mungkin hanya Dhika dan beberapa kutu buku lainnya yang berpikir seperti itu. Murid-murid lain mungkin bisa membayangkan versi mini dan lebih sederhana dari Magdalen College Old Library, Oxford University, namun dengan jumlah buku yang jauh lebih sedikit dan minus manuskrip tua yang terbit sebelum tahun 1800an. Sehebat dan secinta apa pun Dhika pada perpustakaan kampusnya, memang tidak ada yang bisa menyaingi permata mahkota perpustakaan dunia tersebut –juga perpustakaan Hogwarts, karena omong-omong, tidak ada restricted section yang keren atau The Monster Book of Monsters yang bisa menggigit sungguhan di tempat ini.Hari ini, ada dua jam kosong sebelum kelas terakhir Dhika dimulai. Biasanya cowok itu akan hang out bersama Putra di taman kampus atau sekretariat himpunannya. Namun siang ini Putra pergi bersama Nana entah kemana. Sejujurnya Dhika ingin bertanya kema
“Sial.” Cassie mengumpat pelan. Setelah kejadian tidak mengenakkan sebelumnya, muncul satu kesialan lagi yang mengiringi malam cewek itu. Ditendangnya ban depan mobil dengan sepatu hak tingginya yang berwarna putih polos. Double sial, karena sekarang ada noda hitam jelek di sana. Bisa-bisanya kesialan seperti ini terjadi di malam hari. Saat mobilnya mogok mendadak dan mesinnya tidak bisa dihidupkan, Cassie keluar dari bangku pengemudi dan memeriksa apa yang salah. Sayangnya, cewek itu useless dalam hal mesin mobil. Bukannya dia pernah belajar formal terkait mesin mobil atau semacamnya, kan? Cassie terlalu sibuk untuk mempelajari hal yang bisa dikerjakan orang lain seperti memperbaiki mesin mobil. Buat apa ada bengkel kalau kita bisa memperbaiki mobil sendiri? Bukankah hal itu lebih terdengar seperti mengambil pekerjaan para montir? Cassie merasa dosanya sudah cukup banyak. Dia harus membatasinya sekarang selagi masih sadar diri. Cassie lelah