“Katanya motor kesayangan, kok ditinggal sendirian di kampus?” tanya Cassie sok polos. Diliriknya Dhika dengan pandangan mengejek saat mereka berdua terjebak di lampu merah perempatan, lima ratus meter jauhnya dari kampus Dhika.
Mendengar dengan jelas nada ejekan dalam pertanyaan Cassie barusan, cowok itu tampak sebal setengah mati. “Kalau nggak ikhlas anterin aku ke kampus ya udah. Aku bisa naik taksi online.”
“Nope,” tanggap Cassie singkat sembari melajukan mobilnya kembali. Party in The USA, salah satu lagu kesukaan cewek itu diputar di dalam mobil. “Kamu punya mobil, tapi ditinggal entah sudah berapa lama di parkiran apartemen.”
“Aku masih suka bawa minimal 2 minggu sekali ya!” bantah Dhika. Walaupun begitu, dalam hati cowok itu sadar bahwa mobilnya sudah hampir tak pernah ia kendarai. Dua minggu sekali itu pun hanya dibawanya sebentar untuk memanaskan mesin. Tapi memangnya dia mau memberi kepuasan pada Cassie dan menyatakan bahwa pernyataan cewek itu benar? Hell no.
“Dulu katanya teman sejati, eh nggak lama ditinggal selingkuh sama motor gede yang sekarang malah ditinggal di kampus,”lanjut Cassie, masih dengan nada menyebalkan yang sama. Diliriknya Dhika sekilas. Bukannya mau bersikap menyebalkan, Cassie berpendapat bahwa Dhika belum cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas assetnya sendiri. Apabila Cassie tidak mengontrolnya seperti ini, bisa-bisa mobil atau motor Dhika (atau lebih parah lagi, keduanya) bisa hilang entah kemana dan cowok garis miring bocah tak sesuai umur itu hanya akan nyengir tanpa persaaan bersalah.
Cewek itu melihat Dhika memainkan sabuk pengaman di bahu kanannya. “Bukan ditinggal kali, tapi ketinggalan. Lagian mana boleh sama polisi-polisi itu kalau aku ke kantor mereka pake kendaraan pribadi?”
Deg. Rahang Cassie mengeras. Cewek itu meniup poni kirinya yang jatuh menghalangi pandangan dengan kesal. Secara personal, kalau ada yang bisa menghapus ingatannya akan kejadian semalam, ia rela membayar dengan gajinya selama satu bulan.
Cassie mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kejadian semalam sudah lewat dan luka Dhika hanyalah sebuah memar kecil. “Lalu kenapa motormu bisa ada di parkiran kampus, dan bukannya di parkiran kafe?”
“Ck,” Dhika mendecak kesal. Cowok itu mencondongkan badannya ke arah Cassie untuk membenarkan jepitan rambut mutiara cewek itu. Kenapa sih poninya terus turun? “Dosennya keasyikan bahas soal, jadinya aku hampir telat masuk shift. Berhubung parkiran kampus dan kafe ada di sisi yang berlawanan, aku mutusin untuk ke kafe aja dulu jalan kaki. Rencananya bakal ngambil motor di parkiran setelah selesai shift.” Dhika kembali ke tempatnya duduk dan menatap lurus ke jalanan di depan. “Beli jepit baru sana, yang ini udah kendur.”
“Thank you, tapi aku masih suka jepit ini.” Cassie menganggukkan kepalanya di reff terakhir lagu Party in The USA, mengikuti alunan lagu kesukaannya tersebut, yang malah membuat Dhika mendesis kesal melihat helai-helai poni itu kembali terancam jatuh.
“Apa gaji CEO PT Bellezza sekarang bahkan nggak cukup untuk beli jepit rambut baru?” tanya Dhika frustrasi. Helaian poni Cassie sudah menutupi mata cewek itu lagi. “Apa aku perlu beli beberapa perusahaan aksesori sekarang? Aku bisa tanda tanganin beberapa dokumen siang ini juga.”
Cassie mengabaikannya. Memang benar meskipun sekarang pemimpin tertinggi PT Bellezza adalah Cassie, cewek itu tetaplah hanya CEO sementara. Perusahaan ini tetap milik Dhika sehingga keputusan-keputusan bisnis penting tetap memerlukan tanda tangan cowok itu meskipun ia nyaris tak pernah mengurus kantor selama empat tahun terakhir. Bukan salahnya kalau ia punya prioritas di tempat lain, batin Cassie.
“By the way, gimana magang?”
Dhika tampak berpikir. Sebagai mahasiswa semester tujuh, memang sudah seharusnya ia mencari magang di perusahaan. “Akhir minggu ini atau minggu depan kukirim ke kantor ya Cass. Aku masih belum dapat surat rekomendasi dari TU,” jawab Dhika.
Kali ini, Cassie melirik Dhika pelan. Aneh rasanya jika Dhika, pemilik legal PT Bellezza, sebuah perusahaan FMCG di bidang health and beauty, malah mengajukan magang secara diam-diam di perusahaannya sendiri. Mau tak mau, Cassie kembali merasakan nyeri di dadanya. Seharusnya Dhika yang duduk di kursinya. Seharusnya Dhika yang menikmati kekuasaannya. Seharusnya Dhika yang mendapatkan warisan ayahnya. “Kamu… propose posisi apa?”
“Tentu aja IT specialist,” seru Dhika tanpa ragu. “Aku kuliah jurusan informatika, Cass. Nggak lupa, kan?” tanya Dhika heran. “Aku peringatin ya, jangan sampe ada orang kantor yang tau aku siapa.”
Berbeda dengan Cassie, Dhika memang tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan yang melibatkan Dhika –mostly hanya tanda tangan, itu pun Dhika menyerahkan semua keputusan kepada Cassie, mana yang harus ia tanda tangani dan mana yang tidak—dibawa ke rumah. Orang-orang di kantor, terutama yang baru, tidak akan mengenali Dhika.
Cassie membelok ke arah kanan. Cewek itu masih merasa tidak enak dengan keputusan magang Dhika namun memutuskan untuk mengabaikannya sementara. Kampus Dhika ada di ujung jalan ini. “Kamu yakin nggak mau jadi semacam… I dunno, CEO assistant?”
Dhika tertawa dengan tidak ikhlas“Nggak usah ngayal. Memangnya ada posisi semacam itu?”
“Nggak usah ngeyel.” Cassie langsung membalas Dhika. “Kamu kan bukannya mau jadi staff IT setelah lulus kuliah.”
“Aunt Cassie, aku punya laporan magang. Apa yang mau kutulis nanti jika dapat posisi nggak resmi yang sama sekali beda konteksnya dari dunia IT yang kupelajari selama hampir empat tahun kuliah?”
Mendengar panggilan Aunt Cassie itu membuat Cassie lemah. Keponakannya ini benar-benar menyebalkan. “Oke, oke. Tapi kalau waktunya udah tiba, kamu nggak boleh lari. Janji?”
“Anything for Aunt Cassie.” Diusapnya pundak cewek itu sebagai tanda terima kasih.
Cassie hanya mendengus. Dihentikannya mobil tepat di depan gerbang kampus. “Here you go. Jangan kemana-mana, aku bakal jemput tepat jam tiga.”
“Kamu ada meeting sama external jam dua. Mana mungkin jam tiga udah selesai? Hush hush, aku bisa pulang sendiri nanti.” Dhika membuka sabuk pengaman yang dikenakannya dengan hati-hati. Ketika meraih ranselnya di bangku belakang, Dhika merasakan telapak tangan dingin di dahinya.
“Berani ngelawan ya sekarang. Masih panas begini kok.” Cassie melotot sedikit. “Lagian dari mana kamu tahu aku ada meeting hari ini?”
“Aku rajin ngecekin kalendermu tiap hari, tau?” aku Dhika.
Cassie menggeleng. “Dasar stalker.”
Cowok di hadapannya menyeringai. Tangannya terangkat untuk membenarkan posisi poni dan jepit rambut Cassie. “Terpaksa. Soalnya aku punya tante yang suka ngepoin jadwalku juga. Tau dari mana aku pulang jam 3?”
Dhika membuka pintu mobil tanpa Cassie sempat menjawab. Dilambaikannya tangan pada mobil Cassie, paham benar cewek itu pasti memelototinya lagi dari dalam mobil. Dhika paham bahwa Cassie hanya mengkhawatirkannya. Cewek itu selalu seperti itu sejak mereka TK dan ia dikenalkan sebagai ‘Kakak Dhika’ yang lebih tua tujuh bulan. Bukannya Dhika tidak suka, hell, siapa yang bisa menolak perhatian semacam itu saat kau tidak punya sosok ibu atau wanita lebih tua yang bisa mengurus segala keperluanmu? Yang jelas bukan Dhika. Sekasar apa pun dia pada Cassie, cowok itu akan selalu menyayanginya—walaupun ia hanya mengingat Cassie selama empat tahun ke belakang dan mendengar kisah seumur hidupnya dari orang lain. Cassie needs him, as much as Dhika needs her.
Belum ada lima menit berjalan, Dhika merasakan lengan seseorang menggeplak bahunya dengan keras dan khas cowok.
“Hei, Putra.” Di sampingnya kini berjalan seorang cowok yang tak asing dengan tampang super menyebalkan.
“Hey yourself. Tumben setengah jam sebelum kelas udah nyampe. Biasanya nggak telat juga sudah untung.”
Putra, cowok tinggi besar dengan rambut cepak yang barusan menghampirinya adalah salah satu teman terdekat Dhika di kampus. Keluarganya cukup kaya, terbukti dari outfit-nya yang tidak pernah kurang dari lima juta rupiah dari atas ke bawah setiap datang ke kampus (dan mungkin, bahkan di rumah juga, kabarnya ada beberapa merk piyama mahal yang sedang ngetrend belakangan ini).
“Nginep di rumah Cassie, tadi dianter ke sini,” ucap Dhika malas. Disingkirkannya tangan Putra yang berat. Melirik jam tangan yang dikenakannya, Dhika baru menyadari betapa awalnya ia datang ke kampus. Dasar Cassie dan kebiasaannya untuk selalu datang lebih awal.
Mendengar nama Cassie, mata Putra langsung berbinar“Kakak lo yang cantik itu? Mana dia? Masih di parkiran?” Dhika menarik bagian belakang topi Putra dengan kesal, menyebabkan cowok itu hampir terjengkang. “Gila lo!”
“Lo kali. Ngapain Cassie nungguin gue diparkiran padahal guenya udah pergi?”
Putra nyengir lebar menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi seperti pagar (dia mengaku tidak pernah memakai behel, tapi Dhika curiga Putra tidak mengatakan yang sebenarnya). “Nungguin gue, kan gue belum dateng.” Saat Dhika akan menarik topinya kali ini, Putra menghindar dengan mudah. “Bantuin gue jadi kakak ipar lo dong. Sumpah, gue bakal jadi kakak ipar terbaik sedunia.”
“Ogah. Lagian Cassie kan tante gue.” Dhika berjalan mendahului Putra. Bukan kali pertama Putra meracau seperti ini tentang Cassie.
“Kalau gitu, lo mau gue jadi om ipar lo? Nggak masalah! Hei keponakan ipar, mau om traktir minum kopi?”
Dhika memberi Putra tatapan tak terkesan, lalu berjalan menjauh. Mungkin dia akan jajan di kantin dulu sebelum masuk kelas. And nope, cowok itu tidak akan jajan kopi, apalagi yang ditraktir Putra.
Cassie memejamkan matanya yang lelah. Satu, dua, tiga, …sepuluh, dihitungnya pelan-pelan sesuai tarikan dan hembusan napas. Kepalanya berdenyut lebih menyakitkan setiap membaca satu lagi kalimat dari salah satu jurnal yang tersimpan dalam link cloud yang dihapalnya (ya, Cassie menghapal browsing address panjang itu dan bukan bit.ly-nya).Satu kata: MOQ.Skenario apa yang harus Cassie pilih? Cewek itu tahu jawabannya, namun otaknya harus berpikir seratus kali untuk memilih kata-kata di hadapan orang-orang ini. Satu kesalahan kecil bisa jadi alasan mereka untuk makin membenci Cassie dan memaksanya mundur dari posisinya sebagai CEO PT Bellezza.“Saya masih pada pendapat saya di awal,” ujar Pak Hendra, COO (Chief Operating Officer) PT Bellezza. Umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, sepertiganya diabdikan untuk perusahaan ini. Singkat kata, mayoritas BOD (board of director) akan memercayai nyaris s
Cassie menghembuskan napas saat membuka sepatunya di pintu depan rumah. Lehernya pegal dan kepalanya pusing setelah meeting panjang dan flashback singkat malam ini. Jika dihitung, cewek itu yakin ia menghela napas lebih banyak hari ini dibanding ia mengedipkan mata. Rencananya malam itu hanya dua: membuat segelas mojito dan tidur cepat. Cewek itu ingat jelas ia masih punya sedikit sirup leci di kulkas. Namun, pemandangan Dhika yang menonton film di ruang tengah membuyarkan rencana yang sudah tersusun rapi tersebut. Cassie melangkah mendekat. Memangnya apa sih yang ditonton Dhika sebegitu seriusnya?Diliriknya layar lebar televisi,”Aaaaa!” Dan berteriak kaget. Apa-apaan?!“Cass!” seru Dhika. “Mau ngagetin apa gimana, sih? Kamu tau aku nggak kagetan.” Dipelototinya Cassie dengan kesal karena mengganggu acara nonton filmnya persis di bagian action yang seru. Backsound menegangkan memenuh
Cassie yang sedang tidur tampak seperti malaikat.Nafasnya halus dan berirama. Dadanya naik turun dengan lembut, menandakan tidurnya damai tanpa terusik mimpi buruk apa pun, membuat Dhika bersyukur.Berbeda dengan Cassie, Dhika dihantui mimpi buruk setiap malam. Keringat dinginnya selalu keluar, membasahi seprai lembut yang dibelikan Cassie khusus untuk apartemennya. Kadang-kadang, cowok itu bahkan menemukan bantalnya basah karena air mata. Sayang sekali Dhika tak pernah ingat apa mimpinya, namun yang ia tahu, setiap mimpi itu selalu mendekatkannya ada Cassie. Bila boleh menebak, mimpi-mimpi itu pastilah kilas balik masa lalu yang ia lupakan.Cowok itu tidak pernah bisa memutuskan apakah ia harus bersyukur atau merutuk pada Tuhan atas mimpi-mimpinya. Di satu sisi, ia selalu terbangun dalam keadaan lelah dan hati tidak tenang. Namun di sisi lain, Dhika juga merasakan hubungan yang makin erat dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum kehilangan ingatan setelah mi
Kebanyakan wanita akan bilang bahwa cowok berkemeja biru, berkulit putih cerah, dan berambut cepak itu sempurna. Mobil yang dikendarainya cukup mewah, menandakan ia orang berada. Wajahnya tampan dan seringkali ia disangka aktor yang sedang menyamar apabila berkeliaran sendirian dengan kacamata hitam di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Tidak hanya itu, tutur katanya sopan dengan suara lembut yang mengalun bagai harpa. Namun bagi Cassie, cowok ini hanyalah Beni.Jangan salah sangka, Cassie menyukai Beni mungkin sebesar cowok itu balik menyukainya. Akan tetapi rasa suka tersebut tidak terbentuk dalam waktu satu hari. Beni harus ada di samping Cassie, bersabar akan keangkuhannya, dan terus menyayanginya selama dua tahun penuh sebelum Cassie luluh akan pesona cowok itu. Untungnya, Beni benar-benar merasa bahwa Cassie layak diperjuangkan.Malam ini, dengan keberuntungan yang dipaksakan, ia mengajak Cassie makan malam di luar tanpa janji terlebih dahulu.
Mood Cassie benar-benar bagus setelah sealing the deal dengan Beni. Beni –yang sudah siap rekeningnya terkuras plus mendapat ocehan dari tim legal perusahaannya—hanya bisa menyeringai. Apa artinya tabungan banyak kalau tidak bisa menyenangkan kekasihnya? Lagipula, sebagai pewaris tunggal perusahaan milik ayahnya, cowok itu punya satu-dua privilege terkait finansial. Masa bodoh. Beni senang sekali malam ini.Beberapa menit lalu setelah Cassie menyelesaikan dessert-nya, mereka berdua bercerita panjang lebar tentang hari masing-masing. Beni meeting dengan klien super menyebalkan yang meminta early commitment program dengan potongan harga keterlaluan.“Bukannya kamu hobi bagi-bagi voucher diskon setengah harga?” ejek Cassie, merujuk pada tawaran Beni sebelumnya.Cowok itu berdecak gemas. “Memangnya aku bakal memperlakukan bapak-bapak paruh baya asing sama dengan aku me
Beni akhirnya membiarkan Cassie turun dari mobilnya setelah pelukan panjang yang berujung pada gerutuan Cassie. Punggungku sakit, protes cewek itu. Meskipun begitu, ada senyum di wajah kekasihnya saat ia melambai, menunggu sampai cewek itu mengunci pintu pagarnya dengan aman.Sementara itu, Cassie bersandar di pagar setelah Beni menghilang dari pandangan. Membayangkan ia akan punya satu hari untuk liburan –setelah sekian lama, akhirnya ia bisa pergi ke pantai lagi!—membuat hati cewek itu hangat. Beni dengan segala kerendahan hati dan taktik busuknya, huh, betapa kontradiktif. Namun Cassie tau semua adalah untuknya. Memang siapa Cassie berhak untuk protes?Paper bag berukuran sedang di tangannya kemudian mengalihkan perhatian Cassie dari Beni. Pukul 23.50. Apa Dhika masih bangun? Tidak setiap hari seseorang bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-22, jadi sebuah kue yang cantik memang harus mendampingi pergantian umur Dhika.Sayangnya,
Lagi-lagi rencana Cassie gagal. Tidak apa-apa sebenarnya. Surprise yang diberikan teman-teman Dhika sungguh meriah, heboh, dan berisik—Cassie tahu benar keponakannya menyukai acara yang seperti itu. Semuanya bagai de javu kejadian tahun lalu, saat teman-teman terdekat Dhika menyelinap ke dalam rumah tengah malam buta dan dipergoki salah seorang pelayan yang kebetulan bangun karena mendengar suara berisik. Walaupun diam-diam cewek itu merasa bahagia karena Dhika memiliki banyak teman yang begitu baik, ia juga mengancam anak-anak itu untuk tidak pernah melakukan hal semacam itu lagi. Menyusup ke rumah seseorang diam-diam merupakan suatu tindakan kriminal. Bagaimana kalau Bi Atiek sudah menelepon polisi saking takutnya dan bukannya melapor ke kamar Cassie malam itu? Berbeda dengan Cassie, Bi Atiek tidak mengenal wajah teman-teman Dhika yang memang selalu main ke apartemen ketimbang rumah tersebut. Jadilah, seharusnya Cassie sudah menduga kalau akan ada
Seharusnya hari ini akan menyenangkan. Kenyataannya, belum apa-apa Dhika sudah merasa lelah luar biasa. Semalaman tidurnya gelisah dan lengannya yang terluka berdenyut-denyut menyakitkan. Beberapa kali ia terpikir untuk pergi ke dokter, tapi Cassie akan tahu kalau ia pergi dan berujung dengan pertanyaan tiada akhir di mana jawaban satu-satunya yang akan diterima cewek itu sama dengan jawaban yang tidak ingin Dhika berikan. Kau laki-kali. Kau kuat. Ini hanya luka kecil. Demi Cassie. Demi dirimu sendiri. Kuatlah! Demamnya muncul lagi begitu ia terbangun pukul dua dini hari. Beruntung Cassie masuk ke kamarnya dan memeriksa sebelum dahinya cukup panas. Bukannya Dhika tidak tahu apa yang akan terjadi di hari spesial ini. Akibat tidurnya yang tidak nyenyak, cowok itu menyadari kehadiran Cassie di depan pintu kamarnya sejak pukul lima. Cewek itu akan menempelkan telinganya sesekali untuk memeriksa apakah Dhika sudah bangun, jelas sekali dar
Satu bulan sebelum ulang tahun Dhika yang kedelapan belas… “Apa gunanya penasaran, sih?” Putra berdecak kesal. Sedari pagi, sohibnya yang bernama Andhika Pratama terus menerus merundungnya tentang kado apa yang akan diberikan Cassie, calon pacar garis miring calon tante cowok itu untuk ulang tahunnya yang kedelapan belas (well, Putra agak bingung menentukan title Cassie di sini karena hubungan keduanya memang sangat rumit, tapi masa bodoh karena jika Cassie menjadi tante sohibnya, dia akan punya banyak kesempatan untuk jadi calon pacar Cassie). “Karena kado ini dari Cassie. Dan cewek itu nggak pernah ngasih kado sembarangan.” Dan apa maksudnya itu? “Bro, ulang tahun lo sebulan lagi. Tunggu aja. Kado kan memang harusnya jadi kejutan.” Putra kini menyibukkan diri dengan ponselnya, malas menanggapi Dhika yang memang super terobsesi pada Cassie. Sayangnya, Dhika punya pikiran lain. “Bayangin kalau dia ngasih gue sepatu
“By the way,” Cassie berdiri sembari membawa kotak mentai rice yang sudah kosong. “Aku belum kasih ucapan selamat secara official untuk the birthday boy.”“It’s me.” Dhika menambahkan.Beni, objek sasarannya, menanggapi santai, “I know. I accompanied Cassie to the bakery shop.”“So,” sela Cassie, menghentikan adu mulut keduanya. “Happiest birthday. Aku ambil kuenya dulu.”Cassie kembali dengan kue dan korek api. Kali ini, cewek itu tidak melihat tanda-tanda ada perdebatan kekanakan lagi di antara keponakan dan kekasihnya kali kedua para cowok itu ditinggalkan berdua saja di dalam satu ruangan.“Just for your information,” Dhika berdeham saat Cassie tiba, matanya tidak meninggalkan Beni. “Ada korek api di rumah ini bukan berarti aku atau Cassie merokok. Aku bahkan ng
Hal paling awkward yang mungkin pernah terjadi di hidup Cassie adalah salah masuk ruang meeting saat ia baru saja menjabat sebagai CEO sementara. Cassie ingat benar bagaimana tangannya yang mendorong gagang pintu langsung dingin dan kaku seketika saat berpasang-pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh. Apa dia karyawan baru yang datang terlambat di hari pertama? Mungkin sebagian besar berpikir seperti itu, berhubung ruangan yang salah dimasukinya adalah ruang induction. Parah sekali, terlambat satu jam! Lebih mungkin lagi, itulah kalimat yang semua orang pikirkan. Saat itu, Cassie ingin kabur secepatnya dan mengubur diri di tong sampah terdekat, tetapi tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan dalam angan-angan. Lagipula cewek itu sudah berjanji untuk menjaga PT Bellezza sebaik mungkin. Jadi dengan penuh percaya diri, Cassie membenarkan postur tubuhnya, dan berkata dengan nada bass yang sudah ia latih sema
“Rule number one, behave, ada Dhika di dalam.” Beni bukan orang yang gampang terintimidasi, apalagi dengan orang yang lebih muda dibandingkan dirinya. Jika ingin contoh ekstrim, Beni bahkan tidak terintimidasi oleh deretan C-level bertampang seram di perusahaannya sendiri (tapi posisinya sebagai calon penerus perusahaan mungkin berpengaruh besar dalam hal ini). Jadi, bertemu keponakan Cassie seharusnya bukan hal yang sulit. Dhika mungkin tidak menyukainya dengan alasan kuno seperti kau-tidak-cukup-baik-untuk-tanteku-yang-sempurna, tapi cowok itu tidak mungkin membencinya, kan? Beni belum (jangan sampai!) berbuat sesuatu yang menyebabkan Cassie marah besar atau sedih luar biasa, jadi seharusnya ia ada di posisi aman. Jika Beni boleh jujur, malahan ia sudah memiliki rasa peduli pada Dhika walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali. Kekasihnya selalu bercerita tentang Dhika, keponakannya, dan satu-satunya keluarganya. Beni tahu mereka bukan tant
Beni tahu dan paham semua teori dan nasihat tentang fokus mengemudi dan jangan melihat ke arah lain selain spion dan jalanan. Cowok itu bukan pengemudi ugal-ugalan, sungguh. Saat orang-orang lain membuat SIM A dengan jalur dalam (atau jalur uang, well, sama sajalah), Beni mengambil les mengemudi selama dua minggu untuk mempersiapkan diri dalam tes pengambilan SIM. Hasilnya, dia lulus dengan mudah dan murah. Jadi, Beni tahu benar apa yang dilakukannya ini salah. Jalanan ibukota malam-malam begini memang cukup lengang, namun bukan berarti tidak akan ada mobil atau motor yang mencoba menyalip (baik dari sebelah kanan maupun kiri). Meskipun begitu, lebih dari setengah perhatian Beni kini tidak tertuju pada jalanan. Tangan kirinya memang masih berada di atas setir, namun tangan kanannya merangkul pundak Cassie yang practically bersandar pada bahunya. Beni melirik ke tangan cewek itu yang gemetaran sesering yang ia bisa tanpa membuat mereka olen
“Masih beef bowl terenak yang pernah gue makan.” Putra berkata di sela-sela kunyahannya. Setelah selesai mengambil surat rekomendasi magang di TU, cowok itu dan Dhika makan di Kafe Kafe, kafe tempat Dhika bekerja part-time. Nama yang aneh? Definitely. Namun nama-nama unik seperti inilah yang menimbulkan kesan kekinian dan membuat orang-orang tertarik untuk mencoba. Apalagi di lingkungan dekat kampus yang sasaran utamanya mahasiswa. Nama Kafe Kafe yang unik juga diiringi dengan interior kafe yang menarik, seperti berteriak-teriak kepada cewek-cewek pecinta I*******m, “Ayo foto di sudut ini!” atau semacamnya. Ada tema musim gugur di satu sisi ruangan, lengkap dengan dedaunan dan rumput-rumput yang mulai menguning. Bahkan ada lampu sorot berwarna kekuningan yang mengarah ke sudut itu sehingga suasananya khas sendu musim gugur. Di sisi lain, ada tembok dan pintu warna-warni seperti yang sering ditemukan di tempat wisata bergaya Belanda. Tambaha
Untungnya, Dhika sampai di kelas sebelum Pak Rodi tiba. Sebenarnya nyaris terjadi malapetaka karena cowok itu berlari begitu kencang dari perpustakaan dan dia nyaris menabrak meja dosen karena berhenti mendadak. Momentumnya bisa dipastikan sangat kuat dalam kecepatan berlari penuh seperti itu. Di saat yang sama, Pak Rodi melangkah santai melewati ambang pintu. Mata tajam di balik kacamata bergagang hitam milik dosennya menatap Dhika heran. Apa yang dilakukan anak ini di depan meja saya? Kira-kira seperti itulah pikiran yang terlintas di kepala Pak Rodi. Dhika, being Dhika, one of the favs dengan segala privilege yang menyertainya, hanya tersenyum canggung. “Saya anxious Bapak belum datang, jadi nggak bisa diam aja di meja.” Untungnya, Pak Rodi tidak langsung menatap wajah setengah penghuni kelas yang menahan tawa (setengahnya lagi masih setengah sadar, mungkin baru bangun tidur siang). Smooth one, Dhik, b
Perpustakaan Universitas Aditama tampak seperti ada dalam dunia Harry Potter. Tentu saja, mungkin hanya Dhika dan beberapa kutu buku lainnya yang berpikir seperti itu. Murid-murid lain mungkin bisa membayangkan versi mini dan lebih sederhana dari Magdalen College Old Library, Oxford University, namun dengan jumlah buku yang jauh lebih sedikit dan minus manuskrip tua yang terbit sebelum tahun 1800an. Sehebat dan secinta apa pun Dhika pada perpustakaan kampusnya, memang tidak ada yang bisa menyaingi permata mahkota perpustakaan dunia tersebut –juga perpustakaan Hogwarts, karena omong-omong, tidak ada restricted section yang keren atau The Monster Book of Monsters yang bisa menggigit sungguhan di tempat ini.Hari ini, ada dua jam kosong sebelum kelas terakhir Dhika dimulai. Biasanya cowok itu akan hang out bersama Putra di taman kampus atau sekretariat himpunannya. Namun siang ini Putra pergi bersama Nana entah kemana. Sejujurnya Dhika ingin bertanya kema
“Sial.” Cassie mengumpat pelan. Setelah kejadian tidak mengenakkan sebelumnya, muncul satu kesialan lagi yang mengiringi malam cewek itu. Ditendangnya ban depan mobil dengan sepatu hak tingginya yang berwarna putih polos. Double sial, karena sekarang ada noda hitam jelek di sana. Bisa-bisanya kesialan seperti ini terjadi di malam hari. Saat mobilnya mogok mendadak dan mesinnya tidak bisa dihidupkan, Cassie keluar dari bangku pengemudi dan memeriksa apa yang salah. Sayangnya, cewek itu useless dalam hal mesin mobil. Bukannya dia pernah belajar formal terkait mesin mobil atau semacamnya, kan? Cassie terlalu sibuk untuk mempelajari hal yang bisa dikerjakan orang lain seperti memperbaiki mesin mobil. Buat apa ada bengkel kalau kita bisa memperbaiki mobil sendiri? Bukankah hal itu lebih terdengar seperti mengambil pekerjaan para montir? Cassie merasa dosanya sudah cukup banyak. Dia harus membatasinya sekarang selagi masih sadar diri. Cassie lelah