Ken melangkah turun dari mobilnya. Snelli kebanggaannya itu masih ia genggam belum ia kenakan. Dengan santai ia melangkah masuk dan menyusuri koridor rumah sakit. Dia harus mengunjungi beberapa pasien sebelum poli rawat jalan buka. Ada beberapa agenda sectio caesarea yang sudah terjadwalkan dan ini sudah menjadi kesibukan Ken selama beberapa bulan terakhir ini.
Ia hendak melangkah ke bangsal rawat inap ketika sosok itu berteriak lantang memanggil namanya.
“Ken!”
Ken menoleh, nampak Samuel, rekan seperjuangan Ken selama PPDS, berlari-lari kecil menghampiri Ken. Ken sendiri heran, mereka beda tempat dinas dan untuk apa dokter kandungan itu sampai datang kemari menemui dirinya?
“Kok nyasar sampai sini? Ada apa?” Ken menjabat tangan Samuel, ia masih begitu terheran-heran dengan apa alasan Samuel bisa sampai kesini.
Samuel nampak mencoba menetralkan nafasnya, ia malah merogoh saku celana ketimbang menjawab pertanyaan Ken. Ken mak
“APA?”Ken membelalakkan mata terkejut, mantan yang kemarin? Elsa kah yang Jessica maksud? Elsa sudah punya anak? Dia sudah menikah? Yang benar saja! Dengan siapa dia menikah? Apakah dengan ....“Kau tidak tahu?” tampak Jessica tersenyum mengejek, “Anaknya perempuan, sangat cantik kayak mamanya.” Sambung Jessica yang makin membuat hati Ken panas membara.“Dari mana kamu tahu?” Ken menatap Jessica tajam, dia tidak sedang mempermainkan Ken, bukan?Tawa Jessica pecah, sungguh ia tampak sangat bahagia. Dan Ken bersumpah kalau dia bukan wanita dan tidak tengah hamil, Ken ingin menghajarnya sampai babak belur. Tapi sekali lagi, keadaan membuat Ken tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun kini dia tengah ditertawakan dan jangan lupa dipermalukan oleh sosok itu.“Well,” Jessica melipat tangannya di dada, menatap Ken dengan tatapan mengejek, tampak sangat terlihat Jessica begitu menikmati pemandangan d
“Ken?” “YA! Ini aku!” jawab suara itu, “Katakan, siapa laki-laki yang berani-beraninya menikahi Elsa?” Tawa Yosua pecah, ia menyandarkan tubuh di kursi menyilangkan kakinya dan tampak sangat menikmati obrolan mereka. Yosua menghentikan tawanya, menghela nafas panjang sejenak, kemudian kembali bersuara. “Aku!” jawab Yosua mantab. “Aku laki-laki yang sangat cukup berani menikahi Elsa. Apa ada masalah?” “K-KAU ....” *** Yosua menatap wajah pucat itu dengan tatapan iba, ia lantas menyodorkan plastik putih itu kepadanya. Membuat sosok itu tertegun sesaat sebelum tangisnya kembali pecah. Yosua memejamkan matanya sejenak, menjatuhkan diri di sofa tepat di sisi gadis itu. “Sudah, kita coba dulu lihat apakah betul dugaanmu itu, Sa.” Bisik Yosua lirih, dua tangannya mencengkeram bahu gadis itu erat-erat, membuat Elsa makin keras terisak. “A-aku udah telat, a-aku-.” “Tes dulu!” potong Yosua tegas, “Kita tidak bisa hanya me
PLAKKK “BANG!” Elsa berteriak, tangannya tremor luar biasa. Dia tidak menyangka bahwa Yosua akan berdiri menjadi tameng untuknya ketika tangan Yusuf terayun hendak menampar Elsa. Wajah Yusuf memerah luar biasa, dia tampak sangat begitu marah, sangat marah. Bagaimana tidak, satu-satunya anak gadis yang dia miliki, anak gadis yang selama ini dia banggakan karena ia adalah calon dokter, tiba-tiba pulang dan mengaku bahwa dalam kondisi hamil tujuh minggu! “Om, saya tahu Om marah dan kecewa dengan semua yang sudah terjadi. Tapi saya mohon dengan sangat Om, jangan tampar Elsa. Tolong.” Yosua tidak gentar, ia membalas tatapan penuh amarah itu dengan berani, dengan lembut dan sorot setengah memohon. “Tampar saja saya, Om. Saya yang bersalah. Saya yang tidak bisa mengendalikan diri. Saya minta maaf, Om.” Yusuf mendengus. Tangannya masih mengepal kuat. Ia masih benar-benar syok. Anak gadisnya dihamili anak sahabatnya sendiri? Anak yang
“Tidur aja di dalam, biar Abang yang tidur di luar.” Elsa mengangguk dan tersenyum, ia sudah sedikit lebih tenang walaupun masih syok dan tidak terima dengan apa yang sudah terjadi kepadanya. Bagaimana tidak? Di saat dia yang sudah hampir bisa move on dan melupakan kejadian bengis yang dia alami, kini dia harus menerima kenyataan bahwa dia hamil anak dari mantan kekasihnya itu. Tidak sampai di situ, dia harus rela pergi dari rumah sebagai hukuman yang sang papa berikan atas apa yang sudah Elsa lakukan. “Bang ...,” Elsa memanggil sosok yang sudah melangkah keluar dari kamar. “Ya?” Yosua membalikkan badan, menatap Elsa dari pintu kamar yang hendak dia tutup. “Terima kasih banyak!” Senyum manis itu merekah, kepalanya mengangguk lalu menutup pintu kamar dan meninggalkan Elsa sendirian dalam kamar itu. Mata Elsa menyapu seluruh ruangan. Kamar apartemen ini mengingatkan dia pada kamar apartemen Ken. Ya walaupun berbeda tower, tapi E
“APA?” Yuna terkejut luar biasa, ia melotot menatap suaminya itu dengan tatapan tidak percaya. “Nggak mungkin!” Leo tersenyum sinis, melangkah mendekati sang isteri yang masih duduk di depan meja rias dalam kamar mereka. Ia menyodorkan ponsel itu ke sang isteri, di mana ada riwayat percakapannya dengan Yosua plus dengan bonus foto hasil USG dan sebuah testpackdengan dua garis di sana. Yuna menatap nanar layar ponsel Leo. Jadi benar gadis itu hamil? Dihamili oleh anaknya? Astaga, cobaan apa lagi ini? “Tapi, Pa ... setahu Mama, Yosua ada pacar, yang sekarang lagi magang itu, si Gina.” Sanggah Yuna yang ingat bahwa gadis yang selama ini Yosua ceritakan tengah menjalin kasih dengan dia adalah Gina, bukan Elsa. “Lah, kalau yang terlanjur hamil Elsa, mau bagaimana lagi? Yang jelas kita sudah ditunggu.” Leo merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan sesuatu. Sementara Yuna meletakkan ponsel it
"Butuh bantuan?" Elsa menoleh, Yosua sudah berdiri di belakangnya dengan senyum manis. Elsa balas tersenyum sambil mengangguk pelan, memberi izin Yosua untuk membantunya meloloskan ball gown besar yang ia kenakan di acara resepsi pernikahan mereka. Pemberkatan dan resepsi diselenggarakan di Jakarta, mertuanya mengadakan pesta besar yang mengundang hampir semua pengusaha kalangan atas di negara ini. Membuat pesta malam ini seperti mimpi bagi Elsa. Yosua dengan jantung berdegup kencang mulai menurunkan resleting gaun sang isteri. Ya... Per hari ini status Elsa sudah menjadi isterinya! Sah tidak hanya di mata agama, tetapi juga di mata negara. Hamparan kulit seputih porselen itu mengobrak-abrik jiwa Yosua seketika, betapa kulit itu nampak terlihat lembut, halus dan kenyal membuat jiwa laki-laki Yosua memberontak, terlebih pundak dan leher itu... Ah! Tidak! "Terima kasih, aku mandi duluan." Elsa segera menyingkir,
Yosua mengeram, ia menjatuhkan diri ke dalam bath tub. Dia tidak bisa! Meskipun tubuhnya sudah memberontak minta pelampiasan, namun melihat wajah yang tertidur pulas itu membuat Yosua benar-benar tidak tega jika harus melakukannya. “God!” Yosua memejamkan matanya, bersandar sambil membiarkan air itu merendam tubuhnya yang memanas luar biasa. Mencoba menjernihkan pikirannya yang kacau balau malam ini. “Tidak Yos! Tidak!” *** Elsa menggeliat, ia merasakan lengan itu melingkar di perutnya. Sejenak Elsa berpikir, lengan siapa? Hingga kemudian satu persatu ingatannya perihal pesta besar apa yang berlangsung hari kemarin menyadarkan dia bahwa dia sudah menikah! Dan tangan ini berarti .... Elsa sontak membulatkan matanya, mencoba merasakan tubuhnya sendiri. Memang apa yang dia rasakan? Tidak ada! Ia tidak merasa apa-apa kecuali badan yang lebih segar dari kemarin. Itu artinya ... Elsa dengan sedikit takut melirik ke tubuhnya
Sudah dua bulan lebih mereka menikah. Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja. Elsa kembali menjalani pendidikan koasnya dan Yosua tentu kembali menjalani pendidikan spesialisasinya. Setelah menikah, mereka otomatis langsung dibelikan rumah sendiri sebagai hadiah pernikahan. Bukan rumah yang besar, hanya perumahan 70 yang terletak dipinggir kota, namun itu sudah sangat cukup untuk Elsa dan Yosua, lebih dari cukup malah.Orang tua Elsa selepas Elsa menikah memutuskan pindah ke Jakarta, sang besan mempercayakan beberapa gerai mereka pada Yusuf, jadilah sekarang mereka hanya berdua saja di kota ini.Semua berjalan baik, hubungan mereka masih tetap sama saja. Masih sama seperti sebelum menikah. Kadang saling goda, bertingkah konyol, saling mengejek dan menertawakan satu sama lain. Tidak ada hal-hal manis nan romantis yang terjadi.Meskipun di sehari setelah pernikahan berlangsung fakta itu Yosua ungkapkan, namun sampai sekarang tidak ada peningkatan yang berarti
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga