Tampak Yosua menghela nafas panjang, ia melirik Elsa yang hanya termenung sambil menempelkan dagu di meja, sejak tadi Yosua tahu betul gadis itu menyimak dengan baik apa yang dia ceritakan perihal hubungannya dengan sang kekasih.
Yosua mengusap wajahnya dengan kasar, menyandarkan punggung di kursi dan melipat dua tangan di belakang kepala.
“Kau tahu sendiri kan, Sa? Abang ini Cuma anak tunggal, jadi tentu mama sama papa hanya berharap sama Abang, orang anaknya Cuma Abang seorang.”
Tanpa perlu Yosua tegaskan, Elsa sudah paham akan hal itu. Mereka kenal sejak kecil meskipun kemudian terpisah karena Yosua sekeluarga pindah ke Jakarta, tapi rupanya mereka di pertemukan lagi sekarang.
“Ya memang Abang masih pendidikan, tapi mama sama papa sudah bersedia kok buat nanggung hidup kita semisal kita beneran mau nurutin permintaan mereka nikah, Sa. Mama sama papa sudah siap sama semua konsekuensinya minta Abang nikah posisi Abang masih pendidikan b
“Lama nunggunya? Maaf ya agak padat jalanan sore ini.” Ujar Ken sambil tersenyum, sesuai rencananya, sebelum pernikahan terjadi dia harus melambungkan harapan wanita ini, membuat wanita ini berpikir bahwa Ken menyukai dirinya dan antusias dengan rencana perjodohan mereka.“Ah nggak apa-apa, maaf ya kalau aku merepotkan kamu,” Tania masuk ke dalam, memasang seat belt itu ke tubuhnya, memberikan sebuah senyum manis dan tulus untuk Ken.“Ah, repot apaan sih? Kalau aku repot tentu nggak bakalan bisa jemput kamu, kan?” Ken tertawa dalam hati, kalau dipikir-pikir, dia ini jahat sekali bukan? Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak bisa berbuat banyak dan dia sudah memutuskan bahwa akan memilih sendiri hidup dan takdirnya selepas lulus spesialis nanti.“Sekali lagi terima kasih banyak.”Ken mengangguk, dia sudah membawa mobil sang papa masuk kembali ke jalanan, berbaur dengan mobil lainnya. Tania memang tidak cantik, ta
“Bagaimana masa residensimu?” Tania memotong wagyu steak-nya, sesekali mencuri pandang ke arah Ken, menikmati berapa indah siluet wajah yang berpadu sempurna dengan tubuh menjulang tinggi dan kulit bersih.Mimpi apa Tania semalam hendak diperisteri sosok setampan ini?“Ya, sejauh ini sih baik-baik saja, kau sudah berhasil melewatinya, bukan? Tentu kamu tahu betul bagaimana keadaanya.” Ken tersenyum, fokusnya hanya pada makanan yang ada di depannya, ditambah fokus mengingat kenangan bersama orang yang begitu dia cintai.“Tapi spesialis yang kita ambil beda, Ken. Tentu pengalamannya lain, benar bukan?” Tania tersenyum, jujur ia lebih menikmati wajah di hadapannya daripada makanan lezat yang dia pesan ini.Ken hanya tersenyum tipis, jujur ia jenuh, bosan dan sama sekali tidak tertarik dengan segala macam obrolan basa-basi yang sejak tadi diajukan sosok itu. Ternyata dia tidak hanya kurang pandai mer
Ken dengan gusar melangkah menuju ruangan sang papa, tangannya mengepal kuat, mata dan wajahnya memerah, tampak sangat jelas terlihat bahwa dia sangat marah sekarang.Begitu sampai di depan pintu itu, ia mengetuk pintu dengan sedikit keras, hingga terdengar suara jawaban yang Ken tahu betul itu suara papanya. Tanpa buang waktu lagi, Ken menekan knop pintu, tampak sosok itu tengah sibuk dengan laptop yang terbuka di depannya."Masuk Ken, ada angin apa yang membuat kamu datang menemui papamu?" Darmawan bergeming, tanpa menoleh dari depan layar dan tidak menyadari perubahan wajah sang anak."Apa yang sudah Papa lakukan?" Tanya Ken dengan suara meninggi, sebuah interupsi yang membuat Darmawan akhirnya mengangkat wajah guna membalas tatapan tajam Sang Putera."Tunggu, kamu tanya apa yang sudah Papa lakukan? Memangnya apa yang sudah Papa lakukan?" Darmawan tahu ini pasti ada hubungannya dengan gadis itu, bukan?"Kemana Elsa?
Elsa berdiri di depan gerbang rumah sakit sambil sesekali celingak-celinguk mencari keberadaan mobil Yosua. Laki-laki itu ternyata masih mau repot-repot mengantar dan menjemput dia dari rumah sakit, meksipun beberapa kali Elsa harus berangkat sendiri karena kedapatan shift mereka tidak bebarengan dan itu tidak menjadi masalah.Senyum Elsa merekah ketika mendapati Xpander silver itu berhenti tepat di depannya. Itu mobil Yosua! Elsa segera membuka pintu mobil dan duduk di jok bagian depan.Elsa benar-benar terkejut ketika sore itu ia mendapati wajah itu tampak lain dari biasanya. Elsa mengabaikan seat belt yang biasanya selalu Elsa raih pertama ketika masuk ke dalam mobil. Fokusnya tertuju pada memar biru keunguan di sudut bibir Yosua."Kenapa sampai begini?" Elsa memeriksa memar yang ada di sudut bibir Yosua, matanya memerah menatap bekas biru keunguan itu.Yosua tersenyum, meraih tangan Elsa dan meremasnya lembut, "Sudah lah, janga
Tania mengelus bibirnya perlahan-lahan, ingatan bagaimana tadi Ken mencium bibirnya dengan begitu lembut masih terngiang di dalam benak Tania. Ia sontak bersandar di jok mobil, tersenyum sambil memejamkan mata dengan wajah memerah.Jadi rasanya ciuman itu seperti tadi? Begitu lembut, manis dan begitu memabukkan!Tania membuka matanya, wajahnya memanas. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan yang terus menerus menganggu dirinya sejak tadi ia mengunjungi Ken di ruang residen laki-laki itu."Aku makin cinta sama kamu, Sayang!" Desis Tania lantas memasang seat belt-nya, menghidupkan mesin mobil dan langsung membawa mobilnya pergi dari halaman parkir.Kekecewaan Tania akan morbiditas yang Ken dapatkan menjelang pernikahan mereka sontak lenyap. Awalnya Tania ingin merajuk, di saat mereka tengah sibuk-sibuknya dan begitu repot mempersiapkan segala macam perintilan untuk rencana pernikahan mereka, Ken malah harus mende
Ken melepas handscoon-nya, ia baru saja beres mengasisteni dokter Anwar melakukan sectio caesarea. Ia melemparkan handscoon itu ke tempat sampah dan mendorong pintu dengan bahu. Matanya membulat ketika mendapati sosok itu tengah mencuci tangan, sebuah kebetulan, bukan? Yosua residen bedah, tentu akan sering sekali mereka saling bertatap muka seperti ini. Dan Ken rasa, ia harus memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Mencari tahu keberadaan Elsa, itu yang dia inginkan. “Mau masuk atau sudah selesai?” tanya Ken mencoba ramah kepada Yosua. Yosua mengangkat wajahnya, menatap Ken sekilas kemudian mengibaskan tangannya yang penuh air itu di wastafel. “Saya baru mau masuk, Dok.” Ken menatap sosok itu, bekas biru keunguan itu masih nampak, itu tanda bogem yang kemarin Ken layangkan pada Yosua, sebuah tindakan yang kemudian membuat dia terkurung selama tiga bulan di rumah sakit. “Saya minta maaf atas kejadian kemarin, Dok.” Ujar Ken lirih dan tulus.
Ken menghela nafas panjang, ia akhirnya sampai di depan pintu kamar apartemen miliknya. Morbiditasnya sudah usai dan kini dia sudah bebas dari kewajiban selalu stand by di rumah sakit tanpa pergi kemana pun. Ken menempelkan kartu akses kamarnya, menekan knop pintu dan masuk ke dalam. Unit apartemennya sudah begitu rapi, dan dia tahu betul siapa yang melakukan semua ini. Tania, bukan? Dia yang memegang kartu akses cadangan unit ini setelah Elsa melemparkan kartu itu pada Ken setelah kejadian malam itu. “Astaga,” Ken mendesis, ia menjatuhkan tubuh ke sofa, memijit keningnya perlahan-lahan. Elsa sama sekali tidak bisa dia enyahkan dari dalam pikiran dan hati Ken. Sama sekali tidak bisa meskipun sebulan lagi dia sudah harus menikah dengan Tania. Ken menghirup udara banyak-banyak, meratapi nasib yang selama ini selalu dia ratapi namun semuanya tetap saja tidak merubah apa-apa. Ken hendak bangkit ketika kamar itu terbuka, nampak Tania tersenyum manis dengan
Tania mengernyit pedih ketika hendak turun dari mobilnya. Area sensitifnya terasa begitu pedih efek pergumulan yang tadi dia dan Ken lakukan. Pernikahan mereka memang masih bulan depan, namun agaknya rayuan dan sentuhan Ken tadi benar-benar membuat Tania lupa diri. "Shit! Sakit banget!" Tania menyenderkan tubuhnya di jok mobil, memijit perlahan pelipisnya sambil memejamkan mata. Bayangan pergumulan mereka tadi kembali terlintas dalam benak Tania. Betapa lembut dan perlahan Ken menyentuhnya, betapa nikmat sensasi itu dia rasakan berpadu dengan pedih dan perih yang membelenggu dirinya. Dan sebuah fakta yang dia dapatkan bahwa ternyata dia bukan lah wanita pertama yang Ken sentuh dengan begitu indah. "Siapa wanita-wanita itu?" Mendadak Tania begitu penasaran. Seperti apa wanita yang sudah calon suaminya jelajahi, seperti apa mereka? Pasti lebih cantik dan menggoda, tidak seperti dirinya ini yang... Ahh! Tania benar-benar heran, kapan ji
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga