Darmawan melangkah ke poli bedah, ada seseorang yang hendak dia temui di sana. Seseorang yang harus dia urus sebelum mengacaukan segalanya. Beberapa perawat sampai dokter spesialis tersenyum dan menundukkan wajahnya sebagai tanda hormat kepada wakil direktur utama rumah sakit itu. Sebuah power yang Darmawan miliki untuknya bisa berbuat apapun yang dia mau, terlebih untuk melawan Ken dan gadis yang sama sekali tidak memiliki power apapun.
“Selamat pagi, Dokter.”
“Pagi,” Darmawan tersenyum membalas sapaan itu, terus melangkah menuju ruang istirahat koas yang ada di sana.
“Sa, lu nggak ikut gue makan nih?” tersendar suara itu yang pertama menyapa telinga Darmawan.
“Nggak, kamu pergi aja sana, aku nggak lapar.” Jawab suara itu yang Darmawan tahu, itu adalah target yang dia cari pagi ini.
“Oke gue cabut!”
Tampak gadis dengan rambut cokelat itu terkejut mendapati Darmawan sudah berdiri di depan pintu ruang. Ia tersenyum dan membungkukkan bad
“Tisu?”Elsa mendongak, tersenyum dan menarik selembar tisu yang di sodorkan Yosua kepadanya. Tangis Elsa pecah begitu ia masuk ke dalam mobil Yosua, rencananya dia dan Yosua hendak mengunjungi salah seorang sejawat yang dikabarkan sakit di kamar kostnya, namun karena insiden barusan, Yosua memutuskan untuk menunda sejenak rencana mereka.“Menangis lah dulu, kalau sudah lega baru kita putuskan, jadi ke kost Renita atau pulang saja, Sa.” Gumam Yosua yang membeku di tempatnya duduk, seat belt itu sudah terpasang di tubuhnya, namun ia belum berniat membawa mobilnya pergi dari halaman parkir rumah sakit.Elsa menyusut air matanya, menghirup udara banyak-banyak lantas menoleh pada Yosua yang diam bersandar di joknya. “Bisa kita pergi dari sini dulu, Bang? Aku takut dia masih mencariku.”Yosua menoleh, tersenyum dan mengangguk pelan, lantas menghidupkan dan membawa mobilnya pergi dari halaman rumah sakit. Pikiran Yosua
“Kenapa kamu berani sejauh itu, Sa?” desis Yosua lirih, ia masih belum percaya bahwa Elsa bisa sampai seliar itu.“Itu bukan mauku, Bang!” tegas Elsa sambil memijit keningnya perlahan-lahan.Yosua terperajat, ia menoleh sejenak, tampak begitu terlihat bahwa dia terkejut setengah mati dengan pengakuan yang meluncur dari mulut Elsa. Bukan mau Elsa? Lantas? Buru-buru, untuk yang kedua kalinya Yosua menepikan mobil, menoleh dan menatap Elsa yang tampak begitu terkejut dengan apa yang Yosua lakukan.“Bang, kenapa lagi? Kok berhenti?” tanya Elsa tidak mengerti.“Jelaskan padaku, apa maksudnya semua itu bukan maumu? Kamu dipaksa sama dia?” wajah Yosua nampak memerah, dua tangannya langsung meraih bahu Elsa, mencengkeram kuat bahu itu dan menatap tajam manik mata yang langsung bereaksi itu.Elsa kembali menitikkan air mata, membuat Yosua yakin setengah mati bahwa sosok itu yang telah memaksa Elsa melakukan hu
"Aku benar-benar heran sama kamu, kenapa sih kamu nggak lapor aja? Biar habis sekalian orang itu!" omel Yosua kesal, ia sudah kembali membawa mobilnya pergi dari rumah dokter Idris, hendak mengantarkan Elsa pulang ke rumahnya."Bapaknya wakil direktur rumah sakit nggak seharusnya bikin dia bisa melakukan segala yang dia mau, kamu korban pertama atau ada koas lain yang jadi korban dia?" Yosua masih mengomel sementara Elsa hanya membeku sambil memijit pelipisnya."Sa, kamu dengar nggak sih aku ngomong ini?" tanya Yosua yang kesal Elsa hanya bungkam setelah mereka keluar dari rumah dokter Idris."Denger, aku dengerin dari tadi, Bang." jawab Elsa santai."Terus gimana?"Elsa menghela nafas panjang, mengangkat tubuh nya hingga tegap dan menatap Yosua yang wajahnya masih begitu merah. Elsa tahu Yosua masih begitu marah atas apa yang terjadi kepadanya. Sejak dulu Yosua sudah seperti kakak bagi Elsa."Ya nggak gimana-gi
"Ingat Ken, papa mengawasi mu!" desis Darmawan ketika ia dan Ken berpapasan di parkiran rumah sakit. "Papa bisa lakukan apa saja, jadi tolong ingat itu baik-baik!"Darmawan melangkah dengan begitu santai dan angkuh, meninggalkan Ken yang mengeram penuh amarah di tempatnya berdiri. Ia mengacak rambutnya yang sudah dia sisir rapi, sungguh rasanya ia ingin menyingkirkan ayahnya sendiri dari rumah sakit ini, tapi bagaimana caranya?Dengan langkah lunglai, Ken meninggalkan halaman parkir, sekarang Ken benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak ingin perjuangan Elsa selama ini sia-sia. Dia tahu betul Elsa berusaha begitu keras untuk bisa sampai tahap ini.Ken hendak melangkah ke poli kandungan ketika sudut matanya menangkap sosok itu. Gadis dengan setelan scurb warna biru muda itu tampak masih begitu pucat.Ah...Apakah dia masih kesakitan?Gadis itu memalingkan wajah, mempercepat langkahnya seperti tidak mau Ken mengejar d
“Apa yang sudah ayahanda Anda lakukan?” senyum sinis itu kembali tergambar di wajah Yosua, membuat Ken mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Anda puteranya, bukan? Jadi saya rasa lebih baik Anda tanyakan langsung pada yang bersangkutan.”Yosua hendak melangkah pergi dari hadapan Ken, ketika tangan itu mencekalnya dengan begitu kasar. Yosua mencoba tidak terpancing, sangat tidak etis kalau sampai dia memukul sosok itu di area rumah sakit, terlebih sekali lagi, Ken anak wakil direktur rumah sakit tempat dia pendidikan, bisa habis karier kedokteran dan pendidikan spesialisnya kalau sampai mereka terlibat baku hantam di sini.“Bisa jawab pertanyaan saya, Dok?” cengkeraman itu begitu kuat, dengan sekali sentakan kuat, tangan itu terlepas.Yosua menatap tajam ke dalam mata Ken. Sorot mereka sama-sama tajam dan penuh kebencian.“Mohon maaf, saya ada on call dan harus segera ke IGD sekarang, Dokter. Sebagai calon dokter spesi
Setelah hiruk pikuk IGD yang begitu padat dan menegangkan, Elsa melangkah dengan lunglai ke ruang istirahat para dokter. Bed sudah hampir kosong, pasien sudah terkondisikan semua dan jangan lupa dia sudah mendapat izin dokter Hilda sebagai penangung jawab IGD hari ini untuk istirahat sejenak.Elsa mendorong pintu itu, tampak ada beberapa orang di sana, terlelap di atas bed membelakanginya. Siapa tiga orang itu? Entah apakah dia koas juga, dokter residen atau malah spesialis, Elsa tidak tahu. Ia memilih menjatuhkan diri ke lantai, duduk sambil menekuk dan memeluk lututnya.Cukup lama Elsa dalam posisinya, hingga kemudian dia merasakan ada sebuah sensasi dingin menyapa kulit tangannya. Elsa tersentak, mengangkat wajah dan terkejut luar biasa mendapati Ken sudah duduk tepat di sisinya sambil menyodorkan sebotol air mineral dingin ke arahnya.“Minumlah, jangan khawatir, segelnya masih utuh.” Ken tersenyum kecut, membuat Elsa menghela nafas panjang.
“Balik!”Perintah itu terdengar begitu menyebalkan di telinga Ken, membuat sosok itu mendengus kesal dan sontak menganggukkan kepala tanda setuju. Apa lagi memang? Mau membantah dan beradu argume dengan papanya? Ah ... percaya lah ini bukan waktu yang tepat.Darmawan menepuk pundak anak lelakinya itu, ia melangkah dengan begitu tenang menuju mobilnya yang tidak jauh diparkir dari tempat mereka berdiri. Ken sudah paham, untuk apa dia di suruh pulang ke rumah, pasti membahas rencana gila sang papa yang hendak menjodohkan dirinya dengan anak dokter Hilman Atmasoebrata. Sudah pasti itu!Ken dengan malas meraih helm-nya, naik ke atas motor dan hendak membawa motornya mengikuti mobil sang papa ketika sudut matanya menangkap sosok itu. Gadis yang begitu ia cintai tengah melangkah beriringan dengan residen menyebalkan yang entah ada hubungan apa dengan Elsa.“Sialan!” runtuk Ken kesal lantas pergi membawa motornya laju-laju.Hatinya
“Tania Atmasoebrata.”“Wiliam Kendra Wijaya.”Ken langsung melepaskan jabat tangannya dan tersenyum kaku. Di dalam hati dia mengutuk sang ayah. Apa bagusnya wanita ini? Penampilannya sangat biasa, wajahnya juga! Bisa tertawa sepanjang hidup Jessica nanti melihat Ken menikahi wanita yang keseluruhannya ada di bawahnya, kecuali memang kekayaan wanita ini jauh lebih di atas Jessica. Kakek Tania punya pabrik plastik terbesar se pulau Jawa!“Mari silahkan duduk, Dokter.”William tersenyum pada sosok dokter onkologi itu, lantas duduk di bangku tepat di samping sang ayah. Pertemuan dan makan malam mereka berlangsung di salah satu restoran mewah hotel berbintang, sungguh bukan makan malam yang biasa-biasa saja.Dari tempat duduk Ken, dia bisa melihat wanita itu tersipu malu. Senyumnya merekah namun itu sama sekali tidak membuat Ken lantas tertarik pada radiolog tiga puluh satu tahun itu. Pikiran Ken malah tertuju pada El
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga