Pagi itu, tidak ada perasaan mengantuk ketika Rhea yang tengah duduk di kloset menatap bercak darah di celananya. Oh tidak. Ini bukanlah hal yang dia inginkan.“Crap,” dia berbisik sebelum mengambil pembalut.Karena ini hari pertama haidnya, suasana hati Rhea menjadi buruk. Dia membiarkan Ibnu mengantarnya ke Putik dan dia beristirahat memejamkan mata di kursi belakang.Sesampainya di Putik, dia melihat gerombolan rekan-rekannya. Jika sudah begitu, Rhea sangat tahu mereka pasti sedang bergosip. Di saat dia akan melewati mereka, dia bisa mendengar obrolan samar-samar mereka yang membahas pernikahan Andini. Dia hendak berbelok namun suara seseorang membuatnya berhenti melangkah.“Oh Rhea sudah datang!”Rhea memejamkan mata, mendesah pelan, dan membatin. Oh please. Jangan hari ini ….Andini mendekatinya dan memeluk tangan Rhea dengan semangat. “Ayo tanya apa yang kami bahas di sana.”“Tidak perlu.”“Kami membicarakan tentang pernikahanku. Dan sekarang, ayo bahas tentang suamimu!” Andini t
Bantuan? Bayaran? Atau apa?Di luar gedung kantor, Enzo mengeluarkan salah satu rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya dengan pemantik.Dahinya berkerut dalam mencoba untuk mencari tahu apakah ada maksud tersembunyi dari Maven yang mengakuisisi Raya Finance. Apa karena dia kasian dengan istrinya? Takut perusahaan itu diambil alih oleh paman Rhea?Tapi bagaimana jika bukan itu?Menatap pohon rindang di depannya, ia mengembuskan asap sekali.“Bagaimana jika bukan?” Enzo tanpa sadar menggumamkan isi pikirannya.Ia kemudian merogoh saku celana dan menghubungi Andini. Dan tak butuh waktu lama, wanita itu segera mengangkat panggilannya.“Ya, Sayang? Kamu melupakan sesuatu?”“No. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di tempat kerjamu?”“Tentu saja!” Andini di seberang telepon tersenyum lebar. Suaminya sangat perhatian dengannya padahal mereka baru berpisah sebentar. “Bagaimana denganmu?”Menjentikkan abu rokok, Enzo menjawab singkat, “Ya. Lalu bagaimana dengan hub
"... Di Celadon, saya ingin para penjual terobsesi dengan pelanggan daripada fokus dengan pesaing, semangat untuk penemuan, komitmen untuk keunggulan operasional, dan pemikiran jangka panjang mereka. Karena itu, saya memiliki strategi baru yang didasarkan pada satu tujuan ambisius: untuk memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan pengalaman yang unggul." Enzo berbicara sangat penuh percaya diri dan lancar di ruang rapat. Di ruang tersebut, sudah ada dewan direksi beserta Maven yang menjabat sebagai CEO dan Tony selaku Komisaris Utama TW Group. Semua orang memandang layar panel datar interaktif di depan dengan perasaan tertarik dan fokus. Akan tetapi tidak untuk Maven. Pria itu dengan tenang hanya menatap agenda di depannya. Itu sudah biasa. Enzo sering kali melihat Maven seperti ini. Pria itu bukannya tidak suka dengan presentasi karyawannya, hanya saja baginya membaca dari makalah rapat secara langsung lebih efektif agar mempersingkat waktu. Ketika pria itu memba
Hari sudah sangat malam ketika Maven kembali. Begitu dia masuk ke rumah, kepala pelayan yang seorang wanita berumur 40-an segera menghampirinya dengan langkah lebar dan cepat. Namanya Yana.“Anda pulang cukup larut, Pak.”“Hm.” Maven memberikan jasnya kepada Yana.“Apa Anda ingin makan malam atau kopi?” Yana sudah tahu kebiasaan Maven. Tiap pulang, pria ini tidak akan langsung istirahat melainkan mengurung dirinya di ruang kerja seolah pekerjaannya tidak pernah ada habisnya.“Aku sudah makan malam dengan klien. Kopi saja.” Maven kemudian melihat arloji di pergelangan tangan yang hampir pukul sebelas malam. “Rhea sudah tidur?”“Bu Rhea ada di ruang santai lantai atas, masih bekerja saya rasa.”Maven mengangguk singkat. “Bawakan kopiku ke sana.”Yana tersenyum dan menunduk sopan kepada Maven yang menaiki anak tangga. “Baik.”Di lantai tiga, sesuai perkataan Yana, Rhea ada di ruang santai yang posisinya berada di antara kamar mereka. Kedua kaki jenjangnya ditekuk di atas sofa dengan tubuh
Rhea menyentuh kelopak bunga yang basah lalu tersenyum. “Wow, ternyata Kakek benar-benar pandai merawat tanaman!”Dia sedang berada di kebun Tony dan membantunya untuk menyiram tanaman di sana. Kegelisahan Rhea beberapa hari lalu sepertinya telah didengar Tuhan. Henry tidak datang hari ini.Tony berkata bahwa Henry jarang kemari karena anak mereka masih kecil. Namun terkadang dia akan datang sepulang kerja membawa istri dan anaknya.“Tentu saja! Aku belajar dari ahlinya.” Tony tersenyum lebar merasa bangga. Kemudian mendesah lambat. “Mendiang istriku sangat suka menanam bunga hias. Dia akan menghabiskan waktunya di sini. Dan aku akan membantunya, yah walaupun awalnya aku terlalu banyak membuat masalah pada bunga-bunga kesukaannya. Lalu, setelah dia tiada, aku yang mengurusi mereka semua.”Pandangan Tony menatap jauh seolah mengenang masa lalu sambil tersenyum lembut. Membuat Rhea ikut tersenyum. Hanya dengan pembahasan singkat tentang kebersamaan mereka, dia bisa merasakan kehangatan d
“Oh astaga. Pantas saja kau tidak mau membicarakan tentang suamimu ketika kami berkumpul dan bergosip.”Rhea tersentak kaget dan menoleh ke belakang di mana Ayu dan Dania menatapnya dengan tatapan jahil.Selain Rhea, Andini pun kaget. Dia dengan cepat memperbaiki raut wajahnya sebelum menoleh ke arah kedua wanita yang menghampiri mereka.“Melihat interaksi Andini dan suamimu, Rhea, ternyata kalian sedekat itu ya, An?”Andini ingin sekali mengangguk dan membusungkan dadanya dengan bangga, jika dia tidak melihat kemesraan singkat yang sepasang suami-istri itu lakukan di depan mata kepalanya sendiri. Belum lagi bagaimana Dania menatapnya dengan tatapan aneh. Oh tentu saja, Andini tahu arti dari tatapan wanita itu. Dia pasti bertanya-tanya apakah Andini tidak canggung melihat kemesraan di depan matanya langsung tadi. Jelas sekali bukan jawabannya?Menanggapi ucapan Ayu, Andini hanya tersenyum singkat lalu membuang wajahnya.Kembali pada Rhea, Ayu berseru, “Kau benar-benar rakus, Rhea. Bis
Rhea tersenyum menatap Naomi. “Thanks. Jika tidak ada kau, mungkin mereka akan tetap mengerumuniku.”Naomi tersenyum miring. Mereka bersandar di dinding bersama dan memperhatikan Joaquin.“Jadi, dia kekasihmu?”Naomi mengangguk santai. “Hmm.”Jawaban ringan itu sungguh membuat Rhea kaget. Dia pikir Naomi bercanda tentang mencium seorang selebriti. Tapi ternyata, orang itu memang kekasihnya?!“Sepertinya hanya aku saja di sini yang tidak tahu. Maafkan aku.”“Tidak ada yang tahu.” Naomi menoleh sekilas. “Hanya saja, karena mereka tahunya aku yang suka bercanda, jadi mereka tidak pernah menganggap serius perkataanku ketika aku tidak berbohong.”Rhea terkekeh pelan. Dia menatap Joaquin yang berfoto dengan Dania dan Ayu. Kemudian banyak wanita yang menyadari kehadirannya pun ikut mendekatinya hingga dia kewalahan. Rhea mengasihani pria itu. Naomi sungguh kejam menggunakan kekasihnya hanya untuk membebaskan Rhea dari Ayu dan Dania.Joaquin yang dikerumuni dan berfoto dengan fans, menatap Na
Rhea menggamit lengan Maven untuk menarik perhatian pria itu. Lalu berkata dengan suara manis, “Aku akan memesan minuman di sana.”Tiba-tiba saja Cade tertawa dan seketika suasana kaku menghilang. Dia menyadari maksud Rhea agar ketegangan di sana terputus dengan kehadirannya. “Jangan pedulikan para pria tua ini. Hal seperti ini sudah biasa terjadi.”Rhea tersenyum bagaimana ramahnya Cade. “Aku akan mengingatnya.” Maven mengajak Rhea mendekati bartender. Kemudian dia menarik kursi untuk istrinya.Rhea menggumamkan terima kasih untuk Maven lalu memesan mocktail. “Tunggu di sini sebentar. Aku tidak akan lama.”Rhea mengangguk dan memperhatikan Maven yang mendekati Zade kembali.“Ada yang ingin aku tanyakan.”Zade bersandar di meja billiard. Tatapannya yang memang tajam masih ada, namun tidak seperti sebelumnya.“Cade bilang, kau mengenal Pak Lukman Ameesh.”Zade mengerutkan dahinya samar. “Lukman Ameesh? Pemilik maskapai penerbangan itu?”Maven mengangguk.“Ya, beliau teman main ayahku.
“… Ini sudah larut dan aku tidak punya energi untuk bergagumen hal kecil seperti ini.”Ucapan Enzo pada malam itu membuat Andini mendiamkannya. Tentu dia lebih marah karena tidak menyangka suaminya menganggap kecemasannya sebagai ‘hal kecil’. Suaminya itu bahkan tidak tahu betapa terluka perasaannya.Di saat bersiap ke kantor, Enzo berkata, “Aku sepertinya akan pulang malam lagi hari i—”“Lakukan saja apa yang kamu mau,” potong Andini yang segera mengambil tasnya. Dia selalu pulang sangat malam, jadi untuk apa mengatakan ‘hal kecil’ itu?Gerakannya yang memasang dasi terhenti seketika. Enzo kemudian melihat kepergian Andini. Tepat hari itu suaminya menyadari perang dingin yang dibuatnya. Terima kasih untuk kesibukan Enzo beberapa minggu berikutnya, perang dingin itu semakin menyesakkan dada.Suasana hatinya menjadi buruk dari hari ke hari. Bahkan di tempat kerjanya. Andini beberapa kali nyaris kehilangan kendali dirinya. Dia akui, hal kekanakkan yang ia lakukan ini pun menyakiti dirin
Di salah satu restoran jepang, Maven dan Zayden saling pandang dengan ekspresi datar.Lalu, Cade tertawa memecahkan suasana aneh di sekeliling mereka. “Demi Tuhan, kali ini sungguh kebetulan! Jadi berhentilah memasang ekspresi saling membunuh. Kalian menakutiku, tahu?”Melirik Alex yang juga terkejut membuat Maven percaya, Dan jika pertemuan kebetulan seperti ini terjadi, ini bukan hal yang menyenangkan untuk mereka berempat.Alex mengembuskan napas dengan mata terpejam. “Sial, keberuntunganku tahun ini hilang gara-gara kalian. Karena urusanku di sini telah selesai, aku akan pergi lebih dulu. Dan jangan temui aku beberapa hari ke depan.”“Aku juga berharap tidak bertemu denganmu untuk sementara waktu.” Cade masih tertawa lalu pergi juga bersama asistennya.“Aku hanya pergi buang air. Sebentar lagi urusanku di sini berakhir,” kata Zade setelah mendapatkan ekspresi menuntut Maven.Mendesah, Maven mengusap wajahnya. Mereka pun berjalan beriringan di lorong menuju ruang pribadi masing-mas
Menggigit rotinya, Rhea sesekali menatap pria di seberang yang meminum kopi dengan tenang sambil membaca laporan di iPad. Ini sangat tenang seolah tidak ada masalah yang berarti malam sebelumnya, hingga rasanya canggung.“Anda ingin tambah lagi, Bu?” Yana sudah berada di sampingnya mengisi cangkir Rhea yang kosong, membuatnya tersadar dari lamunannya.“Tidak perlu, terima kasih, Yana.”Yana hanya tersenyum sebelum pergi. Dan Rhea menghabiskan minumannya sebelum mengelap sudut bibir.“Sudah selesai?” tanya Maven dan Rhea mengangguk. “Ayo pergi.”Sambil berjalan di belakangnya, Rhea memandang punggung lebar suaminya. Maven tampak biasa saja, tidak marah atau kesal. Ketika makan juga tidak ada keanehan. Apa hanya dia saja yang berlebihan?Di perjalanan pun Rhea masih mencuri pandang diam-diam hingga Maven menoleh mantap ke arahnya tepat ketika ia sedang menatapnya.“Kamu ingin mengatakan sesuatu?”Lihat, cara bicaranya juga tidak ada yang berbeda.Rhea membersihkan tenggorokannya sebelum
Keluarga besar Tony Williams berkumpul di rumahnya, termasuk orang tua Naomi dan Rhea. Mereka mengobrol dan makan malam bersama dengan perasaan hangat dan kebersamaan. Rhea dan Maven membagikan oleh-oleh dari Swiss untuk mereka, tanpa terkecuali. Ya, Gemma dan keluarga kecil Henry pun ikut mendapatkannya. Tentu saja awalnya Maven mengatakan tidak perlu, namun dia tidak ingin membuat situasi menjadi canggung.Rhea tahu, Gemma tidak akan peduli dengan pemberian mereka dan dia pun tidak mempermasalahkan itu. Sementara untuk keluarga Henry, dia menyerahkannya lewat Vexia.“Ow, how cute! Lihatlah baju ini, ini terlalu cantik untuk anak kami! Terima kasih banyak, Rhea,” Vexia, istri Henry berseru gembira. “Henry pun pasti merasa senang dengan pemberian kalian.”Bicara tentang Henry, pria itu sedang berkumpul bersama Tony, Maven, Gemma, Ivanka, dan orang tua Naomi di meja tamu. Sedangkan mereka bertiga berbincang ringan di meja lain yang tidak jauh.Rhea membalas senyuman Vexia tak kalah tul
Kembali dari liburan, seperti biasa Maven mengantarnya ke galeri dan membukakan pintu untuknya. “Setelah selesai aku akan menjemputmu. Kita perlu mengunjungi Kakek dan Mama.”Rhea bergumam ketika menyampirkan tali tas di bahu setelah melepas seat belt. Dia keluar bersamaan dengan kedatangan Naomi.“Hei, di sana,” sapa Naomi.Rhea tersenyum. “Hai, Naomi.”“Hai,” balas Maven pendek. “Naomi, pulang nanti ikutlah dengan kami ke rumah kakek.”Naomi mengangkat alisnya tinggi. “Apa ini tentang oleh-oleh yang kalian bawa?”Dia kemudian menjerit senang setelah Maven mengangguk singkat dan Rhea yang tertawa kecil.Tidak ingin membuat Maven terlambat sampai di kantornya, Rhea mengecup cepat bibir suaminya. “Aku akan menghubungimu nanti. Sampai jumpa.”“Hm, sampai jumpa nanti,” Maven bergumam. “Sampai jumpa, Naomi.”“Ya, sampai jumpa!” Naomi melambaikan tangannya pada Maven begitu pria itu mengendarai mobilnya, di bawah tatapan penuh pengertian dari Rhea. “What?”Tertawa pelan, Rhea mengajaknya m
Mendongak kuat, menatap langit-langit hotel dengan lampu gantung indah, Rhea mendesah panjang. Tangannya yang mencengkeram erat sprei tiba-tiba tenggelam di dalam genggaman besar Maven. Suaminya bergerak kasar, tajam, dan kuat. Dan tatapannya yang membara terus tertuju padanya. Sensasi penuh dan sesak di bawah sana semakin meningkatkan kenikmatannya.“Sangat baik. Rasamu sangat luar biasa, Baby. Astaga ….”Geraman rendah di telinganya membuatnya bergidik dan kenikmatan yang luar biasa melandanya. Ia mengeluarkan erangan putus asa dan secara naluriah melilitkan kedua kaki jenjangnya di pinggang suaminya.Dikala dia mengatur napasnya, dia mendengar umpatan pelan Maven. Ketika suaminya mengusap titik sensitifnya, dia gemetar hebat. “Wait, Maven—”Dia menjadi lebih sensitif setelah klimaks dan pria ini kembali mengisinya dengan perlahan membuat mereka sama-sama mengerang. Maven kemudian menarik tubuhnya.“Bagaimana ini, Rhe? Aku tidak bisa berhenti menikmati tempatmu. Kamu sangat lembut.”
Swiss, negara yang kaya sejarah dan dipenuhi dengan bangunan abad pertengahan yang indah. Salah satunya Bern, pusat kota mereka. Arsitekturnya terawat dengan baik, jalan-jalannya menawan, serta kota ini sebagian besar tidak berubah sejak abad ke-12, hingga memberikan suasana bersejarah yang unik.Rhea dan Maven mengunjungi landmark paling terkenal di Bern, yaitu menara jam abad pertengahan. Kemudian ke museum seni yang menyimpan koleksi karya menakjubkan dari abad pertengahan hingga seni kontemporer. Karena sangat banyak intitusi budaya yang luar biasa, Rhea sampai bingung ingin memilih salah satu di antara tempat-tempat itu. Tak lupa mereka pun pergi ke Einsteinhaus, sebuah museum yang dulunya pernah menjadi tempat tinggal Albert Einstein. Hanya sebuah apartemen sederhana, namun saat mereka berkeliling Rhea bisa merasakan bagaimana fisikawan terkenal itu hidup jika dilihat furnitur dan barang pribadi yang masih di sana. Banyak foto-foto hingga dokumen yang berkaitan dengan kehidupann
Memasuki ruang kerja Maven, dia membantu Rhea melepaskan coat panjangnya dan menggantungnya bersama jasnya. Kemudian mata indah Rhea mengitari segala penjuru ruangan luas tersebut.“Kamu tampak bahagia,” ujar Maven setelah sejak dari aula memperhatikan istrinya. Wanitanya tidak berhenti tersenyum dan sekarang senyuman itu semakin lebar.“Benarkah?”Maven bersandar di pinggiran meja kerjanya dan tersenyum samar. “Sudah kubilang untuk menggunakanku lebih sering.”Rhea tertawa kecil. “Aku sedikit menyesal tentang itu. Namun, melihat dari ekspresinya tadi sepertinya dia tidak akan betah terlalu lama di sini ….”Enzo akan mengundurkan diri dari Celadon dan kesenangannya akan berhenti saat itu juga.“Tidak akan. Tetapi aku yang akan memecatnya.”Rhea melirik Maven yang berjalan mendekat dan duduk di sofa. Suara pria ini cukup lembut dan santai, tetapi entah kenapa terdengar tegas dan yakin.“Maaf kita harus makan siang di sini.”Perubahan topik itu membuat Rhea menghela napas diam-diam. Lag
“Nah sekarang mari makan, Semua.”Panggilan Alex membuatnya tersadar dan segera memandang hidangan di atas meja.“Jadi, apa yang terjadi pada kalian?” tanya Maven. “Aku mengenal kalian. Kalian tidak pernah datang ke tempat seperti ini.”Alex tersenyum polos. “Apa maksudmu? Hei, jangan mencurigai kami. Kami memang ingin makan di sini.”“Ucapanmu terdengar mencurigakan. Sejauh yang kukenal, kalian akan memesan ruang pribadi alih-alih salah satu meja di tempat terbuka seperti ini.”Mereka terdiam sejenak menyatakan bahwa itu benar membuat Maven mengumpati mereka pelan.Lalu Cade tertawa. “Suasana baru lebih segar, kau tidak tahu? Toh kami sudah merencanakan ini sejak lama.”“Kapan tepatnya?”“Minggu.”“Jumat?”“Tanggal 26.”Ketiganya menjawab serempak membuat Rhea dan Maven tidak dapat berkata-kata. Rhea yang mencoba menahan tawa berbanding terbalik dengan Maven yang ingin menenggelamkan mereka jika dilihat dari wajah dinginnya. Dia mengecek tanggal dari ponselnya yang ternyata hari Rabu