“Maaf karena tidak bisa menjaga Nona Son dengan baik.” Yooshin dan Haewon membungkukkan badan usai berbicara dengan Seungmo begitu mereka sampai.“Tidak apa-apa, aku juga terkejut saat mendengar kabar itu. Padahal baru beberapa jam lalu Kepala Desa ke sini memberi kabar kalau para penjahat itu sudah ditangkap.” Seungmo membalas. “Kalau begitu sekarang aku akan ke sana denganmu. Haewon, tolonh awasi cucuku di sini.”Haewon yang mendengar itu kembali membungkukkan badannya. “Baik, Tuan Kim.”Nara membuang pandangannya usai menatap sang kakek yang sudah pergi bersama dengan Yooshin dan juga dua buah anak buahnya yang lain.“Bukan salahmu. Seharusnya kau tak perlu meminta maaf pada kakek,” ujar Nara. Ia melangkah memasuki rumahnya dengan diikuti Haewon di belakang.“Karena saya lalai, Nona.”“Tapi kau memang tidak salah. Kakrk juga tidak tahu sepenuhnya yang terjadi di sana. Kau sudah berjuang keras tadi. Jika tak ada kau, maka aku akan lebih kesulitan.” Nara memberikan peralatan memanahn
“Kau pergi bersamaku. Kapan kau akan melakukannya?”“Apa jika aku menyuruhmu untuk menunggu, kau masih akan tetap menunggu?” Nara membalasnya.Moa menatap kedua netra milik gadis itu kemudian ia memutuskan kontak mata mereka secara sepihak setelahnya. “Ah, kau masih ingin aku menunggu, ya? Baiklah, lupakan saja pertanyaanku barusan,” ujarnya seraya kembali menatap ke depan sana.“Apa kau … marah?”“Apa aku terlihat sedang marah?” tanya Moa dan lelaki itu menatap kembali Nara. Kemudian setelahnya ia menahan tawa begitu melihat Nara yang menganggukkan kepala, mengiyakan pertanyaannya dengan raut wajah begitu lugu.“Astaga, melihatmu seperti ini membuatku berpikir kalau kau ini masih gadis yang sama dengan yang aku lihat beberapa tahun yang lalu. Kau masih terlihat seperti saat berumur delapan tahun, kau tahu?” cibir Moa. “Dari dulu, tatapan dan juga raut wajahmu itu masih saja sama dan tidak berubah sedikit pun.”“Memangnya kau memperhatikanku?”“Seekor singa tak akan melepaskan mangsan
Satu per satu anak panah yang menancap pada pohon itu dicabut oleh Haewon dan setelahnya gadis itu memberikannya pada Nara. Sudah hampir dua jam ia menemani gadis itu memanah tanpa henti.“Tangan Anda sudah memerah, Nona. Sebaiknya Anda beristirahat karena itu bisa terluka.”Nara yang sudah menarik tali busur itu langsung menatap Haewon yang secara tiba-tiba beralih ke hadapannya. “Menyingkirlah, Haewon.”“Hentikan, Nona. Tangan Anda akan terluka.”“Menyingkirlah sebelum aku benar-benar membuat anak panah ini menancap di kepalamu.”Kalimat itu sempat membuat tubuh Haewon menegang. Ia menelan ludahnya dengan susah payah akan tetapi gadis itu tetap bersikeras dengan pendiriannya dan tak menyingkir sedikit pun dari hadpan Nara.“Saya tetap tidak akan menyingkir sebelum Anda berhenti.” Haewon menggenggam erat anak-anak panah di tangannya. Ia pasrah di sana jika Nara benar-benar menembakkan anak panah itu tepat ke kepalanya.Tali busur itu semakin ditarik kuat ke belakang. Nara menatap
Nara berpegangan erat pada sebuah tangan yang menangkapnya dengan sigap, sementara di belakang sana, Haewon masih terlihat syok dengan kedua kaki yang terasa begitu lemas. “Jangan sembarangan memetik beri saat di hutan. Kau harus lihat-lihat dulu kondisi tanahnya apalagi saat ini tanahnya sedang licin.” Yooshin berujar sesaat setelah lelaki itu berhasil menarik Nara kembali ke atas. “Maaf.” Nara membuang napasnya perlahan. “Terima kasih banyak, Tuan Hwang.” Haewon berlari mendekati Nara dan gadis itu membungkukkan badannya selama beberapa kali. “Kenapa kau bisa berada di sini?” tanya Nara kemudian. “Aku tidak sengaja bertemu dengan kakekmu dan dia berkata kalau saat ini kau dan Haewon sedang pergi ke kuil di utara.” “Jadi … kau menyusulku ke sini?” Nara mengangkat wajahnya dan menatap Yooshin. Kedua mata Yooshin berkedip pelan, ia kemudian membuang pandangannya ke arah lain. “Kakekmu bilang kau tidak membawa kudamu. Jadi, aku menyusulmu,” ungkapnya. Selang beberapa detik setelah
Kedatangan Nara disambut dengan baik oleh beberapa biksu yang berada di kuil. Suasana di sana pun tak banyak berubah sejak pertama kali Nara datang ke sana beberapa bulan yang lalu.“Rasanya sudah lama sekali Anda tidak ke sini, Nona Pendeta,” ujar satu orang biksu yang berdiri di paling depan.Nara tersenyum tipis. “Terakhir aku ke sini saat melihat pohon-pohon ek yang baru ditanam setelah upacara ritual purnama dihentikan. Dan aku baru sempat kemari lagi sekarang,” ujarnya.“Saya sangat bersyukur Anda baik-baik saja, Nona.” Sang biksu berujar. “Tuan Hwang selama ini telah menjaga Anda dengan sangat baik,” imbuhnya.Mendengar itu, Yooshin yang berdiri di belakang Nara segera membungkukkan tubuhnya sebagai ungkapan terima kasih.Kemudian setelahnya mereka dipersilakan masuk. Ketiganya sempat berdoa di sana dan setelahnya mereka di antar ke bagian belakang kuil yang langsung mengarah ke Gunung Seolchang di bagian timur laut. Haewon sempat berpamitan kepada Nara untuk berkeliling kuil d
“Dia datang lagi, Tuan.” Seorang biksu berjalan menghampiri sang tetua yang berada di belakang kuil.“Dia?” Kening sang pria tua itu mengerut.“Iya, Tuan. Mahluk itu.”Tanpa berpikir panjang lagi, kedua kaki mereka bergerak ke satu tempat yang ada di kuil. Di sana, seseorang terlihat duduk bersila dengan sebuah pedang berwarna biru menyala di dekapannya.“Aku tidak berniat mengacau di sini, jadi lanjutkan saja kegiatan kalian,” ujar Moa tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang, seolah ia sudah tahu apa yang akan oleh kedua biksu di belakangnya itu.“Ini sudah hari ke lima kau datang ke sini tapi kau tak membuat masalah. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Apa rencanamu?” Sang biksu berjalan menghampiri Moa yang masih duduk bersandar di salah satu pilar kuil, sementara kedua mata mahluk itu terlihat menatap lurus ke depan sana.“Kau sudah sering menanyakan hal itu, ya. Aku semakin bosan mendegarnya.” Moa menghela napas pelan. “Sudahlah, aku memang tak berniat mengacau di sini sama seka
Kedua mata milik Moa terbuka begitu pedang miliknya bergetar saat ada angin kencang berembus melewatinya. “Tuan, ini aneh.” Seorang biksu berujar seraya menghentikan langkahnya di anak tangga yang terakhir.“Ada apa?” Salah seorang rekannya yang ada di sana bertanya. “Apa kalian tidak merasakannya? Aku rasa sesuatu yang buruk sedang terjadi.” Ditatapnya langit yang berwarna jingga kemerahan dengan angin yang sesekali berembus lebih kencang dari biasanya, sehingga menerbangkan daun-daun yang sudah tua pada pohon-pohon di sana.“Aku rasa sesuatu memang sedang terjadi,” ujar salah seorang biksu seraya menatap ke sekitarnya. Entah kenapa ia merasa kalau suasana di sore itu menjadi agak berubah dan membuatnya merasa tak nyaman. "Tuan!! Ini gawat!" Tiba-tiba seseorang berlari memasuki area kuil dengan tergesa. "Ada apa? Kenapa kau berlari seperti itu Apa yang terjadi?" Dengan napas yang terengah dan juga kedua kaki yang gemetar, pria itu berusaha menjelaskan pada biksu di hadapannya.
“Cepat panggil tabib!”Salah seorang anak buah Seungmo berlari keluar dari ruangan itu dan pergi mencari tabib yang biasa dipanggil untuk menangani kediaman itu.“Denyut jantungnya lemah,” ujar Seungmo usai memeriksa nadi cucunya. Wajah Nara terlihat pucat dan suhu tubuh gadis itu juga semakin menurun.“Maafkan saya, Tuan Kim!” Secara tiba-tiba Haewon menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan lantai dan bersujud di sana, memohon pengampunan. “Maaf karena saya lalai dan tidak bisa menjaga Nona dengan benar!” ujarnya dengan tangisan yang kembali pecah.Melihat itu, Yooshin mengepalkan kedua tangannya kuat. Lelaki itu menundukkan kepala. Pandangannya semakin buram begitu melihat Nara yang tak kunjung sadarkan diri di sana. Ia … merasa gagal, sepenuhnya.Untuk ke sekian kalinya ia gagal melindungi gadis itu.“Ini semua salah saya, Tuan. Saya benar-benar meminta maaf.” Yooshin tak sanggup mengangkat wajahnya dan lelaki itu memilih untuk memejamkan mata di sana, kian merasa pilu saat mendengar
Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan
Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat
Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti
"A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka
"Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung
"AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.
Nara mencoba bergerak namun ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian punggungnya. Salah satu tangannya mencoba meraih punggungnya dan ia berhasil menemukan sebuah luka di sana. Ia merasa permukaan kulitnya robek dan itu pasti berasal dari serangan Moa tadi. Rasa sakit ini seolah membawa Nara kembali ke hari di mana ia mendapatkna luka di lehernya. Kedua tangannya meremas kuat dedaunan kering yang berada di sekitarnya namun rasa sakit itu masih bisa ia rasakan. Sementara itu, Yooshin yang menemukan kuda milik Nara berada di perbatasan hutan pun segera turun dari kudanya dan ia dengan segera berlari masuk ke dalam hutan. Ia harus cepat sebelum Moa melakukan sesuatu yang buruk pada Nara. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam hutan itu, ia melihat siluet seseorang mendekat dari depan dengan cepat. Yooshin segera menyembunyikan dirinya di balik sebuah pohon besar dan lelaki itu mengintip dari baliknya. Moa terlihat bergerak menjauhi hutan sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari
"Mau ke mana kau sepagi ini?" Seungmo mengadang Nara yang yang hendak pergi. Gadis itu sudah bersiap dengan pedang dan juga panah yang berada di punggungnya. "Minggir," tegas Nara seraya menatap kakeknya dengan pandangan tajam. "Nara, ini masih terlalu pagi. Kau berencana menemui Moa dengan kondisi seperti itu? Jangan menemuinya dengan ambisi seperti itu-" "Kubilang minggir!" ulang Nara dengan nada yang lebih keras, membuat tubuh Seungmo tersentak pelan dan pria itu itu pada akhirnya memilih menyingkir dan membiarkan gadis itu berjalan melewatinya. "Nara!" Dengan sedikit berlari, Seungmo berusaha mencegah Nara yang kini sudah menaiki kudanya. Namun gadis itu seakan menulikan indra pendengarannya dan ia benar-benar diselimuti oleh kebencian yang timbul dalam dirinya. Perasaan sakit hati yang ia rasakan membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Nara merasa dipermainkan, setelah apa yang ia lakukan. "Naraaa!!" Nara sudah melesat keluar dari kediamannya. Beberapa orang pela
Musim dingin kali ini benar-benar dimanfaatkan oleh Nara dengan sebaik mungkin, karena ia yang tak ingin kehilangan momen berharga bersama dengan orang-orang terdekatnya. Salju-salju sudah mulai menghilang dan hanya tersisa sebagian kecil. Bunga-bunga dan pohon sudah mulai mempersiapkan diri menyambut angin musim baru.Keadaan desa juga baik-baik saja, membuat Nara bersyukur. Ia, Yooshin dan juga Haewon sempat berhenti di tengah perjalanan pulang ke rumah.“Bintang-bintang banyak bermunculan malam ini, Nona,” ujar Haewon.“Kau benar.” Nara tersenyum tipis, akan tetapi hal itu tak berlangsung lama begitu ia kembali mengingat apa yang harus ia lakukan setelah ini. Mungkin, momen seperti ini akan menjadi salah satu yang ia rindukan.Diam-diam, Nara menatap Yooshin yang berdiri di sebelahnya. Wajah itu terlihat menanggung tanggung jawab yang teramat besar, akan tetapi tak pernah sekali pun Nara mendengar lelaki itu mengeluh padanya. Malahan justru Nara yang lebih sering meminta maaf padan