Berbagai medan dilalui dengan susah payah oleh Yooshin. Salah satu kakinya cedera selepas terjatuh. Ia pun sempat tak sadarkan diri, beruntung tak ada binatang buas yang melahapnya di sana. Entah ada di mana Nara sekarang. Entah gadis itu masih hidup dan berada di suatu tempat, atau justru sekarang ia tengah melihatnya dari atas surga. Apapun yang terjadi, Yooshin berharap Nara akan baik-baik saja, meskipun pada kenyataannya ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Langkah Yooshin terhenti saat kepalanya berdenyut. Entah sudah hari ke berapa ia mencari keberadaan Nara, namun tak kunjung menemukannya. Bahkan ia tak menemukan adanya jejak sedikitpun dari kejadian beberapa waktu lalu, termasuk serpihan-serpihan kayu dari peti yang lenyap entah ke mana, mungkin sudah ditelan lautan. "Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal senekat itu." Yooshin bergumam. Nara benar-benar melewati batas dan mengorbankan diri. Bagaimana bisa dia tak menyadari kalau norigae yang dip
Orang-orang beramai-ramai pergi ke perbatasan hutan begitu mendengar kabar ada mayat di sana. Begitu mereka sampai, mereka terkejut karena mayat yang ada di sana ternyata putra Tuan Hwang. Salah satu dari mereka pun memberanikan diri mendekat untuk melihatnya dengan lebih jelas. "Astaga, ini benar-benar Tuan Yooshin!" Ia langsung mengecek denyut nadi pemuda itu."Bagaimana? Apa dia masih hidup?" tanya salah seseorang di belakangnya."Dia masih hidup. Kudengar Tuan Yooshin tidak kembali ke rumah selama beberapa hari terakhir untuk mencari Nona Nara." Dengan menyesal pria itu menatap wajah Yooshin yang pucat. "Kurasa ini juga perbuatan Moa." "Tapi kenapa Moa masih membiarkannya hidup?" tanya yang lain.Si pria menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa alasannya namun kita harus segera membawanya ke kediaman Tuan Hwang dan mengobati lukanya. Cepat bantu aku." Beberapa orang mendekat dan membantu mengangkat tubuh Yooshin dan pria
Nara diam-diam melirik Moa yang berada tidak jauh di dekatnya. Gadis itu memainkan sebuah ranting pohon di atas bebatuan di sekitarnya dan sesekali melempar batu-batu kecil ke arah sungai. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Moa tanpa membuka kedua matanya. Nara tersentak pelan. "Tidak, hanya saja-" Ia menahan napas sejenak, sebeum kembali melanjutkan, "kau bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ibu atau bahkan ayahku. Tidakkah kau ... mau melakukannya lagi kali ini?" Nada bicara Nara terdengar memelan. Kedua mata Moa terbuka dan langsung menatap gadis itu. "Apa kau bisa melakukannya? Sekali saja. Hanya sebentar." "Kenapa kau ingin aku melakukannya?" "Aku hanya merasa sedang merindukan ibuku." Nara tersenyum samar dan menghapus sesuatu yang jatuh dari sudut matanya dengan punggung tangan. Moa terdiam. Ia bisa melihat dengan jelas kalau Nara tengah menahan isakannya agar tidak terdengar. "Aku tahu kau yan
Nara berdiri begitu akar-akar itu bergerak menjauh hingga akses ke istana Moa terbuka. Gadis itu sempat memundurkan langkahnya. Siapa yang datang? Apakah orang lain? Apakah penduduk berhasil menemukannya dan mengalahkan Moa?Tapi--Kedua netra milik gadis itu membulat tatkala melihat Moa yang masuk dengan keadaan sempoyongan dan berlumuran darah. Gadis itu secara refleks menangkapnya begitu tubuh Moa kehilangan keseimbangan dan ambruk. Napas makhluk itu terengah. "Kau terluka." Nara berujar pelan begitu menyadari tangannya yang ikut berlumuran darah. "Menjauhlah," lirih Moa."Tapi kau terluka.Kau sebaiknya--" "Kubilang menjauh!!" Tubuh Nara terhempas ke belakang oleh dorongan Moa. Namun Nara memanglah keras kepala. Bahkan di saat Moa terluka, dia memilih untuk mengobati luka milik makhluk itu, mengabaikan kalau kesempatan itu cukup langka baginya. Gadis itu terkejut melihat tangan Moa yang berlumuran darah. Apakah ma
"Jika Nona Pendeta ternyata masih hidup, bukankah seharusnya dia kembali?" Seorang wanita berujar seraya menghentikan kegiatan menyapunya. Salah seorang wanita yang beberapa saat lalu menghampirinya itu pun mengangguk pelan. "Kau benar. Apa sekarang dia jadi berpihak pada Moa? Atau mungkin Nona sudah mati?""Kurasa Nona Pendeta masih hidup. Jika dia sudah mati, tidak mungkin Tuan Hwang mengirimkan orang untuk pergi ke hutan. Tuan Hwang tidaklah bodoh. Dia pasti bisa membaca rencana Moa. Itu artinya, kemungkinan Nona Pendeta masih hidup," ujar yang lain. "Tapi sekarang desa kita ini terancam. Jika Moa mengamuk lagi seperti kemarin, kita semua bisa mati. Tuan Hwang dan Tuan Seungmo terluka parah dan mustahil bagi mereka untuk mengalahkan Moa. Lagi pula perbatasan sudah dibakar habis oleh Tuan Seungmo. Dia bahkan berniat membunuh cucunya sendiri. Tapi apa menurut kalian, Tuan Seungmo memiliki rencana lain? Apa dia sengaja melakukannya? Untuk memancing Moa?"
Tubuh Nara pasti sudah jatuh ke bawah jika saja seseorang tidak menahan tangannya. Gadis itu sudah menangis, dan dalam peglihatannya yang buram ia melihat seseorang. Nara terisak saat menyadari Moa ada di sana. Perlahan tubuhnya ditarik kembali ke atas. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Moa. Di tengah isakannya, Nara mengangkat salah satu tangannya. Ia menunjukkan sebuah tanaman obat yang berhasil dia dapatkan pada Moa. Kedua alis Moa bertaut. "Apa itu? Tanaman obat?"Nara mengangguk. "Aku berniat memberikan ini padamu tapi aku malah terpeleset. Kau lagi-lagi menolongku." "Dan tanaman itu pada akhirnya akan kau gunakan sendiri." Moa menggendong tubuh Nara dan membawanya pergi dari sana. "Lukamu sudah sembuh?" tanya Nara. "Hm. Sudah kubilang lukaku akan membaik dalam kurun waktu 24 jam. Kenapa juga kau harus bersusah payah mencari tanaman obat?" Nara menunduk. Selain ia melupakan tujuannya untuk
Di bawah malam purnama itu, Kiara dan Moa melakukan perjanjian tanpa sepengetahuan orang-orang. Keduanya bertemu di perbatasan hutan dan melakukan perjanjian di sana. "Jika aku berhenti membantai penduduk, kau akan menyerahkan dirimu padaku?"Kiara mengangguk. "Aku akan datang padamu, jadi kau bisa membunuhku. Tapi ingat, kau juga harus menepati janjimu padaku.""Aku pegang janjimu. Namun jika kau mengingkarinya, akan aku pastikan seluruh keluargamu akan aku habisi, termasuk putri semata wayangmu itu." Kiara mengepalkan kedua tangannya. ***Kedua mata Moa terbuka lebar dan ia mendudukkan tubuhnya. Mimpi tentang perjanjian bersama Kiara selalu berulang dan membuat tidurnya tak tenang. Setelah sekian tahun, ia tidak bisa melupakan dendamnya begitu saja. Moa menatap pedang miliknya. Pedang berwarna silver itu menyimpan sisi gelap Kiara di dalamnya, dan siapa sangka kalau sisi gelap milik Kiara lah yang membuat kekuatan pedangnya
"Ada apa?" Nara bertanya begitu Moa berhenti secara tiba-tiba. Pria itu tiba-tiba berputar balik dan membawa Nara pergi ke arah lain. "Ada apa?" Nara kembali bertanya."Seseorang memasuki hutan." Moa menjawab. "Ma-manusia?" Moa mengangguk. Ia dan Nara berlari menuju sebuah pohon besar. Moa tiba-tiba melepas mantelnya dan memakaikannya pada Nara. "Kau diam di sini dan jangan berani kabur," titahnya, lebih terdengar seperti ancaman. Setelah itu, dengan cepat Moa pergi dari sana dan menghilang dari pandangan Nara. Gadis itu semakin menyudutkan tubuhnya ke pohon. Kalau pun dia nekat pergi, bau dari mantel itu akan tetap bisa tercium oleh Moa dan makhluk itu akan dengan cepat menemukannya. "Kali ini siapa lagi yang datang?" gumam Nara. "Apakah kakek kembali ke sini?" Sementara itu Moa pergi mencari sosok yang menginjakkan kaki ke dalam hutannya. "Ini tidak hanya seperti langkah manusia, namun juga--"
Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan
Sebuah upacara pernikahan baru saja selesai diadakan begitu hari menjelang siang. Orang-orang yang datang terlihat begitu bergembira, menatap sepasang pengantin baru yang beberapa saat lalu mengucapkan janji sehidup semati.Takdir memang tak ada yang tahu, begitu pun dengan setiap rencana milik Tuhan. Namun sebaik apapun rencana yang manusia pilih, rencana dari Tuhan adalah rencana yang terbaik dari yang paling baik.Langit pun tampak begitu cerah, seolah mendukung pasangan muda ini untuk menikmati waktu bahagia mereka.Pasangan yang dulu dikenal sebagai sahabat dekat sedari usia mereka masih belia, kini bertranformasi menjadi pasangan yang sesungguhnya. Nara melingkarkan tangannya di salah satu lengan milik Yooshin, menatap pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua berjalan menyapa para tamu undangan.Kedua sudut bibir milik Nara naik ke atas melihat betapa bahagianya orang-orang di sana. Dan tanpa ia sadari pula, sedari tadi Yooshin menatapnya dari samping, menat
Moa menyentuh permukaan wajahnya yang lain menggunakan tangan, dan menemukan adanya darah di sana, sebelum akhirnya kembali menatap Nara. Kini gadis itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya, tanpa mau memikirkan hal lain lagi. Nara beberapa kali melayangkan serangan padanya tanpa adanya ragu sedikit pun. "Nara ... " Yooshin berniat berdiri untuk membantu Nara. Dengan menggunakan pedangnya untuk tumpuan, pria itu berdiri dari posisinya dan mendekati Nara secara perlahan. Yooshin berlari sekuat yang ia bisa dengan pedang yang sudah bersiap di tangannya. Namun sebelum ia benar-benar mendekati Moa, mahluk itu sudah terlebih dulu berbalik dan menangkis serangannya dan memukul bahu Yooshin beberapa kali hingga tubuh pria itu terdorong beberapa kali ke belakang. "Yooshin!!" Di saat lengah itulah, Moa memanfaatkan kesempatan untuk melancarkan serangan terakhirnya pada Yooshin. "Matilah kau!!!" Tangan Moa sudah siap mengoyak perut Yooshin, membuat Nara membelalakkan kedua matanya. "Ti
"A-aku percaya Paman adalah orang yang baik." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari gadis kecil malang yang berusaha menyelamatkan Nara. Haewon tak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu terduduk di atas permukaan tanah dengan air mata yang berderai."Tidakkk!!" Nara langsung bergerak dari posisinya dan meraih tubuh kecil yang kini tak berdaya itu. Air matanya berderai, tak percaya kalau seorang gadis kecil akan berbuat sampai sejauh itu demi menyelamatkan hidupnya. Gadis itu tak bersalah. Ia tak ada kaitannya dengan ini dan tak seharusnya berkorban sampai sejauh itu. Yooshin yang melihat itu tampak tak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan Moa sekalipun tak bisa menghindar. Gadis kecil yang baru saja meregang nyawa di hadapannya itu tak lain adalah gadis kecil yang beberapa waktu terakhir pernah ia selamatkan. Satu-satunya orang lain yang menganggapnya sebagai orang baik dan memperlakukannya layaknya seperti orang yang tak pernah membunuh.Dan siapa sangka
"Nara, kau—" Kedua mata Yooshin membulat saat melihat Nara yang benar-benar berhasil mencabut pedang itu sepenuhnya. "Yooshin, aku berhasil." Nara menatap Yooshin. Gadis itu berhasil. Yooshin dengan segera membantu Nara agar gadis itu tak kehilangan keseimbangannya. Pria itu lalu menatap luka yang ada di punggung Nara. "Nara, tapi lukamu tak menghilang sedikit pun." Napas Nara tersengal, "tak apa, Yooshin. Aku sudah tak lagi merasakan sakitnya. Ha-hanya saja—" Tubuhnya tiba-tiba limbung namun Yooshin dengan sigap menahannya. "Nara, kau tak apa?" tanya Yooshin cemas. "Aku tak apa, rasa sakitnya sudah berkurang, hanya saja aku merasa kalau tenagaku terkuras banyak hingga aku merasa kalau kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku sendiri," lirih Nara. "Ayo, kembali ke desa. Kita harus menolong semua orang. Mereka pasti memerlukan bantuan." Yooshin mengangguk. Ia segera memapah Nara dan mulai bergerak keluar dari hutan. *** Moa menggeram dengan darah yang menetes dari ujung
"AKU TAK AKAN MENGAMPUNMU!" Seungmo merasakan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya begitu salah satu tangan Moa berhasil merobek permukaan kulitnya. "Entah apa saja yang sudah kau katakan pada Nara yang jelas kau sudah menghancurkan semuanya!!" Moa berteriak tepat di depan wajah Kim Seungmo. Ia seakin mendorong masuk kuku-kuku di tangannya ke dalam, membuat Sungmo terbatu dengan darah yang keluar dari mulutnya. "Tuan Kim!" Tuan Hwang berdiri sekuat tenaga dengan bertumpu pada pedangnya dan pria itu berjalan mendekat ke arah Moa dan Seungmo. Moa langsung melompat menghindar tapat ketika Tuan Hwang mengayunkan pedang ke arahnya. "Semua kekacauan yang terjadi di desa ini, aku takkn pernah bisa memaafkanmu!" murka Tuan Hwang. "Kenapa, Kim Seungmo?" Kedua tangan Moa mengepal dengan kuat. "Kenapa kau melakukan hal ini lagi? Kenapa kau selalu saja menggagalkan semua rencanaku?!" "Ka-karena aku tak ingin menyerahkan cucuku padamu, Moa." Seungmo kembali terbatuk setelahnya.
Nara mencoba bergerak namun ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian punggungnya. Salah satu tangannya mencoba meraih punggungnya dan ia berhasil menemukan sebuah luka di sana. Ia merasa permukaan kulitnya robek dan itu pasti berasal dari serangan Moa tadi. Rasa sakit ini seolah membawa Nara kembali ke hari di mana ia mendapatkna luka di lehernya. Kedua tangannya meremas kuat dedaunan kering yang berada di sekitarnya namun rasa sakit itu masih bisa ia rasakan. Sementara itu, Yooshin yang menemukan kuda milik Nara berada di perbatasan hutan pun segera turun dari kudanya dan ia dengan segera berlari masuk ke dalam hutan. Ia harus cepat sebelum Moa melakukan sesuatu yang buruk pada Nara. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam hutan itu, ia melihat siluet seseorang mendekat dari depan dengan cepat. Yooshin segera menyembunyikan dirinya di balik sebuah pohon besar dan lelaki itu mengintip dari baliknya. Moa terlihat bergerak menjauhi hutan sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari
"Mau ke mana kau sepagi ini?" Seungmo mengadang Nara yang yang hendak pergi. Gadis itu sudah bersiap dengan pedang dan juga panah yang berada di punggungnya. "Minggir," tegas Nara seraya menatap kakeknya dengan pandangan tajam. "Nara, ini masih terlalu pagi. Kau berencana menemui Moa dengan kondisi seperti itu? Jangan menemuinya dengan ambisi seperti itu-" "Kubilang minggir!" ulang Nara dengan nada yang lebih keras, membuat tubuh Seungmo tersentak pelan dan pria itu itu pada akhirnya memilih menyingkir dan membiarkan gadis itu berjalan melewatinya. "Nara!" Dengan sedikit berlari, Seungmo berusaha mencegah Nara yang kini sudah menaiki kudanya. Namun gadis itu seakan menulikan indra pendengarannya dan ia benar-benar diselimuti oleh kebencian yang timbul dalam dirinya. Perasaan sakit hati yang ia rasakan membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Nara merasa dipermainkan, setelah apa yang ia lakukan. "Naraaa!!" Nara sudah melesat keluar dari kediamannya. Beberapa orang pela
Musim dingin kali ini benar-benar dimanfaatkan oleh Nara dengan sebaik mungkin, karena ia yang tak ingin kehilangan momen berharga bersama dengan orang-orang terdekatnya. Salju-salju sudah mulai menghilang dan hanya tersisa sebagian kecil. Bunga-bunga dan pohon sudah mulai mempersiapkan diri menyambut angin musim baru.Keadaan desa juga baik-baik saja, membuat Nara bersyukur. Ia, Yooshin dan juga Haewon sempat berhenti di tengah perjalanan pulang ke rumah.“Bintang-bintang banyak bermunculan malam ini, Nona,” ujar Haewon.“Kau benar.” Nara tersenyum tipis, akan tetapi hal itu tak berlangsung lama begitu ia kembali mengingat apa yang harus ia lakukan setelah ini. Mungkin, momen seperti ini akan menjadi salah satu yang ia rindukan.Diam-diam, Nara menatap Yooshin yang berdiri di sebelahnya. Wajah itu terlihat menanggung tanggung jawab yang teramat besar, akan tetapi tak pernah sekali pun Nara mendengar lelaki itu mengeluh padanya. Malahan justru Nara yang lebih sering meminta maaf padan