Kriting SyebelHari ini Davi berulang tahun yang ke-4. Aku sudah menyiapkan acara keluarga. Hanya keluarga. Memasak makanan dan menyiapkan sebuah tart yang aku pesan dari toko kue yang terkenal enak. Rencananya aku juga akan mengundang beberapa teman Davi di lingkungan rumah untuk ikut makan bersama. Hanya makan bersama dan bagi-bagi kue saja, tidak ada acara tiup lilin apalagi pakai balon-balon. Ribet. Lagipula aku tak suka balon, seram.Keluarga dari suami dan keluargaku semuanya berkumpul. Kami bercengkrama dan bercanda. Jarang-jarang bisa berkumpul seperti ini, karena kesibukan masing-masing. Davi sangat senang mendapat kado dan hadiah dari Oma, Opa, Nenek, Kakek, Tante, dan Om nya. Namanya anak kecil, diberi hadiah sederhana saja pasti sudah sangat senang.Setelah selesai berdo’a dan makan bersama, beberapa saudara membantuku mencuci piring-piring kotor. Menjelang sore akhirnya semua keluarga kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah Davi yang sedang asik membuka bungkusan kado-
Kurang SajenPagi-pagi, setelah Mas Hadi berangkat bekerja, aku masih asyik di halaman membersihkan dedaunan kering bunga bougenville yang berguguran. Bunyi suara sapu lidi yang aku gunakan seperti sinyal yang memanggil-manggil bagi makhluk dari galaksi andromeda. Benar saja, nongol!“Hay, Rin!” Dia menyapa dengan gaya kemayu.“Pagi-pagi tumben udah mandi, udah dandan lagi?”“Iya, dong! Kan udah ikut kelas makeUp online. Kudu cepet bangunnya biar gak ketinggalan siaran langsung di grup.”“Ooh, langsung dipraktekin, gitu?”“Ya iya, lah! Nih, hasilnya. Bagus, kan?” ujarnya sambil memajukan wajahnya dan celingukan memamerkan hasil riasan wajahnya. Wajahnya diberi polesan yang terkesan menor. Warna bedak juga tak sesuai dengan warna kulit aslinya. Belum lagi contouring yang terlalu tebal. Wajahnya terlihat kelewat tirus.“Bagus. Lumayan, lah. Daripada dirimu ngelungker aja tiap pagi. Cuma, kasih saran dikit, ya. Itu contouring nya jangan terlalu tebal. Mukamu gak cocok kalau kelihatan tir
Balada Ultah AzrielHari ini suami si Mbak Kiki kayaknya ada di rumah. Tapi tumben, dia malah keluar rumah. Tak seperti biasanya. Dia menghampiriku yang sedang berjongkok mencabut rumput-rumput kecil dalam pot bunga di halaman.“Rin, nih!” ujarnya sambil memberikan secarik kertas undangan ulang tahun anak-anak.“Apaan, nih, Mbak? Anakmu ultah?” tanyaku heran. Setahuku, dari penuturannya dahulu, jarak umur Azriel dan Davi sekitar enam atau tujuh bulan. Mengapa dia mengadakan acara ultah beberapa hari setelah ultah Davi?“Iya, dong! Emangnya anakmu aja yang bisa ultah?” jawabnya jumawa.“Bukannya dulu kamu bilang anakmu lahirnya akhir tahun, ya?”“Emang, tapi lagi pengen ultah sekarang aja!”“Bwahahahaha … Ultahnya dimajuin?” Dia hanya mengangkat sebelah alisnya melihatku tertawa. Aneh banget nih emak-emak.“Emang kenapa?” tanyanya sewot.“Kasian anakmu, Mbak! Tua sebelum waktunya! Wakakakakak ….”“Kok elu malah ketawa-ketawa, sih?” ujarnya sebal.“Ya lucu aja, Mbak. Gara-gara anak tet
Telor GratisSetelah prahara ultah anaknya yang gagal total meraup kado, Mbak Kiki jadi semakin jutek kalau ketemu. Hahaha, aku maklumi saja, lah. Makhluk sejenis Mbak Kiki ini memang absurdnya udah akut, bukan tingkat kecamatan apalagi kabupaten, udah level luar angkasa. Hahahaha. Semoga saja tak ditabrak asteroid.Seperti hari ini, tak sengaja aku melihatnya duduk termenung di teras rumahnya sendiri. Kebetulan aku sedang ada perlu hendak ke rumah Mbak Devi, mau meminta daun salam yang tumbuh subur di tepi pagar rumahnya.“Ngapain menung-menung di situ sendirian, Mbak? Ntar kesambet, lho.”“Lagi cari ilham!” jawabnya ketus.“Cari ilham? Emang mau ngapain kok kudu dapet ilham?”“Mau tau aja, lu! Nah, tuh si Ilham! Ilham, ck ck ck ck ck ck.” Dia memanggil seekor kucing belang hitam putih yang kebetulan lewat dekat kakiku.“Owalah, ternyata Ilham nama kucing? Sejak kapan melihara kucing? Biasanya berantem mulu ama kucing?”“Biar jadi lawan berantemnya si Udin!” ujarnya sewot.“Hahaha, U
Telor Gratis.Setelah kejadian Mbak Kiki kecemplung parit, sudah hampir satu minggu dia tak muncul ke rumahku. Mungkin memang harus kecemplung parit dulu baru dia insyaf. Kalau tahu begitu, mengapa tak sejak dulu saja kau diceburin ke got, Mbak? Hahaha jahat banget ya aku?Semoga saja hari ini pun dia tak muncul. Karena aku sedang sibuk di kebun mini untuk menyemai beberapa tanaman. Rasanya mataku sepet melihat kebun hanya ditumbuhi rumput. Meskipun ada beberapa batang singkong yang masih hidup. Lumayan pucuknya bisa buat rebusan. Walaupun akhirnya umbinya jadi pahit karena daunnya sering-sering dipetik.Akhirnya cangkul kecil pun beraksi membuat galangan tanah. Aku berencana membersihkan rumput liar terlebih dahulu, sambil menimbun tanah membentuk gundukan, supaya besok lebih mudah untuk ditanami.Akhirnya panas matahari yang menyengat membuatku menyudahi pekerjaan ini. Udin yang sejak tadi ikut menemani pun akhirnya masuk ke dalam rumah karena tak tahan kepanasan.“Mamah, mau minum?
“Riiin ….” Pagi-pagi sekali dia sudah bertandang ke rumahku. Menggedor-gedor kan gembok besar yang mengunci pagar.“Mah, solmet Mamah, tuh,” ujar Mas Hadi yang sedang asyik sarapan.“Ganggu orang sarapan aja.”“Udah janjian kali sama Mamah, siapa tau Mamah lupa.”“Janjian apa, ya? Ooh, iya. Dia utang telor dua papan sama Mamah, hihihi.”“Kok bisa? Pasti Mamah ngerjain dia lagi, ya?”“Hmm, abisnya nonton tv di rumah kita sampe gak inget waktu. Mamah matiin deh listriknya.”“Udah, datengin dulu, gih. Sekalian pager dibuka gemboknya!”“Oke, deh, Pah.” Aku pun segera menuju ke halaman untuk membukakan pagar. Kasihan si Asmirandah. Eh, maksudnya kasihan kuping tetangga.“Apaan, Mbak?” tanyaku sambil membuka gembok.“Lama amat bukain gerbang pagernya!”“Mau bayar utang telor?”“Hehehe, kapan-kapan aja deh, ye! Soalnya aku lagi gak pegang duit kes!”“Hmm, sudah kuduga! Ga usah aja, Mbak. Lagian aku gak ngarep kok. Becanda aja.”“Iya, aku tau kok. Kamu emang suka becanda. Hihihi ….”“Terus se
Hari ini aku kembali menyibukkan diri dengan aktivitas di kebun belakang rumah. Menanam cabai yang sebelumnya telah disemai di polybag kecil. Pokoknya kalau pohon cabai mati, aku bakalan kelabakan sendiri. Karena suka lupa beli cabai di pasar. Kebiasaan, selalu memetik hasil tanamanku sendiri.Udin dan Davi juga tak mau ketinggalan untuk ikut membantu, walaupun cuma bantu dengan do’a.“Davi bantuin, ya, Mah!”“Gak usah, Nak. Di sini panas.”“Makanya itu, Mah. Davi bantu dengan do’a aja, biar Mamah semangat kerjanya.”“Ooh, anak pinter. Makasih ya sayang!”“Hahaha, sama-sama, Maah!”Aku hanya tertawa sambil berjongkok memasukkan tanaman cabai ke dalam tanah. Semoga cuaca hari ini mendukung, supaya si cabe gak layu.“Mah, kita udah lama ya, gak jalan-jalan ke mol?”“Iya, Nak. Kemarin-kemarin kan masih wabah.”“Sekarang udah pada buka, loh, mol nya.”“Iya, tapi tetap harus jaga jarak aman dan ikuti protokol standar keamanan covid.”“Berarti udah boleh jalan-jalan ya, Mah?”“Boleh. Emang
Keesokan paginya, ketika aku baru saja membukakan pintu pagar, Mbak Kiki sudah langsung keluar dari rumahnya dan menghampiri.“Selamat pagi princess Asmirandah,” sapaku.“Pagi!” jawabnya ketus.“Gimana tidurnya kemarin? Nyenyak kan?”“Nyenyak apaan?”“Loh, kan udah berhasil menipu rombongan nyamuk-nyamuk laknat?” tanyaku sambil menahan tawa.“Iye, nyamuk emang pada kena tipu, tapi kecoa yang gantian merusuh!”“Bwahahaha, emang di bawah kolong ranjang mu banyak kecoa?”“Iye, sebel!"“Hahaha, ya udah tinggal dibersihin!”“Susah, ntar aja kalo Mas Bowo pulang.”“Trus kesini pagi-pagi mau ngapain?”“Nunggu Kang Sayur! Mau balas dendam.”“Hahaha. Jangan durhaka sama Bapak tiri!”“Halah, ogah bener punya Bapak tiri kaya dia.”“Tapi dia itu bininya dua, Mbak. Keren, ya?”“Keren apanya? Kalo gue mah ogah di poligami!”“Waduh, ngerti juga sama istilah poligami?”“Ngerti, lah! Sinetron itu banyak yang ceritanya poligami,” ujarnya santai.“Oh!”“Ngomong-ngomong, di daerah kita udah lama ye kaga