Nana masih termenung menatap smartphone-nya yang tergeletak di atas meja. Kopinya yang sudah mulai mendingin dan kue tiramisu yang sudah tidak lagi menggugah selera makannya, tak disentuhnya lagi. Lapar yang tadi sempat melilit perutnya kini menguap entah kemana.
Nana teringat saat pertama berkenalan dengan Erick. Pria yang dikenalnya dalam salah satu game online yang digemarinya. Pria yang kerap menggodanya dan membuatnya terbuai dalam sebuah angan yang membuatnya melayang, meski hanya di dunia maya saja.Erick awalnya hanyalah teman diskusi yang menyenangkan. Dengan kepandaiannya dan wawasannya yang luas, dia tidak hanya menjadi teman berbincang seputaran game saja, namun juga dalam banyak hal.@Erick[Nana][Sudah menikah?]Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkannya setelah mereka asyik berdiskusi tips dan trik game serta ngobrol-ngobrol ringan saja. Awalnya Nana enggan untuk membalasnya. Berbicara mengenai statusnya kerap membuat dirinya merasa canggung.Selama berkelana di dunia maya, Nana enggan mengumbar kehidupan pribadinya seperti status, pekerjaan ataupun usianya. Baginya itu bukanlah hal-hal yang dapat dijadikan sebagai konsumsi publik.@Nana[Pernah][Sekarang sendiri lagi]Meski ragu, Nana kali ini menjawab pertanyaan seputar statusnya dengan jujur. Entah apa yang membuatnya berkeinginan untuk mengungkapkan dirinya apa adanya di depan pria yang kerap membuatnya merasa nyaman. Mungkin karena Erick pun selalu bersikap apa adanya.Tidak bermaksud untuk menutupi statusnya, namun dia juga tidak ingin mengundang hal-hal negatif dengan statusnya yang memang kerap mendapatkan tanggapan sinis dari lingkungan sekitarnya sekalipun itu di dunia maya. Itulah alasan Nana enggan membicarakan statusnya pada siapapun.Kini dia mencoba untuk bersikap apa adanya meski tak berharap Erick akan menanggapinya dengan positif. Nana hanya berusaha untuk menghadapi apapun resiko dari status dirinya baik di dunia nyata maupun dunia Maya.@Erick[Maksudnya menjanda?][Begitukah]@Nana[Iya][Abang sendiri bagaimana][Bujangan][Duda][Atau laki orang]@Erick[Owh aman dong][Abang laki orang][Wkwkwkwkwk]@Nana[Aih][Bahaya ini][Nggak aman ah]@Erick[Aman kok][Asal nggak lebay aja]@Nana[Nggak ah][Nana tidak suka monster yang menyeramkan][Eh bini yang menyeramkan][Hahahaha]@Erick[Astaga][Siapa yang menyeramkan]@Nana[Bini kalau cemburu][Lebih serem dari setan lho][Ngeri]@Erick[Wkwkwkwkwk][Kalau nggak ketahuan][Amanlah]@Nana[Owh begitu][Jadi harus main cantik ya][Biar nggak ketahuan]@Erick[Iya][Kalau nggak alay][Nggak bakalan ketahuan][Dijamin aman]@Nana[Wkwkwkwkwk][Dasar Abang][Kang gombal]@Erick[Mana ada gombal][Cuma godain kamu aja kok]@Nana[Cuma godain doang ya][Nggak boleh baper][Nggak boleh bucin dong]@Erick[Tergantung kalau itu][Bagaimana komitmen awal aja]@Nana[Baiklah][Saling godain aja][No baper-baperan][Deal]@Erick[Deal][Mulai kapan]@Nana[Tahun depan bang]@Erick[Astaga][Kelamaan Markonah]@Nana[Kapan dong Bambang]@Erick[Sekaranglah Markonah]@Nana[Etdah][Buru-buru amat bang][Wkwkwkwkwk]@Erick[Harus][Nanti keburu dirimu diambil si Bambang][Wkwkwkwkwk]@Nana[Eh][Bambang siapa]@Erick[Itu][Si anu][Si kamvret]@Nana[Mana ada][Abang jangan ngadi-ngadi ya]@Erick[Wkwkwkwkwk]@Nana[Sudah ah][Nanti ketahuan bini][Abang dijewer]@Erick[Nggaklah][Aman kok][Ya sudah][Inget ya Markonah][Kita sudah deal]@Nana[Iya Bambang]Berawal dari sendau gurau mereka di dunia maya dua tahun lalu, Nana dan Erick menjadi semakin dekat. Entah apa yang membuat Nana bisa menerima Erick setelah selama ini selalu menutup diri.Erick bukanlah tipe pria yang menjadi idaman banyak wanita secara umum. Dia bukan tipe pria yang setia seratus persen, mengingat sepak terjangnya di dunia maya.Nana tahu benar bagaimana hubungan Erick dengan beberapa gamers wanita yang lain. Belum lagi fakta dia berstatus menikah dan memiliki istri di dunia nyata.Namun meskipun begitu selama mengenal Erick, Nana tidak pernah sekalipun mendengarnya terlibat dalam skandal yang memalukan. Erick selalu menjaga privasi mereka, dan membuat Nana merasa nyaman berada di sekitarnya tanpa pernah takut ketahuan oleh siapapun."Ibu jangan melamun! Nanti beneran kesurupan lho!" Mbak Siti menepuk bahunya pelan.Nana terkejut dan membuyarkan lamunannya ke masa dua tahun lalu. Mendesah pelan dan meregangkan tubuhnya yang terasa pegal dan lelah sejenak."Mbak Siti emang pernah kesurupan?" Nana mengulurkan cangkir kopinya pada wanita yang kini sibuk membersihkan meja makan."Belum sih Bu. Ini kopinya mau diapain?" Mbak Siti tersenyum lebar, sembari menerima cangkir kopinya."Yeay, kirain sudah pernah kesurupan. Dari tadi berisik mulu ngomong kesurupan!" Nana mencerucutkan bibir penuhnya dengan kesal."Kopinya panasin bentar mbak di microwave. Sudah dingin jadi nggak enak lagi." Nana beranjak dari kursi, mengikat rambut panjangnya asal-asalan."Saya mau mandi dulu ya mbak. Nanti kopinya baru dikeluarkan kalau saya sudah selesai mandi." Nana mendorong kursi pelan dan bergegas menuju ke kamarnya."Asiiiaapp Bu!" Mbak Siti mengacungkan jempolnya dan membawa cangkir kopinya ke dapur.Nana segera ke kamar mandi dan bersiap untuk berendam dengan aroma terapi favoritnya. Biasanya dengan berendam dan memanjakan diri dengan perawatan paripurna, jiwa dan raganya bak mendapatkan asupan yang menyegarkan sekaligus memperbaiki moodnya.Setelah hampir tiga puluh menit berendam, Nana tidak lagi berendam lebih lama. Meski enggan namun aktivitas hariannya telah menunggu. Diraihnya handuk, mengeringkan tubuh dan rambutnya kemudian membungkus tubuh mungilnya dengan bathrobe berwarna putih bersih.Berdiri di depan meja riasnya, Nana meraih botol body lotion dan mulai mengolesi sekujur tubuhnya dengan cairan kental beraroma harum yang memberikan sensasi lembut dan sejuk di kulitnya. Setelah beres dengan lotion, kini dia duduk dan mulai memoleskan make up meski tipis dan natural namun memberikan kesegaran di wajah cantiknya.Nana bukan perempuan penganut anti make up dan mendukung penampilan alami idaman emak-emak seantero negeri khatulistiwa ini. Bagi Nana, berdandan adalah hak prerogatif wanita yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun apalagi kaum Adam.Berdandan dan merawat diri merupakan salah satu hal yang menyenangkan sekaligus menenangkan bagi Nana. Dengan gaya apapun asal sesuai dengan waktu dan tempat, berdandan tentu saja suatu hal yang wajar.Meski begitu ada kalanya Nana sama sekali tidak memoleskan make up dan hanya cukup mengulas kan pelembab secukupnya. Berpenampilan alami bukan berarti tidak berdandan sama sekali.Smartphone-nya bergetar. Nana hanya meliriknya, tidak berniat untuk mencari tahu apa yang membuat benda pipih itu bergetar berkali-kali. Entah mungkin panggilan atau ada pesan, namun dia tidak berminat untuk segera meresponnya.Setelah beberapa lama, getarannya berganti dengan bunyi-bunyian yang merupakan notifikasi adanya pesan masuk. Nana meraih benda canggih itu dan berhenti memulaskan bedak.Dengan hati-hati disentuhnya layar smartphone-nya. Tampak ada beberapa panggilan video dan pesan dari Erick."Hadew, meow kenapa vc lagi sih?" Nana bergumam kesal.Setelah tadi sempat melakukan panggilan video meski sekejap, sepertinya Erick masih ingin mengobrol dengannya. Bukan suatu hal yang biasa dilakukannya di jam kerjanya.Smartphone-nya bergetar lagi, mau tidak mau Nana terpaksa menjawab panggilan video itu."Apa sih meow?" Nana mencerucutkan bibirnya menyambut wajah tampan si kucing garong yang muncul di layar smartphone-nya."Astaga, ikan asin! Baru selesai mandi?" Erick tersenyum tipis menggodanya saat melihat Nana masih terbungkus jubah mandi dan handuk di kepalanya."Iya gara-gara Abang ini." Gerutu Nana kesal."Salah Abang apa coba?" Erick terkekeh geli melihat Nana yang tengah kesal dan justru membuatnya semakin menggemaskan."Salah! Kenapa abang jadi tetangga Nana sih!" Nana memberengut kesal, mencebikkan bibirnya."Lah Abang mana tahu kalau dirimu tinggal di sini juga." Erick masih tersenyum tipis."Abang balik gih ke Papua." Nana masih mencebikkan bibirnya dan merajuk."Beneran nggak mau dekat Abang? Oke, nanti abang balik lagi ke Papua." Erick terdengar serius dengan ucapannya."Eh jangan!" Nana spontan berteriak."Hadew! Terus abang harus bagaimana?" Kini Erick yang mencebikkan bibirnya, merasa serba salah."Jangan pergi." Nana bergumam lirih, menatapnya dengan sendu."Tapi Nana juga takut, kalau terlalu dekat seperti ini." Lanjutnya masih dengan lirih."Nggaklah, Abang janji nggak akan ada monster yang menyeramkan yang akan mengganggu Nana-ku yang imut." Bujuk Erick meyakinkannya.Nana hanya menganggukkan kepalanya. Meski belum pernah bersua sebelumnya, tapi Nana tidak pernah meragukan komitmen Erick terhadap hubungan mereka. Selama dua tahun ini semua berjalan baik-baik saja tanpa ada masalah menerpa mereka.Apakah dengan kondisi mereka sekarang ini semua masih akan baik-baik saja atau meregangkan kedekatan mereka atau justru semakin menjadi. Entahlah, hanya Nana dan Erick yang tahu jawabannya."Aaah, minggir ih!" Teriakan wanita dari sebelah rumah mengejutkan Mbak Siti.Wanita asal Banyuwangi yang tengah sibuk mengepel lantai teras itupun berlari tergopoh-gopoh mendekati tembok pembatas antara dua rumah itu. Teriakan tetangga sebelah jelas-jelas pertanda dia tidak menyukai hewan berbulu milik majikannya."Hush hush pergi!" Teriakan-teriakan masih terdengar saat Mbak Siti berhasil menggapai tembok pembatas dan melongokkan kepalanya ke halaman milik tetangga sebelah."Omil, sini! Pus pus!" Mbak Siti memanggil kucing himalayan berbulu putih itu."Meong!Meong!" Omil mengeong keras seperti kesakitan."Lho jangan ditendang dong! Kasihan lho!" Terdengar suara tegas seorang lelaki dari arah yang sama di mana suara Omil juga terdengar."Apaan sih! Kucing aja kok dikasihani! Jorok tahu!" Lengkingan wanita tadi terdengar lagi.Mbak Siti hampir saja melompati tembok, namun dia hampir terjatuh saat sebuah tepukan di bahunya mengejutkannya."Ibu! Bikin kaget!" Serunya saat mendapati Nana
Nana duduk memeluk lutut di tepian kolam renang. Bertemankan segelas wine dan praline, menatap taman yang dihiasi cahaya lampu remang-remang.Suasana di malam hari selalu saja sepi. Mengingat lingkungan sekelilingnya memang bukanlah lingkungan hunian yang ramai. Tetangga kanan kiri dan depan villa tempatnya tinggal juga merupakan villa yang sering berganti-ganti penghuninya.Nana sendiri tidak setiap saat mendiami villa peninggalan almarhum suaminya ini. Dia lebih sering berada di Singapura atau Penang, mengawasi cabang-cabang toko rotinya.Bukan tanpa alasan jika dia lebih memilih untuk melanglang buana daripada hidup damai di Pulau Dewata ini. Baginya ada seribu rasa sakit yang akan terkoyak kembali setiap kakinya menapaki jalanan yang pernah dilaluinya bersama almarhum suaminya.Ada banyak kenangan yang sulit terlupakan di setiap sudut pulau Dewata yang akan mengingatkannya pada sosok yang dahulu begitu dipujanya. Bahkan hingga kini di salah satu sudut hatinya terukir namanya yang a
Suara derit pintu gerbang dibuka dan bergeser, mengagetkan Nana yang tengah bermain-main dengan kucingnya. Glacie yang juga kaget, melompat dari gendongan Nana dan berlari menghilang ke dapur.Nana mengambil smartphone-nya yang sedari tadi tergeletak di atas long bench di sebelahnya bersama dengan sebotol wine serta sekotak praline dan kue red velvet. Menyentuh layarnya dan melihat jam yang tertera di bagian atas layar."Sudah hampir jam setengah sebelas." Gumamnya sembari mengantongi smartphone-nya dalam saku gaunnya.Nana pun berdiri dan menuju ke dapur untuk mengambil kunci motor. Dia berniat hendak memasukkan motor ke garasi dan mengunci pintu gerbang. Karena sudah hampir larut malam.Dengan beralaskan sandal bakiak kayu yang berhias ukiran bunga dan manik-manik kecoklatan, Nana menyusuri step stone di taman villa dan menuju ke halaman barat yang terbuka.Dengan hati-hati Nana membuka pintu gerbang. Suasana komplek yang sepi dan desau angin pantai menyergapnya begitu dia berada di
Memasuki area parkir klub malam, Erick memperlambat laju kendaraannya. Seorang tukang parkir menyambut mereka dan mencarikan tempat yang masih kosong untuk memarkir kendaraannya."Sudah pernah ke sini?" Nana bertanya saat mereka berjalan bersisian menuju lobi klub malam yang cukup ramai dipenuhi pengunjung."Pernah, diajak teman." Sahut Erick santai.Mereka memasuki lobi dan disambut seorang pria dengan pakaian formal yang rapi. Erick berbincang sejenak dengannya. Sementara Nana memutuskan untuk menunggu dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di setiap sudut lobi."Nana!" Sesosok pria berpenampilan feminim, bercelana jins warna pink dan berkaos putih menghambur memeluknya."Eh!" Nana terkejut dan tidak bisa menghindar."Eh ye lupa eike?" Pria cantik itu terlihat sedikit kecewa melihat reaksi Nana yang tidak langsung mengenalinya."Eehhm, aku lupa." Nana meringis, menatap dengan seksama pria di hadapannya."Eike yang di salon Mbok Dayu." Pria gemulai itu merengut kesal, mencebikka
"ikan, biasanya pakai nggak?" Erick bertanya di sela-sela musik yang berdentum cukup kencang.Nana yang tengah menikmati musik sembari menggoyangkan kakinya menoleh dan menatap Erick. Pria itu tengah mengeluarkan rokok dan hendak menyulutnya"Neken?" Nana dengan sigap menyalakan korek dan membantunya menyulut rokoknya."Iya begitulah." Erick menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya pelan."Kenapa? Abang biasanya neken apa minum saja?" Nana mengambil gelasnya dan menggunakannya pelan."Kadang pakai sih. Tapi kalau kamu nggak pakai Abang malas pakai juga." Erick tersenyum tipis dan membelai rambut Nana yang terurai di punggungnya."Nanggung deh bang mau neken. Lagian nanti kita pulang kek gimana coba? Abang pakai motor lho." Nana mengingatkan."Iya juga sih. Tadi memang nggak ada rencana mau clubbing sih. Cuma mau jalan-jalan saja biar nggak sumpek di rumah." Erick tertawa pelan."Nggak apa-apa kan kita cuma minum saja?" Nana bertanya hati-hati."Iya nggak apa-apa. Mau ke hall?" Eric
Motor besar itu melaju, melintasi jalanan kota Denpasar yang masih sepi. Penduduk kota masih terlelap di balik selimut dan hanya ada beberapa saja yang beraktivitas hingga dini hari.Meski merupakan pusat kota dari sebuah pulau yang dikenal sebagai destinasi wisata yang mendunia, Denpasar tetap tidak segemerlap ibukota Jakarta yang hampir tidak tertidur sepanjang hari. Jalanannya pun tidak semacet jalanan di ibukota negara."Abang hati-hati!" Nana setengah berteriak memperingatkan Erick saat motor besar itu hampir oleng."Iya, Abang masih bisa mengendalikannya kok. Tenang saja, peluk abang pegangan erat-erat ya!" Erick memperingatkannya untuk berpegangan erat pada pinggangnya.Nana tidak membantah dan memeluk erat pinggang Erick. Udara dini hari yang dingin menyergapnya, membuat Nana sedikit menggigil.Meski cukup banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, Erick maupun Nana tidak kehilangan kontrol diri mereka. Masih dalam kondisi sadar sepenuhnya dan tidak oleng sama sekali.Nana hanya
Nana membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali. Dengan langkah pelan ditelusurinya jalan setapak berlapis step-stone menuju kamarnya.Masih gelap karena subuh baru saja menyapa. Nana mengambil smartphone-nya dari saku gaunnya, mengecek jam. Ternyata baru jam empat pagi lewat sedikit. Pantas saja suasana di kompleks masih sepi.Nana membuka pintu geser kamarnya dengan hati-hati. Setelah menutup dan mengunci pintu kaca geser kamarnya, dia menurunkan gorden dan menutup rapat-rapat dengan gorden berbahan tebal.Bergegas Nana melepaskan pakaiannya dan melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar. Menuju ke kamar mandi dan menyegarkan tubuh mungilnya dengan siraman air hangat dan memanjakannya dengan aroma wangi favoritnya.Meski udara masih dingin, namun dia tidak akan bisa terlelap tanpa mengganti pakaian dan membersihkan badannya. Itu sudah menjadi kebiasaannya.Bunyi dering smartphone-nya membuat Nana tidak bisa berlama-lama di kamar mandi. Dia bergegas mengeringkan
"Ibu, nanti sore arisan lho di rumah Ibu Mery." Mbak Siti mengingatkan Nana saat dia tengah menikmati kopinya."Oh ya? Nggak tahu mbak, saya bisa datang apa nggak. Rencananya hari ini saya mau ke Canggu." Nana menyesap kopinya sementara matanya tak lepas dari laptopnya.Seperti biasanya, setiap pagi dia akan memeriksa laporan harian penjualan dari semua toko-toko kuenya."Iya nggak apa-apa Bu. Nanti dititipkan saja pada Ibu Ruli." Mbak Siti mengusulkan.Wanita asal Banyuwangi itu masih disibukkan dengan beberapa rutinitasnya setiap pagi. Meski villa ini hanya dihuni Nana seorang diri, namun tetap saja seperti merawat sebuah rumah pada umumnya."Meow!Meow!" Seekor kucing berbulu putih tebal dengan warna mata yang unik, tiba-tiba melompat ke pangkuan Nana."Iya Cleo. Kenapa?" Nana mengelus-elus punggung si kucing dengan lembut."Meow!" Cleo, kucing putih itu mengeong lagi seakan menyahuti ucapan Nana."Lapar? Atau mau main sama mama?" Nana mengangkat kucing gendut itu dan menggendongnya
Hingga beberapa saat mereka berdua masih menikmati pemandangan dari puncak perbukitan Wayag. Erick dan Nana duduk bersisian sembari sesekali mengambil foto dan video berlatarbelakang pemandangan bak surga di Wayag."Untuk foto prewedding bagus ya?" Nana tertawa saat melihat beberapa hasil jepretan kamera smartphone mereka."Iya, maukah dibikin untuk foto prewedding?" Erick menyimpan smartphone-nya ke dalam ransel."Nggak perlu bang. Aku tidak begitu menyukai sesuatu yang spektakuler untuk urusan yang sakral." Nana tersenyum dan menyangklong ranselnya ke bahu setelah mengeluarkan dua bungkus coklat.Memberikannya sebuah untuk Erick, dan membuka satu kemudian dilahapnya. Erick tertawa dan menerima coklatnya, turut mengunyah sepotong."Maksudmu, kau lebih menyukai sesuatu yang sederhana namun bermakna? Untuk sesuatu yang sakral seperti pernikahan?" Erick bertanya, memastikan dia tidak salah memahami ucapan Nana barusan."Iya," sahut Nana singkat."Kita turun sekarang?" lanjutnya bersiap u
"Sudah siap?" Erick melirik Nana yang masih sibuk berkemas."Sebentar lagi bang," sahutnya sembari memasukkan botol lotion sunscreen yang baru saja dipakainya."Nggak usah bawa bulu mata palsu anti badai, ikan," celetuk Erick menggodanya."Astaga!" Nana tertawa tergelak-gelak.Dapat dibayangkannya seandainya dia serepot dan seheboh itu. Segala macam make up dan skin care belum lagi pakaian dan aksesoris. Rasanya kucing garong akan lebih senang meninggalkannya di homestay daripada mengajaknya berjalan-jalan ke Wayag."Sudah bang! Ayo berangkat!" Nana menyangklong tas ranselnya di kedua bahunya dan siap berangkat."Sudah dibawa semua? Pakaian ganti, obat, sunscreen, kopi dan camilan?" Erick bertanya sekali lagi memastikan tidak ada yang tertinggal."Sudah semua Ndan!" Nana mengangkat tangannya ala tentara.Erick terkekeh dan kemudian merengkuh bahunya. Bersama-sama mereka keluar dari kamar menuju speedboat yang telah menunggu mereka.Nana menaiki kapal dengan dibantu Erick. Ini bukan per
"Wah seafood!" Nana berseru gembira, saat melihat aneka seafood terhidang di meja mereka."Suka?" Erick berbisik di telinganya, menggodanya seperti biasanya setiap kali dia menyajikan sesuatu yang baru untuk Nana si imut."Suka banget mpus." Nana pun berbisik sembari duduk di kursi yang ditarikkan oleh kucing garong untuknya."Kalau begitu habiskan, nikmati sepuasmu!" Erick mengambilkan sebuah kepiting berlumur saos tiram ke atas piringnya."Siap mpus!" Nana mengacungkan jarinya.Erick terkekeh dan mematahkan cangkang kepiting serta mengupasnya dan menyisihkan dagingnya di atas piring kosong."Makanlah!" Disodorkannya piring berisi daging kepiting itu ke hadapan Nana.Nana tersenyum manis dan mengambil daging kepiting di piring. Keduanya menikmati makan malam mereka sembari mengobrol."Mau lobster?" Erick menawarinya, saat pelayan datang dengan lobster aneka kerang."Mau sih, tapi aku lebih suka udang mpus." Nana menunjukkan seekor udang bakar yang tengah dikupasnya."Eh, lobster favor
Deburan ombak ditingkahi deru mesin kapal, serta semilir angin laut yang sejuk, membuat Nana sedikit pusing. Cukup lama dia tidak pernah menaiki kapal."Ikan, kenapa? Mabuk laut?" Erick menatapnya dengan cemas."Nggak mpus, aku takut lihat air," sahutnya sembari tersenyum kecut."Eh, maksudnya?" Erick terkejut mendengar ucapannya."Terkadang aku takut melihat air yang begitu luas, tapi tidak setiap saat sih." Nana menjelaskan."Oh, makanya Abang kaget. Perasaan waktu di Jimbaran juga nggak apa-apa kan?" Erick menatapnya lagi dengan serius."Sekarang takut?" tanyanya lagi."Agak sih, mungkin karena baru pertama kali ke sini atau mungkin karena sudah lama sekali tidak naik kapal." Nana tersenyum kecut."Abang rasa itu karena kau baru turun dari pesawat dan bersambung naik kapal laut, semacam jetlag." Erick mengerutkan keningnya, seperti tengah berpikir."Mungkin saja," sahut Nana sembari merebahkan kepalanya di bahu Erick."Ya sudah, bobok saja. Nanti kalau sudah sampai, Abang bangunin."
"Ini gimana bang? Kok nggak bisa pas?" Nana menatap figurin Optimus Prime di depannya."Ehm, sebentar, mungkin salah pasang kita Non." Erick tertawa dan mengambil figurin yang kini sudah setengah menjadi robot Optimus Prime."Kenapa kau suka Transformers?" tanyanya sembari melepaskan bagian belakang robot."Aku suka baca komiknya. Dulu kan ada di komik bersambung di majalah Bobo," sahut Nana dengan santai."Eh sama ya." Erick tertawa pelan."Makanya saat dibuat versi filmnya, aku suprise banget bang. Sampai bela-belain antri lho waktu mau nonton." Nana terkikik geli ingat kekonyolannya waktu itu."Iya, kan waktu itu habis dilarang to film luar diputar di bioskop Indonesia. Eh sudah nonton Avatar 2?" Erick masih sibuk mengubah posisi beberapa item agar truk Optimus Prime berubah menjadi robot."Sudah kok, One Piece juga sudah. Tinggal nunggu Detektif Conan terbaru." Nana tersenyum sembari menunjukkan sesuatu di smartphone-nya."Dasar wibu, sampai jadwal film anime semua di save." Erick
"Mbak Siti! Ada tamu sepertinya! Dari tadi ketok-ketok pintu gerbang, tolong bukain!" teriak Nana dari jendela kamarnya memanggil asisten rumah tangganya."Iya Bu!" Mbak Siti tergopoh-gopoh setengah berlari menuju pintu gerbang samping."Eh, silakan masuk pak! Sebentar saya panggilkan Bu Nana." Terdengar suara renyah Mbak Siti mempersilakan tamunya masuk.Nana yang baru saja selesai berganti pakaian dan kini tengah menyapukan bedak di wajahnya, tertegun. Tamu di pagi hari, itu di luar kebiasaan. Sangat jarang ada yang betandang ke villanya di pagi hari."Ibu, ada tamu, saya suruh nunggu di ruang makan." Mbak Siti muncul di pintu kamarnya sembari tersenyum kecil."Siapa mbak?" Tanya Nana penasaran."Ada deh Bu, buruan temuin dulu Bu." Mbak Siti menyahut dengan kata-kata penuh teka-teki."Iya sebentar lagi mbak. Tolong buatkan teh atau kopi ya, sekalian sama saya." Nana tersenyum dan berdiri, mematut diri di depan cermin."Siaap Bu!" Mbak Siti bergegas kembali ke dapur.Setelah yakin pen
"Tante Nana!" Alvin berseru memanggil dan melambaikan tangannya."Hei Alvin! Mau berangkat sekolah?" tanya Nana dan mengurungkan niatnya hendak segera meluncur dengan mobilnya."Iya Tante! Bye Tante, bye Omil! Nanti sore main lagi ya!" seru bocah itu lagi dari balik jendela mobil."Berangkat dulu ya Na!" Mami juga melambaikan tangannya.Nana balas melambai dan menatap mobil itu hingga menghilang di tikungan. Kemudian dia menggiring kucing-kucingnya kembali masuk ke dalam villa.Setelah menutup dan mengunci kembali pintu gerbang, Nana pun meninggalkan villa dengan mengendarai mobilnya. Hari ini dia akan pergi daerah Pecatu untuk mengecek lokasi kedai kopinya yang baru.Berbeda dengan toko rotinya yang telah memiliki cukup banyak cabang, kedai kopinya hingga saat ini hanya ada satu saja yang berlokasi di salah satu pusat keramaian kota Denpasar, Jalan Teuku Umar.Nana melajukan mobilnya membelah By pass Ngurah Rai menuju Nusa dua. Jalanan mulai ramai meski tidak macet.Salah satu hal yan
Nana menatap hujan yang turun dengan deras dari tempatnya duduk. Sesekali disesapnya kopi panasnya. Hujan di pagi hari membuatnya enggan untuk beraktivitas.Untungnya Denpasar tidak terlalu sering diguyur hujan sekalipun sebagian besar wilayah di Indonesia telah memasuki musim penghujan."Meow!Meow!" Omil dan Yuki mengeong-ngeong, duduk di kursi dan turut menatap hujan yang turun dengan deras."Kalian bosan ya, nggak bisa main ke Alvin?" Nana tersenyum melihat kegelisahan kedua kucing itu."Meow!Meow!" Yuki mengeong seperti menyahut ucapannya."Tiduran gih sama Glacie dan Tony." Nana menggaruk kepala Yuki dan Omil bergantian.Kedua kucing itu melompat turun dari kursi dan bergabung dengan Glacie, Tony, Cleo dan Kimy yang tengah tiduran di sudut dapur yang hangat. Nana tersenyum melihat tingkah kucing-kucingnya yang lucu dan menggemaskan. Dia pun enggan untuk pergi kemana pun di tengah hujan seperti ini. Meski ada selasar beratap pergola yang menghubungkan dua sayap bangunan villa, di
@Mami[Nyong][Serius sama tetangga sebelah?]Pesan dari mami mengejutkan Erick saat terbangun di pagi hari yang dingin. Untuk beberapa saat dia termangu, ragu untuk membalas pesan sang ibunda.@Erick[Tetangga mana Mami?]@Mami[Tetangga sebelah][Nana yang imut dan manis]Astaga! Erick tergelak membaca balasan pesan dari Mami. Terkadang wanita yang telah melahirkannya itu memiliki selera humor yang bagus.@Erick[Ah Mami bisa saja][Tapi memang sih Nana imut dan manis][Hehehehe]@Mami[Iya][Kau serius atau main-main saja nyong]@Erick[Serius dong Mam][Mami mau kan punya menantu manis cem Nana?]@Mami[Mami sih terserah nyong][Yang penting nyong bahagia][Dan yang terpenting dia bisa menerima keadaan Alvin][Sudah cukup itu bagi Mami]@Erick[Iya Mam][Pasti Mami sudah lihat kan gimana hubungan Alvin dan Nana?]@Mami[Iya][Kemarin seharian Mami ngobrol sama Nana][Dia lucu ya][Suka bercanda][Dan kucingnya itu lho lucu][Tapi dia sibuk juga Mami lihat][Hari ini dari pagi dia s