Bahar keluar dari kamarnya dengan dengan membawa selembar koran. Pria paruh baya itu duduk di sofa dan mulai membaca berita yang disajikan di sana. Dia baru saja datang dua jam yang lalu dan sudah membersihkan tubuhnya serta beristirahat sebentar. Sebelum nanti malam kekasih putrinya itu datang, Bahar akan menjernihkan otaknya dulu dengan melakukan sesuatu yang membuatnya rileks. Kalau ditanya marah atau tidak, jelas saat dia tau Naura memiliki kekasih rasanya begitu marah. Dia tidak tau siapa kekasih anaknya dan bahkan bagaimana rupa dan sifatnya."Mau dibuatin kopi?" tanya Rival yang berada di lain kursi. Dia sedang menonton TV. "Gak perlu. Itu adik kamu udah sore gini kenapa belum pulang?""Naura masih kerja. Kalau Ajun, dia bilang ada ekskul jadi lulang sore," jelasnya.Bahar menyingkirkan Korang di depan wajahnya. "yang kamu bilang pacar Naura itu bos-nya di kantor?""Iya. Aku juga bingung kenapa Naura mau sama dia. Mereka baru kenal, tapi kenapa Naura bisa yakin kalau dia suka
"Hah?" Naura menutup mulutnya terkejut saat Papanya memukul Jevran.Jevran tentu lebih terkejut. Dia tidak siap dengan apa yang baru saja didapatkannya. Loh, siapa sangka? Jevran berdiri dan meringis pelan."Kenapa, Om?""Kamu bilang kamu bisa. Orang-orang sebelumnya menyerah itu dan memilih mundur, ketika saya mempertanyakan apakah mereka bisa beladiri? Kalau kamu bisa ayo tahan serangan saya.""Papa tunggu!" Naura tiba-tiba berlari ke arah mereka.Bahar yang akan melayangkan tangannya langsung berhenti. Ia melihat Naura berlari dan menghampirinya. "Kamu ngapain? Papa bilang tunggu di kamar.""Papa kenapa pukul Jevran? Tadi bilangnya cuma mau ngobrol doang. Dia gak bisa bela diri, Pah!""Gak bisa?" Ia menatap kembali Jevran yang kini memasang wajah datar. "Gimana cara kamu melindungi putri saya? Nanti yang ada malah Naura yang jagain kamu.""Saya bisa jaga Naura dengan cara saya sendiri," jawab Jevran tak gentar.Saat itu juga datang Rival dan Ajun bersamaan. Mereka terkejut karena se
Pagi ini Rival berniat untuk bertemu temannya. Karena jujur sulit sekali untuk bertemu temannya yang satu ini. Selain mereka berada di kota yang berbeda dengan tempat Rival ditugaskan, mereka juga sama-sama sibuk. Kalaupun setiap Rival pulang, tidak selalu bisa bertemu.Pria itu kini berada di depan sebuah rumah dan menekan bel-nya. Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan seorang pria yang terlihat rapih dengan jas yang dikenakannya. Loh, memangnya mau pergi?"Mau pergi kerja sekarang?" tanya Rival melirik jam arloji di tangannya."Belum. Gue ke kantor agak siangan, kok. Ayo masuk."Teman yang dimaksud Rival adalah Jerry. Saat ini mereka berada di rumah Jerry dan ada yang harus Rival sampaikan. Jadi mereka tergabung di grup yang berisi beberapa orang kenalan. Salah satu dari mereka akan menikah dan Rival berniat menyampaikan undangannya. Karena rumahnya yang paling dekat dengan Jerry."Gue denger Lo pulang kemarin tapi ga kabarin gue. Eh, sekarang malah datang."Rival ikut dudu
Ajun berjalan senang saat dirinya turun dari mobil. Kata pria di depannya ini memang bukan rumah yang sempat Ajun kunjungi dengan Naura untuk makan malam. Ini rumah milik Jevran pribadi. Rumahnya memang tidak bertingkat dan tidak terlalu besar. Tapi.... halamannya sangat luas. Di bagian luar rumah juga ada sekitar 5 penjaga. Sedangkan saat masuk ke dalam bagian rumah terlihat sepi tidak ada orang. Ajun masih mengikuti Jerry dari belakang. Entah ke bagian mana dia akan ditunjukan. Sampai berada di halaman belakang rumah lagi-lagi Ajun berdecak kagum.Lapangan golf? "Wah, ini asli?""Bukan. Itu cuma lukisan," celetuk Jerry asal.Ajun mendelik dan meletakan tas miliknya di atas satu kursi yang ada di sana. Tapi mana Jevran? Dia belum melihatnya di sini. Mereka harus segera latihan sekarang.Tak berselang lama datanglah Jevran yang telah mengenakan pakaian santainya. Agar ia tidak kaku dan merasa nyaman untuk bergerak leluasa. Sementara itu Jerry bersedekap dada sambil bersandar di dindi
Ting tongBunyi bel rumah membuat Naura berdiri dari duduknya. "Biar aku aja yang buka pintunya."Naura pikir yang datang adalah Ajun tapi ternyata Sisil. Sedikit terkejut karena setelah kejadian di pasar malam hari itu mereka tidak saling berhubungan lagi. Tapi kini dihadapannya berdiri Sisil yang membawa sebuah bungkusan di tangannya."Aku kangen sama kamu. Maaf untuk kejadian hari itu," kata Naura memeluk Sisil."Enggak, Ra. Gue yang harus minta maaf sama Lo. Gak seharusnya gue juga menghindar.""Gak apa-apa yang penting kamu di sini sekarang. Masuk, yuk."Sisil menggeleng untuk menolaknya. "Kita bicara di luar aja. Terus tadi gue sebelum ke sini beliin kesukaan Lo. Ada kue pukis."Naura tersenyum melihat hal itu. Ternyata Sisil masih memperhatikannya. Sisil tau Naura suka makanan pinggir jalan, salah satunya kue pukis. Jadi sebagai wujud minta maaf ia membelikan makanan itu khusus.Mereka kini duduk di kursi. Naura membuka bungkusan tersebut dan mengeluarkan kue dari dalam sana. Ia
Naura keluar dari kamarnya dan melihat Ajun sedang mengikat sepatu, Rival yang sedang sarapan dan terdengar suara mobil di luar sana. Itu pasti Papanya yang sedang memanaskan mobil. Gadis itu segera keluar dan menemui Bahar yang tengah mengelap mobil. Ternyata kendaraan itu baru saja dicuci."Pa, aku mau berangkat sekarang, ya.""Yaudah, kita berangkat sama-sama aja. Sekalian Papa anterin Ajun. Tunggu, ya."Gadis itu mencegah Bahar yang hendak masuk ke rumah. "Aku berangkat sendiri aja. Lagian ada meeting pagi ini, sedangkan Ajun aja belum siap tuh masih pakai sepatu. Nanti aku telat.""Tapi kamu harus hati-hati. Ingat kata Papa kalau jangan terlalu dekat sama Jevran dulu. Paham, kan? Gak boleh berduaan," pinta Bahar pada putrinya."Iya tau, kok."Naura pergi dari sana segera. Sedikit berlari kecil menuju ke sebuah tempat. Sebenarnya gadis itu tidak berangkat sendiri tapi dijemput oleh Jevran. Sebenarnya Jevran ingin menjemput Naura tepat di depan rumah tapi Naura menolak karena dia ti
"Apa?! Jadi selama ini OB yang yang culun itu Jevran?"Aurel memijat keningnya tak habis pikir. Dia baru saja mendapat kabar salah satu anak buahnya yang bisa mengungkap rahasia Jevran saat ini. Semua itu atas dasar bukti. Jadi waktu itu anak buahnya sengaja mengikuti Jevran namun saat Jevran keluar dari mobil tampilannya berubah menjadi culun.Orang-orang itu butuh beberapa hari untuk memastikan jika memang Jevran melakukan penyamaran. Sangat tidak dimengerti kenapa Jevran melakukan itu semua tapi 1 lagi yang ia dapatkan yaitu jika Jevran melakukan penyamaran sejak dirinya kabur hari itu. "Kalian yakin ini gak salah?""Yakin. Kita melakukan penyelidikan berhari-hari."Aurel menatal foto perbandingannya. Memang sedikit mengecoh. "Ngapain dia pura-pura miskin kayak gini? Jangan-jangan ceweknya yang sekarang juga belum tau. Seru kali, ya, kalau aku kasih tau Jevran selama ini bohongin dia."Balas dendam pada Jevran itu sulit. Tapi dengan adanya ini dia mungkin bisa merusak hubungan Jevr
"Pah, aku berangkat dulu, ya." Ajun mencium tangan Ayahnya dan berlari menuju mobil, dimana Rival sedang menyalakannya di sana."Hati-hati.""Ayo, Bang. Berangkat."Rival menoleh melihat adiknya yang mengenakan sabuk pengaman. Kemudian ia menancap gas menuju sekolah sang adik. Hari ini setelah mengantar Ajun ke sekolah Rival juga akan pergi dengan Ayahnya untuk ke makam Ibunya. Kalau Naura dan Ajun mungkin sudah sering, tapi mereka tidak selalu bisa untuk menyempatkan waktunya ke sana.Setelah mobil Rival menghilang dari pandangan Bahar berniat masuk ke rumah tapi niatnya diurungkan. Ia melihat sebuah mobil berhenti bertepatan dengan Ajun dan Rival yang pergi. Dari dalam sana keluarlah Jevran dengan santainya.Bahar menegakan tubuhnya. Berani sekali pria itu datang. Memangnya dia sudah siap?"Pagi, Om," sapa Jevran."Ada apa kamu ke sini?""Saya mau minta izin hari ini saya mau bawa Naura buat jalan."Pria paruh baya itu terkekeh pelan. Beraninya dia meminta izin untuk membawa anaknya
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran