Sekarang sudah jam pulang kantor. Naura bisa pulang lebih awal karena kebetulan tidak terlalu banyak kerjaan dan Jerry juga mengizinkan Naura pulang tanpa lembur. Ada beberapa kerjaan tapi Naura bisa mengerjakannya di rumah, seperti mengatur jadwal meeting besok.Ngomong-ngomong menurut Naura Jerry itu cukup baik walaupun nada bicaranya seperti ketus. Ya, tidak buruk. Naura senang bekerja di sini dan bahkan lebih dari senang. Hanya saja perlu bersosialisasi agar semakin dekat dengan lingkungannya. "Jangan lupa besok datang pagi-pagi. Kita pergi ke kantor cabang.""Siap, Pak."Jerry meraih kunci mobil di atas meja dan mengenakan jas miliknya yang sempat dilepas. "Pulang sama siapa?""Ada temen saya, Pak. Dia juga karyawan di sini.""Oke. Saya pulang duluan."Jerry pergi lebih dulu dan Naura juga ikut pergi tak lama dari itu. Naura memang sudah janjian dengan Arga untuk pulang bersama lagi. Ya, mungkin akan lebih sering dirinya pulang pergi bersama Arga. Hehe, lumayan gratisan, pikirny
Ajun masih tak menyangka dengan penjelasan yang baru saja di dengarnya. Mulutnya terbuka lebar, melongo, masih mencoba mengerti. Ia terus menatap Jevran yang benar-benar berbeda dari kemarin-kemarin. Apakah ini benar atau apa?Sementara Jevran sendiri juga tak punya pilihan lain selain menjelaskan pada Ajun. Karena sudah terlanjur dan tak ada alasan untuk mengelak lagi. Jadi lebih baik menjelaskannya dan berharap mulut bocah ini tidak 'ember'."Siapa tadi nama Kakak?" tanya Ajun menutup mulutnya."Jevran.""Jadi kak Jevran ini orang yang sama, yang culun itu? Kak Joko?"Pria itu mengangguk membenarkan. "Iya.""Waw, ini kayak gak masuk akal banget. Gimana kalau Kak Naura tau kalau ternyata Kak Joko itu anak orang kaya sekaligus bos-nya? Jadi selama ini...." Ajun menggelengkan kepala pelan, sulit mengatakannya."Eits! Jangan kasih tau siapa-siapa! Ini jadi rahasia kita aja. Bisa pegang rahasia, kan?""Kalau ada tutup mulutnya sih bisa."Jevran berpikir sesaat kemudian tersadar. "Sekaran
Sudah tiga hari ini Jevran semakin dekat dengan Ayahnya Naura. Setiap sepulang kerja mereka meminum kopi di luar bersama dan membahas hal sederhana seperti tentang bola atau pembahasan bapak-bapak lainnya. Walaupun Jevran tidak suka dengan lelucon lama tapi terkadang ia juga ikut tertawa.Namun tetap saja Jevran selalu dilarang untuk dekat-dekat dengan Naura. Padahal tentunya Jevran ingin melakukan pendekatan pada gadis itu, tapi kakaknya Naura begitu mengawasinya. Hari ini adalah hari Minggu dan Jevran memiliki rencana untuk makan-makan bersama teman OB-nya sekarang. Mereka akan bertemu di rumah makan yang dekat dengan kantor. Ini juga dilakukan atas ide Ujang agar Jevran bisa lebih dekat dengan teman-temannya. Karena setidaknya satu bulan sekali para OB berinisiatif untuk makan-makan bersama sebagai bentuk persaudaraan di dunia kerja.Jevran mengunci pintu rumahnya dan bersiap pergi. Namun dirinya justru melihat Naura yang tengah berada di halaman rumah, terlihat sedang memanaskan
"Oh, jadi Mbak ini sekretarisnya Pak Jevran sekarang? Tapi kenapa mau kumpul sama kita di sini? Sama OB."Naura menatap salah satu anak OB yang ada di sana. Dia sudah berada di rumah makan bersama Jevran. Satu meja isinya teman-teman Jevran di OB semua. Mereka hanya bertanya-tanya dengan siapa gadis cantik yang datang bersama Jevran. Begitu mengejutkan saat tau jika Naura adalah sekertaris atasan mereka. "Aku tetangganya Joko, dan kebetulan dia rekomendasiin loker di perusahaan itu. Niatnya hari ini aku mau traktir Joko tapi ternyata dia punya janji sama kalian. Kalau aku gabung gak jadi masalah, kan?" tanya Naura tak enak.Ujang yang mendengar itu langsung membalas. "Eh, gak apa-apa atuh. Kita malah seneng kalau ada yang mau gabung. Nama mbaknya siapa? Saya lupa," ucapnya menggaruk kepala."Naura."Gadis itu tersenyum senang saat mengetahui bahwa dirinya diterima dengan baik di sini. Naura ikut menyantap makanan bersama mereka. Meski satu-satunya perempuan di meja itu dia merasa ama
Saat ini Jevran sudah merubah penampilannya dengan rapih. Bukan lagi sebagai Joko. Pria itu terduduk kursi, depan ruang rawat kakeknya. Sedangkan di sampingnya ada Jerry yang duduk di kursi roda dan beberapa pengawal yang menjaga.Masih belum ada kabar yang jelas tentang Wilan. Dokter hanya mengatakan pria tua itu mengalami masa kritis dan sekarang tengah ditangani. Disaat Jevran yang terus memikirkan kondisi Kakeknya, Jerry justru merasa bersalah. Dia yang membawa mobil, pasti dia juga yang akan kena cecaran keluarga Elkan. "Mereka datang, Jev," bisik Jerry melihat keluarga Jevran yang terlihat muncul dari lorong. Dan juga ada keluarga Wibisana, keluarga Aurel yang akan dijodohkan dengannya."Jevran?!"Mereka yang melihat kehadiran Jevran tentu tidak menyangka. Siapa sangka setelah mencari kemana-mana kini mereka dipertemukan di rumah sakit? Orang tuanya Jevran segera menghampiri anak mereka dan memeluknya. Nilam bernafas lega akhirnya Jevran kembali."Kamu kemana aja? Mama udah car
Keesokan harinya Jevran bangun pagi-pagi. Ia bersiap untuk pergi ke rumah sakit melihat kondisi Kakeknya. Untuk saat ini dia hanya ingin fokus dengan Kakeknya. Dan kemungkinan besar Jevran akan menghabiskan waktu menjadi diri sendiri beberapa hari ini.Pria itu turun dari tangga sambil memasang kancing kemejanya. Nilam yang melihat itu segera menghampiri anaknya. "Sini, Mama bantu.""Makasih.""Makanya kamu itu harus cepet nikah jadi apa-apa bisa istri kamu yang urus," ucap Nilam membuat Jevran merubah raut wajahnya."Aku akan menikah. Tapi sama pilihan aku sendiri.""Kenapa, sih? Aurel itu gadis cantik, pintar, dan dia juga punya usaha klinik kecantikan sendiri. Itu pasangan yang sempurna buat kamu."Jevran terdengar berdecak pelan. "Serius itu yang mama mau? Kalau cuma itu standarnya, aku bisa cari yang lebih baik. Jujur aja mama punya perjanjian khusus sama orang tuanya Aurel, kan?""Kamu bicara apa? Kita cuma mau menjodohkan kamu sama Aurel karena memang kalian cocok. Bonusnya, ki
"Jev, cari makan, yuk. Kayaknya di depan sana ada yang jualan soto, deh. Aku suka beli soto di sana kalau malem.""Jevran, gimana kalau nanti kita beli baju dulu? Nanti sekalian aku beliin buat Tante Nilam juga.""Minggu depan aku mau ke luar kota buat pembukaan cabang kosmetik baru. Kamu bisa temenin aku, kan? Biar orang-orang tau kalau kamu calon suami aku."Kira-kira seperti itulah yang Aurel katakan saat berjalan di samping Jevran sejak tadi. Dia terus mengoceh ingin ini, ingin itu, dan sebagainya. Sebuah kesempatan setelah akhirnya mereka berdua jalan bersama. Tentunya ini atas dasar kemauan Aurel yang terus memaksa. Saat ini mereka sedang jalan-jalan sore di sekitar taman. Bahkan mereka bergandengan layaknya sepasang kekasih. Bagi Aurel itu bukan masalah karena mereka memang akan segera bertunangan dan menikah. Sedangkan Jevran, dia tak berpikir begitu. Menurutnya mereka bahkan tak memiliki hubungan apapun dan terikat status apapun. Perjodohan itu bukan sesuatu yang diinginkann
"Joko kenapa belum ada kabar, ya? Apa dia balik ke kampung?" gumam Naura sambil duduk di meja kerjanya. Bukan apa-apa, dia hanya heran dan ingin tau dengan kabar Joko. Naura memang sudah menganggap dia teman dan gadis itu juga cukup perhatian pada setiap teman-temannya. Mungkin Joko memang pulang ke kampungnya. Sayang sekali dia tak memiliki kontak Joko untuk bertanya kabar.Setelah terdiam beberapa saat, Naura kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia langsung disuguhkan banyak pekerjaan hari ini karena dia yang menangani semuanya. Karena Jerry juga baru saja mengalami kecelakaan."Aduh, kayaknya ada berkas yang ketinggalan di ruangan Pak Jerry."Gadis itu merapikan tumpukan kertas di atas mejanya dan pergi ke luar ruangan. Sebenarnya sedikit merasa takut karena di lantai ini hanya ada tiga ruangan saja. Ruangan Naura sebagai sekertaris, ruangan Jerry sebagai asisten, dan ruangan atasan mereka yang bernama Jevran. Ya, dan saat ini hanya ada dirinya saja.Sebenarnya Naura ini memiliki k
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran