Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini.Ini sungguh tidak biasanya. Lho? Kok mobil Mas Reza ada di garasi? Mas Reza pulang? Ini kan masih pagi? Kenapa Mas Reza pagi-pagi udah di rumah ya? Kok Mas Reza nggak ngabarin aku? Hah! Jangan-jangan? Dengan penuh penasaran aku membawa langkahku masuk ke dalam rumahku untuk memastikan kenapa Mas Reza ada di rumah pagi-pagi begini. Ini sungguh tidak biasanya. Aku masuk ke rumah, karena pintu rumah memang tidak terkunci. Sepi. Tidak melihat satu orang pun. Termasuk Mas Reza. Itu yang kudapati dalam rumah. Aku langsung ke belakang kamar menuju kamar Arini untuk melihat apakah Arini sudah di rumah atau belum. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu sudah pulang?" Tidak ada sahutan dari dalam, Samar-samar terdengar suara percikan air di seperti orang sedang mandi. Tok! Tok! Tok! "Rin! Kamu di dalam? Gimana keadaanmu?" suaraku sedikit berteriak. Tidak ada sahutan, ak
"Iya, Mas, aku sudah pulang. Maaf ya, aku kira Mas belum pulang. Jadi aku belum sempat masakin kamu, Mas. Kok Mas cepat pulangnya?" tanyaku. Aku menaruh belanjaan itu di meja dan langsung mengambil tangan suamiku untuk ku cium. Arini dengan cekatan membantuku untuk merapikannya. "Sini, Mbak, biar aku yang kerjain." Dia mengambil semuanya membawanya ke belakang. "Kamu gimana keadaannya, Rin? Sudah baikan?" tanyaku. Aku menarik kursi dan duduk di samping Mas RezaArinii berhenti, lalu menoleh. "Sudah, Mba, alhamdulillah, sudah baikan tadi setelah berobat." "Oh, syukurlah. Itu belanjaan kamu rapikan aja dulu ya. Nggak usah masak. Besok saja." Aku melirik makanan yang tadi diantar Mama ke rumah. Ada beberapa macam. Sayur asem, sambal terasi beserta lalapannya. Dan juga ikan goreng. Cukup banyak, dan semua itu menggugah selera. "Iya, Mbak." Arini langsung pergi ke belakang membawa semua belanjaan itu. "Kamu sudah makan? Maaf ya, Mas lapar sekali, jadi nggak nungguin kamu." "Belum,
"Baiklah, Mas. Kamu benar juga. Besok aku tanya baik-baik sama dia. Mana tau Arini mau bilang," ujarku. "Nggak usah, Sayang. Kita sebagai majikan yang cukup mempekerjakannya, lalu membayar upah atas apa yang dia kerjakan. Tidak usah ikut campur terlalu dalam urusan pribadinya, Arini. Kamu paham?" ucap Mas Reza. Dia berkata dengan menatapku dalam. Meskipun aku kurang setuju, tetapi aku mencoba untuk mengikuti saran darinya. "Baiklah, Mas kalau begitu."Kami berdua sama-sama terlelap setelah ngobrol panjang lebar. Hingga pagi kembali menyapa untuk memulai aktifitas sebagai seperti biasa. ⓂⓊⓈⓉⒾⓀⒶ ⒶⒾⓃⒺⓁ"Kapan kamu akan bicara jujur pada Tania, Za? Kalau kamu belum siap, biar Mama yang ngomong," Suara mama mertuaku terdengar jelas di ruang makan saat aku hendak mendekat. Langkahku urungkan untuk melangkah lebih jauh. Kakiku pun seolah tercekat di sini. Aku menyandarkan tubuhku di tembok pembatas ruang keluarga dan ruang makan. Tidak ada maksud untuk menguping, hanya saja, ketika
"Bapak, boleh ikut saya sebentar, ada yang mau saya jelaskan." "Baik, Pak."Aku membuka mataku perlahan, kulihat di sekeliling tempatku terbaring lemah ini begitu asing bagiku. Bau obat-obatan pun langsung ditangkap oleh indera penciuman. Aku menatap tanganku yang sudah terpasang infus. Kupijat pelan pelipisku dengan tangan, kepalaku terasa sedikit pusing. "Mba, Mbak sudah sadar?" tanya Arini. Arini mendekatiku. Aku menoleh dan rasa sakitku kembali tercabik-cabik. Dia begitu sangat perhatian dan lembut padaku. Apa karena dia belum mengetahui aku telah mengetahuinya. Apa dia hanya berusaha untuk tetap profesional dengan pekerjaannya sebagai asistenku dan aku majikannya. Semua rasa berkecamuk di hatiku saat ini. Bulir bening yang kujaga agar tidak runtuh kembali keluar tanpa berpamitan terlebih dahulu. Arini ingin menghapus air mataku, aku menepisnya dengan menarik wajahku sedikit menjauh. Tangan Arini mengambang, lalu dia menariknya kembali dan dia tersenyum padaku. Tatapanku
"Mas, kalo Mas mau kerja nggak apa-apa, biar, Mbak Tania, Arin yang jaga." Arini berdiri dan mendekat ke tempat aku terbaring. Apa yang dia katakan barusan? Arin? Jadi, selama ini mereka sudah punya panggilan kesayangan. Dan Mas Reza memanggilnya, 'Arin'? aku tidak habis pikir dengan mereka berdua. Benar-benar jahat! Mas Reza menoleh ke arahku, sementara aku membuang pandanganku ke arah lain. Ku ikuti saja apa yang dia mau sekarang, toh, jika aku minta juga tidak akan diizinkan. Lebih baik dia bekerja saja dan tidak berada di sini. "Hm, itu ide yang bagus, kalau kamu nggak keberatan, Aku kerja dulu. Kamu jaga baik-baik Tania, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kabari aku." Mas Reza berpesan pada Arini. "Siap, Mas," jawab Arini dengan sedikit membungkukkan badanya. Aku hanya melihat dari ekor mataku. Aku tahu, Arini mungkin sengaja mencegah itu agar aku tidak menanyakan kecurigaan terhadap Mas Reza. Silahkan, Mas! Pergilah dari sini. Bawa sekalian wanita dihadapanku ini. Itu hany
Mbak tau aku ha … mil?!" Arini terlihat terkejut dengan pertanyaanku. "Aku menemukan testpack di kamarmu kemarin, dan itu sudah bergaris dua. Siapa pemilik tespack itu kalau bukan dirimu. Aku menemukannya di kamarmu, di tempat sampah." Tidak ada jawaban dari Arini, dia diam dan hanya menunduk. "Kenapa diam? Bicaralah sebagai sesama perempuan seharusnya kamu bisa cerita padaku." Aku masih ingin memancing agar Arini bicara jujur tentang apa yang sudah mereka lakukan padaku. "Kenapa kamu masih diam? Benar kamu hamil, Rin? Siapa laki-laki itu? Siapa yang sudah menanam benih di rahimmu?" tanyaku dengan cukup santai. Tidak ingin membuang energi untuk emosi hal yang sudah terjadi, aku memilih untuk lebih tenang menanyakannya. "Mbak, maaf, itu aku…" Arini menjeda ucapannya, dia menatapku tanpa ada sedikit ketakutan dalam manik mata miliknya. "Aku apa, Arini? Kamu ngomong sampai tuntas. Kamu hamil sama siapa?" desaku mulai tidak sabar ingin mendengar pengakuannya. "Aku hamil sama suam
"Aku nggak ada maksud apa-apa, Mbak. Hanya saja, laki-laki jika sudah mendua biasanya yang kedua yang lebih diprioritaskan. Apa lagi sekarang aku tengah hamil anaknya Mas Reza, suami kita. Tapi Mbak nggak usah khawatir, aku akan tetap meminta Mas Reza untuk tetap sama Mbak Tania. Dan tidak akan meninggalkan Mbak Tania. Aku tahu, Mbak pasti terluka sekali 'kan dengan kabar ini? Aku paham, Mbak. Sekarang Mbak harus banyak sabar ya, aku turut prihatin atas apa yang terjadi dengan Mbak saat ini. Mbak mau makan? Biar aku suapin." Seolah tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia lakukan, dia memberi perhatian padaku. Sungguh, dia ternyata adalah perempuan licik. Sangat terlihat jelas gambaran di wajahnya dia merasa menang atas perlakuannya. "Sekarang aku minta kamu pergilah dari sini. Dan juga aku minta kamu pulang ke rumahmu, dan jangan lagi kamu tampakkan batang hidungmu di hadapanku. Aku memecatmu sekarang juga." "Benarkah? Wah, dengan senang hati Mbak, tapi maaf, aku nggak
Arini memegang perutnya dan terus meringis. "Mbak! Tolong perutku sakit, Mbak." Ucapnya. Langkahku tertahan saat di daun pintu, aku menoleh dan melihat keadaan Arini. Cairan putih bercampur warna kecoklatan keluar memberi noda pada celana warna cream yang Arini kenakan. "Arini?!" Mataku melotot melihat apa yang terjadi padanya. "Mbak, tolong panggilkan Dokter, perutku sakit sekali, Mbak." Titahnya dalam kesakitan. Tanpa berpikir panjang aku pun segera keluar memanggil Dokter. Aku berjalan sambil berlari kecil di koridor rumah sakit hingga sampai di ruang perawat yang berjaga. "Sust, tolong! Ada pasien gawat darurat." Kataku terengah-engah. Suster itu menatapku heran, dia menelisik dari atas hingga ke bawah. "Ibuk bukannya di infus dan di rawat di sini? Kok keluar? Itu darah di tangan ibunya?" Suter itu melihat tanganku yang ada darah mengalir pelan yang sudah mulai mengental. Aku menyembunyikan tanganku ke belakang punggung. "Tolong, Sust. Itu yang jaga saya lagi kritis, dia ke
"Ka–kamu, mendengar semuanya?" Mas Reza tergagap. "Sa–sayang, Mas bisa jelasin. Ini semua tid…." "Aku berangkat dulu, Mas. Nggak usah dipikirkan. Jangan hiraukan aku. Kamu harus menjaga perasaan Arini dan juga Mama. Aku tidak apa-apa." Aku memotong ucapannya dan berlalu pergi meninggalkan mereka. "Sayang! Dengarkan, Mas dulu." Mas Reza mengejarku, aku mempercepat langkahku untuk segera keluar. "Reza! Kamu dengar Mama tidak?" teriak Mama. Aku terus mempercepat langkahku menuju mobil. Jangan tanya seperti apa aku saat ini. Sakit? Iya, sangat sakit! "Sayang, dengarkan Mas dulu." Mas Reza meraih tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Dia mencekal kuat untuk menahannya. "Lepas, Mas. Aku mau ke toko.""Nggak! Kamu harus dengar dulu Mas bicara. mas nggak mau kamu keluar dalam keadaan begini.""Apalagi yang harus Mas jelaskan? Semua sudah jelas. Aku di sini bukan lagi perempuan yang berperan penting dalam hidupmu, Mas. Biarkan aku pergi menyibukkan diriku. Setidaknya dengan begi
Sentuhan hangat terasa menyentuh pundakku. Aku seperti berada diangan-angan di tengah kesadaran yang masih separuh dialam mimpi. "Sayang … kamu kenapa tidur di bawah?" Suara Mas Reza terdengar begitu lembut. Aku membuka mataku perlahan, pandangan pertamaku lansung menangkap sosok laki-laki bergelar suamiku tengah menatapku dengan senyumamanya. Senyuman yang selama ini sellau membuatku candu. "Maaf, Mas, aku tadi ketiduran. Ini sudah jam berapa?" tanyaku. Aku mengucek-ngucek mataku yangasih terasa berat. "Ini sudah jam dua pagi, Sayang. Yuk pindah keatas."Aku segera membuka mungkena yang masih melekat di badan. Kulipat lalu kutaruh di tempat biasa. "Sini, Sayang, Mas kangen sama kamu.""Iya, Mas, sama. Aku juga kangen sama suamiku." "Boleh, ya?" bahasa yang sudah kutahu kemana arahnya. "Hu um, boleh." Kami memadu kasih seolah rasa rindu yang lama tidak tertuntaskan. Di tengah kesunyian malam, hanya ada suaraku dan dia sesekali saing bersahutan merasakan kenikmatan. Tok! Tok!
Aku berjalan melangkah pelan menuju ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu hangat kini terasa begitu suram dan menyakitkan. Apa ada yang peduli dengan rasaku? Apa ada mereka meminta maaf atas apa yang mereka tutupi dibelakangku? Tidak.Aku duduk di kursi tunggal yang ada di sudut. Tepat di hadapanku Mas Reza dan Arini duduk di sana. Mas Reza seolah lupa dengan janjinya, dia hanya sibuk dengan Arini tanpa menghiraukan ada aku yang tersakiti menyaksikan mereka. Entahlah. Apakah dia sengaja atau tidak yang pasti aku sakit menyaksikan ini. "Tan. Mama mau bilang sama kamu di sini kalau sebenarnya Reza dan Arini ini mereka sud….""Aku sudah tau, Ma." Aku memotong cepat ucapan Mama. Mereka semua menatapku bergantian. "Oh, baguslah kalau kamu sudah tau. Jadi kita tidak lagi harus kucing-kucingan menutupi ini dari kamu. Jadi Mama Minta sama kamu, berbaik-baiklah pada Arini, ya. Karena bagaimana juga dia isteri Reza dan sekarang dia tengah hamil anak Reza, calon cucu Mama. Beruntungnya d
"Hm… Amar. Dia Amar." Aku menjawab dengan santai. Mas Reza segera menarik kursi dan duduk disampingku. Aku melihat wajah suamiku tidak bersahabat sama sekali menatapku dan menatap Amnar bergantian. Ammar segera mengulurkan tangannya pada Mas Reza untuk berkenalan. Kulihat Mas Reza seperti enggan menyambut tangan Ammar namun sepersekian detik Mas Reza menerimanya. "Kenalkan, saya Ammar.""Saya sudah tahu kalau anda itu namanya Amar. Kenalkan saya Reza. Suami Tania.""Oh, anda suaminya Tania Bro. Sorry ya bro, saya kira Tania belum punya suami," ujar Amar "Kalau dia belum punya kenapa?" tanya Mar Reza balik. "Maaf, Bro, saya mengagumi istri anda sejak pertama kali saya bertemu denganya." Mas Reza memberi tatapan tajam paku, lalu dia bertanya. "Jadi selama ini kamu di belakangku sering bertemu dengan pria lain?" "Sorry, Bro, saya belum pernah bertemu secara langsung dengan istri anda. Hanya kebetulan sempat beberapa kali berpapasan saat saya menyambangi panti asuhan cinta kasih.
Jawab jujur aku, Mas, apa kamu pernah menolak saat Mama menawarkan itu padamu dibelakangku? Sejak kapan Mama memintamu untuk menikah lagi? Apa Mama juga minta kamu untuk menceraikan aku? Jujur lah jangan ada lagi yang kamu tutupi. Aku sudah terlanjur sakit Mas. Tidak perlu lagi berbohong padaku." Mas Reza tidak menjawab apa yang aku tanyakan padanya. Dia memilih untuk diam dan menunduk membuat aku bisa menyimpulkan jawaban dari apa yang dia tunjukkan. "Diammu adalah sebuah jawaban yang bisa ketebak, Mas. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." "Maaf, Sayang," ucapnya lesu. Aku kembali menyeka bulir kristal yang mengalir tanpa diminta dari sudut mataku. Sakit. Aku sakit menerima semua ini. Namun hati ini tidak bisa untuk bohong bahwa rasa itu masih untuknya. Ya, untuk dia yang sekarang ada dihadapanku. Terkadang cinta memang sebodoh itu, sudah disakiti masih saja memberi rasa. Apa mau dikata, aku memang mencintainya. Tapi aku terluka oleh sikapnya. "Mari kita pulang, Sayang. Kamu
"Kamu di mana, Sayang?" ucapanku terpotong oleh suara yang tidak asing adalah suamiku sendiri. Aku menjauhkan HP itu segera dari telingaku. Seolah ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhku secara tiba-tiba. Tanganku bergetar, tubuhku melemah kembali. "Aku pikir kamu tidak akan mencariku, Mas? Untuk apa? Bukankah wanita itu sudah mengalihkan duniamu?" gumamku. Aku menatap nanar HP itu dengan hati yang terasa hancur berkeping-keping. "Sayang! Kamu dengar, Mas, nggak? Kamu di mana?" tanyanya. "Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu kenapa blokir nomor, Mas? Ayo ngomong dong, jangan bikin Mas khawatir sama kamu. Kamu di mana?" sambungnya lagi. Aku masih diam membisu mendengar pertanyaannya. Tidak kuat untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Kuremas-remas jemariku untuk menetralisirkan hatiku yang tidak baik-baik saja.Entah apa yang ada pikiran laki-laki yang bergelar suamiku itu, dia masih bertanya aku kenapa? Apa dia masih meyakini jika aku belum mengetahuinya? Ap
Mobil yang dikemudikan memasuki area pekarangan Panti Asuhan. Mematikan mesin mobil setelah ku pastikan sudah kuparkir dengan aman. Aku menatap hangat pada papan yang bertuliskan, 'Yayasan Cinta Kasih'. Hanya di sini aku mendapat hangat cinta seorang Ibu. Di sini juga aku dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu yang tidak memiliki hubungan darah. Aku pulang, kembali ke tempat dimana aku berasal. "Kak Tania?!" Suara lengkingan itu mampu membuatku mengumpulkan kembali kepingan pikiranku yang melalang buana menyatu kembali pada alam nyataku. Aku menoleh pada sumber suara, seorang gadis kecil nan cantik tengah bermain di teras bersama saudara kecilku yang lainnya. Ya, mereka lah saudaraku di dunia ini. Bukankah kami sama? Sama-sama tidak memiliki orang tua. Entah memang hadir kami yang tidak diinginkan, atau memang kami anak yang terbuang sehingga kami tumbuh di sini di tangan orang yang sama. Beruntungnya kami berada di tangan orang yang tepat. Hangat. Itulah yang bisa kugambarkan p
Tanganku masih bergetar hebat menyentuh benda yang menimpa tepat di kakiku. Dua buah buku berwarna merah dan hijau bertuliskan buku nikah dan mana yang tersemat di sana adalah laki-laki yang bergelar suamiku. Jangan ditanya bagaimana gemuruh dan gejolak hatiku saat ini. Hancur berkeping-keping? Itu sudah pasti. Aku hanya ingin membuktikan jika apa yang diucapkan oleh Arini itu tidak bohong. Aku kira aku akan kuat menerima kenyataan ini. Namun pada kenyataannya aku tidak mampu. Duniaku benar-benar runtuh, pelangi yang semula memberi warna indah dalam mahligai rumah tanggaku kini berubah menjadi awan yang kelam. Awan yang akan menurunkan hujan badai. Ku buka kembali lembar demi lembar untuk melihat isi dalam buku itu, tertulis tanggal, hari, bulan dan tahun hubungan mereka diresmikan. Tepat hari ini sudah 3 bulan setengah pernikahan mereka terjadi. Aku mencoba kembali mengingat ke belakang pada bulan dan hari itu. Bulan, tanggal dan hari itu aku mengingat bahwa Mas Reza pamit ke lua
Arini memegang perutnya dan terus meringis. "Mbak! Tolong perutku sakit, Mbak." Ucapnya. Langkahku tertahan saat di daun pintu, aku menoleh dan melihat keadaan Arini. Cairan putih bercampur warna kecoklatan keluar memberi noda pada celana warna cream yang Arini kenakan. "Arini?!" Mataku melotot melihat apa yang terjadi padanya. "Mbak, tolong panggilkan Dokter, perutku sakit sekali, Mbak." Titahnya dalam kesakitan. Tanpa berpikir panjang aku pun segera keluar memanggil Dokter. Aku berjalan sambil berlari kecil di koridor rumah sakit hingga sampai di ruang perawat yang berjaga. "Sust, tolong! Ada pasien gawat darurat." Kataku terengah-engah. Suster itu menatapku heran, dia menelisik dari atas hingga ke bawah. "Ibuk bukannya di infus dan di rawat di sini? Kok keluar? Itu darah di tangan ibunya?" Suter itu melihat tanganku yang ada darah mengalir pelan yang sudah mulai mengental. Aku menyembunyikan tanganku ke belakang punggung. "Tolong, Sust. Itu yang jaga saya lagi kritis, dia ke