Tian jelas saja terkejut mendengar pengakuan Leandra kepadanya. Dia jadi teringat dengan kejadian saat melihat suami Leandra melintas di depan mobilnya bersama perempuan lain beberapa waktu yang lalu.“Saya numpang di sini dulu, Pak ...” ucap Leandra sambil memandangi rintik hujan yang turun tidak terlalu deras. Suaranya seakan mengetuk-ngetuk dinding hati Leandra yang sudah lama rapuh, tapi tetap dipaksakan untuk bisa bertahan lebih lama lagi.Tian yang biasanya tidak pernah peduli dengan urusan orang lain, kali ini merasa cukup terusik.Apakah karena status Leandra yang kini merupakan pegawai di kantornya?“Kamu yakin tidak mau langsung pulang saja?” tanya Tian sambil ikut duduk di bangku dengan jarak yang cukup aman dari Leandra. “Atau mau menunggu hujan reda dulu?”Leandra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Mungkin saya akan tunggu hujan sampai reda,” katanya. “Lagipula tidak akan ada yang menunggu saya, Bapak lihat sendiri tadi ... Suami saya sedang bersama istri
“Perhitungan sekali kamu ini? Tidak sekalian saja uang kamu untuk bayar paket saya juga kamu ungkit?” tukas Widi lagi. “Terus kenapa ini kamu tidak siap-siap kerja? Siapa tahu kamu gajian hari ini.”“Aku cuti, Bu.” “Cuti? Jangan gaya kamu, Lea! Tukang bersih-bersih saja pakai cuti,” komentar Widi tak percaya. “Kecuali kamu kerja kantoran seperti Silvi ....”“Nah, itu ada Silvi. Mungkin Ibu bisa minta dia dulu untuk bayar listrik,” usul Leandra sambil tersenyum simpul. “Aku ambil cuti karena capek, Bu.”“Kamu ini ... keluarga suami sedang susah, kamu enak-enak cuti ....” “Tidak apa-apa, Bu ... Aku kan cuman tukang bersih-bersih, apa sih yang bisa diharapkan? Uang gajinya juga tidak seberapa.”“Sudah-sudah, kamu ini sejak punya kerja jadi sombong dan suka jawab ya kalau saya ajak bicara?” Widi berkacak pinggang.Leandra langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Gaji tidak seberapa, tapi lagak kamu selangit ... Contoh tuh adik madu kamu!” sambung Widi. “Kerja kantoran, gaji b
Tian mendengarkan penjelasan yang diutarakan Leandra, setelah itu baru dia memberikan tanggapan.“Kalau dari kedua belah pihak setuju untuk berpisah dan tidak ada perselisihan, biasanya proses akan lebih cepat.” “Begitu ya, Pak? Jadi tidak semua perkara perceraian membutuhkan kuasa hukum ....”Tian mengangguk. “Terima kasih informasinya, Pak. Saya mau lanjut kerja,” pamit Leandra sopan, setelah itu dia keluar dari ruangan Tian.“Yang baru gajian!” komentar Dini yang yang menyambut Leandra dengan senyum lebar. “Kenapa kamu tidak coba kredit motor sendiri, Lea?” “Kredit motor, ya?” Leandra berpikir sebentar. “Iya, kan jatuhnya hampir sama kalau kamu pakai ojek.” Dini menyahut.Leandra sependapat bahwa beli motor tidak ada ruginya untuk dia, terlebih setelah dia memiliki pekerjaan seperti ini. Namun, apa kata Rendra nanti kalau tiba-tiba saja Leandra ambil motor baru?Sementara itu di kantor Rendra ....“Aku belum bisa transfer bulanan kamu sama Lea,” lapor pria itu ketik
Leandra tidak menggubris ucapan suaminya dan memilih untuk memejamkan mata.Rendra ikut berbaring meski dengan hati yang kesal. Di samping hasrat duniawinya yang tidak sempat tersalurkan, dia juga kesal karena keberanian Leandra yang baru muncul sekarang.Alih-alih terlelap dengan segera, Rendra justru sibuk memikirkan cara untuk membuat istri pertamanya kembali seperti dulu. Jujur dia juga tidak yakin kalau Leandra akan seberani itu untuk mengambil langkah perceraian.Rendra tahu kalau Leandra sangat bergantung kepadanya selama ini, dan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih tidak akan mampu untuk menutupi seluruh pengeluaran kehidupannya yang biasa dia tanggung.“Lea, kamu belum ambil motor juga?” tanya Dini yang melihat Leandra baru saja memesan ojek melalui aplikasi ponselnya. Mereka berdua sedang menikmati kopi masing-masing, terlebih setelah Leandra baru saja selesai bersih-bersih.“Belum, Bu. Masih mikir-mikir uangnya,” jawab Leandra jujur. “Selain itu saya juga harus
“Cepat jalan sekarang, tolong!” Leandra naik ke boncengan dan mendesak driver untuk segera meninggalkan kawasan perumahan. “Oke, Kak! Kita ke mana?”“Yang penting jalan dulu, ngebut! Kita harus segera meninggalkan perumahan ini!”“Lea, tunggu!’Suara Rendra terdengar menggelegar ketika motor yang ditumpangi Leandra mulai melaju.“Lea!” teriak Rendra sekeras-kerasnya.“Mas, ngapain teriak sih?” Silvi menyusul sang suami. “Orang Mbak Lea nggak kenapa-kenapa kok lihat kita, itu berarti dia sudah menerima aku sebagai istri kamu ....”“Kamu diam dulu bisa nggak sih, Vi?” potong Rendra frustrasi sambil berbalik pergi dan buru-buru masuk ke mobilnya.“Tunggu, Mas! Kamu mau ke mana?” cegah Silvi seraya mengejar Rendra. “Kamu mau ngejar Mbak Lea? Buat apa? Dia ikut senang begitu kok lihat rumah ini ....”“Kamu nggak ngerti masalahnya, Vi!” tegas Rendra sambil menutup pintu mobil keras-keras, dia lalu membunyikan klakson sebagai tanda supaya Silvi minggir dari menghalangi jalannya.“
“Apa kamu bilang?” “Pisah, Mas. Aku minta kita pisah,” ulang Leandra dengan wajah datar. Tidak tampak ekspresi ragu di sana, melainkan keyakinan pasti melalui sorot matanya yang akhir-akhir ini tidak lagi bercahaya. “Lea, kamu nggak serius kan?” ucap Rendra sambil menatap istrinya lekat-lekat. “Aku tahu kamu marah karena aku nggak jujur, aku akan jelaskan semuanya sama kamu ....” “Nggak usah, Mas. Sudah nggak penting lagi,” kata Leandra sambil menggeleng. “Alasan kamu paling cuma itu-itu saja, yang disuruh ibu kamu, dipaksa, demi itulah, inilah ... Aku sudah kenyang, Mas.” Rendra terpaku ketika Leandra berjalan mendekati lemari pakaian mereka dan mulai mengeluarkan satu per satu baju miliknya. “Lea, kamu mau ngapain?” tanya Rendra saat baju-baju itu ditaruh begitu saja di koper yang ternyata sudah Leandra siapkan sebelumnya. “Mau pisah,” jawab Leandra singkat. “Aku nggak mau!” tepis Rendra sambil menghentikan gerakan tangan istrinya. “Aku masih mencintai kamu, Lea ....” “Begitu
Dengan hati-hati Leandra membelokkan langkahnya, dari sudut matanya dia melihat kalau mobil Rendra sudah tidak ada lagi di depan kantor Tian.Secepat kilat Leandra berbalik arah dan pergi meninggalkan kantor, dia cepat-cepat memesan ojek sambil terus berjalan menjauh. “Tante? Tante Ivana?”“Eh, Lea? Lama tidak mampir, kamu sendiri?”Beruntung, Leandra cepat mendapatkan driver yang langsung mengantarnya ke rumah sang tante.“Iya, Tante ... Tolong aku!” rintih Leandra dengan wajah gusar dan panik bercampur menjadi satu.“Masuk dulu! Apa yang terjadi sama kamu?” tanya Ivana sambil menarik keponakannya untuk masuk ke dalam rumah. “Kenapa kamu panik?”Leandra berbalik untuk menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.“Kenapa ditutup?” tanya Ivana tidak mengerti.“Takut ... Mas Rendra ... kejar aku ...!” jawab Leandra terbata-bata.Merasa ada yang tidak beres dalam diri keponakannya, Ivana menyuruh Leandra duduk dan buru-buru ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih.“Apa
“Bu, Lea kok nggak bisa dihubungi ya?” tanya Rendra gelisah seraya membanting ponselnya dia atas meja dengan keras.“Lembur mungkin,” jawab Widi sambil meletakkan cangkir tehnya. “Biar saja Ren, pengeluaran rumah ini kan memang banyak.”“Bukan itu masalahnya, Bu! Lea sudah tahu kalau aku beli rumah buat Silvi, makanya kami jadi ribut semalam!”Widi melirik ke arah Rendra.“Ya baguslah,” katanya ringan. “Sama seperti pernikahan kamu dengan Silvi, cepat atau lambat Lea pasti juga akan tahu soal rumah itu.”Rendra menghela napas, tanggapan ibunya sama sekali tidak membuat hatinya tenang. Ditambah lagi hari sudah beranjak malam dan Leandra belum juga pulang ke rumah.“Lea, kamu di mana sih?” Rendra berkali-kali menelepon ponsel istrinya sambil mondar-mandir di kamar. “Jangan bikin aku khawatir ... kenapa kamu sengaja nggak bisa dihubungi?”Karena kesal, lama-lama Rendra lempar juga ponsel itu ke tempat tidur. Begitu ponselnya berbunyi, dia buru-buru meraih gawainya dan langsung kec