“Kamu bawa bedak, Lea?” Dini dan Leandra sedang berada di toilet kantor untuk merapikan diri mereka sebelum ikut acara bersama bos mereka.“Bawa,” jawab Leandra sembari menyerahkan compact powder yang dibawanya kepada Dini. “Hati-hati, takutnya tidak cocok sama jenis kulit Ibu.”Dini menyahut, “Saya kulitnya tidak sensitif kok, Lea ... Ini Pak Tian juga kenapa harus dadakan acaranya? Tidak sempat dandan kan kita?”Leandra tertawa kecil.“Katanya tadi habis menang kasus, Bu. Mungkin memang awalnya tidak direncanakan sama Pak Tian.”“Betul juga ... Bedak kamu harum sekali, terima kasih, Lea.”“Sama-sama, Bu.”Selanjutnya Leandra dan Dini berkumpul di halaman kantor untuk selanjutnya menunggu bos mereka.“Pak Ibnu titip motor sebentar, ya?” kata Tian kepada penjaga kantornya. “Nanti saya bawakan saja bungkusan dari resto.”“Siap, Pak. Terima kasih!”Leandra dan Dini menurut saja saat diminta masuk ke mobil Tian. Pada awalnya Leandra ingin mengirim pesan kepada Rendra ketika m
Tian jelas saja terkejut mendengar pengakuan Leandra kepadanya. Dia jadi teringat dengan kejadian saat melihat suami Leandra melintas di depan mobilnya bersama perempuan lain beberapa waktu yang lalu.“Saya numpang di sini dulu, Pak ...” ucap Leandra sambil memandangi rintik hujan yang turun tidak terlalu deras. Suaranya seakan mengetuk-ngetuk dinding hati Leandra yang sudah lama rapuh, tapi tetap dipaksakan untuk bisa bertahan lebih lama lagi.Tian yang biasanya tidak pernah peduli dengan urusan orang lain, kali ini merasa cukup terusik.Apakah karena status Leandra yang kini merupakan pegawai di kantornya?“Kamu yakin tidak mau langsung pulang saja?” tanya Tian sambil ikut duduk di bangku dengan jarak yang cukup aman dari Leandra. “Atau mau menunggu hujan reda dulu?”Leandra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Mungkin saya akan tunggu hujan sampai reda,” katanya. “Lagipula tidak akan ada yang menunggu saya, Bapak lihat sendiri tadi ... Suami saya sedang bersama istri
“Perhitungan sekali kamu ini? Tidak sekalian saja uang kamu untuk bayar paket saya juga kamu ungkit?” tukas Widi lagi. “Terus kenapa ini kamu tidak siap-siap kerja? Siapa tahu kamu gajian hari ini.”“Aku cuti, Bu.” “Cuti? Jangan gaya kamu, Lea! Tukang bersih-bersih saja pakai cuti,” komentar Widi tak percaya. “Kecuali kamu kerja kantoran seperti Silvi ....”“Nah, itu ada Silvi. Mungkin Ibu bisa minta dia dulu untuk bayar listrik,” usul Leandra sambil tersenyum simpul. “Aku ambil cuti karena capek, Bu.”“Kamu ini ... keluarga suami sedang susah, kamu enak-enak cuti ....” “Tidak apa-apa, Bu ... Aku kan cuman tukang bersih-bersih, apa sih yang bisa diharapkan? Uang gajinya juga tidak seberapa.”“Sudah-sudah, kamu ini sejak punya kerja jadi sombong dan suka jawab ya kalau saya ajak bicara?” Widi berkacak pinggang.Leandra langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Gaji tidak seberapa, tapi lagak kamu selangit ... Contoh tuh adik madu kamu!” sambung Widi. “Kerja kantoran, gaji b
Tian mendengarkan penjelasan yang diutarakan Leandra, setelah itu baru dia memberikan tanggapan.“Kalau dari kedua belah pihak setuju untuk berpisah dan tidak ada perselisihan, biasanya proses akan lebih cepat.” “Begitu ya, Pak? Jadi tidak semua perkara perceraian membutuhkan kuasa hukum ....”Tian mengangguk. “Terima kasih informasinya, Pak. Saya mau lanjut kerja,” pamit Leandra sopan, setelah itu dia keluar dari ruangan Tian.“Yang baru gajian!” komentar Dini yang yang menyambut Leandra dengan senyum lebar. “Kenapa kamu tidak coba kredit motor sendiri, Lea?” “Kredit motor, ya?” Leandra berpikir sebentar. “Iya, kan jatuhnya hampir sama kalau kamu pakai ojek.” Dini menyahut.Leandra sependapat bahwa beli motor tidak ada ruginya untuk dia, terlebih setelah dia memiliki pekerjaan seperti ini. Namun, apa kata Rendra nanti kalau tiba-tiba saja Leandra ambil motor baru?Sementara itu di kantor Rendra ....“Aku belum bisa transfer bulanan kamu sama Lea,” lapor pria itu ketik
Leandra tidak menggubris ucapan suaminya dan memilih untuk memejamkan mata.Rendra ikut berbaring meski dengan hati yang kesal. Di samping hasrat duniawinya yang tidak sempat tersalurkan, dia juga kesal karena keberanian Leandra yang baru muncul sekarang.Alih-alih terlelap dengan segera, Rendra justru sibuk memikirkan cara untuk membuat istri pertamanya kembali seperti dulu. Jujur dia juga tidak yakin kalau Leandra akan seberani itu untuk mengambil langkah perceraian.Rendra tahu kalau Leandra sangat bergantung kepadanya selama ini, dan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih tidak akan mampu untuk menutupi seluruh pengeluaran kehidupannya yang biasa dia tanggung.“Lea, kamu belum ambil motor juga?” tanya Dini yang melihat Leandra baru saja memesan ojek melalui aplikasi ponselnya. Mereka berdua sedang menikmati kopi masing-masing, terlebih setelah Leandra baru saja selesai bersih-bersih.“Belum, Bu. Masih mikir-mikir uangnya,” jawab Leandra jujur. “Selain itu saya juga harus
“Cepat jalan sekarang, tolong!” Leandra naik ke boncengan dan mendesak driver untuk segera meninggalkan kawasan perumahan. “Oke, Kak! Kita ke mana?”“Yang penting jalan dulu, ngebut! Kita harus segera meninggalkan perumahan ini!”“Lea, tunggu!’Suara Rendra terdengar menggelegar ketika motor yang ditumpangi Leandra mulai melaju.“Lea!” teriak Rendra sekeras-kerasnya.“Mas, ngapain teriak sih?” Silvi menyusul sang suami. “Orang Mbak Lea nggak kenapa-kenapa kok lihat kita, itu berarti dia sudah menerima aku sebagai istri kamu ....”“Kamu diam dulu bisa nggak sih, Vi?” potong Rendra frustrasi sambil berbalik pergi dan buru-buru masuk ke mobilnya.“Tunggu, Mas! Kamu mau ke mana?” cegah Silvi seraya mengejar Rendra. “Kamu mau ngejar Mbak Lea? Buat apa? Dia ikut senang begitu kok lihat rumah ini ....”“Kamu nggak ngerti masalahnya, Vi!” tegas Rendra sambil menutup pintu mobil keras-keras, dia lalu membunyikan klakson sebagai tanda supaya Silvi minggir dari menghalangi jalannya.“
“Apa kamu bilang?” “Pisah, Mas. Aku minta kita pisah,” ulang Leandra dengan wajah datar. Tidak tampak ekspresi ragu di sana, melainkan keyakinan pasti melalui sorot matanya yang akhir-akhir ini tidak lagi bercahaya. “Lea, kamu nggak serius kan?” ucap Rendra sambil menatap istrinya lekat-lekat. “Aku tahu kamu marah karena aku nggak jujur, aku akan jelaskan semuanya sama kamu ....” “Nggak usah, Mas. Sudah nggak penting lagi,” kata Leandra sambil menggeleng. “Alasan kamu paling cuma itu-itu saja, yang disuruh ibu kamu, dipaksa, demi itulah, inilah ... Aku sudah kenyang, Mas.” Rendra terpaku ketika Leandra berjalan mendekati lemari pakaian mereka dan mulai mengeluarkan satu per satu baju miliknya. “Lea, kamu mau ngapain?” tanya Rendra saat baju-baju itu ditaruh begitu saja di koper yang ternyata sudah Leandra siapkan sebelumnya. “Mau pisah,” jawab Leandra singkat. “Aku nggak mau!” tepis Rendra sambil menghentikan gerakan tangan istrinya. “Aku masih mencintai kamu, Lea ....” “Begitu
Dengan hati-hati Leandra membelokkan langkahnya, dari sudut matanya dia melihat kalau mobil Rendra sudah tidak ada lagi di depan kantor Tian.Secepat kilat Leandra berbalik arah dan pergi meninggalkan kantor, dia cepat-cepat memesan ojek sambil terus berjalan menjauh. “Tante? Tante Ivana?”“Eh, Lea? Lama tidak mampir, kamu sendiri?”Beruntung, Leandra cepat mendapatkan driver yang langsung mengantarnya ke rumah sang tante.“Iya, Tante ... Tolong aku!” rintih Leandra dengan wajah gusar dan panik bercampur menjadi satu.“Masuk dulu! Apa yang terjadi sama kamu?” tanya Ivana sambil menarik keponakannya untuk masuk ke dalam rumah. “Kenapa kamu panik?”Leandra berbalik untuk menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.“Kenapa ditutup?” tanya Ivana tidak mengerti.“Takut ... Mas Rendra ... kejar aku ...!” jawab Leandra terbata-bata.Merasa ada yang tidak beres dalam diri keponakannya, Ivana menyuruh Leandra duduk dan buru-buru ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih.“Apa
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa