“Itu bukannya Mas Rendra?”
Leandra menghentikan motornya di lampu merah, ketika jalanan sedang padat-padatnya karena bertepatan dengan jam pulang pegawai kantor.Tanpa sengaja mata Leandra menangkap satu sosok yang dikenalnya sebagai Rendra, suaminya sendiri.Rendra terlihat baru saja keluar dari sebuah klinik ibu hamil bersama seorang perempuan yang tidak Leandra kenal.Sebelum Leandra sempat mengamati perempuan itu lebih jauh lagi, lampu lalu lintas berubah hijau dan dia terpaksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Selama dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, hati Leandra sama sekali tidak bisa tenang.“Siapa perempuan itu?” tanya Leandra dalam hati seraya mengemudikan motornya dengan gelisah.Kok bisa Mas Rendra keluar dari klinik ibu hamil bersama perempuan itu?Atau dia hanya salah lihat saja karena pandangannya berjarak cukup jauh dari klinik?Banyak sekali pertanyaan yang berdesakan di kepala Leandra hingga membuatnya nyaris lupa kalau dia sedang mengemudi di jalan raya.Leandra berusaha fokus mengendarai motor matic-nya. Meskipun begitu, dia asal melaju dengan perasaan yang tidak menentu, tidak memperhatikan arah jalan, rambu lalu lintas, hingga dia berbelok dan terlambat sadar ketika ada mobil putih bersih yang muncul di hadapannya ....Brakk!Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.“Aduhhh ...” rintih Leandra sambil meringis kesakitan.Untungnya, mobil putih itu tidak kabur dan pengemudinya turun tepat ketika beberapa orang mulai berbondong-bondong datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.“Tanggung jawab, Pak!”“Dia yang tiba-tiba muncul di depan mobil!”Beberapa orang menepikan motor dan sebagian lagi membantu Leandra duduk di depan toko kelontong yang tutup.“Lain kali hati-hati kalau bawa motor.”Leandra mendongak dan tatapannya tertumbuk kepada seorang pria berpostur tinggi tegap dan memiliki garis mata tajam. “Kamu perlu ke rumah sakit?”“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang sudah diparkirkan orang-orang di dekat mobilnya.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah saja supaya jemput kamu?”Leandra bergeming ketika pria tegap itu mendatanginya setelah mematikan mesin motor.“Saya masih bisa naik motor kok,” jawab Leandra sambil menggeleng.Pria itu mengangguk dan kembali ke mobilnya, tidak berapa lama kemudian dia muncul lagi dengan membawa sesuatu di tangannya.“Bukannya saya tidak mau bertanggung jawab, tapi saya sedang ada urusan penting.” Dia mengulurkan beberapa lembar uang kertas merah ke tangan Leandra. “Ini sekadar untuk jaga-jaga kalau kamu terluka atau motor kamu perlu diservis. Sekalian ini kartu nama saya kalau ada apa-apa.”Leandra terpaku sejenak. Bukan dia menolak rejeki, tapi pengemudi mobil itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena itulah Leandra lebih memilih untuk mengambil kartu nama pria itu saja dan tidak menerima uangnya.“Terima kasih, ... seharusnya malah saya yang memberi Bapak ganti rugi karena mobil Bapak jadi lecet ...” ucap Leandra terbata, dia melirik nama yang tertera di kartu.Nama pria itu adalah Tian Rafael.“Tidak usah dipikirkan, anggap saja musibah.” Tian menyahut. “Lain kali hati-hati.”Leandra mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, baginya dia sudah sangat beruntung karena Tian tidak menuntut ganti rugi atas tabrakan yang tidak disengaja tadi.Kasih tahu Mas Rendra nggak ya, batin Leandra dalam hati. Kebetulan orang-orang sudah fokus kepada urusannya sendiri-sendiri setelah kejadian yang dialaminya tadi berhasil diselesaikan secara damai antara dua belah pihak.Nggak usah deh, batin Leandra lagi. Dia berdiri dan berjalan sedikit tertatih karena lututnya yang nyeri.Leandra memutuskan untuk kembali ke rumah mertuanya, kali ini dia mengemudi motornya dengan sangat hati-hati.***“Bu, Mas Rendra belum pulang, ya?” tanya Leandra ketika dia tiba di rumah mertuanya. “Tadi aku seperti lihat Mas Rendra di jalan, aku pikir dia sudah pulang duluan ke rumah dan pergi lagi.”Ibu mertua yang sedang menyeduh teh lantas menoleh ke arah Leandra.“Mana mungkin jam segini Rendra sudah pulang,” bantah sang mertua. “Dia itu banting tulang buat kamu, juga buat anak kalian nanti. Makanya kamu cepat hamil, biar Rendra bisa langsung pulang kalau habis kerja dan tidak perlu keluyuran dulu.”Jawaban ibu mertua yang ketus membuat Leandra mengangguk saja dan bergegas pergi ke kamarnya untuk melepas penat.Hari itu ternyata Rendra terlambat tiba di rumah dengan alasan lembur.“Aku siapkan baju kamu di tempat biasa,” ucap Leandra ketika Rendra melangkah pergi menuju kamar mandi.Dia kemudian membuka lemari dan menyiapkan satu setel baju bersih untuk suaminya.Ketika itulah Leandra mendengar ponsel suaminya berdering nyaring. Dia yang biasanya bersikap biasa saja dan cenderung tidak mau tahu, kali ini muncul rasa penasaran yang menggelitik hatinya.Dering ponsel Rendra terhenti ketika Leandra meletakkan baju bersih di atas tempat tidur. Hampir saja rasa penasaran itu hilang dari pikirannya ketika dia mendengar ponsel sang suami berdering lagi.Dengan ragu-ragu, tangan Leandra terulur untuk menjangkau tas kerja Rendra yang ternyata sudah setengah terbuka.“Nggak apa-apa kan kalau aku lihat siapa yang menghubungi Mas Rendra?” gumam Leandra seraya mengambil ponsel suaminya yang terus berdering. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang meski tidak tahu apa sebabnya, lalu deringan itu tiba-tiba berhenti tepat ketika ponsel Rendra berhasil ditarik keluar.“Mungkin rekan bisnisnya,” batin Leandra lagi yang lantas memasukkan ponsel itu kembali ke dalam tas.Ketika itulah ujung jemari Leandra menyentuh sebuah benda pipih panjang yang memantik rasa ingin tahunya lagi.Refleks Leandra meletakkan ponsel Renda di samping tas, kemudian dia tarik keluar benda pipih itu dan ....Kedua mata Leandra terbelalak lebar ketika tangannya menggenggam sebuah testpack yang hasilnya positif.“Astaga! Testpack siapa ini?” batin Leandra sambil membekap mulutnya dengan telapak tangan. Dia tahu betul bahwa para pria tidak mungkin menggunakan testpack itu, lalu kenapa benda pipih ini bisa berada di dalam tas kerja Rendra?Belum hilang rasa terkejut di hati Leandra, tiba-tiba ponsel Rendra menyala dan menampilkan pesan terbaru yang muncul di layar.[Mas, terima kasih ya tadi kamu sudah nganterin aku ... Besok mampir lagi]Leandra mampu membaca pesan itu dengan jelas tanpa perlu menyentuh ponsel Rendra.“Lea, bikinkan kopi!”Rendra tiba-tiba muncul dari kamar mandi dan Leandra buru-buru memasukkan ponsel suaminya ke dalam tas.“Tadi kamu pergi ke mana saja sih, Mas?” tanya Leandra ingin tahu saat Rendra mengeringkan rambutnya.“Biasa, lembur di kantor,” jawab Rendra sambil menyisiri rambutnya dengan jari tangan.Leandra menggigit bibirnya dan meraih satu setel pakaian bersih sembari menggenggam testpack temuannya tadi menggunakan tangannya.“Itu testpack milik siapa, Mas?” tanya Leandra tanpa berbelit-belit. “Yang ada di tas kamu?”Bersambung—Rendra sontak terdiam. “Testpack? Maksud kamu?” Dia bertanya dengan kening berkerut. Leandra meraih tas kerja Rendra dan mengeluarkan testpack yang tadi dia temukan. “Ini bukan testpack aku,” kata Leandra sambil menunjukkan benda pipih itu. “Hasilnya positif—testpack siapa ini, Mas?” Leandra menatap lurus ke arah Rendra yang berdiri membeku di depannya. “Lea, itu ...” Leandra berusaha untuk tetap tenang dan menunggu apa yang akan Rendra jelaskan kepadanya. Namun, terlihat jelas kalau suaminya begitu kesulitan dalam merangkai kata-kata yang tepat. “Testpack ini milik siapa, Mas?” tanya Leandra lagi dengan nada mendesak. “Kamu tahu sendiri kalau hasil testpack aku selalu negatif ... tapi yang ini positif—bisa kamu jelaskan?” Rendra tidak segera menjawab. “Kenapa kamu diam, Mas?” tuntut Leandra lagi. “Itu punya rekan kerja aku, Lea!” jawab Rendra buru-buru. “Sepertinya nggak sengaja kebawa saat aku beres-beres meja.” Dengan menahan rasa curiga yang memuncak, Leandra mengambil p
Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mandul, Leandra berkeras untuk mengajak Rendra mengantarnya tes kesuburan di rumah sakit. “Aku minta maaf, Lea.” Rendra berulang kali mengatakan hal yang bagi Leandra sudah tidak lagi penting. Permintaan maaf itu ibarat nasi basi yang sudah tidak mungkin untuk dikonsumsi lagi. Ketika memutuskan untuk menikah diam-diam, tidakkah Rendra dalam keadaan sadar? Kenapa tidak ada setitik pun rasa bersalah dalam dirinya ketika dia akan membagi cinta dengan Silvi? “Lea?” panggil Rendra, membuat Leandra tersentak dari lamunannya. “Aku janji kalau aku nggak akan mengabaikan kamu, bagiku kamu tetap istri aku.” Leandra menyeka kedua matanya, saat itu dia dan Rendra sedang antre di rumah sakit untuk menunggu giliran. “Aku sedang nggak mau bicara soal itu, Mas.” Dia menggeleng. “Aku mau fokus, aku harus ikut tes kesuburan ini untuk membuktikan sama ibu kalau aku bukan perempuan mandul ....” Rendra bisa merasakan kekecewaan yang dipikul Leandra saat ini, kare
Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya. Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu? Leandra tidak akan sanggup menjawabnya. “Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....” Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga. “Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya. “Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak. “Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?” Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra. “Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?”
“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”
Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah sa
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu. Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa has
Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa