Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mandul, Leandra berkeras untuk mengajak Rendra mengantarnya tes kesuburan di rumah sakit.
“Aku minta maaf, Lea.” Rendra berulang kali mengatakan hal yang bagi Leandra sudah tidak lagi penting. Permintaan maaf itu ibarat nasi basi yang sudah tidak mungkin untuk dikonsumsi lagi.Ketika memutuskan untuk menikah diam-diam, tidakkah Rendra dalam keadaan sadar? Kenapa tidak ada setitik pun rasa bersalah dalam dirinya ketika dia akan membagi cinta dengan Silvi?“Lea?” panggil Rendra, membuat Leandra tersentak dari lamunannya. “Aku janji kalau aku nggak akan mengabaikan kamu, bagiku kamu tetap istri aku.”Leandra menyeka kedua matanya, saat itu dia dan Rendra sedang antre di rumah sakit untuk menunggu giliran.“Aku sedang nggak mau bicara soal itu, Mas.” Dia menggeleng. “Aku mau fokus, aku harus ikut tes kesuburan ini untuk membuktikan sama ibu kalau aku bukan perempuan mandul ....”Rendra bisa merasakan kekecewaan yang dipikul Leandra saat ini, karena itu dia tidak bicara lagi dan mengusap-usap bahu sang istri untuk menguatkannya.Karena tahapan-tahapan tes kesuburan begitu rumit dan tidak hanya satu kali dilakukan, Rendra berkomitmen untuk selalu mendampingi Leandra sekaligus mengikuti tes kesuburan bagi pria meskipun hal itu tidak diwajibkan.“Kamu ngapain ikut tes ini?” tanya Leandra ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. “Bukannya kamu sudah berhasil menghamili orang lain ....”“Lea, aku akan temani kamu di segala prosesnya.” Rendra berjanji.“Kamu cuma buang-buang uang, Mas.” Leandra memalingkan muka. “Ibu pasti tertawa kalau tahu kamu ikut tes kesuburan juga.”“Ibuku nggak mungkin sekejam itu,” bantah Rendra seraya terus menyetir.Leandra diam saja, dia sedang malas membicarakan ibu mertuanya itu lebih jauh. Mertua yang dengan sadar menyuruh anaknya menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri sah, pantasnya disebut apa?“Kalian dari mana?” tanya ibu mertua yang muncul di teras bersama suaminya ketika Leandra dan Rendra tiba di rumah.“Dari periksa,” jawab Rendra apa adanya. “Ibu sama Ayah mau ke mana?”Sang mertua memandang Leandra sekilas sebelum menjawab.“Menengok calon cucu yang masih dalam kandungan,” jawabnya terus terang. “Kamu juga harus sering-sering menengok Silvi, karena masa kehamilan itu berat dan butuh perhatian kamu, Ren.”Rendra menatap ibunya dengan tatapan memperingatkan, tapi Leandra pura-pura tidak mendengar dan mengangguk sopan ke arah ayah mertua.Ketika dilihatnya Rendra masih sibuk bicara dengan ibunya, Leandra memilih untuk pergi ke kamar lebih dulu sembari memikirkan langkah apa yang harus ditempuhnya begitu hasil tes itu keluar.Kalau dirinya ternyata subur, tentu dia akan menuntut balik Rendra yang sudah dianggapnya berkhianat karena menikah diam-diam.Namun, kalau dirinya betul-betul mandul, maka tidak ada pilihan lain bagi Leandra kecuali mundur dengan sukarela dan mengikhlaskan Rendra bersama Silvi.“Sedang memikirkan apa?” tanya Rendra, satu tangannya mengusap puncak kepala Leandra yang berambut cokelat gelap.“Nggak mikir apa-apa,” geleng Leandra sambil menghindari sentuhan tangan Rendra dengan sengaja.“Sekali lagi aku minta maaf,” ucap Rendra sadar diri. “Saat itu aku nggak punya pilihan, tekanan darah ibu sedang tinggi-tingginya ... aku sudah minta waktu untuk bicara dulu sama kamu, tapi aku takut ibu jadi drop karena dia mengancam nggak akan mau minum obatnya lagi.”Leandra diam, sebetulnya dia masih belum percaya karena Rendra dan orang tuanya mampu menyembunyikan pernikahan itu diam-diam tanpa sedikitpun terdeteksi olehnya.Jujur, Leandra ingin tahu bagaimana kronologi awal hingga akhir pernikahan itu dilaksanakan. Namun, membayangkannya saja dia sudah tidak sanggup dan justru memicu rasa sakit hati yang dipikulnya semakin besar.Jadi untuk apa Leandra mencari tahu lagi jika inti permasalahannya tetap saja sama, Rendra sudah berkhianat kepadanya.Satu bulan lebih berlalu, Leandra akhirnya mendapatkan kabar dari rumah sakit kalau hasil tes-nya sudah bisa dia ambil.Rendra yang ketika itu sedang dalam perjalanan menuju rumah Silvi, mau tak mau segera putar arah untuk menjemput Leandra.“Ren, kok kamu sudah pulang?” sambut ibu Rendra dengan kening berkerut.“Aku mau antar Lea dulu, Bu!” sahut Rendra seraya berjalan melewati ibunya.“Tapi, Ren ....”“Kita sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea kan, Bu?” kata Rendra tegas, membuat ibunya seketika bungkam seribu bahasa.Leandra tidak banyak bicara ketika Rendra mengantarnya ke rumah sakit.“Apa pun hasilnya nanti, kamu harus tetap semangat.” Rendra berusaha untuk membesarkan hati Leandra, yang sayangnya sudah tidak mempan lagi.Andai saja Rendra mengatakan hal itu tanpa perlu menikahi Silvi, tentu Leandra akan sangat bersyukur memiliki suami seperti dia.“Semangat karena kamu sudah punya istri baru?” timpal Leandra, sukses membuat Rendra tidak berkutik lagi.Setibanya di rumah sakit, Rendra terus setia mendampingi Leandra karena dia sadar telah menyakiti hati istrinya dengan menikah lagi diam-diam.“Ingat kata-kata aku tadi,” ucap Rendra sambil menggenggam tangan Leandra ketika dokter di depan mereka meletakkan dua amplop berukuran sedang di atas meja.Leandra membuka amplopnya sendiri, membacanya dengan cepat dan tidak dapat menahan rasa kagetnya saat mendapati pernyataan kalau secara medis dirinya mandul.Rendra melirik sang istri dan paham apa yang sedang terjadi, dia nyaris tidak sampai hati untuk bertanya atau bahkan menceritakan hasil tesnya.“Naluri ibu kamu sangat kuat, Mas.” Leandra berkata lirih saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. “Beliau tahu kalau kamu nggak akan pernah dapat anak dari aku.”Rendra terpaku, dia berusaha memecah pikirannya antara tetap fokus mengemudi sambil mencurahkan perhatiannya kepada Leandra.“Kalau bukan karena paksaan ibu yang sedang sakit, aku nggak akan mau menikah lagi.” Rendra menegaskan.Leandra diam saja hingga mobil yang dikemudikan Rendra tiba di rumah Widi.Irawan tersenyum singkat dan tidak bertanya apa-apa ketika Leandra lewat sambil mengangguk sopan kepadanya. Rendra bergegas menyusul sang istri yang sudah lebih dulu menghilang ke kamar mereka.“Lea?” panggil Rendra ketika melihat Leandra sedang berbalik telungkup di tempat tidur.“Aku akan mundur, Mas ...” ucap Leandra lirih, usahanya untuk menahan laju air mata berujung kegagalan. “Kamu sudah punya Silvi yang saat ini mengandung anak kamu ....”“Kamu ini bicara apa?” sahut Rendra sambil membungkukkan tubuhnya dan mendekap erat Leandra. “Kamu nggak perlu mundur, aku nggak peduli apa pun hasil tes kamu tadi ... Aku tetap cinta sama kamu, Lea.”“Buktinya kamu mendua ...” isak Leandra pedih, hatinya teriris berkali lipat setelah menerima hasil tes tadi.“Itu karena aku terpaksa,” ucap Rendra seraya membelai rambut Leandra. “Tapi aku akan menebusnya dengan terus menomorsatukan kamu, aku janji.”Leandra perlahan bangun dan menatap Rendra dengan mata sembab.“Silvi hamil anak kamu,” katanya sendu.“Itu risiko dia karena mau nikah sama aku,” sahut Rendra, ujung jemarinya mengusap air mata Leandra lembut. “Kamu tetap istri aku yang sah.”Leandra memeluk Rendra dan menumpahkan semua rasa yang mengimpitnya jadi satu.“Meskipun aku mandul?” ucap Leandra tercekat.Bersambung—Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya. Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu? Leandra tidak akan sanggup menjawabnya. “Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....” Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga. “Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya. “Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak. “Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?” Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra. “Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?”
“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”
Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah sa
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu. Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa has
Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan
Leandra menghela napas. “Kalau begitu, biar aku ikut kerja.” Dia memutuskan karena tidak tahan dengan tuduhan boros yang disematkan kepadanya.Rendra malah tersenyum geli.“Mau kerja apa?” tanya Rendra dengan kening berkerut. “Perusahaan mana yang mau menerima calon pegawai yang belum punya pengalaman seperti kamu?”Kali ini Leandra merasa kalau Rendra terlalu meremehkannya.“Kalau nggak dicoba, mana aku tahu?” ucap Leandra seraya memasukkan kembali surat kendaraannya ke dalam laci. “Tapi aku serius, aku akan mulai cari kerja besok.”“Jangan ngawur,” tegur Rendra. “Kalau kamu kerja, memangnya kamu masih bisa mengurus keperluan aku?”Leandra mengangguk.“Seharusnya bisa, itu bukan sesuatu yang sulit kan?” kata Leandra optimis.Rendra menghela napas panjang.“Terserah kamu,” sahutnya, enggan berdebat. “Yang penting, jangan sampai urusan rumah kamu tinggalkan cuma karena kamu kepingin kerja.”Jujur saja jawaban Rendra membuat Leandra ingin tertawa.“Mas, Mas, jangan bersika
Sudah satu minggu lebih, bahkan hampir dua mingguan lamanya, email yang dikirim Leandra tidak mendapat tanggapan dari kantor Tian.“Kenapa sih kamu gelisah terus akhir-akhir ini?” Rendra mempertanyakan, seingatnya dia sudah membagi waktu antara Leandra dan Silvi dengan sebaik-baiknya. Dan Leandra masih dia prioritaskan dengan lima hari penuh bersamanya, begitupun soal nafkah bulanan yang tidak pernah terlambat Rendra berikan.“Aku belum dapat jawaban dari kantor yang aku incar,” jawab Leandra sambil berkali-kali memeriksa email-nya.Rendra tersenyum tipis, “Kamu kira cari kerja itu gampang? Sudahlah, kamu di rumah saja seperti biasa. Toh aku juga nggak pernah menelantarkan kamu kan?” Leandra meletakkan ponselnya dan berbaring dengan wajah lelah di tempat tidur.Melihat sang istri tidak bersemangat, Rendra lantas berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan ke mal.“Kita belanja, yuk?” ajak Rendra sambil mengusap kepala Leandra. “Atau kita ke puncak? Sudah lama kan kita nggak li
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa