Tok tok tok.
"Aku masih mau tidur. Berisik banget, sih, dari tadi," gumam Shila sambil menutup wajahnya dengan bantal. Berharap jika orang yang mengetuk pintu kamarnya itu segera pergi.
Setelah kejadian memalukan kemaren—Shila tidak berani lagi mengirimkan pesan kepada Gerald. Meskipun ada notifikasi pesan masuk dari laki-laki itu—Shila tidak berniat membalasnya sedikit pun. Bahkan, tidak ia baca. Biarkan saja, ia tidak peduli. Lagipula, itu adalah salah Gerald sendiri. Kenapa dengan sengaja memalukannya?
Tok tok tok.
Lagi, suara ketukan itu terus membuat Shila merasa kesal dan ingin berteriak marah. Tidak peduli jika itu Figo atau Karin. Siapa pun yang mengganggu waktu tidurnya—Shila akan marah besar. Bagi Shila, waktu tidur itu sangat berharga.
Dengan sekali hentakan, Shila membuang bantalnya ke sembarang arah. Menghempaskan selimut yang menutupi tubuhnya sejak semalam dengan kasar. Tak berlama-lama, Shila segera membuka pintu kamarnya yang selalu ia sengaja kunci agar tidak ada yang bisa masuk untuk mengganggu acara tidurnya. Sudah ia katakan bukan jika Shila sangat menghargai waktu tidurnya.
"Bisa gak, kalau aku lagi tidur itu jangan ganggu dulu? Aku malam nanti ada pemot—
Seketika Shila terdiam. Detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. Apakah ia bermimpi sekarang? Jika benar, tolong siapapun bangunkan dirinya sekarang juga! Karena seseorang yang terus mengetuk pintu kamarnya sejak tadi adalah, Gerald. Calon suaminya. Catat baik-baik, Gerald. Laki-laki yang mempermalukannya kemaren. Bagaimana bisa Gerald menampakkan batang hidungnya di hadapan Shila seolah kejadian kemaren tidak pernah ada?
"Jam segini masih tidur?" tanya Gerald dengan wajah tak bersalah. "Gimana mau jadi istri yang baik kalau kamu gak bisa bangun pagi," sindirnya yang tanpa sadar membangkitkan kemarahan seorang Shila Atmaja. Gerald mencari mati, ternyata. Padahal, laki-laki itu belum meminta maaf kepadanya, tapi sudah mencari masalah baru lagi.
"Mau ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Shila sambil mengangkat dagunya—bergaya seolah sedang menantang. Padahal, ia benar-benar malu sekarang. Ketahuan belum bangun tidur padahal sudah siang.
"Ini bukan pagi lagi, tapi menjelang siang," balas Gerald yang kembali menyindir Shila. "Udah jam sepuluh, Shila. Kamu masih tidur aja?"
"Udah, deh. Mau ngapain, sih?!" tanya Shila yang sudah habis masa kesabarannya. Hari ini adalah hari weekend. Hari yang harus Shila manfaatkan dengan baik sebelum malam nanti. Karena malam nanti, ia ada jadwal pemotretan—menggantikan hari yang ia pergi untuk bertemu Gerald malam kemaren.
Gerald menatap Shila dari atas sampai bawah. Menggemaskan. Shila menggunakan piyama berwarna pink. Gadis itu sangat cantik meskipun baru bangun tidur. Tidak-tidak, kenapa ia memikirkan itu? Ada-ada saja.
"Mau ajak kamu jalan-jalan," balas Gerald yang membuat Shila kembali terkejut. Ada angin apa patung berjalan ini mengajaknya untuk jalan-jalan?
"Jalan-jalan?" beo Shila dengan nada yang tidak percaya. Ia menyipitkan matanya—menatap Gerald dengan penuh curiga. "Kamu pasti ada rencana sesuatu, kan? Mau apa lagi? Sekarang mau mempermalukan aku di depan umum, iya?!" tanya Shila dengan nada yang naik satu oktaf dari yang sebelumnya.
Gerald mengerutkan dahinya. Menatap perempuan yang ada di hadapannya sekarang dengan bingung. Apakah ia salah berbicara? Sepertinya, tidak sama sekali. Tapi mengapa Shila seakan marah dengan dirinya yang mengajak jalan-jalan?
"Kita jalan-jalan sama Hito. Ini udah direncanain sama orang tua kita biar bisa saling mengenal."
Jawaban itu, seketika membuat Shila terdiam—menutup kedua bibirnya dengan rapat. Kedua matanya pun mengerjap untuk beberapa saat. Terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Gerald. Lihat, bahkan laki-laki itu memasang wajah datar saat berbicara dengannya. Menyebalkan sekali.
"Semalam Papa mau ngasih tahu kamu. Eh, pas pulang langsung masuk kamar, mana sambil ngomel-ngomel lagi," sahut Figo sambil berjalan ke arah mereka. Tanpa sadar membuka kartu AS Shila di hadapan Gerald—calon suami anaknya.
"Ngomel-ngomel kenapa, Pa?"
Shila kembali menatap Gerald. Tunggu, 'Pa?' Apakah Shila tidak salah dengar? Atau Gerald yang salah berucap? Bagaimana mungkin dengan santainya laki-laki itu memanggil Figo dengan sebutan yang sama seperti dirinya? Memang, sebentar lagi mereka akan menikah, tapi Shila tak menyangka jika Gerald secepat itu untuk terbiasa dengan semuanya.
"Gak tau, tapi dia nyebut-nyebut nama kamu terus, Ge," balas Figo sambil terkekeh pelan. Apalagi, melihat wajah Shila yang sudah memerah karena menahan malu. Semakin membuatnya gencar untuk menggoda putri kesayangannya itu. Kapan lagi, kan?
Gerald menaikkan sebelah alisnya. "Masalah kamu yang malu itu? Kan bukan salah saya."
Shila menarik nafas—lalu membuangnya dengan kasar. Menatap Gerald dengan mata yang melotot—seperti ingin keluar dari tempatnya.
"Aku mandi dulu. Kamu tunggu di bawah aja," titah Shila lalu membalikkan badannya.
Brak.
Dengan sengaja Shila membanting pintu kamarnya dengan sangat kuat hingga menimbulkan suara yang begitu nyaring. Siapa pun yang mendengarnya pasti telinganya akan berdenging. Terutama, Gerald dan Figo yang berada di tempat.
"Shila aneh banget," gumam Gerald tanpa sadar.
Mendengar itu Figo menoleh ke samping. Menatap Gerald dengan senyuman yang sangat lebar. "Biasa, perempuan kalau udah malu, sih, gitu," ucap Figo sambil terkikik pelan.
"PAPA JANGAN NGOMONG ANEH-ANEH!" teriak Shila dari dalam. Ternyata, gadis itu menguping dari balik pintu kamarnya.
"Lah, dia nguping?"
***
Shila berdecak kagum dengan apa yang di hadapannya sekarang. Sosok lain yang ia lihat dari seorang Gerald. Memang, mereka baru beberapa hari saling mengenal, tapi sosok yang ini berhasil membuat perasaannya berubah menjadi menghangat.
Tepat di depan matanya—Gerald sedang asik bermain bola dengan Hito. Sesuai perkataan Gerald tadi saat menjemputnya, mereka pergi jalan-jalan bersama Hito. Anak dari kakak tirinya—Dikta.
Shila bisa merasakan ada ketulusan di mata Gerald saat bermain dengan keponakannya itu. Yang ia lihat sejauh ini, sepertinya, Gerald menyukai anak kecil. Terbukti laki-laki itu banyak tersenyum saat bersama Hito. Ah, melihat itu, ia menjadi iri. Kenapa saat bersama dengan dirinya wajah Gerald sangat datar? Tidak ada senyuman sedikit pun. Eh? Kenapa Shila berkata seperti itu? Sial.
"ONTY CHILA. SINI MAIN SAMA ITO SAMA OM GERALD!" teriak Hito dengan suara yang sangat melengking. Beberapa orang yang ada di taman pun mengalihkan tatapan ke arahnya. Sontak beberapa dari mereka mulai mengenali dirinya.
"Eh, itu bukannya model yang lagi naik daun kan? Itu Shila!"
"Kak Shila boleh minta foto bareng?"
"Kak Shila mau foto dong."
Shila tersenyum menatap mereka sambil menganggukkan kepalanya. "Ayo, kita foto bareng-bareng aja," jawabnya yang langsung dibalas dengan pekikan yang terdengar sangat menyenangkan.
Cekrek.
Satu foto berhasil mereka dapatkan. Shila tersenyum menatap mereka yang sangat senang saat berfoto dengannya. Begitu juga dengan dirinya. Shila tidak merasa kesal sedikit pun karena Hito yang berteriak tadi. Justru, ia bahagia. Itu artinya, pekerjaan yang ia lakukan sampai sekarang membuahkan hasil. Semakin banyak orang yang mengenali dirinya.
"Terima kasih, ya, Kak," ucap salah satu perempuan dari mereka.
Shila menganggukkan kepalanya dua kali, lalu menjawab, "sama-sama. Terima kasih juga, ya."
Setelah mereka semua pergi. Shila kembali mempusatkan perhatiannya ke arah depan. Tidak ada Hito dan Gerald. Lalu, ke mana perginya mereka? Shila langsung menoleh ke arah kiri dan kanan. Berusaha untuk mencari dua laki-laki yang hilang entah ke mana. Tidak mungkin mereka meninggalkannya seorang diri di taman yang luas ini, kan?
"Ternyata, kamu memang seorang model."
Suara itu membuat Shila membalikkan tubuhnya ke belakang. Menatap Gerald yang menyodorkan es krim ke hadapannya. Seketika kedua bola mata Shila berbinar dengan sangat terang. Sudah lama sekali ia tidak makan es krim.
"Buat aku, kan?" tanya Shila yang tanpa sadar langsung merebut es krim itu sebelum mendengar jawaban dari Gerald.
"Jangan nanya kalau langsung ngambil," sindir Gerald menatap Shila dengan malas. Sampai sini, Gerald masih menganggap bahwa perempuan itu aneh.
Gerald berjongkok di hadapan Hito. Membersihkan bekas es krim yang berada di sekitaran pipi anak kecil itu. "Kamu gemesin banget, sih. Nginap ke rumah Om mau?" tanya Gerald yang membuat Shila melototkan matanya.
"BILANG GAK MAU!"
Gerald menoleh ke belakang. Menatap Shila dengan alis yang terangkat satu. "Kamu Hito atau Shila?" tanyanya yang membuat Shila berdecak dengan kesal.
"Om Gelard yakin mau ngajak Ito buat nginap di rumah Om?" tanya Hito dengan mata yang mengerjap lucu. Sangat menggemaskan—membuat Gerald spontan langsung mencubit kedua pipinya dengan lembut. Tidak sakit sama sekali.
"Yakin. Nanti kamu mau apa aja Om kasih, asal mau nginap sama Om. Gimana?" tawar Gerald yang berhasil membuat Hito merasa goyah. Mendengar boleh minta apa saja membuat anak kecil berumur tiga tahun itu beralih menatap ke arah Shila.
"Onty Chila. Boleh, kan?" tanyanya dengan wajah yang penuh harap. Shila yang sedang asik memakan es krimnya pun menundukkan kepalanya. Detik berikutnya, Shila menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Gak boleh, Ito. Nanti kalau papa sama mama sedih karena kesepian gak ada kamu. Gimana?" tanya Shila yang sangat tahu kelemahan seorang Hito. Anak kecil itu tidak bisa melihat kedua orang tuanya sedih.
Dengan cepat Hito langsung menggelengkan kepalanya. Beralih untuk mendekat ke arah Shila dan memeluk kedua kakinya. "Ito gak mau. Ito mau sama papa sama mama aja. Ito gak mau nginap sama Om Gerald," ucap Hito dengan nada yang sedih.
Kali ini Gerald yang berdecak kesal. Shila berhasil membuat Hito berpaling darinya.
"Kalau Hito gak mau. Mungkin, Onty Chila yang mau nginap sama Om."
Mendengar itu Shila membulatkan kedua bola matanya. Menatap Gerald dengan tajam sekaligus terkejut. Bagaimana mungkin calon suaminya itu berkata seperti tadi di depan Hito. Di depan seorang anak kecil.
Menyebalkan sekali.
"Sembarangan banget kalau ngomong," ucap Shila melototkan matanya. "Ayo, Hito, kita pulang aja. Jangan dengerin kata Om Gerald."
Sedangkan Gerald hanya tersenyum tipis melihatnya. Entah mengapa, melihat Shila yang salah tingkah seperti tadi membuatnya merasa sedikit terhibur.
"Om Gerald gak mau pulang?" tanya Hito yang menyadarkan Gerald dari lamunannya.
"Ayo."
***
Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya."Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
Setelah beberapa hari yang lalu mendapati Shila yang terduduk di lantai balkon kamarnya, sekarang Gerald sedang berada di depan rumah Shila. Tangannya memegang satu buket bunga mawar merah. Sebelum melangkah untuk masuk ke dalam—Gerald menarik nafasnya terlebih dahulu. Semenjak hari itu, Shila berkata dengannya untuk tidak menemuinya dulu sampai tiga hari kemudian. Dan hari ini, tepat tiga hari.Tok tok tok.Gerald mengetuk pintu dengan sopan. Ia berulang kali menghembuskan nafasnya—tidak percaya jika sekarang dirinya sangat gugup.Ceklek.Terlihat bi Surti yang membukakan pintu untuknya. Gerald tersenyum tipis. "Shila ada, Bi?" tanyanya dan tanpa sengaja melirik ke arah dalam rumah yang terdapat Shila sedang duduk di sofa.
Hari ini adalah hari yang sangat cerah. Lebih cerah dari yang sebelum-sebelumnya. Terbukti dari Shila yang sejak tadi terus bersenandung dengan riang. Ia bahkan senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sampai Dikta yang baru saja keluar dari kamarnya pun mengerutkan dahinya bingung."Ada yang lagi bahagia, nih," sindir Dikta melirik ke arah Shila yang tengah menatapnya dengan senyuman yang tidak luntur sedikit pun. "Kenapa? Ada proyek baru lagi?" tanyanya yang sangat penasaran dengan kelakuan aneh Shila pagi ini.Shila menggelengkan kepalanya sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan secara bergantian. "Ada rahasia besar," balasnya, lalu detik berikutnya Shila terkekeh pelan."Udah gila, nih," gumam Dikta menatap Shila dengan ngeri. Semenjak kemaren, Shila terus
"Mama mau masak?" tanya Shila sambil berjalan masuk ke arah dapur. Dari tangga ia bisa melihat kalau Fira sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Ia punya ide untuk membantunya sekaligus belajar memasak.Fira menoleh ke belakang. Menatap menantunya yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengenakan pakaian tidur bercorak kura-kura. Menggemaskan sekali."Iya, sayang. Buat kita makan malam nanti," balas Fira tersenyum dengan lebar."Gimana kalau aku bantuin? Aku juga mau sekalian belajar masak sama Mama. Boleh, kan?" tanya Shila menatap Fira penuh harap. Semoga saja mertuanya itu mau bersenang hati untuk mengajarinya cara memasak yang benar.Dengan semangat Fira menganggukkan kepalanya. "Boleh banget, dong
Shila melangkahkan kakinya dengan semangat. Menatap para karyawan di kantor suaminya dengan senyum lebar miliknya. Banyak sekali yang menyapanya dari tadi. Etika mereka patut untuk dicontoh. Ini pertama kalinya Shila datang ke kantor sebagai istri dari Gerald. Kalau kemaren-kemaren, kan, masih calon. Shila tertawa pelan dalam hatinya, tak menyangka kalau patung berjalan itu sudah resmi menjadi suaminya.CEO.Shila membuka pintu ruangan itu dengan pelan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia melihat Gerald yang sedang fokus dengan layar komputernya. Tampan sekali. Harus Shila akui bahwa suaminya itu memiliki paras yang sangat menggoda iman. Astaga, Shila, apa yang sedang ia pikirkan?"Ketuk dulu kalau mau masuk, Shila," tegur Gerald menatap Shila dengan datar. Lalu beralih untuk ke
Tidak terasa lima hari berlalu begitu saja. Kehidupan baru Shila sebagai istri dari Gerald ternyata tidak terlalu buruk. Hanya saja Gina yang sangat sering menguji kesabarannya dan memancing emosinya, tapi sebisa mungkin untuk Shila menahannya. Ia memaklumi jika Gina begitu menyayangi Gerald dan menganggap bahwa gadis itu belum ikhlas jika Gerald memiliki perempuan lain di hidupnya selain Gina dan Fira.Mungkin, karena hubungan saudara mereka yang terlalu lengket membuat Gina sulit untuk merelakan saudara satu-satunya itu menikah dan mempunyai kehidupan baru. Ya, Shila berpikir seperti itu. Mengambil dari sisi positifnya saja.Namun, disisi lain, Shila juga menyadari jika Gina juga membenci dirinya. Ia merasa jika gadis itu punya alasan lain dari dirinya yang berstatus sebagai istri Gerald. Seperti ada kesalahan yang pernah ia buat sebelumnya, t
Ceklek.Shila menatap ke arah pintu utama. Terlihat seorang gadis yang menggunakan seragam putih abu-abu sedang berjalan memasuki rumah. Tatapan matanya pun tak pernah lepas dari Shila. Seolah menganggap Shila adalah mangsa yang harus ditelan hidup-hidup."Udah pulang, Gin?" tanya Shila basa-basi. Sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung saat bertemu dengan Gina. Mau bagaimana pun, seburuk apapun gadis itu padanya, tetap saja. Gina adalah adik dari Gerald, adik iparnya.Sedangkan Gina hanya memutar bola matanya dengan malas. Sungguh pemandangan yang sangat tidak menyenangkan saat melihat Shila yang sedang duduk di sofa sambil menonton. Cih, istri dari Gerald itu sudah mulai beraksi untuk menguasai rumah ini, ternyata."Lo bisa lihat sendiri, kan, gue uda
Suara alunan musik dari band kesukaan Shila terus mengalun dengan keras. Terlihat Shila yang berada di dalam dekapan Gerald pun langsung tersentak dan berusaha untuk melepaskan tangan suaminya. Meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Dering telpon itu terus berbunyi sejak tadi, tapi Shila baru sadar sekarang. Entah itu sudah yang ke berapa, tapi matanya langsung membola saat melihat jam di layar ponselnya.Pukul setengah dua siang? Seriously? Astaga, Shila benar-benar malu sekarang. Bisa-bisanya di hari pertama ia menjadi menantu di keluarga Dikara justru bangun kesiangan? Ini bukan kesiangan lagi namanya, tapi sudah sangat keterlaluan. Shila tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Adel—manajernya. Dengan cepat Shila bangun dari posisi tidurnya dan meletakkan tangan Gerald dengan hati-ha
Shila terbangun dari tidurnya karena mendapati sinar matahari yang masuk melalui cela jendela. Ia menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya.Selang beberapa menit kemudian, Shila tersadar. Ia merasa sesuatu yang kencang sedang memegang area perutnya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang. Menatap wajah Gerald yang sangat dekat dengan wajahnya. Jadi, Gerald memeluknya? Semalaman? Pantas saja ia merasa pegal.Shila tidak langsung membangunkan Gerald. Ia menatap wajah itu dengan lekat. Entah mengapa, hatinya seolah mengatakan bahwa dirinya dan Gerald pernah bertemu sebelumnya. Jauh dari sebelum perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya, tapi di sisi lain, pikirannya bertolak belakang.Dengan hati-hati, Shila mengangkat tangan kanannya.
Shila menatap sekeliling kamar Gerald. Sangat rapi. Semua barang-barang yang ada di sini sangat tertata. Ia yakin kalau Gerald adalah tipe laki-laki yang menjaga kebersihan dan kerapian. Mengingat kalau suaminya itu juga seorang CEO. Jadi, tidak mungkin kalau hidupnya tidak teratur."Kamu mau mandi?"Pertanyaan itu berhasil mengejutkan Shila yang sejak tadi hanya diam memperhatikan isi kamar barunya—kamar Gerald.Dengan kaku, Shila menganggukkan kepalanya. "Iya, gerah banget berjam-jam pakai baju ini," balas Shila sambil menatap gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.Setelah acara pernikahan mereka selesai, Shila tidak menyangka jika Gerald langsung mengajaknya untuk pindah rumah. Ya, walaupun bukan ke rumah mereka sendiri. Melainkan di rumah orang tua Gerald. Katanya, Fira memaksa mereka u
Shila menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu sangat cantik dan mampu membuat siapa pun terpikat saat melihatnya. Hari ini, adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang akan merubah kehidupan Shila menjadi seratus delapan puluh derajat. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Gerald.Tiga hari sudah berlalu semenjak Shila dan Figo yang datang ke makam Yeslin. Hari itu berjalan begitu cepat hingga tak terasa bahwa hari ini sudah datang.Ceklek.Shila menoleh ke belakang. Menatap Figo yang baru saja membuka pintunya dan berjalan masuk untuk mendekat ke arahnya. Ia melihat tampilan Figo yang sangat gagah dengan balutan jas di tubuhnya."Shila," panggil Figo dengan suara yang tercekat. "Putri
Shila bersenandung pelan. Mengikuti irama dari lagu yang ia dengarkan. Saat keluar dari kamar dan melewati kamar kedua orang tuanya, Shila mengerutkan dahinya saat mendengar samar-samar suara isak tangis dari seseorang. Dengan cepat Shila melepaskan handsfree yang ada di telinganya dan mendekat ke arah pintu kamar kedua orang tuanya yang terbuka sedikit.Mata bulat Shila bisa melihat Figo yang sedang duduk di tepi kasur sambil memegang sebuah bingkai foto. Sontak hal itu membuat hatinya teriris. Apalagi melihat Figo yang berusaha menahan tangis, tapi air mata itu tetap keluar. Melihat Figo yang berusaha untuk menutupi suaranya, tapi suara itu semakin terdengar jelas.Tak ada pilihan, Shila memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Tentu saja itu mengejutkan Figo karena kehadiran putrinya yang tiba-tiba saja datang.