Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya.
"Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.
Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
"Kalau kamu mau, ambil aja. Ikhlas, kok," balas Shila yang ternyata masuk ke dalam indra pendengaran Gerald. Sesuai jadwalnya, malam ini Shila ada jadwal pemotretan—sebagai ganti hari yang ia batalkan waktu itu.
"Saya bukan barang," sahut Gerald dengan nada datarnya. Menyindir Shila yang sedang asik berbicara di kursi belakang. Dalam hati ia terus berdecak kesal karena Shila benar-benar memperlakukannya selayaknya seorang supir.
Adel terkikik pelan melihat pasangan baru di depan matanya. "Gue gak nyangka kalau om Figo mau jodohin lo. Terus, kalau udah nikah, lo masih mau jadi model?" tanya Adel dengan penasaran.
Shila terdiam untuk beberapa saat. Bingung ingin menjawab apa. Bukan, bukan bingung, tapi masalahnya sekarang, ada Gerald yang mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya, Shila sangat mencintai dunia kariernya sekarang. Menjadi seorang model adalah impiannya. Bahkan, ia juga berniat untuk menaiki sedikit kariernya untuk menjelajahi dunia akting.
"Kamu tahu sendiri aku cinta banget sama pekerjaan aku. Dan kamu gak lupa, kan, kalau ada salah satu produser film yang ngajak aku buat ambil peran di sana? Gak mungkin aku tolak, Del. Itu impian aku dari dulu banget."
Gerald diam. Ia tetap berusaha untuk fokus menyetir. Walaupun dalam hatinya ia tidak menyetujui keputusan calon istrinya itu. Ia lebih dari kata mampu untuk membiayai hidup Shila.
"Ah, iya. Gue hampir lupa. Projek film yang di Bali itu, kan? Yang lo jadi peran utama," balas Adel dengan suara yang sangat bersemangat. "Gila, sih. Sekali ditawarin langsung jadi peran utama lo, Shil."
"Mangkanya, aku gak mau tolak dan mundur dari karier aku sekarang."
Gerald melirik ke arah kaca mobil. Ia bisa melihat bagaimana raut kebahagiaan Shila. Gadis itu sangat bersemangat ketika menceritakan kariernya. Jika begini, apakah Gerald bisa meruntuhkan mimpi yang selama ini Shila inginkan?
"Ini belok kiri atau kanan?" tanya Gerald yang langsung to the point.
Seketika Adel dan Shila langsung menghentikan percakapan mereka. Beralih menatap ke arah jalanan.
"Belok kanan, Ge," balas Adel dengan cepat.
Gerald menganggukkan kepalanya, lalu membelokkan setir mobil ke arah kanan. Tak lama dari itu, mereka sudah sampai di area lokasi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Shila segera turun dari mobil sambil membawa tasnya. Tidak peduli dengan Gerald yang memanggil namanya. Ia seakan menulikan pendengarannya. Jika diingat, Shila sangat kesal dengan Gerald. Bisa-bisanya Figo memilih Gerald sebagai pendamping hidupnya nanti. Tidak terbayang bagaimana suramnya kehidupannya setelah pernikahan itu jika benar-benar terjadi.
"Lo gak dengar? Gerald manggil lo dari tadi," ucap Adel sambil membawa beberapa pakaian Shila. Menatap sosok yang ia sudah anggap sebagai sahabatnya itu dengan penuh kebingungan. "Kalian lagi ribut, ya?" tanyanya penasaran.
Shila tidak menjawab. Ia sibuk bermain dengan ponsel miliknya. Melihat itu tentu saja membuat Adel berdecak kesal. Ternyata, sulit juga berada di antara dua pasangan.
"Eh, Shila. Kirain gak datang lagi," sindir seorang laki-laki yang sedang bersender di dinding sampingnya.
Shila mendongak—menatap salah satu rekannya, Aldo. "Maaf, kemaren aku lagi sibuk banget," dustanya sambil tersenyum canggung.
"Gue lihat tadi ada yang antar lo. Biasanya, cuma berdua sama Adel. Siapa, Shil?" tanya Aldo yang kali ini sudah berdiri di hadapan Shila.
"Itu calon suami Shila. Udah, ya, jangan ganggu Shila terus. Hubungan kalian hanya sebatas rekan kerja doang, gak lebih dari itu," sahut Adel sambil menarik pergelangan tangan Shila untuk menjauhi laki-laki gila itu.
Adel menatap Shila dengan mata yang melotot. "Lo bukannya menghindar malah biasa aja. Gak takut kalau Aldo rusak hubungan lo sama Gerald?" tanyanya dengan penuh selidik.
Shila terkekeh pelan. "Jangan terlalu berlebihan, Del. Lagian, Aldo juga udah punya pacar. Aku yakin dia udah move on."
Adel memutar bola matanya dengan malas. "Tapi gue masih gak yakin sama dia, Shil. Bisa aja itu jadi cara dia biar bisa deketin lo lagi. Siapa yang tahu?"
Shila menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan perkataan Adel yang terus berpikiran buruk tentang Aldo. Sebenarnya, Aldo itu sangat baik dengannya. Tapi satu fakta membuat Adel terus berusaha untuk menjauhi mereka. Aldo menyukainya, semenjak pertama kali mereka mempunyai kontrak kerja sama waktu itu. Entah sekarang masih atau tidak, Shila tidak terlalu memikirkannya.
"Udah, deh. Aku mau ganti baju dulu, ya," pamit Shila yang langsung masuk ke arah ruang ganti pakaian khusus perempuan.
***
"Satu, dua, tiga."
Cekrek.
Satu foto baru saja diambil. Gerald menatap Shila dengan tatapan tajamnya. Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu sedang berfoto bersama seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengan Shila. Entah mengapa, Gerald merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ia merasa jika foto itu terlalu berlebihan. Lihat saja, jarak posisi antara Shila dengan laki-laki itu terlalu dekat, tidak sepantasnya mereka seperti itu.
"Oke, foto terakhir."
"Satu, dua, tiga."
Spontan Gerald membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. Melihat wajah Shila dan laki-laki itu yang sangat dekat. Bahkan, hidung keduanya bersatu. Apakah itu masih batas wajar? Baginya, tidak sama sekali.
"Kenapa, Ge?" tanya Adel yang menyadari perubahan raut wajah Gerald—calon suami Shila.
Gerald tidak menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya singkat.
"Lo cemburu, ya? Tenang aja, sih. Mereka gak ada hubungan apa-apa, kok. Sebatas rekan kerja aja," jelas Adel sambil menatap Shila dan Aldo yang sedang berfoto.
"Kalau boleh tahu, kontrak Shila berapa lama lagi?" tanya Gerald tanpa sadar—keluar begitu saja dari mulutnya.
Adel menoleh ke samping. Berusaha untuk mengingat kontrak kerja Shila. "Untuk pemotretan ini, tiga bulan lagi, tapi dia ambil job film di Bali. Kalau gak ada perubahan, itu sekitar empat bulan lagi."
"Kalau dibatalkan?"
Adel tersentak. Menatap Gerald tak percaya. "Kalau dibatalkan ... Shila kena penalti dan agensi kami akan mengalami kerugian besar."
"Oke, cukup untuk malam ini."
Keduanya pun mengalihkan perhatian mereka ke arah Shila yang sedang berjalan ke arah Adel.
"Ngapain ikut turun?" tanya Shila yang terkesan sangat dingin—tanpa menoleh ke arah Gerald sedikit pun.
Gerald memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Memangnya, kenapa kalau saya turun dan ke sini? Mau bebas bermesraan sama laki-laki lain?"
Spontan Shila menoleh ke arah Gerald. Menatap laki-laki itu dengan mata yang seolah ingin keluar dari tempatnya. "Maksud kamu apa?!" tanyanya yang tanpa sadar mengundang perhatian banyak orang.
Mereka yang sedang sibuk membereskan peralatan pun mengalihkan tatapannya ke arah Shila dan seorang laki-laki yang tidak mereka kenal.
Adel meringis pelan. Shila melakukan kesalahan sekarang. "Ayo, Shil. Kita ganti baju, terus pulang."
Dengan cepat Adel menarik pergelangan tangan Shila tanpa mau mendengar jawaban dari sahabatnya terlebih dahulu. Yang ia harus lakukan sekarang adalah menghindari tatapan penuh tanya dari mereka semua.
Tersisa Gerald. Laki-laki itu menatap punggung Shila yang perlahan menghilang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundaknya dengan pelan. Gerald kembali menghadap ke depan. Menatap seorang laki-laki yang menjadi pasangan Shila berfoto tadi.
"Lo siapanya Shila?" tanya Aldo tanpa basa-basi. Menatap Gerald dari atas sampai bawah, biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari laki-laki ini. Ya, walaupun harus ia akui jika yang ada di hadapannya ini cukup tampan, cukup. Tidak lebih dari dirinya.
Gerald menaikkan sebelah alisnya. Tipe laki-laki seperti ini sudah banyak ia temukan. Menilai sesuatu melalui fisik dan luarnya saja. "Masa depan Shila. Kenapa?" tanyanya dengan santai.
Aldo tertawa pelan mendengarnya. "Masa depan? Maksud lo apa?"
"Calon suami. Masih kurang jelas?"
***
"Saya bilang saja kalau saya ini calon suami kamu. Tidak salah, kan?" tanya Gerald sambil melirik ke arah samping. Menatap reaksi Shila seperti apa setelah mendengar ceritanya.
Beberapa menit yang lalu, mereka baru saja mengantarkan Adel ke rumahnya. Dan, jadilah Gerald yang memaksa Shila untuk duduk di depan atau mereka tidak akan pulang sampai besok. Akhirnya, Shila hanya bisa mengalah dan pasrah. Ia tidak punya banyak tenaga untuk bertengkar dengan Gerald. Ia sungguh kelelahan malam ini. Ingin cepat-cepat pulang dan memeluk gulingnya.
Shila melototkan kedua bola matanya. Menatap Gerald dengan tatapan tak percaya. "Kok, kamu bilang gitu, sih?! Kalau infonya kesebar terus pihak agensi aku tahu gimana, Ge?" tanya Shila tak terima dengan Gerald yang dengan mudahnya membongkar itu semua.
Gerald mengangkat bahunya dengan acuh. "Terus, kenapa? Saya tidak salah sama sekali. Saya hanya jujur, Shila. Sejak kapan jujur itu jadi suatu kesalahan?" tanya balik Gerald dengan santai—tanpa merasa jika dirinya sudah melakukan kesalahan besar, seperti yang ada di pikiran Shila.
"Ini bukan masalah jujur atau bukan, Ge. Tapi aku udah berniat buat merahasiakan pernikahan kita dari siapa pun. Aku gak mau karier aku hancur gitu aja."
Tanpa sadar Gerald mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat. Menatap lurus ke arah jalanan. Jujur saja, ia tidak terima dengan perkataan Shila yang ingin merahasiakan pernikahan mereka.
"Kamu malu menikah dengan saya?" tanya Gerald yang sudah melenceng dari topik pembicaraan mereka.
Shila menoleh ke samping. Kembali menatap Gerald dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kok, nanya itu, sih. Aku gak bilang malu, ya. Aku cuma gak mau aja pihak agensiku mengetahui semuanya."
"Terus, kenapa kalau mereka tahu? Pernikahan kita itu bukan aib, Shila. Kita menikah secara sah di mata agama dan hukum!"
Shila terdiam mematung di tempatnya. Tidak percaya dengan perkataan yang baru saja dilontarkan oleh Gerald.
"Kenapa kamu terima perjodohan ini?" Akhirnya, Shila bisa bertanya tentang itu. Sejak kemaren ia sangat penasaran. Kenapa Gerald setuju-setuju saja dengan perjodohan mereka? Di sini sepertinya hanya dirinya yang keberatan. Sedangkan Gerald? Laki-laki itu tampak santai dan seolah menerima semuanya dengan lapang dada.
"Karena itu kamu."
Shila mengerutkan dahinya dengan bingung. Tidak mengerti dengan maksud jawaban yang diberikan oleh Gerald. "Karena aku? Maksudnya apa, Ge?"
"Nanti kamu tahu sendiri."
***
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
Setelah beberapa hari yang lalu mendapati Shila yang terduduk di lantai balkon kamarnya, sekarang Gerald sedang berada di depan rumah Shila. Tangannya memegang satu buket bunga mawar merah. Sebelum melangkah untuk masuk ke dalam—Gerald menarik nafasnya terlebih dahulu. Semenjak hari itu, Shila berkata dengannya untuk tidak menemuinya dulu sampai tiga hari kemudian. Dan hari ini, tepat tiga hari.Tok tok tok.Gerald mengetuk pintu dengan sopan. Ia berulang kali menghembuskan nafasnya—tidak percaya jika sekarang dirinya sangat gugup.Ceklek.Terlihat bi Surti yang membukakan pintu untuknya. Gerald tersenyum tipis. "Shila ada, Bi?" tanyanya dan tanpa sengaja melirik ke arah dalam rumah yang terdapat Shila sedang duduk di sofa.
Hari ini adalah hari yang sangat cerah. Lebih cerah dari yang sebelum-sebelumnya. Terbukti dari Shila yang sejak tadi terus bersenandung dengan riang. Ia bahkan senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sampai Dikta yang baru saja keluar dari kamarnya pun mengerutkan dahinya bingung."Ada yang lagi bahagia, nih," sindir Dikta melirik ke arah Shila yang tengah menatapnya dengan senyuman yang tidak luntur sedikit pun. "Kenapa? Ada proyek baru lagi?" tanyanya yang sangat penasaran dengan kelakuan aneh Shila pagi ini.Shila menggelengkan kepalanya sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan secara bergantian. "Ada rahasia besar," balasnya, lalu detik berikutnya Shila terkekeh pelan."Udah gila, nih," gumam Dikta menatap Shila dengan ngeri. Semenjak kemaren, Shila terus
Pernikahan semakin dekat. Tidak terasa sekarang tersisa dua minggu lagi untuk menuju hari bahagia Shila dan Gerald. Baik keduanya, hubungan mereka jauh lebih dekat, tidak seperti awal kenal—merasa canggung untuk berinteraksi. Walaupun yang dominan adalah Shila."Kita mau ke mana, Ge?" tanya Shila yang baru saja masuk ke dalam mobil milik Gerald. Ia menoleh ke samping—menatap penampilan Gerald yang menggunakan pakaian formal. Sepertinya, calon suaminya ini baru saja pulang dari kantor dan langsung menuju ke rumahnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.Gerald segera menyalakan mesin mobilnya dan memutar setir mobil untuk keluar dari area pekarangan rumah Shila. "Kita disuruh ke butik. Lebih tepatnya, saya menemani kamu untuk mencoba gaun pengantin," balas Gerald tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun dari arah jalanan. Ia tidak i
"Mama mau masak?" tanya Shila sambil berjalan masuk ke arah dapur. Dari tangga ia bisa melihat kalau Fira sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Ia punya ide untuk membantunya sekaligus belajar memasak.Fira menoleh ke belakang. Menatap menantunya yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengenakan pakaian tidur bercorak kura-kura. Menggemaskan sekali."Iya, sayang. Buat kita makan malam nanti," balas Fira tersenyum dengan lebar."Gimana kalau aku bantuin? Aku juga mau sekalian belajar masak sama Mama. Boleh, kan?" tanya Shila menatap Fira penuh harap. Semoga saja mertuanya itu mau bersenang hati untuk mengajarinya cara memasak yang benar.Dengan semangat Fira menganggukkan kepalanya. "Boleh banget, dong
Shila melangkahkan kakinya dengan semangat. Menatap para karyawan di kantor suaminya dengan senyum lebar miliknya. Banyak sekali yang menyapanya dari tadi. Etika mereka patut untuk dicontoh. Ini pertama kalinya Shila datang ke kantor sebagai istri dari Gerald. Kalau kemaren-kemaren, kan, masih calon. Shila tertawa pelan dalam hatinya, tak menyangka kalau patung berjalan itu sudah resmi menjadi suaminya.CEO.Shila membuka pintu ruangan itu dengan pelan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia melihat Gerald yang sedang fokus dengan layar komputernya. Tampan sekali. Harus Shila akui bahwa suaminya itu memiliki paras yang sangat menggoda iman. Astaga, Shila, apa yang sedang ia pikirkan?"Ketuk dulu kalau mau masuk, Shila," tegur Gerald menatap Shila dengan datar. Lalu beralih untuk ke
Tidak terasa lima hari berlalu begitu saja. Kehidupan baru Shila sebagai istri dari Gerald ternyata tidak terlalu buruk. Hanya saja Gina yang sangat sering menguji kesabarannya dan memancing emosinya, tapi sebisa mungkin untuk Shila menahannya. Ia memaklumi jika Gina begitu menyayangi Gerald dan menganggap bahwa gadis itu belum ikhlas jika Gerald memiliki perempuan lain di hidupnya selain Gina dan Fira.Mungkin, karena hubungan saudara mereka yang terlalu lengket membuat Gina sulit untuk merelakan saudara satu-satunya itu menikah dan mempunyai kehidupan baru. Ya, Shila berpikir seperti itu. Mengambil dari sisi positifnya saja.Namun, disisi lain, Shila juga menyadari jika Gina juga membenci dirinya. Ia merasa jika gadis itu punya alasan lain dari dirinya yang berstatus sebagai istri Gerald. Seperti ada kesalahan yang pernah ia buat sebelumnya, t
Ceklek.Shila menatap ke arah pintu utama. Terlihat seorang gadis yang menggunakan seragam putih abu-abu sedang berjalan memasuki rumah. Tatapan matanya pun tak pernah lepas dari Shila. Seolah menganggap Shila adalah mangsa yang harus ditelan hidup-hidup."Udah pulang, Gin?" tanya Shila basa-basi. Sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung saat bertemu dengan Gina. Mau bagaimana pun, seburuk apapun gadis itu padanya, tetap saja. Gina adalah adik dari Gerald, adik iparnya.Sedangkan Gina hanya memutar bola matanya dengan malas. Sungguh pemandangan yang sangat tidak menyenangkan saat melihat Shila yang sedang duduk di sofa sambil menonton. Cih, istri dari Gerald itu sudah mulai beraksi untuk menguasai rumah ini, ternyata."Lo bisa lihat sendiri, kan, gue uda
Suara alunan musik dari band kesukaan Shila terus mengalun dengan keras. Terlihat Shila yang berada di dalam dekapan Gerald pun langsung tersentak dan berusaha untuk melepaskan tangan suaminya. Meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Dering telpon itu terus berbunyi sejak tadi, tapi Shila baru sadar sekarang. Entah itu sudah yang ke berapa, tapi matanya langsung membola saat melihat jam di layar ponselnya.Pukul setengah dua siang? Seriously? Astaga, Shila benar-benar malu sekarang. Bisa-bisanya di hari pertama ia menjadi menantu di keluarga Dikara justru bangun kesiangan? Ini bukan kesiangan lagi namanya, tapi sudah sangat keterlaluan. Shila tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Adel—manajernya. Dengan cepat Shila bangun dari posisi tidurnya dan meletakkan tangan Gerald dengan hati-ha
Shila terbangun dari tidurnya karena mendapati sinar matahari yang masuk melalui cela jendela. Ia menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya.Selang beberapa menit kemudian, Shila tersadar. Ia merasa sesuatu yang kencang sedang memegang area perutnya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang. Menatap wajah Gerald yang sangat dekat dengan wajahnya. Jadi, Gerald memeluknya? Semalaman? Pantas saja ia merasa pegal.Shila tidak langsung membangunkan Gerald. Ia menatap wajah itu dengan lekat. Entah mengapa, hatinya seolah mengatakan bahwa dirinya dan Gerald pernah bertemu sebelumnya. Jauh dari sebelum perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya, tapi di sisi lain, pikirannya bertolak belakang.Dengan hati-hati, Shila mengangkat tangan kanannya.
Shila menatap sekeliling kamar Gerald. Sangat rapi. Semua barang-barang yang ada di sini sangat tertata. Ia yakin kalau Gerald adalah tipe laki-laki yang menjaga kebersihan dan kerapian. Mengingat kalau suaminya itu juga seorang CEO. Jadi, tidak mungkin kalau hidupnya tidak teratur."Kamu mau mandi?"Pertanyaan itu berhasil mengejutkan Shila yang sejak tadi hanya diam memperhatikan isi kamar barunya—kamar Gerald.Dengan kaku, Shila menganggukkan kepalanya. "Iya, gerah banget berjam-jam pakai baju ini," balas Shila sambil menatap gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.Setelah acara pernikahan mereka selesai, Shila tidak menyangka jika Gerald langsung mengajaknya untuk pindah rumah. Ya, walaupun bukan ke rumah mereka sendiri. Melainkan di rumah orang tua Gerald. Katanya, Fira memaksa mereka u
Shila menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu sangat cantik dan mampu membuat siapa pun terpikat saat melihatnya. Hari ini, adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang akan merubah kehidupan Shila menjadi seratus delapan puluh derajat. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Gerald.Tiga hari sudah berlalu semenjak Shila dan Figo yang datang ke makam Yeslin. Hari itu berjalan begitu cepat hingga tak terasa bahwa hari ini sudah datang.Ceklek.Shila menoleh ke belakang. Menatap Figo yang baru saja membuka pintunya dan berjalan masuk untuk mendekat ke arahnya. Ia melihat tampilan Figo yang sangat gagah dengan balutan jas di tubuhnya."Shila," panggil Figo dengan suara yang tercekat. "Putri
Shila bersenandung pelan. Mengikuti irama dari lagu yang ia dengarkan. Saat keluar dari kamar dan melewati kamar kedua orang tuanya, Shila mengerutkan dahinya saat mendengar samar-samar suara isak tangis dari seseorang. Dengan cepat Shila melepaskan handsfree yang ada di telinganya dan mendekat ke arah pintu kamar kedua orang tuanya yang terbuka sedikit.Mata bulat Shila bisa melihat Figo yang sedang duduk di tepi kasur sambil memegang sebuah bingkai foto. Sontak hal itu membuat hatinya teriris. Apalagi melihat Figo yang berusaha menahan tangis, tapi air mata itu tetap keluar. Melihat Figo yang berusaha untuk menutupi suaranya, tapi suara itu semakin terdengar jelas.Tak ada pilihan, Shila memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Tentu saja itu mengejutkan Figo karena kehadiran putrinya yang tiba-tiba saja datang.