Terhitung hari ini sudah hari ke empat setelah acara makan malam mereka waktu itu. Shila menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah menuruti perkataan kakak iparnya—Rea, Shila mendapat sebuah jawaban.
Dengan cepat ia menyisir rambut panjangnya, lalu merapikannya. Setelah cukup—Shila menarik nafasnya dengan panjang. Ini adalah hari yang berat baginya. Sebuah keputusan yang akan merubah hidupnya nanti. Jika kalian berpikir kalau Shila lebay, maka kalian salah. Itu karena kalian belum merasakannya atau tidak akan pernah merasakannya. Menikah dengan pilihan keluarga, menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal, apalagi, cinta. Menikah satu kali dalam seumur hidup, itu adalah prinsip Shila.
Tak perlu berlama-lama lagi, Shila segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Berniat untuk menemui Figo—selama empat hari mereka tidak saling berbicara.
'Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau memiliki istri yang suka membantah perkataan orang tuanya.'
Dengan cepat Shila menggelengkan kepalanya. Kenapa ia jadi memikirkan laki-laki dingin itu?
"Shila, mau ke mana?" tanya Rea yang baru saja keluar dari kamarnya dengan Hito yang berada di gendongannya.
"Nggak ke mana-mana, Kak. Aku mau ketemu papa. Papa di mana, ya?"
"Terakhir tadi Kakak lihat papa ada di taman belakang. Coba kamu cek lagi, deh," balas Rea yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Shila. "Cepat baikan, ya. Kasihan papa sering ngelamun kalau lagi sendirian akhir-akhir ini," tambah Rea yang langsung berlalu pergi dari hadapan Shila tanpa mendengar jawaban dari adiknya karena Hito yang merengek ingin meminta minum.
Shila terdiam di tempatnya. Jujur, ia semakin merasa bersalah sekarang. Benar apa yang dikatakan oleh Gerald. Ia terlalu kekanak-kanakan. Padahal, Figo hanya ingin yang terbaik dan bisa membuatnya bahagia.
Segera Shila melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai satu dan menuju taman belakang. Ia akan berbicara empat mata dengan pria itu. Meminta maaf atas semua kesalahannya.
"Pa," panggil Shila dengan suara yang terdengar lirih. Benar apa yang dikatakan oleh Rea tadi. Figo sedang melamun sambil menatap lurus ke arah depan. Ah, lagi-lagi, rasa bersalah itu muncul.
Figo menoleh ke belakang. Menatap Shila dengan wajah yang dihiasi senyuman. "Shila, sini duduk samping Papa," ajaknya sambil menepuk tempat kosong yang ada di bagian kirinya.
Menurut, Shila melangkahkan kakinya untuk duduk di sana. Satu menit berlalu, tidak ada yang mengeluarkan suara lagi. Shila bingung harus mulai dari mana. Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu.
"Maafkan Papa."
Shila menoleh ke samping. Menatap Figo yang sedang mengarahkan pandangannya ke depan. Seolah sedang menerawang jauh. Shila memperhatikan wajah Figo dengan lekat. Semakin lama—wajah itu semakin keriput. Tidak terasa Figo sudah memasuki umur tua. Walaupun wajahnya sedikit awet muda, tapi umurnya tetap saja sudah memasuki usia rentan.
"Papa terlalu egois. Maaf, sayang."
Dengan tegas Shila menggelengkan kepalanya. Ia tidak tega mendengar suara menyakitkan yang keluar dari mulut Figo. Pria itu tidak salah, tidak juga egois, hanya saja Shila yang sulit mengerti semuanya. Shila yang masih belum bisa untuk memahami semuanya dengan baik. Shila yang belum bisa berpikiran seperti orang dewasa pada umumnya.
"Papa tidak akan memaksa lagi. Semua keputusan ada sama kamu. Kamu boleh membatalkan perjodohan ini, Shila, tapi jangan abaikan Papa lagi, Nak," tutur Figo yang kali ini terdengar seperti orang yang sudah putus asa. "Cukup Papa kehilangan mama. Jangan kamu. Papa gak akan sanggup lagi untuk ada di dunia ini."
Secepat kilat Shila memeluk tubuh Figo dengan sangat erat. Menangis dalam dekapan hangat dari papanya. Ia tidak sanggup untuk mendengar lebih jauh lagi. Jika seperti ini—Shila tampak seperti anak durhaka.
"Aku minta maaf, Pa. Aku gak bermaksud buat Papa sedih," gumam Shila dengan suara pelan, tapi masih bisa didengar oleh Figo. "Tolong jangan gini, Pa."
Figo mengangkat tangan kanannya—mengelus rambut milik anaknya dengan penuh kasih sayang. Aroma parfum dari Shila menyeruak—parfum yang sama persis seperti Yeslin. Ia masih mengingat itu dengan baik. Semua tentang Yeslin—tidak pernah Figo lupakan. Posisi di hatinya pun masih sama. Pemilik tahta tertinggi.
"Jangan marah lagi, ya, sama Papa," pinta Figo dengan suara yang tercekat. "Papa gak sanggup kalau kamu jauhin Papa terus," sambungnya yang semakin membuat Shila terisak dalam pelukannya. Mereka sangat sering bertengkar, tapi untuk yang sekarang adalah pertengkaran yang paling hebat dibandingkan yang sebelumnya. Mereka tidak pernah saling diam dan tidak berbicara sampai berhari-hari, ini kali pertamanya. Biasanya, mereka hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk meredakan emosi masing-masing. Lalu, mereka kembali seperti tidak terjadi apapun.
"Iya, aku gak akan lagi kayak gitu. Janji, Pa."
Lama mereka di posisi itu. Sampai akhirnya Shila melepaskan pelukan mereka. Menatap wajah Figo dengan kepala yang mendongak ke atas.
"Shila, setuju sama perjodohan ini," ucap Shila dengan keputusan yang sudah bulat. Ia tidak ingin membuat siapa pun kecewa di sini. Shila tidak mau bersikap egois. Sudah saatnya ia membahagiakan keluarganya. Terutama, Figo. Pria yang sangat ia sayangi. Cinta pertamanya.
Figo menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan yang beralih menghapus jejak air mata yang berada di pipi Shila. "Papa gak akan maksa lagi. Kamu gak perlu menerima perjodohan ini kalau alasannya karena Papa," balas Figo yang masih merasa kalau Shila terpaksa melakukannya. Ia tidak ingin dicap sebagai sosok ayah yang egois karena memaksakan sesuatu yang bukan kehendak Shila.
"Aku gak terpaksa, Pa. Aku menerima perjodohan ini karena keputusan dari aku sendiri. Aku udah yakin untuk menikah."
Figo terkejut mendengar penuturan dari anaknya. Menatap Shila dengan tatapan tak percaya. "Apa yang membuat kamu berubah pikiran dan mau menerima perjodohan ini?" tanyanya penasaran. Karena Figo tahu, Shila itu tidak suka dibantah—sama seperti dirinya. Sikap Shila adalah sikap Figo yang nyata.
"Karena Allah. Aku udah menemukan jawabannya. Aku akan menerima perjodohan ini," ucap Shila, lagi, yang kali ini terdengar sangat yakin dari nada suaranya.
"Kamu benar-benar yakin?" tanya Figo sekali lagi. Masih tidak percaya jika putrinya mau menerima keputusannya kali ini. Keputusan yang akan merubah hidupnya dalam sekejab.
Shila menganggukkan kepalanya dengan semangat dan tersenyum. "Bahkan, aku udah sangat yakin, Pa."
"Terima kasih, Nak." Figo menarik tubuh mungil anaknya. Memeluk Shila dengan sangat erat—seolah takut kehilangan. Tapi sebentar lagi ia akan kehilangan putrinya. Shila akan segera menikah.
"Kamu tahu Papa sayang bahkan cinta banget sama mama. Mama dan bunda punya tempatnya masing-masing di hati Papa. Begitu juga dengan kamu, Shila. Kamu itu jantung bagi Papa. Terdengar lebay, ya? Tapi memang sesayang itu Papa sama kamu," papar Figo dengan jujur, tanpa adanya kebohongan sedikit pun. "Dulu, waktu kamu kecelakaan hebat pas SMA. Jujur, Papa takut banget kehilangan kamu, Nak. Dunia Papa langsung terhenti gitu aja. Sama seperti saat Papa mendengar kabar kalau mama udah gak ada lagi di dunia ini. Ketika mama meninggalkan kita dan pergi untuk selama-lamanya."
"Tapi Papa gak mau terlihat rapuh atau sedih. Masih ada kamu yang butuh Papa untuk selalu ada di sisi kamu dan membahagiakan kamu selayaknya seorang ayah. Dan jujur, waktu omongan kamu di cafe malam itu. Papa sadar, kalau selama ini Papa udah terlalu berlebihan dalam mengatur hidup kamu. Papa melakukan itu semua karena Papa cuma takut kehilangan kamu. Papa terlalu takut kalau kamu menderita dan pergi meninggalkan Papa. Meski tidak bisa dipungkiri kalau manusia bisa pergi kapan aja."
"Pa, udah," pinta Shila dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Dengan cepat Figo menggelengkan kepalanya. "Papa cuma mau cerita. Terserah kamu mau dengar atau tidak. Papa gak tahu lagi bisa cerita ini atau enggak sama kamu kalau bukan hari ini. Kan, sebentar lagi kamu akan menikah," balas Figo yang diiringi dengan suara kekehannya.
"Papa cuma mau kamu bahagia dan tidak salah dalam memilih pasangan. Meskipun Gerald itu anak yang dingin dan kaku dalam masalah perempuan, tapi Papa yakin, dia bisa menjadi imam yang baik buat kamu nanti. Perlahan, es akan mencair jika disatukan dengan kehangatan. Percaya itu, Nak."
Shila menganggukkan kepalanya mengerti. Sekarang ia bisa paham dengan semuanya. Terkadang, kita tidak bisa menilai sesuatu hanya dengan melihat satu sisi. Kita juga harus melihat dari sisi atau sudut pandang yang lain. Seperti perkataan calon suaminya di cafe waktu itu.
"Terima kasih untuk semuanya, Pa." Shila mendekap tubuh Figo lebih erat. Membenamkan kepalanya di sana. "Aku sayang Papa."
***
Sesuai perkataan Shila kemaren. Ia sudah menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh Figo. Maka, di sini lah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Siapa lagi jika bukan, Gerald. Laki-laki minim ekspresi yang membuat Shila bingung bagaimana caranya membuat calon suaminya itu tersenyum jika sudah menikah nanti."Kamu umur berapa?" tanya Shila yang memilih topik random. Jujur, ia bingung harus berbicara apa saja dengan Gerald. Karena yang bisa ia nilai dari laki-laki itu sekarang adalah, Gerald tidak suka basa-basi dan apalagi banyak berbicara. Gerald tipe yang langsung to the point. Apa mungkin setelah menikah nanti mereka akan jarang berinteraksi?"Dua puluh enam tahun," balas Gerald dengan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.Dalam hati Shila terus berdecak kesal karena Gerald yang tidak pernah menatapnya sedikit pun. Meskipun sekarang cafe ini banyak pengunjung—Shila merasa se
Tok tok tok."Aku masih mau tidur. Berisik banget, sih, dari tadi," gumam Shila sambil menutup wajahnya dengan bantal. Berharap jika orang yang mengetuk pintu kamarnya itu segera pergi.Setelah kejadian memalukan kemaren—Shila tidak berani lagi mengirimkan pesan kepada Gerald. Meskipun ada notifikasi pesan masuk dari laki-laki itu—Shila tidak berniat membalasnya sedikit pun. Bahkan, tidak ia baca. Biarkan saja, ia tidak peduli. Lagipula, itu adalah salah Gerald sendiri. Kenapa dengan sengaja memalukannya?Tok tok tok.Lagi, suara ketukan itu terus membuat Shila merasa kesal dan ingin berteriak marah. Tidak peduli jika itu Figo atau Karin. Siapa pun yang mengganggu waktu tidurnya—Shila akan
Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya."Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
"Mama mau masak?" tanya Shila sambil berjalan masuk ke arah dapur. Dari tangga ia bisa melihat kalau Fira sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Ia punya ide untuk membantunya sekaligus belajar memasak.Fira menoleh ke belakang. Menatap menantunya yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengenakan pakaian tidur bercorak kura-kura. Menggemaskan sekali."Iya, sayang. Buat kita makan malam nanti," balas Fira tersenyum dengan lebar."Gimana kalau aku bantuin? Aku juga mau sekalian belajar masak sama Mama. Boleh, kan?" tanya Shila menatap Fira penuh harap. Semoga saja mertuanya itu mau bersenang hati untuk mengajarinya cara memasak yang benar.Dengan semangat Fira menganggukkan kepalanya. "Boleh banget, dong
Shila melangkahkan kakinya dengan semangat. Menatap para karyawan di kantor suaminya dengan senyum lebar miliknya. Banyak sekali yang menyapanya dari tadi. Etika mereka patut untuk dicontoh. Ini pertama kalinya Shila datang ke kantor sebagai istri dari Gerald. Kalau kemaren-kemaren, kan, masih calon. Shila tertawa pelan dalam hatinya, tak menyangka kalau patung berjalan itu sudah resmi menjadi suaminya.CEO.Shila membuka pintu ruangan itu dengan pelan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia melihat Gerald yang sedang fokus dengan layar komputernya. Tampan sekali. Harus Shila akui bahwa suaminya itu memiliki paras yang sangat menggoda iman. Astaga, Shila, apa yang sedang ia pikirkan?"Ketuk dulu kalau mau masuk, Shila," tegur Gerald menatap Shila dengan datar. Lalu beralih untuk ke
Tidak terasa lima hari berlalu begitu saja. Kehidupan baru Shila sebagai istri dari Gerald ternyata tidak terlalu buruk. Hanya saja Gina yang sangat sering menguji kesabarannya dan memancing emosinya, tapi sebisa mungkin untuk Shila menahannya. Ia memaklumi jika Gina begitu menyayangi Gerald dan menganggap bahwa gadis itu belum ikhlas jika Gerald memiliki perempuan lain di hidupnya selain Gina dan Fira.Mungkin, karena hubungan saudara mereka yang terlalu lengket membuat Gina sulit untuk merelakan saudara satu-satunya itu menikah dan mempunyai kehidupan baru. Ya, Shila berpikir seperti itu. Mengambil dari sisi positifnya saja.Namun, disisi lain, Shila juga menyadari jika Gina juga membenci dirinya. Ia merasa jika gadis itu punya alasan lain dari dirinya yang berstatus sebagai istri Gerald. Seperti ada kesalahan yang pernah ia buat sebelumnya, t
Ceklek.Shila menatap ke arah pintu utama. Terlihat seorang gadis yang menggunakan seragam putih abu-abu sedang berjalan memasuki rumah. Tatapan matanya pun tak pernah lepas dari Shila. Seolah menganggap Shila adalah mangsa yang harus ditelan hidup-hidup."Udah pulang, Gin?" tanya Shila basa-basi. Sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung saat bertemu dengan Gina. Mau bagaimana pun, seburuk apapun gadis itu padanya, tetap saja. Gina adalah adik dari Gerald, adik iparnya.Sedangkan Gina hanya memutar bola matanya dengan malas. Sungguh pemandangan yang sangat tidak menyenangkan saat melihat Shila yang sedang duduk di sofa sambil menonton. Cih, istri dari Gerald itu sudah mulai beraksi untuk menguasai rumah ini, ternyata."Lo bisa lihat sendiri, kan, gue uda
Suara alunan musik dari band kesukaan Shila terus mengalun dengan keras. Terlihat Shila yang berada di dalam dekapan Gerald pun langsung tersentak dan berusaha untuk melepaskan tangan suaminya. Meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Dering telpon itu terus berbunyi sejak tadi, tapi Shila baru sadar sekarang. Entah itu sudah yang ke berapa, tapi matanya langsung membola saat melihat jam di layar ponselnya.Pukul setengah dua siang? Seriously? Astaga, Shila benar-benar malu sekarang. Bisa-bisanya di hari pertama ia menjadi menantu di keluarga Dikara justru bangun kesiangan? Ini bukan kesiangan lagi namanya, tapi sudah sangat keterlaluan. Shila tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Adel—manajernya. Dengan cepat Shila bangun dari posisi tidurnya dan meletakkan tangan Gerald dengan hati-ha
Shila terbangun dari tidurnya karena mendapati sinar matahari yang masuk melalui cela jendela. Ia menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya.Selang beberapa menit kemudian, Shila tersadar. Ia merasa sesuatu yang kencang sedang memegang area perutnya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang. Menatap wajah Gerald yang sangat dekat dengan wajahnya. Jadi, Gerald memeluknya? Semalaman? Pantas saja ia merasa pegal.Shila tidak langsung membangunkan Gerald. Ia menatap wajah itu dengan lekat. Entah mengapa, hatinya seolah mengatakan bahwa dirinya dan Gerald pernah bertemu sebelumnya. Jauh dari sebelum perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya, tapi di sisi lain, pikirannya bertolak belakang.Dengan hati-hati, Shila mengangkat tangan kanannya.
Shila menatap sekeliling kamar Gerald. Sangat rapi. Semua barang-barang yang ada di sini sangat tertata. Ia yakin kalau Gerald adalah tipe laki-laki yang menjaga kebersihan dan kerapian. Mengingat kalau suaminya itu juga seorang CEO. Jadi, tidak mungkin kalau hidupnya tidak teratur."Kamu mau mandi?"Pertanyaan itu berhasil mengejutkan Shila yang sejak tadi hanya diam memperhatikan isi kamar barunya—kamar Gerald.Dengan kaku, Shila menganggukkan kepalanya. "Iya, gerah banget berjam-jam pakai baju ini," balas Shila sambil menatap gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.Setelah acara pernikahan mereka selesai, Shila tidak menyangka jika Gerald langsung mengajaknya untuk pindah rumah. Ya, walaupun bukan ke rumah mereka sendiri. Melainkan di rumah orang tua Gerald. Katanya, Fira memaksa mereka u
Shila menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu sangat cantik dan mampu membuat siapa pun terpikat saat melihatnya. Hari ini, adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang akan merubah kehidupan Shila menjadi seratus delapan puluh derajat. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Gerald.Tiga hari sudah berlalu semenjak Shila dan Figo yang datang ke makam Yeslin. Hari itu berjalan begitu cepat hingga tak terasa bahwa hari ini sudah datang.Ceklek.Shila menoleh ke belakang. Menatap Figo yang baru saja membuka pintunya dan berjalan masuk untuk mendekat ke arahnya. Ia melihat tampilan Figo yang sangat gagah dengan balutan jas di tubuhnya."Shila," panggil Figo dengan suara yang tercekat. "Putri
Shila bersenandung pelan. Mengikuti irama dari lagu yang ia dengarkan. Saat keluar dari kamar dan melewati kamar kedua orang tuanya, Shila mengerutkan dahinya saat mendengar samar-samar suara isak tangis dari seseorang. Dengan cepat Shila melepaskan handsfree yang ada di telinganya dan mendekat ke arah pintu kamar kedua orang tuanya yang terbuka sedikit.Mata bulat Shila bisa melihat Figo yang sedang duduk di tepi kasur sambil memegang sebuah bingkai foto. Sontak hal itu membuat hatinya teriris. Apalagi melihat Figo yang berusaha menahan tangis, tapi air mata itu tetap keluar. Melihat Figo yang berusaha untuk menutupi suaranya, tapi suara itu semakin terdengar jelas.Tak ada pilihan, Shila memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Tentu saja itu mengejutkan Figo karena kehadiran putrinya yang tiba-tiba saja datang.