"Silakan duduk."
Shila tersenyum sopan. Berusaha untuk bersikap biasa saja di hadapan mereka semua. Meskipun, jauh di dalam dirinya, ia sangat gugup sekarang. Bertemu dengan calon keluarga barunya nanti. Ah, sebenarnya, Shila belum memutuskan. Jadi, ia hanya bisa menyebutnya 'calon'. Itu pun ia masih merasa sangat asing.
"Bagaimana kabarnya, Figo?" tanya seorang pria yang duduk di bagian sebelah kiri—berhadapan langsung dengan keluarga Shila.
Figo menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dengan lebar. Bisa Shila lihat dari kedua bola matanya bahwa papanya itu sangat senang untuk pertemuan makan malam ini. Apakah ia mampu untuk mengecewakan Figo dengan menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan oleh papanya itu? Seketika, Shila dilanda kebingungan yang sangat luar biasa.
Shila tidak setega itu untuk membuat Figo sedih atau kecewa. Meskipun Figo begitu menyebalkan, tapi Shila sangat menyayanginya. Cinta pertama dalam hidupnya.
"Kabar baik. Apalagi, sebentar lagi kita akan menjadi besan," balas Figo dengan nada yang terdengar seperti candaan. Namun, dari tatapannya Figo terlihat tulus.
Dalam hati Shila meringis mendengarnya. Mendengar kata-kata asing itu entah mengapa membuat perasaannya berubah menjadi sedikit tak nyaman. Mungkin, karena ini adalah hal yang baru baginya. Jadi, apakah dari sekarang ia harus mulai membiasakan semuanya? Calon besan? Astaga, Shila bahkan tidak pernah membayangkan jika ini akan terjadi dalam hidupnya.
"Ini Shila, kan?" tanya pria tadi sambil mengalihkan tatapannya ke arah Shila. "Cantik sekali. Mirip dengan Yeslin, ya, Go," sambungnya menatap Shila dengan tatapan penuh kagum. Wajah Shila dengan mendiang istri pertama Figo—Yeslin, sangatlah mirip. Sama-sama cantik.
Figo tersenyum. "Dia anaknya, gak mungkin mirip sama kamu kan, Hen?" tanya Figo dengan nada yang bergurau.
Sontak pertanyaan itu membuat mereka tertawa. Terkecuali Shila dan laki-laki yang sejak tadi hanya diam menatap ke arah lain. Jujur, Shila sangat penasaran dengan laki-laki itu. Ia sudah menebak jika itu adalah calon suaminya. Tidak salah lagi. Mana mungkin pria yang sejak tadi mengobrol adalah pilihan Figo, yang benar saja!
"Sudah-sudah. Lebih baik, kita menikmati dulu makanannya, tidak enak kalau sudah dingin," lerai seorang wanita yang berada di samping Hendri—Fira.
***
"Jadi, bagaimana dengan keputusan kalian?" tanya Hendri menatap Figo dan keluarganya satu per satu. Berharap jika keputusan yang ia dengar adalah keputusan yang membahagiakan.
"Sabar dulu. Shila katanya mau berkenalan dengan calon suaminya. Kamu belum memperkenalkan anakmu kalau lupa," balas Figo sambil memutar bola matanya dengan malas. Sahabatnya itu tidak pernah berubah sejak dulu. Suka lupa dan ceroboh.
Sontak Hendri langsung tertawa. Pantas saja ia merasa ada yang janggal sejak awal tadi. "Ini gara-gara kamu, Gerald. Ayo, ngomong, dong. Masa diam aja dari tadi. Itu Shila—calon istri kamu."
Dengan sengaja Hendri menyenggol lengan anaknya dengan sangat kuat hingga membuat sang empu mendongakkan kepalanya—menatap ke arah Shila. Menatap kedua bola mata itu dengan tatapan yang sangat tajam dan membunuh—membuat Shila merasa sangat risih dan takut dalam satu waktu. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menatapnya seperti itu.
"Jangan gitu natapnya, Gerald. Kamu gak sopan banget," tegur Fira—istri Hendri yang berada tepat di sebelah anaknya. Merasa tidak enak dengan Shila yang sudah pasti tidak nyaman dengan tatapan Gerald sekarang.
Gerald membuang nafasnya dengan kasar. "Geraldi Hatma Dikara, salam kenal," ucap Gerald dengan nada yang terdengar sangat kaku.
Lagi-lagi Shila meringis dalam hatinya. Apakah seperti ini pilihan Figo? Seorang laki-laki bermata tajam dan kaku dalam berbicara? Tidak bisa dibayangkan bagaimana hari-hari Shila nantinya. Pasti sangat membosankan. Ditambah dengan laki-laki yang bernama Gerald itu sangat minim ekspresi. Selamat, Shila. Penderitaanmu akan dimulai dari sekarang.
"Astaga, Gerald. Pantas saja sampai sekarang kamu tidak punya kekasih. Kamu aja seperti itu, kaku banget—mirip robot," sindir Hendri menatap putranya tak percaya. Sifat yang dimiliki Gerald sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang humble dan friendly. Kira-kira di mana anaknya menemukan sifat aneh itu?
"Heh, gak boleh gitu," tegur Fira, yang kali ini ia tunjukan kepada sang suami. Tidak teriak karena anak kesayangannya diejek oleh Hendri—suaminya sendiri.
"Tidak apa. Mungkin, dia grogi karena ini pertemuan pertama mereka," sahut Figo menatap Gerald dengan tatapan yang sulit diartikan. Tersenyum maklum karena pastinya mereka sangat canggung dengan pertemuan pertama ini.
Hendri berdeham. Merasa tidak enak hati jika seperti ini. "Bagaimana kalau nanti kalian sering-sering bertemu? Tenang saja. Soal pernikahan biar kami semua yang urus. Pernikahan kalian akan berlangsung bulan depan."
Uhuk.
Shila yang sedang minum pun langsung tersedak. Sepertinya, mulai sekarang, tersedak adalah hobi baru Shila. Bagaimana tidak, ia sangat terkejut dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Bulan depan? Itu sangat di luar perkiraannya. Kenapa semuanya terkesan seperti terburu-buru, sih? Shila tidak bisa lagi tahan dengan semuanya.
"Pelan-pelan, menantu. Jangan bilang si Figo belum kasih tahu, ya?" tanya Hendri menatap sahabatnya dengan kepala yang menggeleng sebanyak dua kali. Bisa-bisanya Figo melewati sesuatu yang penting.
Shila menoleh ke samping. Menatap Figo seolah meminta penjelasan atas semuanya. "Papa, kok, gak kasih tahu aku dulu, sih? Satu bulan itu cepat banget, Pa," protes Shila yang tanpa sadar keluar begitu saja dari mulutnya. Tidak peduli jika sekarang bukan hanya ada keluarganya, tapi ada keluarga lain yang juga menatap ke arahnya.
"Lebih cepat, kan, lebih baik, sayang. Niat baik itu tidak boleh ditunda-tunda," timpal Karin yang berusaha untuk menenangkan Shila. Jangan sampai anak gadisnya itu marah dan berakhir tidak mau berbicara dengan mereka.
"Bunda bilang itu terus dari kemaren. Bunda gak tahu gimana rasanya jadi aku yang harus dijodohin gitu aja. Papa itu egois!"
Figo tersentak di tempat duduknya. Menatap Shila dengan tatapan sendu. Untuk pertama kalinya Shila mengatakan dirinya egois. Selama ini putri kesayangannya itu selalu menuruti perkataannya. Selalu mengalah walaupun awanya mereka harus berdebat dulu, tapi sepertinya, tidak berlaku untuk sekarang.
Seketika suasana di antara mereka berubah menjadi hening. Tidak ada yang berani menimpali perkataan Shila sedikit pun. Terutama, keluarga Gerald. Mereka hanya bisa menonton dalam diam.
"Shila, dengerin penjelasan Papa dul—
"Gak ada yang harus dijelasin, Pa. Selama ini Papa selalu berlaku seenaknya atas hidup aku. Aku selalu nurut aja, kan? Tapi aku gak nyangka kalau Papa udah sejauh ini buat ngontrol kehidupan aku. Bahkan, siapa pasangan aku pun Papa yang memilih."
Akhirnya, semua unek-unek Shila keluar begitu saja. Ia tidak bisa lagi untuk lebih lama menahannya. Tidak peduli dengan keluarga lain yang melihat dan mendengar kejadian sekarang. Yang ada dipikiran Shila sekarang hanyalah mengeluarkan semua isi hatinya. Itu saja.
Figo memejamkan matanya untuk beberapa saat. Memang, apa yang dikatakan oleh Shila barusan tadi benar adanya. Selama ini—apapun yang berkaitan dengan hidup Shila—ia yang atur. Jika dipikir-pikir, Shila benar. Ia terlalu egois.
"Tapi, Shila ... ini yang terbaik untuk hidup kamu."
"Terbaik buat Papa belum tentu terbaik buat aku!"
"Kekanak-kanakan."
Semua perhatian langsung berubah menjadi ke arah Gerald. Mereka semua menatap laki-laki yang baru saja mengeluarkan suaranya.
Tampak Gerald menatap Shila dengan santai—tidak takut jika perempuan yang disebut sebagai calon istrinya itu akan merasa tersinggung atau marah sekalipun. Karena baginya, apa yang ia katakan tadi benar adanya.
"Jangan menilai dari satu sisi, sedangkan kamu belum mengetahui sisi lain yang menjadi kebenaran sesungguhnya."
Telak.
Shila terdiam seribu bahasa mendengarnya. Menatap Gerald dengan tatapan polosnya.
"Kamu gak tahu apa-apa," balas Shila yang tetap saja tidak terima jika dirinya disalahkan di sini.
"Bagaimana mungkin saya tidak tahu apa-apa jika saya sendiri juga terlibat di sini?"
Telak.
Kedua kalinya, Shila bingung harus menjawab apa lagi. Ia kehabisan kata-kata sekarang. Gerald benar-benar membuatnya terdiam bak patung.
"Jangan merasa seolah tersakiti. Padahal, kamu belum mengerti situasi yang sebenarnya."
Gerald berdiri dari duduknya. Meraih benda pipih miliknya, lalu memasukkan benda itu ke dalam saku celana. Pergerakan kecilnya tidak luput dari perhatian mereka semua. Gerald memang memiliki daya tarik yang sangat tinggi.
"Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau memiliki istri yang suka membantah perkataan orang tuanya."
Usai mengatakan itu, Gerald segera melangkahkan kakinya—meninggalkan area cafe yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka.
Setelah itu, suasana kembali menjadi canggung. Shila masih terdiam membisu di tempatnya akibat perkataan Gerald tadi.
Karin yang menyadari itu pun menggenggam tangan Shila dengan lembut. Menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Berusaha untuk menenangkan Shila yang tengah menahan emosi.
"Tidak apa-apa. Kamu bisa berpikir dulu setelah ini."
***
Shila melangkahkan kakinya dengan lesu—memasuki kamar kakak laki-lakinya. Di sana ada kakak iparnya yang sedang bermain dengan Hito. Seketika ia menjadi ingat dengan masalah yang menimpanya sekarang. Apakah kehidupannya akan berubah seperti kehidupan Dikta dan Rea? Membangun rumah tangga dan memiliki anak. Shila belum siap dengan semuanya."Eh, ada Shila. Duduk sini, Dek," ajak Rea—istri Dikta yang menggeser posisi duduknya. Terus memperhatikan Hito yang asik dengan mainannya.Shila tidak menyahut, tapi tetap menuruti perkataan Rea untuk duduk di sana. Kedua matanya pun bergerak untuk memperhatikan Hito yang sedang asik bermain. Apakah nanti ia siap untuk memiliki seorang anak? Merawat dan mendidiknya? Apakah ia sanggup? Untuk membayangkannya saja Shila tidak mampu."Kamu kenapa lesu gitu mukanya?" tanya Rea menatap Shila dengan alis yang tertekuk. "Kamu pasti mikirin soal perjodohan itu, ya?" tebaknya yang tepat sasaran karena Shil
Terhitung hari ini sudah hari ke empat setelah acara makan malam mereka waktu itu. Shila menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah menuruti perkataan kakak iparnya—Rea, Shila mendapat sebuah jawaban.Dengan cepat ia menyisir rambut panjangnya, lalu merapikannya. Setelah cukup—Shila menarik nafasnya dengan panjang. Ini adalah hari yang berat baginya. Sebuah keputusan yang akan merubah hidupnya nanti. Jika kalian berpikir kalau Shila lebay, maka kalian salah. Itu karena kalian belum merasakannya atau tidak akan pernah merasakannya. Menikah dengan pilihan keluarga, menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal, apalagi, cinta. Menikah satu kali dalam seumur hidup, itu adalah prinsip Shila.Tak perlu berlama-lama lagi, Shila segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Berniat untuk menemui Figo—selama empat hari mereka tidak saling berbicara.'Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau mem
Sesuai perkataan Shila kemaren. Ia sudah menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh Figo. Maka, di sini lah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Siapa lagi jika bukan, Gerald. Laki-laki minim ekspresi yang membuat Shila bingung bagaimana caranya membuat calon suaminya itu tersenyum jika sudah menikah nanti."Kamu umur berapa?" tanya Shila yang memilih topik random. Jujur, ia bingung harus berbicara apa saja dengan Gerald. Karena yang bisa ia nilai dari laki-laki itu sekarang adalah, Gerald tidak suka basa-basi dan apalagi banyak berbicara. Gerald tipe yang langsung to the point. Apa mungkin setelah menikah nanti mereka akan jarang berinteraksi?"Dua puluh enam tahun," balas Gerald dengan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.Dalam hati Shila terus berdecak kesal karena Gerald yang tidak pernah menatapnya sedikit pun. Meskipun sekarang cafe ini banyak pengunjung—Shila merasa se
Tok tok tok."Aku masih mau tidur. Berisik banget, sih, dari tadi," gumam Shila sambil menutup wajahnya dengan bantal. Berharap jika orang yang mengetuk pintu kamarnya itu segera pergi.Setelah kejadian memalukan kemaren—Shila tidak berani lagi mengirimkan pesan kepada Gerald. Meskipun ada notifikasi pesan masuk dari laki-laki itu—Shila tidak berniat membalasnya sedikit pun. Bahkan, tidak ia baca. Biarkan saja, ia tidak peduli. Lagipula, itu adalah salah Gerald sendiri. Kenapa dengan sengaja memalukannya?Tok tok tok.Lagi, suara ketukan itu terus membuat Shila merasa kesal dan ingin berteriak marah. Tidak peduli jika itu Figo atau Karin. Siapa pun yang mengganggu waktu tidurnya—Shila akan
Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya."Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
"Mama mau masak?" tanya Shila sambil berjalan masuk ke arah dapur. Dari tangga ia bisa melihat kalau Fira sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Ia punya ide untuk membantunya sekaligus belajar memasak.Fira menoleh ke belakang. Menatap menantunya yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengenakan pakaian tidur bercorak kura-kura. Menggemaskan sekali."Iya, sayang. Buat kita makan malam nanti," balas Fira tersenyum dengan lebar."Gimana kalau aku bantuin? Aku juga mau sekalian belajar masak sama Mama. Boleh, kan?" tanya Shila menatap Fira penuh harap. Semoga saja mertuanya itu mau bersenang hati untuk mengajarinya cara memasak yang benar.Dengan semangat Fira menganggukkan kepalanya. "Boleh banget, dong
Shila melangkahkan kakinya dengan semangat. Menatap para karyawan di kantor suaminya dengan senyum lebar miliknya. Banyak sekali yang menyapanya dari tadi. Etika mereka patut untuk dicontoh. Ini pertama kalinya Shila datang ke kantor sebagai istri dari Gerald. Kalau kemaren-kemaren, kan, masih calon. Shila tertawa pelan dalam hatinya, tak menyangka kalau patung berjalan itu sudah resmi menjadi suaminya.CEO.Shila membuka pintu ruangan itu dengan pelan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia melihat Gerald yang sedang fokus dengan layar komputernya. Tampan sekali. Harus Shila akui bahwa suaminya itu memiliki paras yang sangat menggoda iman. Astaga, Shila, apa yang sedang ia pikirkan?"Ketuk dulu kalau mau masuk, Shila," tegur Gerald menatap Shila dengan datar. Lalu beralih untuk ke
Tidak terasa lima hari berlalu begitu saja. Kehidupan baru Shila sebagai istri dari Gerald ternyata tidak terlalu buruk. Hanya saja Gina yang sangat sering menguji kesabarannya dan memancing emosinya, tapi sebisa mungkin untuk Shila menahannya. Ia memaklumi jika Gina begitu menyayangi Gerald dan menganggap bahwa gadis itu belum ikhlas jika Gerald memiliki perempuan lain di hidupnya selain Gina dan Fira.Mungkin, karena hubungan saudara mereka yang terlalu lengket membuat Gina sulit untuk merelakan saudara satu-satunya itu menikah dan mempunyai kehidupan baru. Ya, Shila berpikir seperti itu. Mengambil dari sisi positifnya saja.Namun, disisi lain, Shila juga menyadari jika Gina juga membenci dirinya. Ia merasa jika gadis itu punya alasan lain dari dirinya yang berstatus sebagai istri Gerald. Seperti ada kesalahan yang pernah ia buat sebelumnya, t
Ceklek.Shila menatap ke arah pintu utama. Terlihat seorang gadis yang menggunakan seragam putih abu-abu sedang berjalan memasuki rumah. Tatapan matanya pun tak pernah lepas dari Shila. Seolah menganggap Shila adalah mangsa yang harus ditelan hidup-hidup."Udah pulang, Gin?" tanya Shila basa-basi. Sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung saat bertemu dengan Gina. Mau bagaimana pun, seburuk apapun gadis itu padanya, tetap saja. Gina adalah adik dari Gerald, adik iparnya.Sedangkan Gina hanya memutar bola matanya dengan malas. Sungguh pemandangan yang sangat tidak menyenangkan saat melihat Shila yang sedang duduk di sofa sambil menonton. Cih, istri dari Gerald itu sudah mulai beraksi untuk menguasai rumah ini, ternyata."Lo bisa lihat sendiri, kan, gue uda
Suara alunan musik dari band kesukaan Shila terus mengalun dengan keras. Terlihat Shila yang berada di dalam dekapan Gerald pun langsung tersentak dan berusaha untuk melepaskan tangan suaminya. Meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Dering telpon itu terus berbunyi sejak tadi, tapi Shila baru sadar sekarang. Entah itu sudah yang ke berapa, tapi matanya langsung membola saat melihat jam di layar ponselnya.Pukul setengah dua siang? Seriously? Astaga, Shila benar-benar malu sekarang. Bisa-bisanya di hari pertama ia menjadi menantu di keluarga Dikara justru bangun kesiangan? Ini bukan kesiangan lagi namanya, tapi sudah sangat keterlaluan. Shila tidak tahu harus menyebutnya dengan apa.Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Adel—manajernya. Dengan cepat Shila bangun dari posisi tidurnya dan meletakkan tangan Gerald dengan hati-ha
Shila terbangun dari tidurnya karena mendapati sinar matahari yang masuk melalui cela jendela. Ia menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya.Selang beberapa menit kemudian, Shila tersadar. Ia merasa sesuatu yang kencang sedang memegang area perutnya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang. Menatap wajah Gerald yang sangat dekat dengan wajahnya. Jadi, Gerald memeluknya? Semalaman? Pantas saja ia merasa pegal.Shila tidak langsung membangunkan Gerald. Ia menatap wajah itu dengan lekat. Entah mengapa, hatinya seolah mengatakan bahwa dirinya dan Gerald pernah bertemu sebelumnya. Jauh dari sebelum perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya, tapi di sisi lain, pikirannya bertolak belakang.Dengan hati-hati, Shila mengangkat tangan kanannya.
Shila menatap sekeliling kamar Gerald. Sangat rapi. Semua barang-barang yang ada di sini sangat tertata. Ia yakin kalau Gerald adalah tipe laki-laki yang menjaga kebersihan dan kerapian. Mengingat kalau suaminya itu juga seorang CEO. Jadi, tidak mungkin kalau hidupnya tidak teratur."Kamu mau mandi?"Pertanyaan itu berhasil mengejutkan Shila yang sejak tadi hanya diam memperhatikan isi kamar barunya—kamar Gerald.Dengan kaku, Shila menganggukkan kepalanya. "Iya, gerah banget berjam-jam pakai baju ini," balas Shila sambil menatap gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.Setelah acara pernikahan mereka selesai, Shila tidak menyangka jika Gerald langsung mengajaknya untuk pindah rumah. Ya, walaupun bukan ke rumah mereka sendiri. Melainkan di rumah orang tua Gerald. Katanya, Fira memaksa mereka u
Shila menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu sangat cantik dan mampu membuat siapa pun terpikat saat melihatnya. Hari ini, adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang akan merubah kehidupan Shila menjadi seratus delapan puluh derajat. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Gerald.Tiga hari sudah berlalu semenjak Shila dan Figo yang datang ke makam Yeslin. Hari itu berjalan begitu cepat hingga tak terasa bahwa hari ini sudah datang.Ceklek.Shila menoleh ke belakang. Menatap Figo yang baru saja membuka pintunya dan berjalan masuk untuk mendekat ke arahnya. Ia melihat tampilan Figo yang sangat gagah dengan balutan jas di tubuhnya."Shila," panggil Figo dengan suara yang tercekat. "Putri
Shila bersenandung pelan. Mengikuti irama dari lagu yang ia dengarkan. Saat keluar dari kamar dan melewati kamar kedua orang tuanya, Shila mengerutkan dahinya saat mendengar samar-samar suara isak tangis dari seseorang. Dengan cepat Shila melepaskan handsfree yang ada di telinganya dan mendekat ke arah pintu kamar kedua orang tuanya yang terbuka sedikit.Mata bulat Shila bisa melihat Figo yang sedang duduk di tepi kasur sambil memegang sebuah bingkai foto. Sontak hal itu membuat hatinya teriris. Apalagi melihat Figo yang berusaha menahan tangis, tapi air mata itu tetap keluar. Melihat Figo yang berusaha untuk menutupi suaranya, tapi suara itu semakin terdengar jelas.Tak ada pilihan, Shila memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Tentu saja itu mengejutkan Figo karena kehadiran putrinya yang tiba-tiba saja datang.