Aku benar-benar diam, tak bisa berkutik. Terlebih saat kurasakan sebuah benda ia tempelkan pada punggung. Seperti sebuah pistol. Apa dia ... Mas Adam? Oh, my God. Kenapa pula aku harus bertemu mantan calon menantu papa itu di sini? Kenapa momennya sangat tidak tepat sekali?Ritme jantung sudah mulai berdetak tak karuan. Apa aku tengah disandera? Drama apa lagi ini, Ya Allah? Aku benar-benar bergetar.“S-siapa kamu?” tanyaku memberanikan diri.“Angkat tangan! Dan jangan bergerak!”Lagi. Perintah itu bukan suara suamiku. Lalu, siapa? Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Membayangkan bulan madu yang akan dilalui dengan decap ciuman hangat, tetapi malah harus diawali dengan kedatangan penjahat.Segera kuangkat kedua tangan dan masih tetap membelakanginya. Sedikit aku menggerakkan kepala untuk-“Jangan berbalik badan!” ancamnya lagi.Tes! Lolos sudah sebutir kristal bening dari mataku. Aku benar-benar dikepung rasa takut. Mas Vino ... kamu di mana, Mas ...?“Sebentar lagi, Anda akan saya taha
“Mas, tadi kenapa suaramu bisa berubah berat? Kayak bukan suaramu.”“Berarti aku udah profesional kalau jadi dubber.”Aku mencubit kulit perutnya yang masih empuk, tetapi berotot.“Kapan-kapan jangan gitu lagi. Aku takut.”“Takut kenapa?”“Takut kalau tadi itu bukan kamu, tapi orang lain.”Mas Vino tersenyum dan mencium pipiku gemas.“Maaf, Sayang. Tadi pas keluar kamar ada petugas hotel habis bersihin kamar, di trolinya ada buah pisang dua, aku minta aja satu, terus kepikiran buat ngerjain kamu.” Dia bercerita dengan sedikit tergelak.“Hm, dasar tengil! Aku kira beneran aku bakal disandera penjahat. Eh, enggak tahunya penjahat mesum.”Mas Vino kembali tergelak dan lagi-lagi mencium pipiku gemas.“Kalau penjahatnya ganteng begini, mesum juga kamu rela, kan?”“Enggak semua. Aku cuma rela dicuri suamiku dan cuma dia yang boleh mesum sama aku. Lainnya, big no!”“Duh, duh, duh, jadi pengen nambah lagi,” ucapnya seraya mengusap sesuatu dari tubuh bawahku. Kami masih sama-sama polos di dala
Genap seminggu aku dan suami berada di Kuala Lumpur. Usai bermalam dan menghabiskan waktu-waktu intim berbulan madu, rasa-rasanya semangat dan mood kami kembali lagi. Berlibur ke tempat-tempat aestetik dan juga menyempatkan berkunjung ke 'Les Copaque, rumah animasi Upin dan Ipin di Selangor.Salah satu kawan baik Bang Firash bekerja di gedung tersebut sebagai animator. Tak kusia-siakan kesempatan itu untuk mengetahui lebih jauh bagaimana para crew bekerja dan menampilkan suguhan menarik dari salah satu kartun favoritku itu. Lelah berkeliling, kami membeli pernak-pernik di toko souvenir yang terletak di bagian bawah gedung.Namun, berlibur belum usai. Aku dan Mas Vino sepakat untuk mengunjungi resort baru milik Grand Adiwilaga di Sumbawa sepulang dari KL.Ingatanku kembali pada Mas Alan. Apa kabarnya dia? Sudah sebulan lebih kami tak berkomunikasi layaknya saudara. Dia hanya menghubungiku lewat email dan tentu hanya membahas seputar pekerjaan saja. Sesuai permintaanku dan dia menunaika
"Siapa, Yang?” tanya Mas Vino dengan mulut sedikit menguap.“Itu!” tunjukku kepada sepasang lelaki dan perempuan yang makin terlihat mesra.Sang wanita dipeluk dengan begitu hangat. Tampak sekali cinta di antara keduanya. Rambut panjang sang wanita diacak-acak lembut oleh sang pria. Aku tersenyum melihat keduanya bercengkerama.“Eh, itu Mas Alan, Yang?"Aku mengangguk."Sama cewek?”“Iya. Cantik,” pujiku menilai wanita yang tingginya hanya sebahu Mas Alan.Mataku kembali memicing. Mengingat-ingat perempuan langsing berkulit putih dengan rambut lurus yang ujungnya menggantung indah itu. Bukannya itu perempuan yang dulu fotonya pernah ditunjukkan Mas Alan dari galeri ponselnya?“Mau disamperin?”“Eh, enggak usah, Mas. Biarin mereka melepas rindu.” Aku tersenyum dan menarik lengan Mas Vino.Di dalam mobil menuju resort, aku terus tersenyum setelah melihat dan mengingat kebahagiaan yang terpancar hangat dari wajah Mas Alan saat bersama perempuan tadi.“Kamu kayak lagi bahagia banget, Yang
Aku menatap wanita cantik di depanku, lalu beralih menatap Mas Vino di sampingku. Tampak sekali kebingungan di wajah suami.“Kamu ....” Sama, seperti mengingat-ingat, suamiku menggantung kalimatnya.“Kamu Excel Vino, kan? Salah satu aktivis kampus? Aku Raina Elizabeth. Akrab dipanggil Eliza. Sudah ingat?”Wanita berhidung kecil tapi lancip itu masih terus menggali ingatan suamiku.“Kamu Eliza anak BEM?”“Exactly!” serunya riang.“Kalian sudah saling kenal?” sela Mas Alan.“Hm. Kami sering terlibat kegiatan kampus saat masih kuliah dulu, Lan. Kalau tidak salah, kita selisih satu tingkat. Dia termasuk mahasiswa aktif yang pandai mengajak teman-teman biar enggak nongkrong-nongkrong aja kerjanya.”Mas Vino tersenyum samar.“Hai, aku Eliza,” sapanya dengan mengulurkan tangan di depanku.Dengan sopan dan ramah aku pun menyambut uluran tangannya. “Kalila.”“Kamu beneran adiknya Alan?”Aku mengangguk. Sedangkan wanita bernama Eliza itu memperhatikanku dan Mas Alan secara bergantian.“Kok, aga
"Maksud Papa?""Tempat suamimu ditemukan malam itu adalah lahan yang akan didirikan sebuah perumahan elit. Kamu tahu siapa kepala developer hunian itu?""Siapa, Pa?" tanyaku tak sabar.Terdengar embusan napas berat Papa dari seberang sana. "Aldrin. Dia pemiliknya."Sudah kuduga."Analisanya, police line terpaksa dilepas dengan alasan pembangunan sudah dijadwalkan oleh kontraktor dan harus selesai sebelum deadline. Padahal Aldrin ingin menghilangkan jejak agar TKP bersih dari endusan anjing pelacak sekalipun. Sangat mudah bagi Aldrin melakukan semuanya. Menyuap dan disuap bukan hal tabu lagi. Terlebih ... saat Vino bilang lebih baik kasus ditutup.”Aku menghela napas. Apa sebegitu terobsesinya pria cassanova itu untuk memiliki diri ini dengan cara yang culas? Tapi ... Kenapa harus dengan mencelakai Mas Vino? Aku bangkit dan sedikit menjauh dari tiga orang yang masih lanjut mengobrol walau sesekali pandangan Mas Vino memperhatikanku.“Tapi ... apa tujuan Aldrin mencelakai Mas Vino, Pa?”
"Apa?! Aldrin?Aku mengangguk dan mulai menceritakan fakta, opini, dan juga analisis yang Papa sampaikan di telepon tadi."Papa dan Om Ibrahim menunggu kondisi Mas Adam lebih baik untuk mencari bukti lain."Mas Vino mengembuskan napas dan mulai mendekapku erat."Maaf ...," lirihku di depan dadanya. Aku membenamkan wajah di sana."Kenapa harus kamu yang minta maaf, Yang?" Tangannya mengusap-usap punggungku."Gara-gara kamu nikahin aku, k-kamu ...." Air mata tak lagi bisa dibendung. Bahkan aku mulai sesengukan."Hey! Kenapa malah kejer?" Diurainya pelukan dan Mas Vino menangkup kedua pipiku."Aku sayang sama kamu, Mas. Aku enggak mau kamu kenapa-napa. Tapi nyatanya, Aldrin berusaha nyelakain kamu gara-gara kamu nikahin aku. Aku takut ...."“Ssttt ....” Kembali dibenamkan kepala dan wajahku di dadanya yang selalu menenangkan. “Bahkan jika seluruh lelaki di dunia ini memusuhiku karena bidadari cantik ini memilih bersamaku, aku akan hadapi mereka satu-satu.”“Kamu istriku. Amanah yang haru
Para petakziah semakin ramai memenuhi rumah duka. Aku dan Salma datang bersama Mas Alan dengan mobilnya. Sementara Papa, Mama berikut Mas Vino sudah datang lebih awal.Om Ibrahim tampak sembab, tetapi masih bisa menyalami tamu yang datang memberikan ucapan belasungkawa. Sementara Tante Sarah berada di sebelah raga tanpa nyawa yang tengah dikelilingi keluarga dekat untuk dibacakan ayat-ayat suci. Adiba, sang cucu, didekapnya penuh cinta dan iba. Sedangkan Mas Adam terus menunduk dengan Al-Quran kecil di tangannya.Aku mendekat dan mengucap salam. Mama memeluk Tante Sarah dan Adiba langsung menangis begitu melihatku."Tante ... Mama jahat, Mama nyusul adek enggak ngajakin Diba,” adunya kepadaku.Aku tak sanggup menjawab kalimatnya. Air mata sudah lolos berhamburan mendengar celotehnya yang menyayat hati.Kupeluk Adiba dengan erat. Kuciumi pucuk kepalanya. Mas Adam sempat mendongak dan menatap putrinya dengan nanar. Dia berdiri, seperti hendak menjauh. Mungkin agar tak semakin melow meli