Genap seminggu aku dan suami berada di Kuala Lumpur. Usai bermalam dan menghabiskan waktu-waktu intim berbulan madu, rasa-rasanya semangat dan mood kami kembali lagi. Berlibur ke tempat-tempat aestetik dan juga menyempatkan berkunjung ke 'Les Copaque, rumah animasi Upin dan Ipin di Selangor.Salah satu kawan baik Bang Firash bekerja di gedung tersebut sebagai animator. Tak kusia-siakan kesempatan itu untuk mengetahui lebih jauh bagaimana para crew bekerja dan menampilkan suguhan menarik dari salah satu kartun favoritku itu. Lelah berkeliling, kami membeli pernak-pernik di toko souvenir yang terletak di bagian bawah gedung.Namun, berlibur belum usai. Aku dan Mas Vino sepakat untuk mengunjungi resort baru milik Grand Adiwilaga di Sumbawa sepulang dari KL.Ingatanku kembali pada Mas Alan. Apa kabarnya dia? Sudah sebulan lebih kami tak berkomunikasi layaknya saudara. Dia hanya menghubungiku lewat email dan tentu hanya membahas seputar pekerjaan saja. Sesuai permintaanku dan dia menunaika
"Siapa, Yang?” tanya Mas Vino dengan mulut sedikit menguap.“Itu!” tunjukku kepada sepasang lelaki dan perempuan yang makin terlihat mesra.Sang wanita dipeluk dengan begitu hangat. Tampak sekali cinta di antara keduanya. Rambut panjang sang wanita diacak-acak lembut oleh sang pria. Aku tersenyum melihat keduanya bercengkerama.“Eh, itu Mas Alan, Yang?"Aku mengangguk."Sama cewek?”“Iya. Cantik,” pujiku menilai wanita yang tingginya hanya sebahu Mas Alan.Mataku kembali memicing. Mengingat-ingat perempuan langsing berkulit putih dengan rambut lurus yang ujungnya menggantung indah itu. Bukannya itu perempuan yang dulu fotonya pernah ditunjukkan Mas Alan dari galeri ponselnya?“Mau disamperin?”“Eh, enggak usah, Mas. Biarin mereka melepas rindu.” Aku tersenyum dan menarik lengan Mas Vino.Di dalam mobil menuju resort, aku terus tersenyum setelah melihat dan mengingat kebahagiaan yang terpancar hangat dari wajah Mas Alan saat bersama perempuan tadi.“Kamu kayak lagi bahagia banget, Yang
Aku menatap wanita cantik di depanku, lalu beralih menatap Mas Vino di sampingku. Tampak sekali kebingungan di wajah suami.“Kamu ....” Sama, seperti mengingat-ingat, suamiku menggantung kalimatnya.“Kamu Excel Vino, kan? Salah satu aktivis kampus? Aku Raina Elizabeth. Akrab dipanggil Eliza. Sudah ingat?”Wanita berhidung kecil tapi lancip itu masih terus menggali ingatan suamiku.“Kamu Eliza anak BEM?”“Exactly!” serunya riang.“Kalian sudah saling kenal?” sela Mas Alan.“Hm. Kami sering terlibat kegiatan kampus saat masih kuliah dulu, Lan. Kalau tidak salah, kita selisih satu tingkat. Dia termasuk mahasiswa aktif yang pandai mengajak teman-teman biar enggak nongkrong-nongkrong aja kerjanya.”Mas Vino tersenyum samar.“Hai, aku Eliza,” sapanya dengan mengulurkan tangan di depanku.Dengan sopan dan ramah aku pun menyambut uluran tangannya. “Kalila.”“Kamu beneran adiknya Alan?”Aku mengangguk. Sedangkan wanita bernama Eliza itu memperhatikanku dan Mas Alan secara bergantian.“Kok, aga
"Maksud Papa?""Tempat suamimu ditemukan malam itu adalah lahan yang akan didirikan sebuah perumahan elit. Kamu tahu siapa kepala developer hunian itu?""Siapa, Pa?" tanyaku tak sabar.Terdengar embusan napas berat Papa dari seberang sana. "Aldrin. Dia pemiliknya."Sudah kuduga."Analisanya, police line terpaksa dilepas dengan alasan pembangunan sudah dijadwalkan oleh kontraktor dan harus selesai sebelum deadline. Padahal Aldrin ingin menghilangkan jejak agar TKP bersih dari endusan anjing pelacak sekalipun. Sangat mudah bagi Aldrin melakukan semuanya. Menyuap dan disuap bukan hal tabu lagi. Terlebih ... saat Vino bilang lebih baik kasus ditutup.”Aku menghela napas. Apa sebegitu terobsesinya pria cassanova itu untuk memiliki diri ini dengan cara yang culas? Tapi ... Kenapa harus dengan mencelakai Mas Vino? Aku bangkit dan sedikit menjauh dari tiga orang yang masih lanjut mengobrol walau sesekali pandangan Mas Vino memperhatikanku.“Tapi ... apa tujuan Aldrin mencelakai Mas Vino, Pa?”
"Apa?! Aldrin?Aku mengangguk dan mulai menceritakan fakta, opini, dan juga analisis yang Papa sampaikan di telepon tadi."Papa dan Om Ibrahim menunggu kondisi Mas Adam lebih baik untuk mencari bukti lain."Mas Vino mengembuskan napas dan mulai mendekapku erat."Maaf ...," lirihku di depan dadanya. Aku membenamkan wajah di sana."Kenapa harus kamu yang minta maaf, Yang?" Tangannya mengusap-usap punggungku."Gara-gara kamu nikahin aku, k-kamu ...." Air mata tak lagi bisa dibendung. Bahkan aku mulai sesengukan."Hey! Kenapa malah kejer?" Diurainya pelukan dan Mas Vino menangkup kedua pipiku."Aku sayang sama kamu, Mas. Aku enggak mau kamu kenapa-napa. Tapi nyatanya, Aldrin berusaha nyelakain kamu gara-gara kamu nikahin aku. Aku takut ...."“Ssttt ....” Kembali dibenamkan kepala dan wajahku di dadanya yang selalu menenangkan. “Bahkan jika seluruh lelaki di dunia ini memusuhiku karena bidadari cantik ini memilih bersamaku, aku akan hadapi mereka satu-satu.”“Kamu istriku. Amanah yang haru
Para petakziah semakin ramai memenuhi rumah duka. Aku dan Salma datang bersama Mas Alan dengan mobilnya. Sementara Papa, Mama berikut Mas Vino sudah datang lebih awal.Om Ibrahim tampak sembab, tetapi masih bisa menyalami tamu yang datang memberikan ucapan belasungkawa. Sementara Tante Sarah berada di sebelah raga tanpa nyawa yang tengah dikelilingi keluarga dekat untuk dibacakan ayat-ayat suci. Adiba, sang cucu, didekapnya penuh cinta dan iba. Sedangkan Mas Adam terus menunduk dengan Al-Quran kecil di tangannya.Aku mendekat dan mengucap salam. Mama memeluk Tante Sarah dan Adiba langsung menangis begitu melihatku."Tante ... Mama jahat, Mama nyusul adek enggak ngajakin Diba,” adunya kepadaku.Aku tak sanggup menjawab kalimatnya. Air mata sudah lolos berhamburan mendengar celotehnya yang menyayat hati.Kupeluk Adiba dengan erat. Kuciumi pucuk kepalanya. Mas Adam sempat mendongak dan menatap putrinya dengan nanar. Dia berdiri, seperti hendak menjauh. Mungkin agar tak semakin melow meli
Kami pulang ke rumah lepas tahlilan Mbak Emil hari pertama usai dilaksanakan. Aku dan Mama duduk di kursi belakang. Mas Vino menyetir dan Papa duduk di sampingnya. Menantu dan mertua itu tampak terlibat obrolan ringan.Aku lebih banyak diam dan pura-pura memejamkan mata. Rasa kesal akan kecentilan kedua ipar Ratu benar-benar membuatku ingin mencincang Mas Vino. Sudah tahu punya istri, masih saja memberi kesempatan pada gadis-gadis itu untuk mendekatinya. Apa mungkin Mas Vino ingin menghindar tetapi kalah cepat hingga Gendis dan Nawang lebih dulu mengerubunginya? Huh, pokoknya aku kesel! Titik!Lagi pula kenapa itu cewek berdua gencar sekali mendekati suami orang? Apa mereka benar-benar mendeklarasikan diri ingin menjadi perebut laki orang? Astagfirullah ... dada ini kian panas mengingat dari awal jumpa hingga tadi, dua gadis cantik tapi tampak tak punya rasa malu.Sampai rumah, aku lebih dulu memasuki kamar. Mas Vino mengekori dengan gerakan cepat di belakang."Yang!"Aku tetap bergem
Sekian detik, hanya suara 'hoek-hoek' yang terdengar. Merasa ada yang aneh dengan menantu semata wayang Mama, aku pun ikut masuk ke kamar mandi."Mas, kamu sakit?"Mas Vino hanya menggeleng dan terlihat membasuh mulutnya dengan air dari kran wastafel. Pantulan wajah tampannya di kaca terlihat sedikit pucat."Apa masuk angin?""Enggak tahu. Tadi pas kamu bilang masakan Mbak Lastri wangi, aromanya juga sempat masuk hidungku. Saat itu rasanya perutku udah enggak enak. Kerasa mual.”Keningku berkerut. Kenapa kayak orang lagi hamil? Segera aku menggandeng lengan suami untuk menuju kamar kami di lantai dua. Namun, Mama menghampiri."Kenapa, Vin?""Mungkin kecapekan aja, Ma." Aku membantu suami menjawab pertanyaan Mama."Ya sudah, istirahat aja. Nanti kalau memang enggak bisa makan bareng, biar Mbak Lastri bawakan ke kamar."Aku hanya mengangguk dan berlalu. Mas Vino menutup hidungnya begitu akan menaiki tangga. Dapur memang ada di sebelah tangga. Aku heran sekaligus ingin tertawa, tapi tert
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.