Di sinilah aku saat ini. Masih di bawah kolong langit yang sama, tetapi di daerah yang berbeda. Sudah tiga hari aku hidup seatap dengan mertua setelah Mama, Papa beserta Pak Narto ikut mengantarkan aku dan suami ke kota Lawang Sewu. Sepasang tangan memeluk hangat pinggangku dari belakang. Aku menoleh hingga hidung bangir itu langsung bertabrakan dengan hidungku. Senyum kami merekah seketika.“Betah, kan, tinggal di sini?”Aku mengangguk dan kembali menghadapkan wajah ke depan. Kini, dagu Mas Vino ia tempelkan di atas bahuku sebelah kanan. “Eh, hampir lupa. Aku belum tahu nomor rekeningmu.”Keningku berkerut. “Buat apa?”Mas Vino melepas pelukan dan mengambil ponselnya. “Catat nomor rekeningmu, Yang!” perintahnya dengan menyodorkan HP pintarnya.Tanpa berlama-lama, langsung kuketik nomor rekeningku. Beberapa saat Mas Vino tampak mengutak-atik ponselnya hingga terdengar sebuah notif dari ponselku di dekat sofa balkon.Aku mendekat dan meraih benda pintarku. “150 juta?” Sebuah nomina
"Aku mau keliling. Boleh?” “Boleh, dong. Minta temani karyawati, ya? Biar sekalian bisa nunjukin kamu tentang apa saja yang ada di sini.” “Hmm, boleh.” Aku berjalan lebih dulu saat Mas Vino memanggil salah satu pekerjanya untuk menemaniku. Pemandangan di sini tak kalah indah dari Jogja. Segar dan memukau. “Hai!” sapaku ramah pada seorang wanita cantik yang mulai mengikutiku langkahku. Dia hanya menunduk sopan menjawab salam perkenalanku. “Sudah lama kerja di sini?” “Alhamdulillah, masuk tahun kedua, Bu.” “Betah berarti, ya?” “Alhamdulillah, Bu.” Aku melihat sebuah area di mana banyak binatang dan spot-spot bermain untuk anak-anak. “Di sini ada mini zoo-nya juga, ya?” tanyaku. “Benar, Bu.” Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saat melihat beberapa anak ditemani orang tua mereka sedang memberi makan kelinci dan merpati. Ada juga yang tengah berselfie dengan anggota keluarganya di spot-spot foto yang tersedia. Belum lagi wahana kolam renang yang menjadi musabab suara ana
Senyumku perlahan memudar sesaat setelah gadis ayu itu mengucapkan kalimat menohok yang terasa meremas segumpal daging dalam dada ini. Raut wajah mertua Ratu tampak pias. Jelas sekali mereka menyayangkan perkataan salah satu dari putrinya.“E-eh, maaf Nak Kalila. Si Gendis ini memang suka bercanda. Iya, kan, Pak?” Istri Om Warman terlihat tak enak hati.“Gendis, kalau bercanda tahu tempat, Nak,” tambah sang bapak memperingati.Gadis ayu itu hanya mengembungkan pipinya. Sementara kakaknya tetap menatapku dengan aura permusuhan. Ada apa dengan mereka?“Gendis kalau bercanda sama Vino memang begitu, suka kebablasan. Tapi emang cuma guyon, kok. Enggak perlu dipikirkan.”Aku berusaha tenang walau hati mulai berang. Dalam perjalanan pulang, kami saling diam. Sedikit pun Mas Vino tak ingin memulai percakapan. Entah karena ucapan si Gendis memang tak perlu dipikirkan atau Mas Vino menyimpan sesuatu yang memang belum diceritakan.Sebisa mungkin aku menekan emosi. Namun, entah kenapa tubuh dan
Entah jam berapa aku terbangun. Merasakan perut yang mulai terasa keroncongan usai pergulatan sengit hingga lebih dari tiga babak. Aku menoleh ke samping. Mas Vino pun masih bertelanjang dada di balik selimut yang kami pakai bersama.Aku bangkit lebih dulu dengan kembali melilitkan handuk pada tubuh dan segera menuju kamar mandi. Ternyata masih jam sebelas malam. Segera aku memutar air hangat untuk mandi janabah. Belum salat Isya juga.“Eh!” Aku berjingkat kaget saat dua buah real squisy-ku diraup dari arah belakang.Ah, elah, si biang keladi ikutan bangun pula.“Udah, Mas. Aku lapar. Mau mandi dulu, salat Isya, terus makan. Skip dulu, deh. Lanjut besok lagi.”Lelakiku terkekeh. “Dih, siapa juga yang mau nambah? Aku cuma mau bantuin istri cantikku ini buat gosokin sabun.”“Enggak! Aku gosok-gosok sendiri aja,” sahutku dan sedikit menjauh untuk meraih sabun cair.Mas Vino semakin terkikik. Dia menengadah dan mulai membasahi wajah tampannya dengan guyuran air shower. Kini, malah aku yan
Aku terenyak mendapati Aldrin sudah duduk di hadapanku. Dengan santainya dia memanggil waiter dan memesan makanan dan minuman. Luna hanya bergeming. Raut bingung dan kaget serasa berkolaborasi menjadi lagu sumbang.“Hei! Malah bengong. Apa kabar?”Aku mengerjapkan mata.“Eh, hai. Aku baik,” jawabku.“Lun, masih lapar, enggak? Pesan yang banyak, aku yang bayar.” Kini Aldrin beralih bicara pada Luna.“Oh, enggak. Aku udah mau pulang, kok,” sahut Luna enteng.“Oh, udah mau pulang, ya? Kalo gitu aku pinjam Kalila bentar, ya. Boleh, kan, Lun?”Wanita dengan jepit rambut di samping kepalanya itu hanya mengedikkan bahu. “Tanya aja sama Kalila, dianya mau enggak? Kalau dia nggak mau jangan maksa.”Kini Aldrin menatapku, menunggu jawaban tanpa mengulang pertanyaannya. Sebenarnya aku malas berhadapan lagi dengannya. Namun, aku penasaran kenapa dia kembali ke sini?“Apa ada hal penting yang mau kamu omongin?” tanyaku. “Kalau cuma mau basa-basi, maaf aku enggak bisa.”“Kenapa? Belum izin suami?”
Aku menoleh ke arah sumber suara yang seolah-olah menjadi penolongku saat ini. Namun, lagi-lagi aku merasa tengah dikepung bahaya saat ternyata Mas Alan yang datang dan mendekat. “Lepasin tangan Kalila!” Lagi, Mas Alan berucap dengan mata menatap tajam pada Aldrin. Dengan terpaksa Aldrin melepas pergelanganku dan mengangkat kedua tangannya ke udara seperti tanda menyerah. Namun, senyum miring tetap ia tampilkan. “Hai, Pak Komisaris hotel and resort Grand Adiwilaga. Apa kabar? Makin keren saja, Pak," candanya. "Eh, masih betah melajang?” “Kabar baik. Alhamdulillah masih," jawab Mas Alan datar dan jelas. “Wah, wah, wah ... tampaknya Anda bangga sekali, ya, jadi jomlo sejati. Atau jangan-jangan ... Anda lemah syahwat sampai tak berniat mendekati seorang wanita?” Aku menggeleng lemah. Tampaknya Aldrin yang dulu kukenal memang sudah mati. Kini, yang ada di depan mata hanyalah manusia culas yang suka memancing di air keruh. Aku menatap Mas Alan yang terlihat masih santai walau Aldrin m
Ya, sebelum pulang ke Jogja, aku dan Mas Vino memang kembali mengonsumsi daging kambing karena gairah kami dalam bercinta memang terasa berbeda. Lebih berani dan bisa tahan hingga beberapa ronde. Kami seperti ketagihan mengonsumsinya agar ranjang kian panas.Aku menggeser ikon terima dan Mama berlalu setelahnya.“Assalamu’alaikum, Mas ...”“Wa’alaikumsalam, Sayang.” Keningnya berkerut. “Kamu udah mau tidur?”Aku tersenyum. “Belum, tadi habis ketemuan sama Luna di kafe. Pulang-pulang langsung mual.”Aku berusaha menahan gejolak melihat suamiku di sana hanya bertelanjang dada dan handuk yang melilit bagian bawahnya.“Mual?”Aku mengangguk.“Pusing? Atau kecapekan?”Aku menghela napas. “Mungkin ....”Setelah beberapa kali tes mandiri menggunakan tespek tapi tak kunjung mendapatkan dua garis merah, aku dan Mas Vino memang tak mau menduga-duga. Pusing dan mual kadang datang kalau tubuh ini sudah protes karena terlalu diforswir.“Overdosis daging embek,” lanjutku random.Mas Vino terbahak h
Tubuhku luruh dengan punggung menyandar pada dinding. Aku menangis sesengukan mendapati kenyataan. Belum ditakdirkan menjadi wanita seutuhnya benar-benar menyesakkan. Lagi-lagi penyesalan kembali datang, kenapa aku harus melakukan tes kehamilan ... lagi?“Yang ....” Mas Vino mendorong pintu kamar mandi yang memang tak tertutup rapat. Seketika dia kaget melihatku terduduk dengan menyandar di dinding keramik. “Sayang, kamu kenapa?” Gegas ia menghampiri.Diraihnya tespek dari tangan. Lelakiku mengembuskan napas dan menarik perlahan kepala ini, lalu ditempelkan ke dadanya yang bidang. “Its oke, Sayang. Jangan berkecil hati. Kan, aku udah sering bilang kalau kita ini masih pengantin baru, Insya Allah masih banyak waktu.”Ya, memang baru lima bulan, tapi aku sudah mulai dibayangi rasa takut jika seorang penerus itu tak juga dinyatakan datang. Mas Vino membantuku berdiri dan berjalan ke ranjang.“Masih pusing?”Aku menggeleng.“Mual?”Kembali aku menggeleng.“Mandi, yuk. Terus salat Subuh be