Hallo, readers😘🙏terima kasih yang sudah mengikuti kisah Vino dan Kalila sampai sejauh ini. Terima kasih pula untuk GEM-nya, tak doain yang rajin ngasih GEM rejekinya lancar dan dikabulkan semua hajatnya. Pentengin terus ceritanya, yah.. Makan kurma sama kue moci Cup cup muwa muwa, maaciww😅✌❤
Dengan segala persiapan yang telah direncanakan, acara mitoni dilaksanakan di kediaman Papa. Tidak banyak yang kami undang, hanya keluarga, kerabat dekat, dan warga kompleks serta perangkat desa setempat. Pastinya tidak ketinggalan seorang pemuka agama untuk menyampaikan tausiah dan juga seratus anak-anak yatim piatu.Karena aku dan Mas Vino asli keturunan Jawa, maka acara tujuh bulanan seperti ini masih sangat lekat dengan kehidupan kami. Ditambah ada salah seorang leluhurku yang masih berdarah bangsawan. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan saling berbagi kebahagiaan, acara ini juga bertujuan untuk menjaga kebudayaan nenek moyang yang sudah ada. Budaya sendiri merupakan ketetapan dan ciri khas suatu daerah. Lebih dari itu, aku, suami, dan keluarga juga mengharapkan doa dari sanak keluarga dan seluruh orang yang ikut hadir.“Walah ... ayune mantuku,” ucap ibu mertua saat aku dan Mas Vino akan melakukan acara siraman.Aku hanya tersenyum saat digiring untuk duduk. Walau memakai kem
Setelah melewati beberapa problem dan kerikil-kerikil kecil, akhirnya Mbak Eliza dan Mas Alan akan segera melangsungkan acara pertunangan mereka di aula sebuah hotel berbintang di Solo. Selain dekat dengan para kerabat dari pihak Eliza, neneknya yang sudah sepuh juga ingin menyaksikan cucu perempuannya itu dilamar.“Eliz ini cucu perempuanku satu-satunya yang belum nikah. Jadi Simbah harus menyaksikan sendiri kalau dia beneran mau untuk dilamar. Dulu-dulu susah sekali kalau mau diajak serius sama lelaki,” ucap Mas Alan menirukan kalimat neneknya Mbak Eliz saat berkunjung ke Banjarsari-Solo.“Emang usia Mbak Eliz berapa, sih, Mas?”“Kepala tiga lebih dikit.”“Waow, tapi masih cantik, lho.”“Papanya asli orang Kanada. Kakek Eliz pribumi Kanada dan neneknya orang Qatar.”“Uwahh ... itu darah papanya mix dua negara, lalu nikah sama perempuan Jawa asli Solo?”Mas Alan mengangguk.“Pantes, Mbak Eliz cantik paripurna!” pujiku.“Alhamdulillah, tapi, ya ... harus pinter-pinter jaga dia. Tiap j
“Loh, katanya mau ambil kado di mobil?” tanyaku saat mendekati mereka.Tiga orang lelaki menoleh. Aku menatap ketiganya secara bergantian.“Ee ... Pak Damian, kenalin ini istri saya, namanya Kalila,” ujar Mas Vino.Lelaki dengan bibir tipis dan senyum simpul dari kedua sudut bibirnya itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai isyarat perkenalan. Aku pun melakukan hal yang sama. Dengan baju koko lengan panjang dan celana jeans yang dikenakan, dia tampak seperti seorang santri atau ustaz walau tanpa peci atau kopiah di kepalanya.Eh, Sebentar! Apa dia Damian yang memesan rancangan desain bangunan pesantren yang Mas Vino ceritakan waktu itu? Beberapa detik suasana menjadi hening hingga suara keletuk high heels mendekat.“Lan, Papa minta kamu–”Aku menoleh. Mbak Eliza tampak terpaku melihat teman Mas Vino.“Damian?”“E-liza?”Dengan cepat Mas Alan menarik tangan tunangannya itu dan merapatkan tubuh mereka. Seketika otakku langsung loading dengan cepat mengingat nama Damian yan
Mas Vino segera membawaku turun melalu lift hingga lantai dasar. Kondisi yang sudah mendekati tengah malam membuat suasana tak terlalu gaduh dan ramai. Namun, tetap saja Mas Alan dan lelakiku panik. Selain mereka belum ada yang berpengalaman dengan wanita hamil, mereka juga bukan anggota medis.Aku terus mendesis menikmati sakit yang masih membelit. Apa iya aku akan melahirkan di usia kandungan 36 minggu? Jika iya, itu artinya bayiku akan lahir prematur? Ya Allah ...."Sabar, Sayang ... bentar lagi kita sampai."Di dalam mobil, kuhirup napas dalam-dalam melalui hidung dan mengeluarkannya secara perlahan lewat mulut. Setidaknya hal itu sedikit mengurangi rasa sakit."Mas, cari klinik terdekat aja, yang buka 24 jam. Takut Kalila kenapa-napa.""Iya, Vin. Ini juga udah tolah-toleh cari klinik."Mas Alan yang menyetir, sementara aku dan Mas Vino duduk di kursi belakang. Tidak berapa lama, mobil berbelok ke arah halaman luas, seperti pelataran parkir. Sebab, di depannya tampak bangunan luma
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru