Pandangan Seruni terkunci pada layar ponsel, memastikan apa yang dilihatnya memang anggota komplotan si tato kalajengking. “Sa-saya pernah ketemu dia, Mbak.” Seruni berkata dengan suara bergetar. Mendadak tubuhnya gemetar. Wajah lelaki itu masih tersimpan di kepala Seruni. Begitu juga saat ia mabuk dan hampir menubruk dan mencium Seruni. Kenangan pahit, tetapi enggan pergi dari ingatan. “Makasih Seruni. Maaf aku sudah membuatmu tidak nyaman,” ujar Kanaya penuh sesal. “Habiskan tehmu dan istirahatlah.” Kanaya tersenyum iba. Seruni bisa menjadi saksi dan salah satu kunci untuk membongkar sindikat prostitusi terbesar di Yogyakarta, tetapi Kanaya tidak boleh memaksanya. Ia harus berhati-hati dan pelan-pelan mengorek keterangan gadis itu. Seruni mengosongkan cangkir. Rasa teh yang sudah dingin itu semakin aneh, sangat berbeda dengan teh buatan almarhum Ibu atau Bibi. Dua perempuan itu selalu bisa menghasilkan seduhan teh dengan rasa dan aroma yang pas. Satu hal yang belum bisa diwarisi Se
“Ceroboh!” Bram berdecak. Ditatapnya Seruni sekilas lalu mendekati kotak obat.. Kotak bercat putih dengan tanda tambah merah di kedua pintunya itu menggantung di dinding sebelah kiri. Lirikan kesal Seruni bertemu dengan raut muka acuh Bram. Diabaikannya cemoohan lelaki itu. Ia berjongkok kemudian mengusap dan meniup punggung kaki yang terkena bagian atas pisau. Beruntung, kakinya terkena sisi tumpul pisau, bukan sisi tajam sehingga hanya mengakibatkan nyeri. “Kasih ini.” Bram mengulurkan sebuah botol dengan berisi cairan cokelat. Minyak zaitun. Seruni membaca tulisan yang tertempel di bagian depan botol. Ujung alis Seruni sedikit berkerut. Seingatnya, harga minyak zaitun cukup mahal dan biasa digunakan untuk campuran salad atau menumis bumbu. Kenapa bisa di keluarga Bram minyak ini ada di kotak obat? “Dioleskan saja sedikit, biar tidak terlalu nyeri,” lanjut Bram dengan mata tertuju ke kaki Seruni. Nada bicaranya tidak lagi ketus. “Terima kasih, Pak.” Tanpa melihat wajah Bram,
“Maaf, Mbak, Pak, saya berangkat sendiri saja. Saya sudah tahu jalur Trans Jogja. Saya akan sampai hotel tepat waktu.”Andai hubungannya dengan Bram layaknya teman dan awal pertemuan dengan pria itu bukan karena sebuah insiden, tentu Seruni akan menerima tawaran untuk berangkat bersama. Selain hemat waktu dan biaya, kapan lagi bisa merasakan naik mobil mewah di samping laki-laki ganteng. Ya, ampun, Seruni, kamu mikir apaan, sih? “Gimana, Mas? Mau kamu anter atau biar dia berangkat sendiri?”“Terserah dia saja.” Bram menjawab acuh tanpa melihat pada Seruni. Lelaki itu sibuk menyuapi dan mendengar celoteh bocah di pangkuannya.Ucapan Bram melegakan Seruni. Kalau sampai karyawan lain tahu dia datang ke La Luna bersama bos La Luna itu, gosip tentangnya akan semakin santer dan dia akan kesulitan berkelit.“Ya, sudah terserah kamu saja.” Kanaya menghentikan perdebatan. Ia khawatir, membujuk Seruni akan membuatnya kembali lapar. Lebih baik membiarkan gadis itu dengan keputusannya. Kanaya ti
‘Itu anak baru di dapur, kan?”“Katanya, sih, gitu.”Suara dengan nada sinis itu kembali terdengar di telinga Seruni. Sempat terlelap sejenak, Seruni mulai sadar kalua apa yang didengar bukan mimpi. Apalagi ketika suara itu kembali terdengar dan kali ini lebih keras.“Nggak level banget Pak Bram naksir anak dapur.”“Namanya juga cinta. Bisa mampir ke siapa saja.”Akhirnya kelopak mata Seruni terbuka. Ia menegakkan tubuh lalu menoleh ke kiri dan kanan hingga kedua matanya bertemu wajah dua perempuan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk/Apakah mereka yang sejak tadi gosipin aku? Kalau dilihat dari seragamnya, mereka resepsionis di sini. “Maaf, Mbak, saya ketiduran.” Seruni berdiri kikuk lantas mengangguk sopan. Ia sengaja meminta maaf seolah kedua karyawan itu keberatan karena Seruni tertidur di sofa lobi. Seruni tidak ingin mereka curiga ia telah mendengar sebagian pembicaraan mereka.Dua perempuan dengan riasan sederhana, tetapi terlihat ayu itu saling berpandangan. Keduanya
“Apa ada perkembangan baru dari kasus ini, Mbak?” Bram mulai merasa kalau masalah yang dihadapi Seruni lebih rumit dari perkiraannya. “Iya, Pak. Tapi untuk lebih jelasnya langsung ketemu Mbak Dewi saja karena saya tidak punya kewenangan untuk menjelaskan.” Mata perempuan itu melirik Seruni yang berdiri sedikit di belakang Bram.Bram tersenyum mafhum. Tidak semua data memang bisa diumbar bebas. ““Kalau nanti status korban naik menjadi saksi dan membutuhkan perlindungan, Bapak bisa mengkonfirmasi polisi dan Mbak Dewi. Kami juga punya shelter khusus yang bisa dimanfaatkan.”“Sepertinya belum perlu. Saya bisa mengatasinya sendiri. Dia aman di rumah saya.” Kasus? Korban? Seruni menatap Bram dan perempuan itu bergantian dengan sorot mata bingung. Kanaya dan Bram tidak pernah menjelaskan padanya dan kini ia terlempar masuk ke dunia baru. Lalu, ingatannya bertemu wajah si tato kalajengking. Apa laki-laki itu melaporkan aku ke polisi? Seruni penasaran, tetapi tidak punya cukup nyali untu
“Ehm, jadi gini, Seruni ….”Melihat paras pasi gadis di hadapannya, Dewi segera meraih salah satu tangan Seruni dan menggenggamnya seraya tersenyum menenangkan.“Polisi cuma mau nanya ke kamu. Jawab sejujurnya. Kalau nggak tahu, kamu bilang saja apa adanya.”Seruni bergeming sesaat. Ia memegang kuat-kuat lengan Bram sementara matanya tidak pernah lepas dari wajah Dewi.Hampir saja Bram mengaduh karena cengkeraman Seruni begitu kuat. Diliriknya gadis di sampingnya sambil menghela napas. Berada di dekat Seruni saat kondisi kritis ternyata sangat menyakitkan. Setelah ditendang, kini lengannya harus menjadi korban. Bram menyesal menanggalkan jas dan menggulung kemeja sampai siku sehingga kuku Seruni seperti menembus kain pakaian yang dikenakannya.“Semua akan baik-baik saja, Seruni. Kamu nggak usah khawatir.”“Apa penjahat itu melaporkan saya?”Dewi sedikit menelengkan kepala. “Jadi kamu memang beneran pernah berhubungan dengan salah satu mucikari besar di kota ini?”Sejenak mulut Seruni
“Saya?” Seruni menunjuk dirinya dan menatap Rain dengan bingung.“Mommy.” Bibir mungil gadis kecil itu mengulang panggilannya.“Bukan, Sayang. Itu Kakak Seruni, bukan Mommy.” Bram berbicara seraya menggerakkan salah satu tangan yang tidak digunakan untuk menggendong.Seruni menggeser posisi. Kini ia berada di depan Bram sehingga tidak perlu menoleh ke belakang agar bisa bertemu pandang dengannya. “Halo, Rain. Senang berkenalan denganmu.” Seruni memegang jemari lembut milik Rain.“Kakak Seruni senang berkenalan denganmu, Sayang.” Bram berkata sembari menjelaskan dengan bahasa isyarat. “Tapi Kakak Seruni bukan Mommy. Mommy Rain sudah di surga. Rain masih ingat cerita Daddy, kan?”Mengesampingkan rasa takutnya akan dimarahi Bram, Seruni nekat menatap wajah lelaki itu karena mendengar suaranya yang bergetar. Seruni bisa melihat jika paras tampan Bram mendadak keruh dan sorot matanya meredup. Tidak ada lagi Bram yang ketus dan galak. Di hadapannya kini berdiri pria rapuh dengan luka menga
“Ceroboh!” Hardikan Bram mengguncang telinga Seruni yang tergopoh menghampiri Rain. Pria itu terburu-buru berlari keluar dapur saat melihat putrinya jatuh.Awalnya, tidak ada yang salah dengan Rain. Gadis itu minta turun dari gendongan lalu berjingkrak-jingkrak sambil menggerak-gerakkan bunga di tangan. Pipi Rain bersemu merah terkena terpaan cahaya matahari pagi. Poni dan rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergerak-gerak seiring gerakan tubuh Rain.Lalu, gadis itu berlari ke dapur saat melihat sang ayah tengah mengamatinya dari balik jendela. Tangan Rain menggenggam beberapa tangkai zinnia merah dan kosmos kuning yang dipetik Seruni. Ia ingin memperlihatkannya pada Bram, tetapi kakinya tersandung jalan setapak menuju air mancur hingga tubuhnya jatuh terjerembab mencium tanah. Pipi dan tangannya lecet. Wajah Rain kotor oleh tanah bercampur air mata.“Maaf, Pak.” Seruni mendekati Rain dengan jantung serasa mau melompat keluar. Hati Seruni menciut tatkala mendapati paras dan mata Bram di
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge