“Saya?” Seruni menunjuk dirinya dan menatap Rain dengan bingung.“Mommy.” Bibir mungil gadis kecil itu mengulang panggilannya.“Bukan, Sayang. Itu Kakak Seruni, bukan Mommy.” Bram berbicara seraya menggerakkan salah satu tangan yang tidak digunakan untuk menggendong.Seruni menggeser posisi. Kini ia berada di depan Bram sehingga tidak perlu menoleh ke belakang agar bisa bertemu pandang dengannya. “Halo, Rain. Senang berkenalan denganmu.” Seruni memegang jemari lembut milik Rain.“Kakak Seruni senang berkenalan denganmu, Sayang.” Bram berkata sembari menjelaskan dengan bahasa isyarat. “Tapi Kakak Seruni bukan Mommy. Mommy Rain sudah di surga. Rain masih ingat cerita Daddy, kan?”Mengesampingkan rasa takutnya akan dimarahi Bram, Seruni nekat menatap wajah lelaki itu karena mendengar suaranya yang bergetar. Seruni bisa melihat jika paras tampan Bram mendadak keruh dan sorot matanya meredup. Tidak ada lagi Bram yang ketus dan galak. Di hadapannya kini berdiri pria rapuh dengan luka menga
“Ceroboh!” Hardikan Bram mengguncang telinga Seruni yang tergopoh menghampiri Rain. Pria itu terburu-buru berlari keluar dapur saat melihat putrinya jatuh.Awalnya, tidak ada yang salah dengan Rain. Gadis itu minta turun dari gendongan lalu berjingkrak-jingkrak sambil menggerak-gerakkan bunga di tangan. Pipi Rain bersemu merah terkena terpaan cahaya matahari pagi. Poni dan rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergerak-gerak seiring gerakan tubuh Rain.Lalu, gadis itu berlari ke dapur saat melihat sang ayah tengah mengamatinya dari balik jendela. Tangan Rain menggenggam beberapa tangkai zinnia merah dan kosmos kuning yang dipetik Seruni. Ia ingin memperlihatkannya pada Bram, tetapi kakinya tersandung jalan setapak menuju air mancur hingga tubuhnya jatuh terjerembab mencium tanah. Pipi dan tangannya lecet. Wajah Rain kotor oleh tanah bercampur air mata.“Maaf, Pak.” Seruni mendekati Rain dengan jantung serasa mau melompat keluar. Hati Seruni menciut tatkala mendapati paras dan mata Bram di
Pria bertopi tengkorak itu berdiri dengan posisi menghadap ke jendela bus, menatap kendaraan yang sesekali menyalip. Seperti biasa, pagi itu Trans Jogja dipenuhi penumpang, tetapi tidak terasa pengap karena suhu rendah dari mesin pendingin. Dirirupnya udara beraroma parfum dan bedak dengan wangi beragam, mengingatkan lelaki itu pada permen Nano-Nano yang pernah tren.Satu dua kali lirikan pria bertopi tengkorak itu bertemu pandang dengan Seruni. Ia bisa merasakan jejak curiga pada mata gadis itu sehingga akhirnya memutuskan turun di halte kedua dan mengubah rute perjalanan.Membiarkan Seruni berganti bus, laki-laki bertopi tengkorak itu memilih ojek online sebagai pengganti Trans Jogja. Ia tiba di halte terdekat dengan La Luna jauh lebih cepat ketimbang Seruni. Ia masih punya waktu untuk menghubungi salah satu temannya agar membawakan baju kemudian berganti kostum. Seruni tidak akan curiga karena ia menambahkan kumis dan cambang lebat.Pria bertopi tengkorak, kini ia menggunakan topi
Menghabisi Seruni? Tuan Besar mendengkus. Aku memang akan merencanakannya, tapi nanti, setelah mencicipi tubuhnya. Jangan sampai dia mati sebelum aku sempat melakukan apa pun. “Sekarang Seruni bukan ancaman utama bisnis kita, Gou,” ujarnya dingin. “Justru masalahnya ada di kamu karena identitas lengkap kamu sudah di tangan polisi. Aku bisa pastikan, polisi juga pasti sudah mengendus markas kita.”“Sesuai perintah, markas sudah pindah, Tuan. Anak-anak semua tiarap. Tuan tidak perlu khawatir.” Si tato kalajengking mencoba berkelit. “Sebelum Seruni kembali membuat ulah, lebih baik dia kita habisi dulu, Tuan. Serahkan pada saya. Semua akan beres dalam hitungan jam.”Si Tuan Besar tersenyum sinis. Dasar tak tahu diri. Masih sempat-sempatnya dia membual!“Kenapa tidak kau pikirikan kemarin, waktu Seruni lepas, hah?” Kepalan tangan Tuan Besar membentur meja kayu jati hingga pulpen dan asbak di atasnya berlompatan. “Harusnya, kamu segera cari dan tangkap dia! Bukan membiarkannya bebas dan s
Honda Accord yang dikemudikan Bram memasuki area parkir Hotel La Luna. Pria itu melihat tablet kemudian mengecek pesan WhatsApp. Lalu, tanpa berkata apa pun pada Seruni, Bram turun dari mobil.“Terima kasih, Pak.” Seruni mengangguk sopan pada Bram. Hatinya mulai tidak enak karena melihat resepsionis yang menggosip tentangnya kemarin lewat di depannya. Karyawan itu menatap sinis Seruni setelah tersenyum pada Bram.“Hemm.” Bram melirik Seruni sekilas dan meneruskan langkah dengan cepat seolah ia akan tertinggal sesuatu jika tidak bergegas.Seruni menghela napas. Dilihatnya tubuh Bram seraya berjalan di belakangnya. Setelah ini, hidupnya di La Luna akan semakin berat. Semakin banyak karyawan tahu dia terhubung dengan Bram. Tadi, ia terpaksa menerima tumpangan Bram karena takut terlambat presensi kedatangan. Ia sedang menjalani masa percobaan. Satu kesalahan akan menggagalkan semua usahanya. Menerima tawaran Bram untuk bareng sampai La Luna adalah satu-satunya pilihan agar tidak telat mes
“Silakan duduk, Om. Kita sudah separuh jalan.” Bram mengabaikan protes Aditya. Ia berkata dengan santai meski dadanya disesaki gumpalan rasa kesal. Terlambat satu dua menit masih bisa ditolelir, tetapi hampir setengah jam, Bram seperti ingin menerkam dan membanting sang paman. “Kenapa tidak menunggu aku? Semua kebijakan dan keputusan perusahaan harus atas sepengetahuan aku.” “Duduk dulu, Om, biar enak ngomongnya.” Bram menarik kursi di samping Kai. “Rapat kita masih lama dan kita tidak punya waktu untuk berdebat.” Bola mata Aditya memindai semua peserta rapat pagi itu. Aditya bisa membaca keinginan mereka agar tidak memperpanjang masalah. Perseteruannya dengan Bram memang seperti akar pohon beringin berusia ratusan tahun. Setelah menimbang sejenak, Aditya memenuhi perintah Bram. Masih dengan menahan kesal di hati, pria dengan rambut klimis itu mendekati kursi di samping Kai. Sesaat, wajah Bram berkerut. Hidungnya bisa menghidu aroma anggur dan parfum perempuan dari baju Aditya. T
Ruang rapat sejenak hening. Deru mesin pendingin dan detak jarum jam meningkahi ketukan pulpen Bram di atas meja, mengisi sunyi yang menjeda. Semua mata tertuju pada Bram, menantinya memberi klarifikasi. Rumor tentang Bram dan Seruni memang sudah beredar luas di tengah karyawan La Luna. Jika dibiarkan, akan menjadi api yang bisa jadi akan membakar jerih payah membesarkan La Luna selama ini. “Saya setuju dengan Bos Kai.’ Suara Nina menghentikan ketukan pulpen Bram. Bola mata hitamnya bertemu pandang dengan paras cantik kepala HRD itu. Di depan staf lain, Nina berusaha profesional, sangat kontras dengan sikapnya jika hanya berdua dengan Bram. Dia akan berbicara dengan lembut dan kadang sedikit menggoda. “Tempo hari Pak Bram sudah melanggar SOP penerimaan pegawai dengan memasukkan Seruni tanpa melalui program rekruiitmen resmi.” Nina ikut menambahkan. Ia jadi punya kesempatan untuk meluapkan kekesalannya karena Bram terkesan melindungi dan memberi ruang lebih pada Seruni. Padahal selam
“Ada anak baru di dapur, Kai?” Aditya sengaja berdiri di tengah sehingga Seruni tidak bisa lewat. Meski wajahnya menghadap Kai, tetapi lirikan matanya tetap tertuju pada gadis itu.Dalam hati, Aditya sibuk mengumpat si tato kalajengking yang mungkin saat ini sudah mati. Gou dan anak buahnya benar-benar bodoh karena tidak mampu menangkap Seruni padahal gadis itu sudah ada di depan mata.Aditya sebenarnya bisa mengerahkan tukang pukul lainnya untuk menangkap Seruni, tetapi sekarang ia sedang tiarap karena jejaknya mulai terendus polisi. Sedikit saja operasinya bocor atau gagal, dia bisa diseret ke penjara dengan pasal berlapis karena memiliki bisnis judi dan prostitusi online. Si kepala botak yang selama ini meliindunginya mulai kewalahan karena jajaran reskrim saat ini jauh lebih berani.Satu-satunya cara menghindari dari radar polisi adalah menahan diri dan tidak terlalu agresif. Ia tidak ingin kehilangan sumber utama pundi-pundi kekayaannya. La Luna memang memberikan penghasilan cuku