Indana melihat deretan guci mewah di sebuah kastil yang megah. Guci-guci besar berwarna keemasan setinggi pinggang itu tampak mengkilap. Sangat memesona.
Indana takjub, lalu membelai salah satunya menggunakan ujung jemari dengan penuh hati-hati. Namun, tiba-tiba secara tak sengaja, tangannya malah menyenggol benda itu hingga oleng dan pecah. Dapat dia saksikan serpihan-serpihannya yang berserakan di lantai. Perempuan itu kalut. Lantas, memunguti satu per satu serpihan itu dan mencoba menyatukannya kembali. Dahinya basah oleh peluh. Sementara, hari mulai gelap, tapi tak jua Indana berhasil menyatukan kembali serpihan itu kembali ke bentuk semula. Indana meraung dan menangis sejadi-jadinya dengan masih menggenggam serpihan-serpihan guci itu di telapak tangan hingga terdengar gema suaranya sendiri di dalam kastil.Suara itu beradu dengan tayangan cepat kilasan peristiwa saat dia pertama kali bertemu dengan Furqon. Lelaki yang mencintainya. Indana teramat sangsi, apakah Furqon bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah bunga dengan mahkota yang telah terenggut? Dan pada akhirnya, lelaki itu memang mengambil keputusan untuk melepaskannya.Indana tersadar saat dia mendengar suara dan tepukan keras mendarat di bahu kirinya."Indana!"Refleks perempuan itu membuka mata. Dadanya berdegup kencang seperti sehabis berlari jarak jauh. Dia mendapati Mahiya berdiri di depannya dengan ekspresi bingung."Elo kenapa?" tanya sang sahabat sembari melambaikan telapak tangan tepat di depan mata. Indana langsung menegakkan punggung. "Emmm, Aku ketiduran tadi," jawabnya dengan napas tersengal. "Mimpi apa, sih, lo sampe ngos-ngosan gitu? Aha, gue tahu. Pasti lo lagi mimpi dikejar-kejar Bonge Citayam, ya, kan? Lo kan, ngefans berat ama dia." Mahiya menjentikkan jari dengan senyum menyeringai, khas jika sedang bercanda."Ck! Apaan, sih? Ngapain juga harus Bonge? Lee Min Ho, kek." Indana mencebik kesal. Dia merapikan kembali hijab, lalu menata map-map yang berserakan di meja."Lagian, masih pagi udah bobo cantik aja. Habis ngapain kemaren?" Mahiya duduk di kursi putar yang berada di depannya. Indana tak menggubris dan kembali melanjutkan pekerjaan. Indana masih sangat syok dengan mimpi tadi.Sahabatnya itu mendekatkan wajah ke arah Indana. "Hey. Indana Maheswari. Elo itu pewaris tunggal perusahaan Maheswarya Group. Kerjaan-kerjaan ini bisa dihandel sama gue atau asisten elo.""Aku hobi kerja, Sayang," jawab perempuan itu lembut sambil terus menekan tuts keyboard laptop."Hobi, kok, kerja. Hobi cewek itu hang out. Shooping. Nonton. Nyalon. Gitu, Tuan Putri."Indana menghela napas dan menatap Mahiya dalam-dalam. Dia memang sahabat yang sangat perhatian. Indana tak mungkin berkata jujur jika menyibukkan diri dengan perkerjaan adalah upayanya untuk melupakan rasa sakit akibat gagal bertunangan. Meski setahun telah berlalu namun sakit dan trauma akibat pertunangan yang batal membuatnya tak ingin segera mencari pengganti Furqon dan bekerja merupakan salah satu alasan untuk tetap menjaga kerawasan hati juga pikiran. "Oke, deh. Kayaknya elo bener-bener gila kerja." Mahiya beranjak dari kursi, lalu berjalan menuju ke arah luar ruangan. Saat berada di ambang pintu, dia membalikkan badan. "Entar kalo ada apa-apa atau butuh temen curhat, temen hang out, or apa aja, calling gue."Indana mengangguk pelan sambil tersenyum dan membiarkan sahabatnya berlalu. ***Musik instrumental Nocturne by F. Chopin mengalun lembut. Nada-nadanya yang terdengar menyayat hati semakin mengiris luka yang terlanjur menganga. Indana menyandarkan punggung di kursi kemudi. Tak terasa, air matanya kembali jatuh, mengingat diri yang sudah tak suci lagi sehingga berimbas pada kehidupan asmaranya yang kandas. Dalam hati tebersit tanya, apakah dia memang ditakdirkan untuk tidak berjodoh. Karena pasti semua lelaki lajang menginginkan calon istrinya dalam kondisi belum ternoda.Dalam kekalutan, dia jadi tidak stabil mengemudikan mobil. Indana dikejutkan oleh sosok bocah lelaki yang tiba-tiba akan menyeberang jalan. Perempuan itu lantas banting setir ke kiri, atau jika tidak dia akan menabrak bocah itu."Aaargh!"Kepalanya terasa berdenyut dan terbentur benda yang keras. Setelah itu, pandangannya mulai mengabur, lalu gelap.***Perlahan, Indana membuka kelopak mata yang terasa berat. Dilihatnya langit-langit ruangan bercat putih dengan lampu downlight. Suara-suara riuh dan teriakan terdengar mengusik telinga. Indana menolehkan wajah. Di sana sudah berdiri Mama Cahaya beserta Papa Surya dengan wajah cemas."Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sayang. Terima kasih, Ya Allah. " Mama yang wajahnya tengah sembab memeluknya erat. Indana benar-benar bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya."Syukurlah," sahut Papa Surya."A-ku, kenapa, Ma? Aw!" Indana memekik sambil memegangi kepala. Dia merasakan pusing yang luar biasa saat berusaha mengangkat kepala. Dilihat tangannya yang terhubung selang infus. Terbersit tanya apa dia sedang sakit? Tapi, dia benar-benar lupa dengan kejadian sebelumnya."Kamu, kecelakaan, Inda. Nabrak pohon. Mungkin kamu kelelahan. Kalau lagi capek sepulang dari kantor, kamu, kan, bisa telepon supir untuk menjemput. Mama sangat khawatir."Indana mengangguk pelan sambil berusaha mengingat rangkaian peristiwa yang dijelaskan mama. Dia hanya berhasil mengingat seorang bocah lelaki yang akan menyeberang pohon. Itu saja.Tak berapa lama, tirai putih yang membatasi antarbilik disibak oleh seseorang. "Sudah sadar? Syukurlah." Lelaki berjas putih itu menyapa singkat dengan melengkungkan senyum. Dia memakai stetoskop dan memeriksa area dada. Diceknya posisi selang infus, lalu mengangguk."Bagaimana, Dokter Utsman? Apa Indana baik-baik saja?" tanya Papa Surya."Iya. Kondisi Inda baik. Hanya saja sepertinya masih terjadi syok di area kepala karena benturan ringan. Tapi insya Allah akan lekas membaik."Kedua orang tua Indana mengembuskan napas lega. Indana sedikit bingung, mengapa mereka mengenali sosok dokter tampan di depannya ini? Indana mengurungkan tanya karena masih dilanda rasa sakit yang luar biasa."Sayang, kenalkan, ini Dokter Utsman Al-Habsyi," ucap Mama Cahaya memperkenalkan.Indana mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. "Indana.""Mama kenal?" tanyanya lirih."Iya. Dia putra dari sahabat Mama dan Papa," jawab mama dengan menatap Indana dan dr. Utsman secara bergantian.Lelaki berkulit putih dan hidung bangir itu menatap ke arah Indana. Dr. Utsman tersenyum manis sehingga tampak semburat kemerahan di kedua pipi. Indana menundukkan wajah saat dirasakan pipinya mulai memanas.Meskipun ini ruang IGD, dokter itu tampak tak keberatan melayani pembicaraan dengan kedua orang tua Indana. Pemuda itu terlihat sangat sopan dan ramah. Mereka asyik bercerita satu sama lain. Dibumbui tawa renyah membuat rasa syok akibat kecelakaan tadi mulai berkurang.Dapat Indana lihat cara dokter itu berbicara, lemah lembut, sepertinya dia lelaki yang baik. Wajahnya yang rupawan sejenak berhasil menghipnotis. Ada harapan yang hinggap di hati. Namun, perempuan itu tiba-tiba teringat akan kegagalan yang dia alami. Indana berpikir, sebaik-baik lelaki, mereka pasti akan menolak menikah dengannya jika mengetahui keadaan yang sesungguhnya.Baru saja Indana berharap mendapat perhatian lebih dari dr. Utsman, dia dipaksa dihentak oleh kenyataan. Seandainya lelaki itu masih sendiri, tidak mungkin rasanya jika dr. Utsman mau membina bahtera rumah tangga dengannya.Sambil berbicara dengan kedua orang tua Indana, lelaki bertubuh proporsional itu sesekali melihat Indana dengan senyum. Sampai pada suatu pertanyaan yang mengagetkannya."Apakah Indana masih sendiri?"Indana tersedak mendengar pertanyaan dokter muda itu. Apa dia tidak salah dengar?"Sebaiknya Nak Dokter tanyakan sendiri dengan orangnya." Mama tersenyum menggoda, memberi isyarat agar Dokter Utsman bertanya kepada sang putri.Loh, kok Aku? batinya bertanya.Indana tergagap saat dr. Utsman menoleh dan kedapatan dirinya sedang mencuri pandang. Indana refleks berpura-pura mengecek selang infus. Pemuda yang berprofresi dokter itu tersenyum melihat aksi konyolnya."Bagaimana, Inda?" Suara lembutnya sungguh sangat mengusik naluri.Indana menegang. Oh, Tuhan. Memangnya kamu mau apa jadi tanya-tanya begitu? Namun, itu hanya berani dia ungkapkan dalam hati saja."Eeemmm, saya … masih sendiri, Dok. Belum ada yang mau," jawabnya cengengesan."Kalau ada cowok yang mau, kamu mau, nggak?""Gimana?" Indana mengerutkan kening meminta penjelasan sekali lagi. Biasa, wanita memang butuh penjelasan dan pengakuan berkali-kali.Dokter Utsman tersenyum lebar. "Maksudnya, kalau ada yang suka sama kamu, dan
Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda."Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang. Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagal
"Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu."Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana. Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendir
Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut."Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget."Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?""Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?""Besok malam.""Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asis
Lelaki tampan itu tampak gusar. Dia mengusap wajahnya kasar. Rahangnya mengeras, lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. "Kamu mencintainya?" tanya dr. Utsman tanpa melihat Indana. Tampak di wajahnya ada gurat kecemburuan.Indana mengalihkan pandang. Melihat dua muda-mudi di salah satu kursi yang saling menyuap makanan satu sama lain. Manis sekali."Iya. Sangat."Tak dinyana, dr. Utsman mencengkeram kedua lengan Indana erat. "Dengar, Indana. Akan kupastikan tidak ada yang bisa melebihi cintaku kepadamu. Jika kamu menginginkan sesuatu yang ada pada lelaki itu, katakan. Aku akan berusaha memilikinya. Agar kamu juga benar-benar mencintaiku." Utsman mengucapkan dengan suara bergetar dan tatapan mata penuh harap.Indana menghela napas berat. Lalu, menyunggingkan senyum. Sesaat, Indana sangat terharu dengan perlakuannya. "Lelaki itu Papa saya, Dok."Perlahan, dr. Utsman merenggangkan cengkeraman tangan. Wajahnya lega. Dia jadi salah tingkah. "Maaf, Inda. Kupikir … lelaki itu adalah
Dr. Utsman menghentikan langkah. Lalu, menoleh ke arah Indana."Kenapa?""Jangan ditinggal."Pemuda itu tersenyum lebar seraya membentangkan satu tangannya."Apa, nih, maksudnya?" tanya Indana curiga."Nggak apa-apa, kok. Ini isyarat biar kita bisa jalan bareng.""Eh, kirain ….""Apa, hayo?""Kirain mau meluk tadi," ucap Indana malu-malu karena sudah terlalu ge-er."Memangnya mau dipeluk sekarang? Ayolah sini.""Ogaaah." Indana mendahuluinya dengan berlari-lari kecil.Benar saja, keluarga mereka menanyakan kepergian keduanya yang agak lama. Hanya khawatir jika terjadi apa-apa. Sebelum mereka pulang, dr. Ilyas mengatakan sesuatu."Insya Allah, dua pekan ke depan, kami sekeluarga akan datang kembali. Dengan agenda untuk mengkhitbah Indana.""Maa syaa Allah. Alhamdulillah. Suatu kehormatan bagi kami menerima kedatangan dan niat baik keluarga Dokter Ilyas untuk mempersatukan dua keluarga ini." Papa Surya begitu semringah saat menjawab permintaan sahabatnya itu.Wajah dr. Utsman berseri-se
"Apa?" tanya Indana tak sabar."I love you," bisik pemuda itu lembut.Bisa-bisanya dia menggoda di tengah banyak orang begini. Indana spontan menepuk bahu dr. Utsman dengan mata membola. "Tapi suka, kan?" goda pemuda itu lagi dengan dua alis yang terangkat, tak ayal membuat Indana menahan tawa.Dasar. Ganteng-ganteng gombal!***Hari masih pagi. Keluar dari mobil, Indana sudah menerima panggilan telepon dari asistennya terkait kegiatan meeting hari ini."Jam sembilan pagi sampai selesai meeting dengan PT. Pandawa Group. Jam dua siang sampai selesai dengan PT. Lima Cakra. Berkasnya sudah saya siapkan di ruangan, Bu." Asistennya itu selalu sigap mengingatkan akan jadwal meeting."Terima kasih."Indana menutup panggilan, lalu segera melangkahkan kaki ke ruangan. Saat menyapa staf resepsionis, seorang petugas mencegah langkahnya."Ya, ada apa?""Ada kiriman paket bunga, Bu." Staf tersebut menyerahkan sebuket mawar merah dengan pita berwarna merah muda.Indana menautkan alis. "Dari siapa?
Indana terus memikirkan tentang paket buket bunga itu. SG. Jangan-jangan, itu inisial dari Saddam. Eh, tapi bisa saja bukan. Mungkin saja itu kiriman dari seorang partner bisnis. Ah, Indana jadi paranoid dengan lelaki itu sekarang.Indana berdesis pelan. Panik luar biasa. Bagaimana mungkin dia yang sudah lama dia lupakan justru datang di saat Indana akan menikah? Ya, Tuhan. Jangan sampai Utsman tahu tentang hal ini.Indana melihat jam di dinding. Hampir setengah jam Indana mondar-mandir tidak jelas. Waktu telah beranjak sore. Sebenarnya dia bisa pulang sekarang. Namun, pikiran tentang Saddam mencegah.Tiba-tiba Indana teringat mawar merah yang di letakkan di vas. Keinginannya sekarang beradu antara membuangnya atau tidak. Akhirnya, setelah melalui perdebatan batin yang sengit, Indana urung membuangnya sampai terang benderang perihal si Saddam ini.Sebenarnya Indana bisa saja acuh tak acuh tentang keberadaan pemuda masa lalunya. Anggap saja Saddam sedang mencari jalan rezeki dan karirn
Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik
Indana beranggapan jika Saddam tak benar-benar mencintai dirinya. Mungkin yang Saddam lakukan hanya sebagai bentuk penyesalan dan dia merasa bertanggung jawab atas kemalangan Indana. Bukan Saddam namanya jika tak bersikeras dan berupaya mati-matian untuk terus menemui Indana. Baginya, cinta harus diperjuangkan. Harus ada pengorbanan yang dilakukan sebagai bukti dan bukan bualan semata. Di usianya saat ini dia memiliki pandangan bahwa mencintai seorang wanita berarti siap memperjuangkan wanita itu untuk dinikahi. Saddam tak main-main. Dia mengerahkan seluruh yang ia punya demi Indana, satu-satunya wanita yang dicintainya. Dia tidak peduli jika saat ini Indana terus menolaknya. Saddam meyakini bahwa suatu saat nanti hati Indana akan luluh dan menyadari betapa besar rasa cintanya untuk gadis itu.Indana masih dirundung rasa kecewa oleh sikap Utsman dan Saddam. Baginya kini, dua lelaki itu tak ubahnya penjahat yang telah bersekongkol dan dengan sengaja ingin membuatnya hancur. Gadis i
"Om, Tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mulai saat ini, saya melepaskan pinangan saya terhadap Indana."Kedua orang tua Indana lantas syok. "Ta-pi, kenapa, Nak?" *****Indana dan kedua orang tuanya syok setelah Utsman menyatakan melepaskan pinangan atas Indana. Meskipun sudah menerima keputusan dari Utsman bahwasanya lelaki itu tidak ada kecenderungan terhadap Indana, tetap saja berita itu sulit diterima oleh kedua orang tua Indana. Mereka sangat kecewa. Apalagi tempo hari Utsman menyatakan ingin mempercepat tanggal pernikahan.Lesap sudah harapan kedua orang tua Indana terutama mamanya yang sangat ingin Indana menikah. Berharap setelahnya dapat menimang cucu.Hubungan Indana dan Utsman perlahan merenggang. Gadis itu kecewa Utsman memutuskan secara sepihak tanpa meminta pendapatnya terlebih dulu. Terlebih lagi hanya berbekal pengamatan sepintas dari sikap Indana. Indana jadi menyimpulkan bahwa alasan tidak ada kecenderungan saat istikharah adalah alasan Utsman
Bunyi ketukan sepatu pantofel beradu dengan lantai terdengar menggema di lantai dasar. Para staf dan sekuriti mengangguk sopan begitu melihat Indana yang sedang berjalan di depan mereka. Jam kerja hampir usai. Setelah Indana beranjak meninggalkan kantor, karyawan lainnya bersiap-siap untuk pulang.Indana membetulkan letak tali tas yang dia kaitkan di bahu dan bersiap membuka pintu mobil. Namun, dering panggilan dari ponsel menghentikan aktivitasnya. Segera dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu segera mengusap layar begitu melihat nama peneleponnya."Assalamu'alaikum, Mas Utsman," sapa Indana. Satu tangannya membuka pintu mobil, lalu dia duduk di kursi kemudi."Wa'alaikumsalam. Sudah pulang, Inda?""Ini baru keluar kantor. Mas udah di tempat praktek?""Iya. Tapi kayaknya hari ini list pasien ga sebanyak biasanya. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal.""Hemmm, gitu. Ya udah, nanti kalau udah pulang langsung istirahat. Kan, acara pernikahan kita sebentar lagi." "Habis pulang dari prakte