Lelaki tampan itu tampak gusar. Dia mengusap wajahnya kasar. Rahangnya mengeras, lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
"Kamu mencintainya?" tanya dr. Utsman tanpa melihat Indana. Tampak di wajahnya ada gurat kecemburuan. Indana mengalihkan pandang. Melihat dua muda-mudi di salah satu kursi yang saling menyuap makanan satu sama lain. Manis sekali. "Iya. Sangat." Tak dinyana, dr. Utsman mencengkeram kedua lengan Indana erat. "Dengar, Indana. Akan kupastikan tidak ada yang bisa melebihi cintaku kepadamu. Jika kamu menginginkan sesuatu yang ada pada lelaki itu, katakan. Aku akan berusaha memilikinya. Agar kamu juga benar-benar mencintaiku." Utsman mengucapkan dengan suara bergetar dan tatapan mata penuh harap. Indana menghela napas berat. Lalu, menyunggingkan senyum. Sesaat, Indana sangat terharu dengan perlakuannya. "Lelaki itu Papa saya, Dok." Perlahan, dr. Utsman merenggangkan cengkeraman tangan. Wajahnya lega. Dia jadi salah tingkah. "Maaf, Inda. Kupikir … lelaki itu adalah pria pujaanmu. Ah, Aku terlalu gegabah." Pemuda itu mengatakannya dengan ekspresi tak nyaman. Indana tersenyum tipis. Berusaha mengerti akan kekhawatirannya. "Saya tidak punya pria pujaan. Karena saya tahu diri dengan keadaan saya." Mengapa, selalu saja Indana terngiang-ngiang oleh masa lalu. Indana seperti terperangkap di dalamnya. "Indana, tatap wajahku." Indana menuruti perintah lelaki di hadapannya. Lalu, kedua sorot mata mereka memerangkap satu sama lain. Menimbulkan detak dan gelenyar aneh di dalam hati. Baru Indana sadari, ternyata Utsman lelaki yang sangat tampan. Kebaikan hatinya menjadikannya semakin sempurna. Rasanya, masih tak percaya jika pemuda itu memiliki perasaan khusus terhadapnya. "Sekarang, kamu memilikinya. Aku siap menjadi lelaki yang selalu ada untukmu. Bahuku siap kapan saja kaugunakan untuk bersandar di saat letih. Pun, Aku siap untuk kaubagikan rasa sakit dan luka," ucap lelaki berhidung bangir itu dengan mantap. Indana sungguh terharu mendengarnya. Ingin rasanya Indana menangis. Namun, urung dia lakukan karena tempat ini terlampau ramai. "Terima kasih. Terima kasih banyak. Anda sudah bersedia melakukan semua hal ini." Indana berkata lirih sambil menahan-nahan air mata yang tumpah. "Jangan risaukan Aku, Inda. Jika masalah cinta, sungguh Aku sejuta persen sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Yang Aku khawatirkan adalah jika kamu menemukan kelemahanku dan itu menjadikan alasan bagimu untuk tidak mencintaiku." "Maafkan saya, ya." Indana menatapnya dengan mata yang sudah sangat perih. "Apa kamu yakin sekarang?" tanya dr. Utsman penuh harap. "Iya. Saya yakin. Yakin sekali." Indana mengangguk mantap. Untuk pertama kalinya Indana meyakini lelaki sedalam ini. Akhirnya air mata yang dibendung luruh sudah. Dr. Utsman tampak kebingungan harus berbuat apa. Dia sangat menjaga Indana dan berkomitmen untuk tidak menyentuh perempuan itu lebih jauh. Akhirnya pemuda hanya berdiri di belakangnya. "Maaf, Aku berdiri lebih dekat begini supaya orang-orang tidak melihat kamu sedang menangis," bisiknya lirih. Setelah puas menangis, Indana meminta dr. Utsman berpindah ke sampingnya. "Kamu capek? Kalau capek, kita bisa pesan yang ada di sini." "Enggak. Saya nyaman begini. Berdiri dan melihat keindahan kota dari ketinggian begini, sungguh sangat menakjubkan." Utsman mengangguk. Sesaat, keduanya terdiam. Tenggelam dengan pikiran masing-masing. Pikiran Indana berkelana, bercabang, antara masa lalu dan masa depan. Sudah sejauh ini perjalanan hidupnya. Sudah lama pula luka itu bersemayam. Saatnya dia menyudahi semuanya. Tidak adil jika dia terus-terusan mempermasalahkan kehidupan yang lalu, sementara di depan sudah ada orang yang siap jika pun harus jatuh dan membagi luka. Perlahan, Indana memandang wajah maskulin dr. Utsman. Ia tampak tersenyum dengan memandang lurus ke depan. Sesekali melihat keindahan kota di bawah sana. Sesekali pula, tanpa sengaja keduanya saling menatap. Lalu, saling membuang pandang. Seperti dua remaja yang baru merasakan cinta pertama. "Bagaimana dengan pekerjaanmu, Inda?" "Selama ini baik-baik saja. Alhamdulillah, terhandel dengan baik. Hanya saja, saya harus banyak belajar dengan Papa yang lebih berpengalaman mengelola bisnis properti ini." "Apa dalam waktu dekat akan membuka residence baru?" "Ya. Planning itu tentu saja selalu ada di program kerja dan berlangsung kontinyu. Selanjutnya, insya Allah kami akan membuka residence berbasis syariah." "Emmm, bagitu, ya? Ngomong-ngomong, aku jadi ingin melamar pekerjaan di tempatmu." Indana kontan saja mencubit gemas pinggang dr. Utsman. Akan tetapi, setelah itu Indana meminta maaf karena terlalu bersemangat. Namun, pria yang dicubit itu justru tertawa lebar. "Memangnya mau kerja apa? Keluarga Anda adalah pemilik saham terbesar salah satu rumah sakit swasta. Memangnya, apa pekerjaan yang cocok buat seorang dokter di bisnis properti? Ada-ada aja." "Kerja menjaga hatimu." Indana makin tak terkontrol. Indana menepuk pundak Utsman sambil terbahak. Itu kebiasaannya ketika bersama Mahiya saat mereka sedang membahas hal-hal yang sangat lucu. "Aduh. Aduh. Ini KDRT namanya," kelakar dr. Utsman dengan menyilangkan kedua tangannya tepat saat tangan Indana akan mendarat di bahu jenjangnya. Indana jadi salah tingkah dan memilih menyudahi aksi random-nya barusan. "Kamu lucu banget, Inda." Di tengah suasana yang riuh oleh canda tawa itu, Indana tiba-tiba teringat satu hal. Sesuatu yang sangat krusial. Yang pernah dibahas dengan pemuda itu. "Dok." "Hemmm?" "Saya jadi merasa khawatir." "Tentang apa? Ayo, bilang." Rakus perempuan itu menghirup udara hingga dadanya terasa penuh. Lalu, Indana menerawang langit yang saat itu dipenuhi kerlip ribuan bintang. Kegamangan serta merta meliputi hatinya. Terbayang wajah kedua orang tua dr. Utsman yang begitu baik. Lalu, mendapat menantu dengan keadaannya yang seperti itu. Namun, Indana tetap berharap, semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. "Saya khawatir, ayah dan ibu dokter tidak menerima saya." Lelaki itu mengernyitkan kening. "Loh, memangnya kenapa begitu? Ayah dan Ibu sangat setuju sejak awal kusampaikan niatku. Terlebih, mereka adalah sahabat mama dan papamu." Indana kembali menghela napas. "Itu karena, mereka tidak mengetahui ada yang cacat dalam diri saya. Dokter sudah tahu, itu kan? Saya jadi khawatir, mereka tidak menerima saya jika mereka tahu saya sudah tidak gadis lagi. Mereka pikir, saya adalah wanita baik-baik yang masih terjaga kehormatannya. Tapi, ternyata saya adalah sekuntum bunga tanpa mahkota. Saya takut, suatu hari dianggap menipu keluarga Anda." Perih seketika menjalari hati. Bodoh sekali. Indana baru terpikirkan hal ini. Lelaki itu diam sejenak. Lalu, dia mendekatkan wajah tepat di depan wajah perempuan berhijab itu. Dia meminta Indana balas menatapnya. "Dengar, Inda. Kumohon kamu jangan cerita masa lalu kepada Ayah dan Ibu. Biar Aku saja yang mengetahuinya. Secara logika, memang benar apa yang kamu bilang. Tapi, hubungan ini kita yang menjalani. Manis pahitnya kita yang rasakan. Jadi, jangan beritahu siapa pun. Ya?" Indana menjeda sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Oh, ya, sepertinya kita di sini terlalu lama. Ayo, kita balik. Mereka pasti udah nunggu kita." "Tunggu!"Dr. Utsman menghentikan langkah. Lalu, menoleh ke arah Indana."Kenapa?""Jangan ditinggal."Pemuda itu tersenyum lebar seraya membentangkan satu tangannya."Apa, nih, maksudnya?" tanya Indana curiga."Nggak apa-apa, kok. Ini isyarat biar kita bisa jalan bareng.""Eh, kirain ….""Apa, hayo?""Kirain mau meluk tadi," ucap Indana malu-malu karena sudah terlalu ge-er."Memangnya mau dipeluk sekarang? Ayolah sini.""Ogaaah." Indana mendahuluinya dengan berlari-lari kecil.Benar saja, keluarga mereka menanyakan kepergian keduanya yang agak lama. Hanya khawatir jika terjadi apa-apa. Sebelum mereka pulang, dr. Ilyas mengatakan sesuatu."Insya Allah, dua pekan ke depan, kami sekeluarga akan datang kembali. Dengan agenda untuk mengkhitbah Indana.""Maa syaa Allah. Alhamdulillah. Suatu kehormatan bagi kami menerima kedatangan dan niat baik keluarga Dokter Ilyas untuk mempersatukan dua keluarga ini." Papa Surya begitu semringah saat menjawab permintaan sahabatnya itu.Wajah dr. Utsman berseri-se
"Apa?" tanya Indana tak sabar."I love you," bisik pemuda itu lembut.Bisa-bisanya dia menggoda di tengah banyak orang begini. Indana spontan menepuk bahu dr. Utsman dengan mata membola. "Tapi suka, kan?" goda pemuda itu lagi dengan dua alis yang terangkat, tak ayal membuat Indana menahan tawa.Dasar. Ganteng-ganteng gombal!***Hari masih pagi. Keluar dari mobil, Indana sudah menerima panggilan telepon dari asistennya terkait kegiatan meeting hari ini."Jam sembilan pagi sampai selesai meeting dengan PT. Pandawa Group. Jam dua siang sampai selesai dengan PT. Lima Cakra. Berkasnya sudah saya siapkan di ruangan, Bu." Asistennya itu selalu sigap mengingatkan akan jadwal meeting."Terima kasih."Indana menutup panggilan, lalu segera melangkahkan kaki ke ruangan. Saat menyapa staf resepsionis, seorang petugas mencegah langkahnya."Ya, ada apa?""Ada kiriman paket bunga, Bu." Staf tersebut menyerahkan sebuket mawar merah dengan pita berwarna merah muda.Indana menautkan alis. "Dari siapa?
Indana terus memikirkan tentang paket buket bunga itu. SG. Jangan-jangan, itu inisial dari Saddam. Eh, tapi bisa saja bukan. Mungkin saja itu kiriman dari seorang partner bisnis. Ah, Indana jadi paranoid dengan lelaki itu sekarang.Indana berdesis pelan. Panik luar biasa. Bagaimana mungkin dia yang sudah lama dia lupakan justru datang di saat Indana akan menikah? Ya, Tuhan. Jangan sampai Utsman tahu tentang hal ini.Indana melihat jam di dinding. Hampir setengah jam Indana mondar-mandir tidak jelas. Waktu telah beranjak sore. Sebenarnya dia bisa pulang sekarang. Namun, pikiran tentang Saddam mencegah.Tiba-tiba Indana teringat mawar merah yang di letakkan di vas. Keinginannya sekarang beradu antara membuangnya atau tidak. Akhirnya, setelah melalui perdebatan batin yang sengit, Indana urung membuangnya sampai terang benderang perihal si Saddam ini.Sebenarnya Indana bisa saja acuh tak acuh tentang keberadaan pemuda masa lalunya. Anggap saja Saddam sedang mencari jalan rezeki dan karirn
"Iya. Kenalkan, Indana Maheswari." Utsman memperkenalkan Indana kepada Saddam. Indana pura-pura menangkupkan kedua tangan di dada seperti orang yang baru pertama kenal. Perempuan itu tersenyum getir."Saddam," ucapnya memperkenalkan diri dengan nada dingin. Khas suaranya yang perempuan itu kenal. Membangkitkan kembali memori usang yang telah lama dikubur dalam-dalam. Tatapan mata Saddam setajam elang. Kali ini, pemuda itu menatap Indana lebih tajam daripada yang biasa dia lakukan dulu. Saddam melanjutkan, "Ngomong-ngomong, kenapa jadi kaku banget, sih, manggil Pak Pak segala. Biasa juga Bro Bro Bro Bro," kelakar Saddam diikuti gelak tawa Utsman. Indana mengernyitkan kening diliputi tanda tanya besar. Jika sudah senyaman itu cara bicara mereka, apakah artinya selama ini mereka berteman? Indana menggeleng keras dan sekuat tenaga menampik prasangka itu."Biar jaim aja sama calon istri." Utsman terkekeh sambil melirik Indana. Nah, kan. Aku jadi semakin yakin kalau mereka berteman. Tapi
Indana dan Mahiya terperangah bersamaan. Tamu laki-laki itu sukses menjadi pusat perhatian orang-orang di sana setelah Utsman. Tersebab wajahnya yang tampan meski ada kesan angkuh. Kalau dinilai, 11-12 dengan Utsman. Beberapa tamu wanita saling menyenggol dan berbisik dengan teman sebelahnya sambil terus melihat lelaki maskulin yang menggunakan kemeja hitam itu.Mahiya menggenggam erat lengan Indana. Mahiya tak berhenti menatap Saddam dengan ekspresi tak percaya. Jangan tanya bagaimana Indana. Dada Indana berdebar hebat. Begitu dahsyat. Rasanya seperti dipilin pusaran tornado. Berbagai macam spekulasi lantas berebut memenuhi benak. Bagaimana Indana bisa bersikap santai jika Saddam turut hadir? Apalagi dengan riwayat kedekatan Indana dengan dia di masa lalu."Ngapain dia datang ke sini, Inda?" Mahiya memekik tertahan. "Dari mana dia tahu kalau elo tunangan hari ini? Lo yang ngundang dia?"Indana mendelik ke arah Mahiya. "Ya enggak lah, Mahiya. Nggak mungkin aku ngundang dia. Itu kony
Indana dan Saddam sontak memalingkan wajah ke arah sumber suara. Dada Indana berdebar kencang saat mengetahui siapa yang memanggil."Mas Utsman?" Indana berseru setengah kikuk dan salah tingkah. Ya Tuhan, apa dia mendengar semuanya? Jika iya, maka habislah aku setelah ini. Dia sudah sangat baik menerima aku apa adanya. Akan jadi jahat sekali diriku jika dia mengetahui perihal hubunganku dengan sahabatnya. Meskipun itu hubungan di masa lalu. Dan sahabatnya ini yang sudah menodaiku."Wah, kalian lagi ngobrolin apa? Kok, tegang begitu?" Utsman berjalan mendekat. Wajahnya semringah seperti tidak tahu apa yang calon istri dan sahabatnya bicarakan. Saddam terlihat santai saja tanpa ada ekspresi gugup sedikit pun."Oh, enggak. Kami tadi ketemu nggak sengaja di sini. Sejak ketemu pertama kali di klinik waktu itu, aku lihat dia mirip teman baikku waktu sekolah dulu. Jadi, tadi aku langsung nanya aja buat memastikan. Eh, ternyata dia bukan orang yang kumaksud. Cuma mirip." Saddam dengan santai
Indana dan Saddam sontak memalingkan wajah ke arah sumber suara. Dada Indana berdebar kencang saat mengetahui siapa yang memanggil."Mas Utsman?" Indana berseru setengah kikuk dan salah tingkah. Ya Tuhan, apa dia mendengar semuanya? Jika iya, maka habislah aku setelah ini. Dia sudah sangat baik menerima aku apa adanya. Akan jadi jahat sekali diriku jika dia mengetahui perihal hubunganku dengan sahabatnya. Meskipun itu hubungan di masa lalu. Dan sahabatnya ini yang sudah menodaiku."Wah, kalian lagi ngobrolin apa? Kok, tegang begitu?" Utsman berjalan mendekat. Wajahnya semringah seperti tidak tahu apa yang calon istri dan sahabatnya bicarakan. Saddam terlihat santai saja tanpa ada ekspresi gugup sedikit pun."Oh, enggak. Kami tadi ketemu nggak sengaja di sini. Sejak ketemu pertama kali di klinik waktu itu, aku lihat dia mirip teman baikku waktu sekolah dulu. Jadi, tadi aku langsung nanya aja buat memastikan. Eh, ternyata dia bukan orang yang kumaksud. Cuma mirip." Saddam dengan santai
Indana diam. Dirinya tidak mungkin mengatakan kepada Saddam, sudah sejauh mana Utsman mengenal calon istrinya itu. Termasuk mengetahui aibnya."Inda, jika Utsman belum tahu, bagilah lukamu denganku. Aku siap lahir batin menanggungnya, karena itu murni kesalahanku. Aku tidak terima jika sahabatku itu mendapat imbas dari kejahatan yang sebenarnya kulakukan."Indana menghela napas, lalu mengembuskannya. Begitu berulang-ulang.Enteng sekali dia bilang begitu.Bagi Indana, ini momen yang teramat sulit. Satu sisi, Indana sudah terlampau jatuh hati kepada Utsman karena dia sudah menerima Indana apa adanya. Sisi lain, dengan kedatangan Saddam sekarang justru menggoyahkan pertahanan karena dia dulu lelaki yang diimpikan menjadi pendamping hidup. Terlepas dari semua kesalahannya. "Kamu bicara begitu seolah-olah kamu yakin bahwa aku masih ada perasaan terhadapmu, Dam. Dan lagi, hal itu sangat mustahil terjadi. Aku sudah bertunangan. Selangkah lagi aku menikah. Aku nggak mungkin memutuskan hub
Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik
Indana beranggapan jika Saddam tak benar-benar mencintai dirinya. Mungkin yang Saddam lakukan hanya sebagai bentuk penyesalan dan dia merasa bertanggung jawab atas kemalangan Indana. Bukan Saddam namanya jika tak bersikeras dan berupaya mati-matian untuk terus menemui Indana. Baginya, cinta harus diperjuangkan. Harus ada pengorbanan yang dilakukan sebagai bukti dan bukan bualan semata. Di usianya saat ini dia memiliki pandangan bahwa mencintai seorang wanita berarti siap memperjuangkan wanita itu untuk dinikahi. Saddam tak main-main. Dia mengerahkan seluruh yang ia punya demi Indana, satu-satunya wanita yang dicintainya. Dia tidak peduli jika saat ini Indana terus menolaknya. Saddam meyakini bahwa suatu saat nanti hati Indana akan luluh dan menyadari betapa besar rasa cintanya untuk gadis itu.Indana masih dirundung rasa kecewa oleh sikap Utsman dan Saddam. Baginya kini, dua lelaki itu tak ubahnya penjahat yang telah bersekongkol dan dengan sengaja ingin membuatnya hancur. Gadis i
"Om, Tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mulai saat ini, saya melepaskan pinangan saya terhadap Indana."Kedua orang tua Indana lantas syok. "Ta-pi, kenapa, Nak?" *****Indana dan kedua orang tuanya syok setelah Utsman menyatakan melepaskan pinangan atas Indana. Meskipun sudah menerima keputusan dari Utsman bahwasanya lelaki itu tidak ada kecenderungan terhadap Indana, tetap saja berita itu sulit diterima oleh kedua orang tua Indana. Mereka sangat kecewa. Apalagi tempo hari Utsman menyatakan ingin mempercepat tanggal pernikahan.Lesap sudah harapan kedua orang tua Indana terutama mamanya yang sangat ingin Indana menikah. Berharap setelahnya dapat menimang cucu.Hubungan Indana dan Utsman perlahan merenggang. Gadis itu kecewa Utsman memutuskan secara sepihak tanpa meminta pendapatnya terlebih dulu. Terlebih lagi hanya berbekal pengamatan sepintas dari sikap Indana. Indana jadi menyimpulkan bahwa alasan tidak ada kecenderungan saat istikharah adalah alasan Utsman
Bunyi ketukan sepatu pantofel beradu dengan lantai terdengar menggema di lantai dasar. Para staf dan sekuriti mengangguk sopan begitu melihat Indana yang sedang berjalan di depan mereka. Jam kerja hampir usai. Setelah Indana beranjak meninggalkan kantor, karyawan lainnya bersiap-siap untuk pulang.Indana membetulkan letak tali tas yang dia kaitkan di bahu dan bersiap membuka pintu mobil. Namun, dering panggilan dari ponsel menghentikan aktivitasnya. Segera dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu segera mengusap layar begitu melihat nama peneleponnya."Assalamu'alaikum, Mas Utsman," sapa Indana. Satu tangannya membuka pintu mobil, lalu dia duduk di kursi kemudi."Wa'alaikumsalam. Sudah pulang, Inda?""Ini baru keluar kantor. Mas udah di tempat praktek?""Iya. Tapi kayaknya hari ini list pasien ga sebanyak biasanya. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal.""Hemmm, gitu. Ya udah, nanti kalau udah pulang langsung istirahat. Kan, acara pernikahan kita sebentar lagi." "Habis pulang dari prakte