Indana dan Mahiya terperangah bersamaan. Tamu laki-laki itu sukses menjadi pusat perhatian orang-orang di sana setelah Utsman. Tersebab wajahnya yang tampan meski ada kesan angkuh. Kalau dinilai, 11-12 dengan Utsman. Beberapa tamu wanita saling menyenggol dan berbisik dengan teman sebelahnya sambil terus melihat lelaki maskulin yang menggunakan kemeja hitam itu.Mahiya menggenggam erat lengan Indana. Mahiya tak berhenti menatap Saddam dengan ekspresi tak percaya. Jangan tanya bagaimana Indana. Dada Indana berdebar hebat. Begitu dahsyat. Rasanya seperti dipilin pusaran tornado. Berbagai macam spekulasi lantas berebut memenuhi benak. Bagaimana Indana bisa bersikap santai jika Saddam turut hadir? Apalagi dengan riwayat kedekatan Indana dengan dia di masa lalu."Ngapain dia datang ke sini, Inda?" Mahiya memekik tertahan. "Dari mana dia tahu kalau elo tunangan hari ini? Lo yang ngundang dia?"Indana mendelik ke arah Mahiya. "Ya enggak lah, Mahiya. Nggak mungkin aku ngundang dia. Itu kony
Indana dan Saddam sontak memalingkan wajah ke arah sumber suara. Dada Indana berdebar kencang saat mengetahui siapa yang memanggil."Mas Utsman?" Indana berseru setengah kikuk dan salah tingkah. Ya Tuhan, apa dia mendengar semuanya? Jika iya, maka habislah aku setelah ini. Dia sudah sangat baik menerima aku apa adanya. Akan jadi jahat sekali diriku jika dia mengetahui perihal hubunganku dengan sahabatnya. Meskipun itu hubungan di masa lalu. Dan sahabatnya ini yang sudah menodaiku."Wah, kalian lagi ngobrolin apa? Kok, tegang begitu?" Utsman berjalan mendekat. Wajahnya semringah seperti tidak tahu apa yang calon istri dan sahabatnya bicarakan. Saddam terlihat santai saja tanpa ada ekspresi gugup sedikit pun."Oh, enggak. Kami tadi ketemu nggak sengaja di sini. Sejak ketemu pertama kali di klinik waktu itu, aku lihat dia mirip teman baikku waktu sekolah dulu. Jadi, tadi aku langsung nanya aja buat memastikan. Eh, ternyata dia bukan orang yang kumaksud. Cuma mirip." Saddam dengan santai
Indana dan Saddam sontak memalingkan wajah ke arah sumber suara. Dada Indana berdebar kencang saat mengetahui siapa yang memanggil."Mas Utsman?" Indana berseru setengah kikuk dan salah tingkah. Ya Tuhan, apa dia mendengar semuanya? Jika iya, maka habislah aku setelah ini. Dia sudah sangat baik menerima aku apa adanya. Akan jadi jahat sekali diriku jika dia mengetahui perihal hubunganku dengan sahabatnya. Meskipun itu hubungan di masa lalu. Dan sahabatnya ini yang sudah menodaiku."Wah, kalian lagi ngobrolin apa? Kok, tegang begitu?" Utsman berjalan mendekat. Wajahnya semringah seperti tidak tahu apa yang calon istri dan sahabatnya bicarakan. Saddam terlihat santai saja tanpa ada ekspresi gugup sedikit pun."Oh, enggak. Kami tadi ketemu nggak sengaja di sini. Sejak ketemu pertama kali di klinik waktu itu, aku lihat dia mirip teman baikku waktu sekolah dulu. Jadi, tadi aku langsung nanya aja buat memastikan. Eh, ternyata dia bukan orang yang kumaksud. Cuma mirip." Saddam dengan santai
Indana diam. Dirinya tidak mungkin mengatakan kepada Saddam, sudah sejauh mana Utsman mengenal calon istrinya itu. Termasuk mengetahui aibnya."Inda, jika Utsman belum tahu, bagilah lukamu denganku. Aku siap lahir batin menanggungnya, karena itu murni kesalahanku. Aku tidak terima jika sahabatku itu mendapat imbas dari kejahatan yang sebenarnya kulakukan."Indana menghela napas, lalu mengembuskannya. Begitu berulang-ulang.Enteng sekali dia bilang begitu.Bagi Indana, ini momen yang teramat sulit. Satu sisi, Indana sudah terlampau jatuh hati kepada Utsman karena dia sudah menerima Indana apa adanya. Sisi lain, dengan kedatangan Saddam sekarang justru menggoyahkan pertahanan karena dia dulu lelaki yang diimpikan menjadi pendamping hidup. Terlepas dari semua kesalahannya. "Kamu bicara begitu seolah-olah kamu yakin bahwa aku masih ada perasaan terhadapmu, Dam. Dan lagi, hal itu sangat mustahil terjadi. Aku sudah bertunangan. Selangkah lagi aku menikah. Aku nggak mungkin memutuskan hub
“Pak, saya mau minta tanda tangan untuk proposal yang kami ajukan,” kata seorang mahasiswi ketika dosen tampan itu tengah keluar dari ruangannya.Saddam berdiri menatap mahasiswi tersebut, melihat ke arahnya dengan tatapan pada umumnya, sambil menghembuskan napas perlahan. Saddam rasanya ingin jitak kepala mahasiswi itu sampai dia mengaduh.Apa mahasiswinya tak tahu jika saat ini jam makan siang, yang seharusnya sebelum masuk dia membaca akrilik di depan bertuliskan istirahat?Saddam perlahan menatap jam analog di tangan kanannya, lalu menunjukkan pada mahasiswi tersebut, tanpa berkata apapun.“Sebentar saja, Pak. Nggak sampai lebih sepuluh menit,” lanjutnya sedikit memaksa.“Saya nggak bisa semudah itu memeriksa proposal untuk pengajuan dana yang kalian ajukan, kalau ternyata proposal itu bermasalah apa nggak saya yang terseret. Lagi pula saya bukan Dekan, Kaprodi atau dosen PA kamu, kok bisa-bisanya kamu jadikan saya penanggung jawab.”Saddam sedikit kesal sebenarnya, karena bahkan
Indana mendapati dirinya duduk sambil menggunakan pakaian pengantin cantik berwarna putih cerah, dibubuhi dandanan yang membuat tubuhnya tak kalah indah. Dia menatap Mama Cahaya yang ikut duduk di sampingnya sambil sesekali menatapnya bergantian dengan arah ke depan. Indana mengikuti pandangan itu, hingga dia mendapati jika dirinya tengah melangsungkan pernikahan. Beberapa meter dari arah kamar, Indana bisa melihat keadaan ramai, seorang pria dan Papa Surya saling berjabat serta mengucap akad. Indana mengulas senyum tipis, pernikahan yang dia inginkan akhirnya terjadi. Tak lama setelah itu, terdengar suara gema "Sah!" riuh memenuhi seisi ruangan hingga terdengar nyaring sampai kamar yang dia tempati. Tanpa terasa air mata jatuh membahasi pipi, Indana mencoba menyeka dengan jari, tetapi bibirnya malah sedikit bergetar, tak kuat menahan haru, sedih dan bahagia secara bersamaan. Sejenak Indana lupa, kapan pernikahan itu mulai dilangsungkan, semuanya berjalan begitu cepat hingga dir
Satu jam setengah, waktu yang mereka gunakan untuk menonton film. Setelah itu mereka keluar dari sana, tetapi belum sampai di situ kencan ganda mereka. Hawa mengatakan jika dia lapar dan ingin cepat makan, Utsman mengangguk serta Saddam dan juga Carla, tanpa sedikit pun Indana bisa mengatakan apapun pada usulan itu.Lagi pula tak ada alasan Indana untuk menolaknya, untuk apa Indana lakukan jika keadaan sekarang tak ada masalah yang berarti. Perempuan itu hanya bisa mengikuti saja, karena itu mungkin caranya tahu lebih dalam soal siapa Carla. Meski sejak tadi Indana sendiri yang terus bertanya dengan pertanyaan yang sama. Mengapa dirinya sangat ingin tahu akan hal itu?Mereka menuju salah satu restoran Chinese Halal yang masih ada di dalam mall, niatnya ingin makanan cepat saji yang dimau Hawa, hanya saja Utsman melarang. Katanya makanan cepat saji tak baik jika terlalu sering dikonsumsi. Dokter memang beda.Setelah masuk ke restoran itu, Indana melipir sendiri ke toilet untuk sekeda
Pertemuan yang begitu sering akhir-akhir ini dengan Saddam, sedikit banyak mengganggu Indana. Perempuan itu benar-benar merasa tidak nyaman, karena dia yang sedang berusaha menekan perasaan justru dipaksa keadaan untuk bertemu dengan Saddam. Itu terasa aneh. Seolah takdir terus menghubungkan keduanya. Indana tidak mau hal itu terus berlanjut, itu akan membuatnya merasa risau dan tak tahu harus melakukan apa. Bahkan saat Indana memikirkannya, dan mencari jalan keluar Indana tak menemukan apapun. Kepalanya terasa penuh. Kemudian perempuan itu bangkit dari tempat duduk, mungkin air wudu bisa membuatnya sedikit tenang dan tak memikirkan sesuatu yang haram lebih lama lagi. Namun, begitu Indana hendak berjalan ke kamar mandi, dilihatnya Mama Cahaya yang berdiri di ambang pintu kamar Indana dengan hanya berdiam diri saja. "Lho Mama, ada apa? Kok diam saja di situ? Sejak kapan?" Begitu tanyanya dengan mencoba bersikap biasa, tetapi Indana merasa malah banyak bertanya. Mama berjalan mend
Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik
Indana beranggapan jika Saddam tak benar-benar mencintai dirinya. Mungkin yang Saddam lakukan hanya sebagai bentuk penyesalan dan dia merasa bertanggung jawab atas kemalangan Indana. Bukan Saddam namanya jika tak bersikeras dan berupaya mati-matian untuk terus menemui Indana. Baginya, cinta harus diperjuangkan. Harus ada pengorbanan yang dilakukan sebagai bukti dan bukan bualan semata. Di usianya saat ini dia memiliki pandangan bahwa mencintai seorang wanita berarti siap memperjuangkan wanita itu untuk dinikahi. Saddam tak main-main. Dia mengerahkan seluruh yang ia punya demi Indana, satu-satunya wanita yang dicintainya. Dia tidak peduli jika saat ini Indana terus menolaknya. Saddam meyakini bahwa suatu saat nanti hati Indana akan luluh dan menyadari betapa besar rasa cintanya untuk gadis itu.Indana masih dirundung rasa kecewa oleh sikap Utsman dan Saddam. Baginya kini, dua lelaki itu tak ubahnya penjahat yang telah bersekongkol dan dengan sengaja ingin membuatnya hancur. Gadis i
"Om, Tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mulai saat ini, saya melepaskan pinangan saya terhadap Indana."Kedua orang tua Indana lantas syok. "Ta-pi, kenapa, Nak?" *****Indana dan kedua orang tuanya syok setelah Utsman menyatakan melepaskan pinangan atas Indana. Meskipun sudah menerima keputusan dari Utsman bahwasanya lelaki itu tidak ada kecenderungan terhadap Indana, tetap saja berita itu sulit diterima oleh kedua orang tua Indana. Mereka sangat kecewa. Apalagi tempo hari Utsman menyatakan ingin mempercepat tanggal pernikahan.Lesap sudah harapan kedua orang tua Indana terutama mamanya yang sangat ingin Indana menikah. Berharap setelahnya dapat menimang cucu.Hubungan Indana dan Utsman perlahan merenggang. Gadis itu kecewa Utsman memutuskan secara sepihak tanpa meminta pendapatnya terlebih dulu. Terlebih lagi hanya berbekal pengamatan sepintas dari sikap Indana. Indana jadi menyimpulkan bahwa alasan tidak ada kecenderungan saat istikharah adalah alasan Utsman
Bunyi ketukan sepatu pantofel beradu dengan lantai terdengar menggema di lantai dasar. Para staf dan sekuriti mengangguk sopan begitu melihat Indana yang sedang berjalan di depan mereka. Jam kerja hampir usai. Setelah Indana beranjak meninggalkan kantor, karyawan lainnya bersiap-siap untuk pulang.Indana membetulkan letak tali tas yang dia kaitkan di bahu dan bersiap membuka pintu mobil. Namun, dering panggilan dari ponsel menghentikan aktivitasnya. Segera dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu segera mengusap layar begitu melihat nama peneleponnya."Assalamu'alaikum, Mas Utsman," sapa Indana. Satu tangannya membuka pintu mobil, lalu dia duduk di kursi kemudi."Wa'alaikumsalam. Sudah pulang, Inda?""Ini baru keluar kantor. Mas udah di tempat praktek?""Iya. Tapi kayaknya hari ini list pasien ga sebanyak biasanya. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal.""Hemmm, gitu. Ya udah, nanti kalau udah pulang langsung istirahat. Kan, acara pernikahan kita sebentar lagi." "Habis pulang dari prakte