Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda.
"Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang.Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagalan membina hubungan dengan Furqon, Indana menjadi lebih tertutup dan tidak yakin dengan keadaan dirinya sendiri. Indana selalu merasa bahwa dia adalah wanita yang tak pantas untuk dinikahi oleh siapa pun.Apalagi, sekarang yang berniat meminang adalah lelaki yang boleh dibilang memiliki kasta tinggi. Dia lebih pantas meminang wanita terhormat yang lebih segalanya dibanding dengan perempuan yang tak sempurna sepertinya."Apa yang kamu risaukan, Inda?"Pemuda itu menatapnya tajam. Namun, Indana tidak sedikitpun merasa terintimidasi karena matanya yang teduh. Indana membenamkan wajah pada setangkup tangan. Berusaha menyembunyikan kesedihan dan air mata yang siap tumpah.Indana mengusap wajah kasar. "Saya merasa tidak pantas untuk dokter.""Kenapa?""Karena masa lalu saya. Dokter berhak menikahi gadis lain yang lebih baik dari saya.""Indana, andai kamu tahu, betapa beratnya seorang lelaki jika wanitanya berkata begitu. Kamu pikir itu mudah?""Maksudnya?""Kamu pikir, jika kamu berkisah tentang semua keburukanmu dan berharap lelaki yang mencintaimu itu memilih wanita lain, apa itu hal yang mudah baginya?""Ya. Saya pikir itu hal yang sangat mudah. Tinggal cari saja wanita lain yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya. Beres. Toh, ada banyak wanita di dunia ini."Lelaki berkulit putih itu mengangkat satu bibirnya seraya menggeleng. Dokter Utsman menatap gerombolan ikan koi yang berada di bawah saung. Sesaat, rahang pemuda itu mengeras diikuti tatapan tajam lurus ke depan."Itu menurutmu, Inda. Sebagian lelaki, khususnya Aku, tidak seperti itu."Indana terdiam, lalu kembali menundukkan wajah. Dia merasa bersalah karena telah terlalu dini menghakimi dengan pernyataan yang berdasarkan opininya sendiri."Butuh waktu bagiku untuk tumbuh rasa cinta. Dan kamu tahu? Saat benih-benih cinta itu tersemai, aku selamanya akan menjaga dan merawatnya. Tak peduli jika yang tumbuh itu tanaman berdaun cacat atau tanaman cebol yang sungguh tak menarik dipandang. Namun, dengan kesetiaan dan keikhlasan, aku akan menjaganya. Karena cinta. Ya, cinta memang sekonyol itu." Pemuda itu menjeda kalimatnya."Apalagi yang kudapatkan adalah ternyata mawar merah yang ranum. Tentu aku tidak akan melepaskan begitu saja. Mawar merah itu kamu, Inda. Aku tak mungkin berpaling hanya karena satu ketidaksempurnaan yang ada pada dirimu. Sementara, aku pun manusia biasa yang penuh kekurangan. Yang bisa jadi lebih tidak sempurna dibanding dirimu."Perlahan, air mata Indana jatuh. Dirinya sungguh terharu dengan kesungguhan dr. Utsman. Namun, entah mengapa, Indana terus saja dihantui oleh masa lalu. Sesuatu yang terus membenamkannya pada jurang kesedihan. Sehingga binar kebahagiaan tak tampak olehnya sedikitpun.Masih dengan perasaan sesak dan isak tangis, Indana mencoba meyakinkan sekali lagi. Apakah pemuda itu benar-benar mencintainya.Indana beranjak dari saung tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan dr. Utsman yang masih duduk termangu.Indana menuju taman untuk mengambil sekuntum mawar merah yang tengah merekah. Dihirup aromanya dalam-dalam. Lalu, dia kembali menemui lelaki itu dengan membawa mawar merah di tangan.Indana duduk berhadapan dengan pemuda itu. Dia memberi isyarat untuk melihat bunga mawar yang berada di telapak tangannya yang terbuka. Wajah dr. Utsman menyiratkan kebingungan. Tapi, tak mengapa. Setelah ini pemuda itu akan menemukan jawaban. Pikir Indana."Apa yang dokter lihat tentang mawar ini?" Indana bertanya sambil menatap kedua mata dr. Utsman."Indah.""Apa yang membuatnya indah?""Bentuk dan warnanya."Perlahan, Indana mulai melepas satu per satu mahkota bunga itu. Dr. Utsman memilih diam. Tak bertanya apa pun tentang yang di lakukan Indana.Perempuan itu terus melepas mahkota bunga berwarna merah itu dari kelopak hingga ke atas sampai habis tak bersisa. Tak hanya itu, dia menghancurkan bagian benang sari dan putik hingga bunga yang tadinya menawan itu kini menjadi mengerikan."Mahkota bunga ini adalah ibarat diri saya. Sekarang, beginilah keadaan saya. Tak punya sesuatu yang istimewa. Begitu mengerikan. Mahkota yang seharusnya saya persembahkan untuk Anda, kini sudah tiada lagi. Dengan keadaan demikian, apa saya masih pantas untuk dimiliki?" Indana mengatakan hal ini dengan rasa sebak.Lelaki bermata teduh itu memandangnya dengan tatapan iba. Dr. Utsman mengerjapkan kedua kelopak mata, lalu mengembuskan napas panjang."Indana, Aku yakin kamu wanita baik-baik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu sehingga kamu kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirimu. Seperti mawar tadi. Sebelum terlepas mahkotanya, ia pun sudah berusaha melindungi dirinya dengan duri-duri tajam yang tertancap di pohonnya. Aku tidak berhak menghakimi. Namun, satu yang kupahami. Itu adalah masa lalu. Semua orang memiliki masa lalu. Tak peduli baik atau buruk. Yang terpenting adalah masa kini dan mendatang. Aku sangat yakin, kamu berusaha untuk memperbaiki diri dengan berkaca pada masa lalu. Sangat tidak adil jika aku menghakimimu berdasarkan masa lalu saja."Ah, mengapa semua yang kamu katakan sangat mengena di hatiku?batin Indana."Aku menerima kamu, Indana. Apa adanya kamu. Aku tidak akan menuntut macam-macam. Karena Aku mencintaimu. Percayalah, Aku tidak pernah peduli dengan apa pun tentang masa lalumu. Yang Aku pedulikan hanya keinginan untuk membina bahtera rumah tangga denganmu."Sekali lagi, kalimat-kalimat itu beruntun membuat Indana terharu sekaligus meruntuhkan pertahanan. Seandainya sudah halal, tentu Indana akan memeluk pemuda itu erat dan berbisik di telinganya, "Terima kasih, Sayang."Setelah itu keduanya diam. Hanya terdengar suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan. Sesekali, Indana menatap dr. Utsman. Lelaki tampan itu terlihat asyik melihat ikan berlalu lalang dengan wajah datar yang mungkin menyimpan sesuatu di pikiran."Bagaimana, Inda? Apa Indana sudah cukup meyakinkanmu?"Indana masih terdiam. Rasanya masih tidak percaya ada lelaki sebaik Utsman. Dia lelaki sempurna yang banyak diidam-idamkan wanita, tapi dia justru lebih memilihnya.Entah, apakah Indana harus bersuka cita atau sebaliknya. Karena, jujur saja, dirinya masih gamang dan mengkhawatirkan kehidupan rumah tangga yang akan mereka bina."Bagaimana jika semua yang Anda katakan belum membuat saya yakin?""Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu."Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana. Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendir
Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut."Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget."Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?""Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?""Besok malam.""Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asis
Lelaki tampan itu tampak gusar. Dia mengusap wajahnya kasar. Rahangnya mengeras, lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. "Kamu mencintainya?" tanya dr. Utsman tanpa melihat Indana. Tampak di wajahnya ada gurat kecemburuan.Indana mengalihkan pandang. Melihat dua muda-mudi di salah satu kursi yang saling menyuap makanan satu sama lain. Manis sekali."Iya. Sangat."Tak dinyana, dr. Utsman mencengkeram kedua lengan Indana erat. "Dengar, Indana. Akan kupastikan tidak ada yang bisa melebihi cintaku kepadamu. Jika kamu menginginkan sesuatu yang ada pada lelaki itu, katakan. Aku akan berusaha memilikinya. Agar kamu juga benar-benar mencintaiku." Utsman mengucapkan dengan suara bergetar dan tatapan mata penuh harap.Indana menghela napas berat. Lalu, menyunggingkan senyum. Sesaat, Indana sangat terharu dengan perlakuannya. "Lelaki itu Papa saya, Dok."Perlahan, dr. Utsman merenggangkan cengkeraman tangan. Wajahnya lega. Dia jadi salah tingkah. "Maaf, Inda. Kupikir … lelaki itu adalah
Dr. Utsman menghentikan langkah. Lalu, menoleh ke arah Indana."Kenapa?""Jangan ditinggal."Pemuda itu tersenyum lebar seraya membentangkan satu tangannya."Apa, nih, maksudnya?" tanya Indana curiga."Nggak apa-apa, kok. Ini isyarat biar kita bisa jalan bareng.""Eh, kirain ….""Apa, hayo?""Kirain mau meluk tadi," ucap Indana malu-malu karena sudah terlalu ge-er."Memangnya mau dipeluk sekarang? Ayolah sini.""Ogaaah." Indana mendahuluinya dengan berlari-lari kecil.Benar saja, keluarga mereka menanyakan kepergian keduanya yang agak lama. Hanya khawatir jika terjadi apa-apa. Sebelum mereka pulang, dr. Ilyas mengatakan sesuatu."Insya Allah, dua pekan ke depan, kami sekeluarga akan datang kembali. Dengan agenda untuk mengkhitbah Indana.""Maa syaa Allah. Alhamdulillah. Suatu kehormatan bagi kami menerima kedatangan dan niat baik keluarga Dokter Ilyas untuk mempersatukan dua keluarga ini." Papa Surya begitu semringah saat menjawab permintaan sahabatnya itu.Wajah dr. Utsman berseri-se
"Apa?" tanya Indana tak sabar."I love you," bisik pemuda itu lembut.Bisa-bisanya dia menggoda di tengah banyak orang begini. Indana spontan menepuk bahu dr. Utsman dengan mata membola. "Tapi suka, kan?" goda pemuda itu lagi dengan dua alis yang terangkat, tak ayal membuat Indana menahan tawa.Dasar. Ganteng-ganteng gombal!***Hari masih pagi. Keluar dari mobil, Indana sudah menerima panggilan telepon dari asistennya terkait kegiatan meeting hari ini."Jam sembilan pagi sampai selesai meeting dengan PT. Pandawa Group. Jam dua siang sampai selesai dengan PT. Lima Cakra. Berkasnya sudah saya siapkan di ruangan, Bu." Asistennya itu selalu sigap mengingatkan akan jadwal meeting."Terima kasih."Indana menutup panggilan, lalu segera melangkahkan kaki ke ruangan. Saat menyapa staf resepsionis, seorang petugas mencegah langkahnya."Ya, ada apa?""Ada kiriman paket bunga, Bu." Staf tersebut menyerahkan sebuket mawar merah dengan pita berwarna merah muda.Indana menautkan alis. "Dari siapa?
Indana terus memikirkan tentang paket buket bunga itu. SG. Jangan-jangan, itu inisial dari Saddam. Eh, tapi bisa saja bukan. Mungkin saja itu kiriman dari seorang partner bisnis. Ah, Indana jadi paranoid dengan lelaki itu sekarang.Indana berdesis pelan. Panik luar biasa. Bagaimana mungkin dia yang sudah lama dia lupakan justru datang di saat Indana akan menikah? Ya, Tuhan. Jangan sampai Utsman tahu tentang hal ini.Indana melihat jam di dinding. Hampir setengah jam Indana mondar-mandir tidak jelas. Waktu telah beranjak sore. Sebenarnya dia bisa pulang sekarang. Namun, pikiran tentang Saddam mencegah.Tiba-tiba Indana teringat mawar merah yang di letakkan di vas. Keinginannya sekarang beradu antara membuangnya atau tidak. Akhirnya, setelah melalui perdebatan batin yang sengit, Indana urung membuangnya sampai terang benderang perihal si Saddam ini.Sebenarnya Indana bisa saja acuh tak acuh tentang keberadaan pemuda masa lalunya. Anggap saja Saddam sedang mencari jalan rezeki dan karirn
"Iya. Kenalkan, Indana Maheswari." Utsman memperkenalkan Indana kepada Saddam. Indana pura-pura menangkupkan kedua tangan di dada seperti orang yang baru pertama kenal. Perempuan itu tersenyum getir."Saddam," ucapnya memperkenalkan diri dengan nada dingin. Khas suaranya yang perempuan itu kenal. Membangkitkan kembali memori usang yang telah lama dikubur dalam-dalam. Tatapan mata Saddam setajam elang. Kali ini, pemuda itu menatap Indana lebih tajam daripada yang biasa dia lakukan dulu. Saddam melanjutkan, "Ngomong-ngomong, kenapa jadi kaku banget, sih, manggil Pak Pak segala. Biasa juga Bro Bro Bro Bro," kelakar Saddam diikuti gelak tawa Utsman. Indana mengernyitkan kening diliputi tanda tanya besar. Jika sudah senyaman itu cara bicara mereka, apakah artinya selama ini mereka berteman? Indana menggeleng keras dan sekuat tenaga menampik prasangka itu."Biar jaim aja sama calon istri." Utsman terkekeh sambil melirik Indana. Nah, kan. Aku jadi semakin yakin kalau mereka berteman. Tapi
Indana dan Mahiya terperangah bersamaan. Tamu laki-laki itu sukses menjadi pusat perhatian orang-orang di sana setelah Utsman. Tersebab wajahnya yang tampan meski ada kesan angkuh. Kalau dinilai, 11-12 dengan Utsman. Beberapa tamu wanita saling menyenggol dan berbisik dengan teman sebelahnya sambil terus melihat lelaki maskulin yang menggunakan kemeja hitam itu.Mahiya menggenggam erat lengan Indana. Mahiya tak berhenti menatap Saddam dengan ekspresi tak percaya. Jangan tanya bagaimana Indana. Dada Indana berdebar hebat. Begitu dahsyat. Rasanya seperti dipilin pusaran tornado. Berbagai macam spekulasi lantas berebut memenuhi benak. Bagaimana Indana bisa bersikap santai jika Saddam turut hadir? Apalagi dengan riwayat kedekatan Indana dengan dia di masa lalu."Ngapain dia datang ke sini, Inda?" Mahiya memekik tertahan. "Dari mana dia tahu kalau elo tunangan hari ini? Lo yang ngundang dia?"Indana mendelik ke arah Mahiya. "Ya enggak lah, Mahiya. Nggak mungkin aku ngundang dia. Itu kony
Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik
Indana beranggapan jika Saddam tak benar-benar mencintai dirinya. Mungkin yang Saddam lakukan hanya sebagai bentuk penyesalan dan dia merasa bertanggung jawab atas kemalangan Indana. Bukan Saddam namanya jika tak bersikeras dan berupaya mati-matian untuk terus menemui Indana. Baginya, cinta harus diperjuangkan. Harus ada pengorbanan yang dilakukan sebagai bukti dan bukan bualan semata. Di usianya saat ini dia memiliki pandangan bahwa mencintai seorang wanita berarti siap memperjuangkan wanita itu untuk dinikahi. Saddam tak main-main. Dia mengerahkan seluruh yang ia punya demi Indana, satu-satunya wanita yang dicintainya. Dia tidak peduli jika saat ini Indana terus menolaknya. Saddam meyakini bahwa suatu saat nanti hati Indana akan luluh dan menyadari betapa besar rasa cintanya untuk gadis itu.Indana masih dirundung rasa kecewa oleh sikap Utsman dan Saddam. Baginya kini, dua lelaki itu tak ubahnya penjahat yang telah bersekongkol dan dengan sengaja ingin membuatnya hancur. Gadis i
"Om, Tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mulai saat ini, saya melepaskan pinangan saya terhadap Indana."Kedua orang tua Indana lantas syok. "Ta-pi, kenapa, Nak?" *****Indana dan kedua orang tuanya syok setelah Utsman menyatakan melepaskan pinangan atas Indana. Meskipun sudah menerima keputusan dari Utsman bahwasanya lelaki itu tidak ada kecenderungan terhadap Indana, tetap saja berita itu sulit diterima oleh kedua orang tua Indana. Mereka sangat kecewa. Apalagi tempo hari Utsman menyatakan ingin mempercepat tanggal pernikahan.Lesap sudah harapan kedua orang tua Indana terutama mamanya yang sangat ingin Indana menikah. Berharap setelahnya dapat menimang cucu.Hubungan Indana dan Utsman perlahan merenggang. Gadis itu kecewa Utsman memutuskan secara sepihak tanpa meminta pendapatnya terlebih dulu. Terlebih lagi hanya berbekal pengamatan sepintas dari sikap Indana. Indana jadi menyimpulkan bahwa alasan tidak ada kecenderungan saat istikharah adalah alasan Utsman
Bunyi ketukan sepatu pantofel beradu dengan lantai terdengar menggema di lantai dasar. Para staf dan sekuriti mengangguk sopan begitu melihat Indana yang sedang berjalan di depan mereka. Jam kerja hampir usai. Setelah Indana beranjak meninggalkan kantor, karyawan lainnya bersiap-siap untuk pulang.Indana membetulkan letak tali tas yang dia kaitkan di bahu dan bersiap membuka pintu mobil. Namun, dering panggilan dari ponsel menghentikan aktivitasnya. Segera dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu segera mengusap layar begitu melihat nama peneleponnya."Assalamu'alaikum, Mas Utsman," sapa Indana. Satu tangannya membuka pintu mobil, lalu dia duduk di kursi kemudi."Wa'alaikumsalam. Sudah pulang, Inda?""Ini baru keluar kantor. Mas udah di tempat praktek?""Iya. Tapi kayaknya hari ini list pasien ga sebanyak biasanya. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal.""Hemmm, gitu. Ya udah, nanti kalau udah pulang langsung istirahat. Kan, acara pernikahan kita sebentar lagi." "Habis pulang dari prakte