"Di mana putriku?"
Untuk sejenak Rafael terperangah ketika sosok dingin itu bersedekap angkuh di depan pintu. Setelan jas yang pas membentuk lekuk tubuhnya membuat Maria Lahendra tampak begitu berkharisma dan tak dapat dijangkau.
"Aku tanya di mana putriku, Estigo?"
Rafael tak menjawab. Kepalanya berputar memikirkan bagaimana Maria bisa mengetahui tempat tinggalnya? Selain dirinya, Nazura dan Tuan Tanaka, tak ada siapa pun yang tahu letak penthouse Rafael.
Maria menerobos masuk sebelum Rafael menjawab pertanyaan wanita itu. Rafael pun panik dan menghalau Maria.
"Anda tidak bisa sembarangan menerobos masuk ke rumah saya."
Maria menyeringai. Ada sorot mengejek pada matanya yang kelam. "Dan kau tidak bisa sembarangan menculik putriku, Estigo."
Melihat Rafael yang tertegun, Maria melontarkan tatapan dinginnya yang mematikan. "Kembalikan dia. Aku ke sini untuk menjemputnya."
Dengan berani Maria masuk semakin dalam, mencari-car
Juni menahan napas saat Saga berjalan perlahan mendekati tempatnya. Sorot mata lelaki itu begitu dingin, gesturnya terlihat tenang, namun Juni menangkap murka yang luar biasa dari dirinya.Saga duduk di atas sofa sementara Maria dan Juni berdiri di hadapannya.Lumayan lama atmosfer di antara mereka dikuasai keheningan, sampai Saga membuka mulutnya. "Kenapa diam? Kau tidak ingin mengatakan sesuatu, Nyonya Lahendra?"Saga tampak sangat tenang untuk ukuran orang yang sangat marah. Juni merasa kemarahan lelaki itu seperti bom yang akan meledak pada waktunya.Juni masih menunduk untuk menatap nanar lantai yang lebih bersahabat ketimbang wajah Saga yang tampak amat mengerikan di matanya. Padahal ia tak melakukan kesalahan apa pun, kenapa dia harus gemetar seperti ini?"Saya membawanya dari rumah Rafael Estigo."Juni menggigit bibir dalam-dalam. Pada akhirnya Maria akan mengatakannya. Tidak ada pilihan lain selain mengatakan kebenarannya.
Saga mengamati Juni yang terbaring kaku di atas ranjangnya. Wajah cantik wanita itu sangat pucat, napasnya pun berembus dengan lemah.Lama kemudian Saga memalingkan muka, dikepalkannya tangannya kuat-kuat dan dijauhkannya pandangannya dari wanita itu.Sementara Elliot memeriksa Juni dengan alat-alat yang dibawanya. Keningnya mengerut selama pemeriksaan itu kemudian terdiam seribu bahasa."Ada apa?" Saga bertanya tidak sabar setelah tidak ada suara apa pun dari Elliot.Elliot memiringkan kepalanya, berpikir cukup lama dan serius."Ck! Ada apa dengannya, Elliot?"Elliot menoleh dan menatap Saga aneh. "Ya ... kondisinya tidak begitu baik. Dia kelelahan dan kehilangan banyak energi, ditambah dengan shock yang lumayan hebat. Dan ...." Ucapan Elliot yang menggantung membuat sepasang alis Saga menukik."Dan apa?" tanyanya tak sabar."Dia hamil."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, kedua mata Saga melebar. Jakunnya bergera
Mata Juni membelalak. "A-apa?""Kubilang gugurkan. Aku tak ingin hasil pengkhianatanmu mengotori rumahku!"Juni terhenyak untuk sekian lama sampai tak menyadari Saga sudah meninggalkan tubuhnya dan berdiri di samping ranjang."Aku akan memanggil dokter agar kandunganmu bisa digugurkan."Juni mengerjap. Tersadar dari keterkejutannya kemudian membuka mulut untuk melawan perintah Saga, namun lelaki itu sudah lebih dulu keluar dari kamar remang yang mahaluas itu.Tubuh lemahnya bangun dengan cepat, meremas kedua tangannya yang gemetar lalu menangis sejadi-jadinya. Dia tak bisa kehilangan anaknya lagi. Dia tak akan sanggup bila kehilangan darah dagingnya untuk yang kedua kalinya.Sementara di luar kamar, Saga tengah berhadapan dengan Edward. Sejak tadi ekspresi Edward tak datar seperti biasanya, keningnya mengerut tidak setuju ketika Saga memerintahkannya memanggil dokter."Anda tidak bisa melakukan itu, Tuan.""Apa? Aku tidak
Juni tersentak kaget ketika pintu kamar diketuk dengan pelan. Ia segera meringkuk sambil melindungi perutnya.Seorang pelayan masuk sambil menunduk sopan. "Dokter sudah datang, Nyonya."Mata Juni membelalak. Tubuhnya seketika menggigil. Digigitnya bibirnya sampai menguarkan rasa asin.Ia menggeleng kepada pelayan itu. "Ti-tidak. Kunci pintunya." Ia tak bisa menggambarkan ketakutannya saat ini. Tangan dan kakinya gemetar sampai Juni tak bisa menggerakkannya."Dokter sudah ada di ruang tengah. Tuan berpesan agar Nyonya bersiap-siap.""KUNCI PINTUNYA!!"Pelayan itu tertegun. Meneguk ludah sebelum melangkah ke pintu."Tu-tuan bisa memarahi saya. Anda tidak bisa—""Kalau begitu keluar.""Ta-tapi Tuan menyur—""KELUAR!!"Sang pelayan tampak takut sekaligus khawatir sebab di atas ranjang yang megah itu, Juni memeluk perutnya dengan seluruh tubuh yang gemetar.Wajahnya yang pucat bers
Juni masih gemetar di bawah tubuh Saga. Air matanya meleleh di sepanjang wajahnya hingga membasahi bantal dan seprei.Saga menghela napas. "Jangan tunjukkan sisimu yang seperti ini lagi."Karena Saga merasa tak sanggup jika hanya berdiam diri dan melihat air mata itu terus terjatuh. Sebab ia ingin merengkuh badan kecil yang gemetar itu lalu menghapus air matanya hingga bersih.'Ck! Di mana Lenna?' decaknya dalam hati.Sudah berapa menit berlalu dan Lenna belum jua masuk. Biasanya kepala pelayan itu selalu siap saat Saga memanggilnya kapan pun.Saga turun dari atas tubuh Juni, dengan terpaksa meninggalkan wanita itu setelah menyelimutinya dan membuatnya berbaring dengan posisi yang nyaman.Ia membuka pintu lalu mengernyit.Apa yang dilakukan semua pelayan dan pengawal di depan kamarnya?Para pelayan berdiri di depan, sedang semua pengawal siaga di bagian samping dan belakang.Sepasang alis tebal Saga menukik saat me
Gerombolan pekerja yang berdemo itu akhirnya bubar setelah satu lirikan tajam dari Saga. Edward yang terkapar di lantai dibantu oleh para pengawal.Saga mendengus kesal sebelum akhirnya kembali masuk ke kamarnya.Didapatinya Juni yang tertidur pulas. Entah dorongan dari mana, ia mendekat ke ranjang, tak memutuskan tatapannya pada tubuh ringkih yang pucat itu.Saga duduk di tepi ranjang sambil mengamati desah napas Juni yang berembus teratur. Perutnya bergerak naik turun dengan ritme yang pelan.Tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada perut rata wanita itu. Di dalam sana ada sebuah kehidupan yang mati-matian wanita ini juga.Ada anak yang menjadi saksi pengkhianatan Juni. Saga menatap tajam perut wanita itu seolah janin dalam kandungannya bisa melihat Saga secara langsung.Tangan Saga bergerak perlahan, kemudian terulur menyentuh perut Juni. Dirasakannya getaran kecil saat permukaan tangannya menempel pada perut sang istri."Nghhh
Gemuruh napas Saga memenuhi wajah Juni. Ia mendekatkan wajah perlahan sampai bibirnya menyentuh ujung bibir Juni. Namun, tiba-tiba Juni mengerang kesakitan dan bergerak gelisah di bawah tubuh Saga. Saga mengernyit menyadari tindakan bodohnya. Dia pasti sudah gila karena terlalu merindukan wanita ini. Saga pikir erangan Juni hanya tanda agar dia berhenti dari niat kotornya, tapi sampai Saga menyeka kembali tubuh Juni, wanita itu semakin meringis dalam pejaman matanya, makin lama ringisannya makin terdengar keras. "Apa yang sakit?" tanya Saga seolah Juni bisa mendengar dan menjawabnya. Wanita itu terus merintih dengan raut kesakitan. Saga mulai panik. Dicondongkannya tubuhnya dan dirangkumnya wajah Juni. "Hei, Sayang. Apa yang sakit, hm? Aku akan panggilkan dokter." Saga hendak beranjak dari tubuh Juni, tapi wanita yang semakin pucat itu malah menahan lengannya. Saga menoleh dan mendapati mata Juni yang terbuka menatapnya sayu.
Rafael masih berada dalam posisi yang sama sejak Juni meninggalkan penthouse-nya. Ia masih bersandar di kaki ranjang dengan kepala tertunduk frustrasi.Juni lepas dari genggamannya. Juni pergi lagi darinya, dan Rafael tak bisa meraihnya kembali.Kehamilan dan kepergian Juni membuat Rafael frustrasi. Kata-kata Maria masih menusuk hatinya seberapa kali pun ia mengingatnya."Jangan salah paham dengan mengira kau yang sudah sukses dengan dukungan dari Tanaka Benjiro bisa mengalahkan Saga Atlanta. Tanaka Benjiro bahkan tak sebanding dengan Lahendra asal kau tahu, apalagi dengan Atlanta."Rafael mencengkeram rambutnya sambil mengerang putus asa. Ia sudah berusaha keras sampai rasanya mau gila dan ia tetap tak bisa meraih Juni.Ia pikir dirinya sudah bisa sepadan dengan Juni, akan mudah baginya bersatu kembali dengan sang istri, namun segalanya tak sesuai dengan perkiraan Rafael.Ia harus melewati jalan yang sangat sulit lagi. Ber
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari