Napas keduanya terengah-engah saat ciuman mereka terlepas. Juni menyandarkan kepalanya di dada bidang Saga yang naik turun.
"Aku mencintaimu, Honey."
Mantra cinta yang diucapkan Saga bagai bola api yang menghunjam hati Juni tanpa henti. Gelombang yang berbahaya itu lagi-lagi memasuki hatinya. Namun, Juni tidak ingin mengakui.
Juni menyangkal. Karena baginya semua ini hanyalah sensasi dari ciuman Saga yang teramat hebat, juga efek dari perlakuan lembut dan penghargaan yang lelaki itu berikan padanya.
"Aku ingin ke toilet."
Saga tak bergerak untuk beberapa saat, mungkin sedang menormalkan ritme napasnya yang menggebu.
"Aku akan menemanimu," katanya, tanpa bergeser sedikit pun.
Juni mendongak dan menatap mata Saga yang berkabut.
"Aku akan pergi sendiri."
Juni butuh sendiri. Juni butuh menjauh sejenak dari lelaki ini. Karena dia teramat berbahaya. Jantung Juni pun belum jua surut dari debaran yang menggila.
"Kal
Jeni mengangkat dagu, matanya memicing melihat sosok Saga yang ambruk jauh di depan sana dengan darah yang meluber di kepalanya.Kepala botol yang sedari tadi dipegangnya ia lempar ke sembarang arah kemudian menepuk-nepuk tangannya dengan seringai puas."Ternyata kau bisa ambruk juga, Saga Atlanta."Jeni menunduk mengamati gaun hitamnya yang terciprati noda darah milik Saga. Ah, lagi pula gaun ini hanya tiruan.Setelah menyuruh para suruhannya membawa Juni, gadis bersurai lurus itu mengganti gaun yang sama dengan milik Juni. Yah ... gaunnya sangat sederhana, jadi gampang saja ditiru, walau tentu saja bahan dan kainnya tidak semewah milik Juni.Jeni segera kembali ke toilet untuk mengganti gaunnya. Setelah ini, adalah giliran Rafael. Tugasnya sudah selesai.Ponselnya berbunyi. Setelah melihat nama Rafael di layar panggilan, segera Jeni mengangkatnya. Mungkin dia ingin melaporkan bahwa Juni sudah dia bawa ke tempat yang aman."Hal
Rafael tak membuang waktu. Setelah melihat Juni memejamkan mata dengan kondisi yang mengerikan, ia segera mengangkat tubuh sang istri dan membawanya keluar dari gudang itu.Kendati dengan dada yang luar biasa sesak dan hati yang teramat sakit, Rafael memantapkan langkah membawa istrinya ke lantai paling atas.Di atas rooptop, Rafael berhenti. Menunggu sesuatu yang datang beberapa menit kemudian.Sebuah helikopter mendarat di sana. Dengan cepat, Rafael naik setelah mengeratkan pelukannya pada Juni.Tak pelak darah ikut membasahi kemeja putih Rafael.Setelah duduk di dalam helikopter, dengan Juni di atas pangkuannya, Rafael menatap wanita itu dengan kekhawatiran yang amat kental. "Bertahanlah sebentar, Sayang."***Rafael menatap lekat wanita yang terbaring di ranjangnya. Sangat dalam sampai ia tak sempat mengedipkan mata."Akhirnya kau ada di rumahku, Sayang. Ini rumah kita." Sorot matanya berkilat sedih. "Aku merindukanmu."
Saga terbangun di rumah sakit. Aroma antiseptik dan bau yang menyengat menusuk indra pendengarannya.Ia meringis kala merasakan ngilu yang teramat sangat di kepalanya saat ia bergerak. Saga mencoba bangun dan mengabaikan rasa sakitnya."Anda tidak bisa bangun begitu saja, Tuan." Edward yang tadinya duduk di sofa menghampirinya.Melihat Edward, mengingatkan Saga tentang kejadian menghilangnya Juni. Saat itu juga ia menggeram. "Di mana wanita itu, Edward?"Edward menunduk dengan ekspresi yang rumit. "Kami belum menemukannya, Tuan.""Seberapa hebat wanita itu sampai kalian tidak bisa menemukannya?" Saga menggertakkan gigi. Urat-urat di lehernya menegang sempurna.Kening Edward berkerut. "Sepertinya Nyonya diculik oleh orang berkekuatan besar. Kami belum bisa melacaknya karena CCTV di sepanjang area itu juga disabotase."Ada seringai di bibir Saga sebelum ia tertawa dengan muka menggelap. Kedua alis Edward sampai tertaut melihat sang tuan
Rafael berjalan muram ke dapur. Ditumpukannya kedua lengannya di atas meja makan. Ini sangat menyakitkan. Ketika Juni hanya mencari pria lain saat ia bangun, Rafael merasa dirinya seperti orang asing.Padahal mereka saling mencintai. Ah, itu mungkin hanya dulu, bukan sekarang.Rafael bernapas berat. Bahunya merosot lemah.Dulu saat ia tak memiliki apa-apa, Juni ada di sampingnya. Rafael seperti mendapatkan mutiara yang bersinar dalam kegelapan hidupnya.Namun, sekarang saat ia punya segalanya, wanita itu menjauh darinya."Haruskah aku kembali seperti dulu supaya kamu kembali ke sisiku?"Sebenarnya apa yang membuat Juni berpaling? Tidak mungkin ia ingin kembali ke rumah Atlanta yang jelas-jelas memperlakukannya dengan buruk. Ia tidak mungkin ingin pulang dengan sukarela."Apa dia mengancam Juni?" Rafael menelaah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Saga, walau hanya dia yang mengenali pria itu.Laki-laki berparas
Esoknya Saga memaksa untuk pulang. Ia muak berada di rumah sakit. Saga ingin cepat mencari Juni.Di dalam mobil ia terus menatap lurus sambil menggumamkan nama Juni di dalam hati. Ia harus segera menemukan wanita itu.Saat mobilnya berhenti di pelataran perusahaan Lahendra, Saga turun dengan angkuh kendati kepalanya terbalut perban dan kondisinya tak benar-benar baik.Setiap langkahnya mengundang setiap mata untuk menoleh dan berbalik menatapnya. Aura dan kharismanya yang mendominasi tak pernah luput dari perhatian orang-orang.Saga dan para pengawalnya tiba di lantai tempat ruangan Maria Lahendra. Seorang sekretaris bertubuh kecil dan berpakaian formal menyambut mereka."Di mana Maria Lahendra?" tanya Saga dingin.Sekretaris itu menatap Saga lurus. "Beliau ada di dalam.""Aku ingin bertemu dengannya."Sekretaris berwajah oriental itu menatap Saga datar dan profesional. Yah ... biasanya sikap bawahan tidak aka
"Rumah Rafael Estigo tidak diketahui oleh siapa pun. Tak ada data tentang letak rumahnya.""Baiklah. Silakan keluar."Sedetik setelah pintu ruangannya tertutup kembali, Maria menelepon seseorang. "Halo, Tuan Tanaka. Saya ingin bertemu dengan Anda.""Wah, suatu kehormat umum.an untuk saya. Silakan atur waktunya, Nyonya Lahendra." Nada suara di seberang telepon terdengar ceria."Saya ingin secepatnya.""Tidak masalah. Saya akan meluangkan waktu."Tanpa basa-basi, Maria menutup telepon. Menyatukan kedua siku di atas meja dan menatap lurus.Jika memang Rafael yang membawa Juni, maka anak itu benar-benar nekat dan bodoh. Tak tahu siapa yang tengah dia hadapi.Anak kemarin sore yang merasa bisa menantang dunia hanya karena baru saja mengecap kesuksesan.Maria berdiri, memeriksa penampilannya yang sudah rapi sejak tadi lalu keluar untuk menemui Tuan Tanaka.Sesampainya di kantor lelaki itu, dengan langkahnya
"Selamat pagi, saya datang untuk memeriksa kondisi Nyonya Juni."Bola mata Nazura bergerak-gerak mencerna penampilan orang di depannya dan juga kata-kata yang dia ucapkan."Nyonya Juni? Tidak ada yang namanya Nyonya Juni di sini? Bukankah dia klien Kakak?" Nazura menoleh menatap Rafael yang tengah menahan napas. "Oh, atau Anda salah tempat."Sang dokter juga terlihat sama bingungnya dengan Nazura. "Saya tidak salah tempat. Saya adalah dokter yang akan memeriksa kondisi dari Nyonya Juni Estigo.""Nyonya Estigo?""Silakan masuk, Dokter." Tahu-tahu Rafael sudah membawa orang yang mengaku sebagai dokter itu masuk dengan gerakan yang kikuk.Rafael menuntun sang dokter tanpa mengindahkan lagi bagaimana reaksi Nazura di belakangnya. Gadis itu tak lagi kebingungan, ia terkejut luar biasa sampai tak bisa bergerak.Apa Nyonya Estigo yang dimaksud adalah ibu Rafael atau mungkin saudaranya? Tapi bukankah Rafael sudah tidak memiliki ke
Entah sudah menjadi gelas keberapa, yang pasti Saga tak berniat berhenti. Ia terus menenggak whisky tanpa henti di bar kecil dalam ruangan kerjanya di kantor.Sudah tengah malam dan ia belum pulang. Sedang Edward berdiri di hadapannya dan membujuknya untuk pulang."Tuan, Anda begini selama satu minggu, tolong ... pulanglah dengan saya dan berhentilah."Saga tak memedulikan Edward, digoyangkannya gelasnya dengan sorot mata yang teramat dingin, meski kesadarannya sedikit terganggu."Tuan, tolong pulang—""Diamlah, Edward! Aku tak akan pulang sampai—" Saga terdiam, memandangi gelas di tangannya lamat-lamat lalu tertawa. "Tidakkah kau ingat sesuatu, Edward? Waktu itu aku juga tak pulang dan wanita itu datang karena mencemaskanku, padahal aku sudah berbuat buruk padanya. Itu sangat lucu. Dia sangat menggemaskan."Saga terus berceloteh tentang Juni, kendati suaranya sudah melemah dan tubuhnya tak lagi tegak. Sementara Edward mendengark