Rafael berjalan muram ke dapur. Ditumpukannya kedua lengannya di atas meja makan. Ini sangat menyakitkan. Ketika Juni hanya mencari pria lain saat ia bangun, Rafael merasa dirinya seperti orang asing.
Padahal mereka saling mencintai. Ah, itu mungkin hanya dulu, bukan sekarang.
Rafael bernapas berat. Bahunya merosot lemah.
Dulu saat ia tak memiliki apa-apa, Juni ada di sampingnya. Rafael seperti mendapatkan mutiara yang bersinar dalam kegelapan hidupnya.
Namun, sekarang saat ia punya segalanya, wanita itu menjauh darinya.
"Haruskah aku kembali seperti dulu supaya kamu kembali ke sisiku?"
Sebenarnya apa yang membuat Juni berpaling? Tidak mungkin ia ingin kembali ke rumah Atlanta yang jelas-jelas memperlakukannya dengan buruk. Ia tidak mungkin ingin pulang dengan sukarela.
"Apa dia mengancam Juni?" Rafael menelaah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Saga, walau hanya dia yang mengenali pria itu.
Laki-laki berparas
Esoknya Saga memaksa untuk pulang. Ia muak berada di rumah sakit. Saga ingin cepat mencari Juni.Di dalam mobil ia terus menatap lurus sambil menggumamkan nama Juni di dalam hati. Ia harus segera menemukan wanita itu.Saat mobilnya berhenti di pelataran perusahaan Lahendra, Saga turun dengan angkuh kendati kepalanya terbalut perban dan kondisinya tak benar-benar baik.Setiap langkahnya mengundang setiap mata untuk menoleh dan berbalik menatapnya. Aura dan kharismanya yang mendominasi tak pernah luput dari perhatian orang-orang.Saga dan para pengawalnya tiba di lantai tempat ruangan Maria Lahendra. Seorang sekretaris bertubuh kecil dan berpakaian formal menyambut mereka."Di mana Maria Lahendra?" tanya Saga dingin.Sekretaris itu menatap Saga lurus. "Beliau ada di dalam.""Aku ingin bertemu dengannya."Sekretaris berwajah oriental itu menatap Saga datar dan profesional. Yah ... biasanya sikap bawahan tidak aka
"Rumah Rafael Estigo tidak diketahui oleh siapa pun. Tak ada data tentang letak rumahnya.""Baiklah. Silakan keluar."Sedetik setelah pintu ruangannya tertutup kembali, Maria menelepon seseorang. "Halo, Tuan Tanaka. Saya ingin bertemu dengan Anda.""Wah, suatu kehormat umum.an untuk saya. Silakan atur waktunya, Nyonya Lahendra." Nada suara di seberang telepon terdengar ceria."Saya ingin secepatnya.""Tidak masalah. Saya akan meluangkan waktu."Tanpa basa-basi, Maria menutup telepon. Menyatukan kedua siku di atas meja dan menatap lurus.Jika memang Rafael yang membawa Juni, maka anak itu benar-benar nekat dan bodoh. Tak tahu siapa yang tengah dia hadapi.Anak kemarin sore yang merasa bisa menantang dunia hanya karena baru saja mengecap kesuksesan.Maria berdiri, memeriksa penampilannya yang sudah rapi sejak tadi lalu keluar untuk menemui Tuan Tanaka.Sesampainya di kantor lelaki itu, dengan langkahnya
"Selamat pagi, saya datang untuk memeriksa kondisi Nyonya Juni."Bola mata Nazura bergerak-gerak mencerna penampilan orang di depannya dan juga kata-kata yang dia ucapkan."Nyonya Juni? Tidak ada yang namanya Nyonya Juni di sini? Bukankah dia klien Kakak?" Nazura menoleh menatap Rafael yang tengah menahan napas. "Oh, atau Anda salah tempat."Sang dokter juga terlihat sama bingungnya dengan Nazura. "Saya tidak salah tempat. Saya adalah dokter yang akan memeriksa kondisi dari Nyonya Juni Estigo.""Nyonya Estigo?""Silakan masuk, Dokter." Tahu-tahu Rafael sudah membawa orang yang mengaku sebagai dokter itu masuk dengan gerakan yang kikuk.Rafael menuntun sang dokter tanpa mengindahkan lagi bagaimana reaksi Nazura di belakangnya. Gadis itu tak lagi kebingungan, ia terkejut luar biasa sampai tak bisa bergerak.Apa Nyonya Estigo yang dimaksud adalah ibu Rafael atau mungkin saudaranya? Tapi bukankah Rafael sudah tidak memiliki ke
Entah sudah menjadi gelas keberapa, yang pasti Saga tak berniat berhenti. Ia terus menenggak whisky tanpa henti di bar kecil dalam ruangan kerjanya di kantor.Sudah tengah malam dan ia belum pulang. Sedang Edward berdiri di hadapannya dan membujuknya untuk pulang."Tuan, Anda begini selama satu minggu, tolong ... pulanglah dengan saya dan berhentilah."Saga tak memedulikan Edward, digoyangkannya gelasnya dengan sorot mata yang teramat dingin, meski kesadarannya sedikit terganggu."Tuan, tolong pulang—""Diamlah, Edward! Aku tak akan pulang sampai—" Saga terdiam, memandangi gelas di tangannya lamat-lamat lalu tertawa. "Tidakkah kau ingat sesuatu, Edward? Waktu itu aku juga tak pulang dan wanita itu datang karena mencemaskanku, padahal aku sudah berbuat buruk padanya. Itu sangat lucu. Dia sangat menggemaskan."Saga terus berceloteh tentang Juni, kendati suaranya sudah melemah dan tubuhnya tak lagi tegak. Sementara Edward mendengark
"Di mana putriku?"Untuk sejenak Rafael terperangah ketika sosok dingin itu bersedekap angkuh di depan pintu. Setelan jas yang pas membentuk lekuk tubuhnya membuat Maria Lahendra tampak begitu berkharisma dan tak dapat dijangkau."Aku tanya di mana putriku, Estigo?"Rafael tak menjawab. Kepalanya berputar memikirkan bagaimana Maria bisa mengetahui tempat tinggalnya? Selain dirinya, Nazura dan Tuan Tanaka, tak ada siapa pun yang tahu letak penthouse Rafael.Maria menerobos masuk sebelum Rafael menjawab pertanyaan wanita itu. Rafael pun panik dan menghalau Maria."Anda tidak bisa sembarangan menerobos masuk ke rumah saya."Maria menyeringai. Ada sorot mengejek pada matanya yang kelam. "Dan kau tidak bisa sembarangan menculik putriku, Estigo."Melihat Rafael yang tertegun, Maria melontarkan tatapan dinginnya yang mematikan. "Kembalikan dia. Aku ke sini untuk menjemputnya."Dengan berani Maria masuk semakin dalam, mencari-car
Juni menahan napas saat Saga berjalan perlahan mendekati tempatnya. Sorot mata lelaki itu begitu dingin, gesturnya terlihat tenang, namun Juni menangkap murka yang luar biasa dari dirinya.Saga duduk di atas sofa sementara Maria dan Juni berdiri di hadapannya.Lumayan lama atmosfer di antara mereka dikuasai keheningan, sampai Saga membuka mulutnya. "Kenapa diam? Kau tidak ingin mengatakan sesuatu, Nyonya Lahendra?"Saga tampak sangat tenang untuk ukuran orang yang sangat marah. Juni merasa kemarahan lelaki itu seperti bom yang akan meledak pada waktunya.Juni masih menunduk untuk menatap nanar lantai yang lebih bersahabat ketimbang wajah Saga yang tampak amat mengerikan di matanya. Padahal ia tak melakukan kesalahan apa pun, kenapa dia harus gemetar seperti ini?"Saya membawanya dari rumah Rafael Estigo."Juni menggigit bibir dalam-dalam. Pada akhirnya Maria akan mengatakannya. Tidak ada pilihan lain selain mengatakan kebenarannya.
Saga mengamati Juni yang terbaring kaku di atas ranjangnya. Wajah cantik wanita itu sangat pucat, napasnya pun berembus dengan lemah.Lama kemudian Saga memalingkan muka, dikepalkannya tangannya kuat-kuat dan dijauhkannya pandangannya dari wanita itu.Sementara Elliot memeriksa Juni dengan alat-alat yang dibawanya. Keningnya mengerut selama pemeriksaan itu kemudian terdiam seribu bahasa."Ada apa?" Saga bertanya tidak sabar setelah tidak ada suara apa pun dari Elliot.Elliot memiringkan kepalanya, berpikir cukup lama dan serius."Ck! Ada apa dengannya, Elliot?"Elliot menoleh dan menatap Saga aneh. "Ya ... kondisinya tidak begitu baik. Dia kelelahan dan kehilangan banyak energi, ditambah dengan shock yang lumayan hebat. Dan ...." Ucapan Elliot yang menggantung membuat sepasang alis Saga menukik."Dan apa?" tanyanya tak sabar."Dia hamil."Bagaikan tersambar petir di siang bolong, kedua mata Saga melebar. Jakunnya bergera
Mata Juni membelalak. "A-apa?""Kubilang gugurkan. Aku tak ingin hasil pengkhianatanmu mengotori rumahku!"Juni terhenyak untuk sekian lama sampai tak menyadari Saga sudah meninggalkan tubuhnya dan berdiri di samping ranjang."Aku akan memanggil dokter agar kandunganmu bisa digugurkan."Juni mengerjap. Tersadar dari keterkejutannya kemudian membuka mulut untuk melawan perintah Saga, namun lelaki itu sudah lebih dulu keluar dari kamar remang yang mahaluas itu.Tubuh lemahnya bangun dengan cepat, meremas kedua tangannya yang gemetar lalu menangis sejadi-jadinya. Dia tak bisa kehilangan anaknya lagi. Dia tak akan sanggup bila kehilangan darah dagingnya untuk yang kedua kalinya.Sementara di luar kamar, Saga tengah berhadapan dengan Edward. Sejak tadi ekspresi Edward tak datar seperti biasanya, keningnya mengerut tidak setuju ketika Saga memerintahkannya memanggil dokter."Anda tidak bisa melakukan itu, Tuan.""Apa? Aku tidak
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari