Bagi Saga, cinta adalah kata yang mustahil. Sedari kecil Saga berhenti mengharapkannya sampai melupakan kata itu.
Ia hanya tahu cara menguasai dan menghukum. Mendominasi dan mendapatkan apa yang dia inginkan.
Saga merasa hatinya telah mati ketika kewarasannya direnggut saat ibu maupun ayahnya memukulnya tanpa ampun seperti orang gila. Saat darah yang anyir itu merembes di sepanjang lantai dengan luka lebam dan goresan di seluruh kulitnya, Saga tak pernah lagi ingin mengerti apa itu cinta.
Tapi saat ini, di sore yang menyegarkan. Di depan mawar dengan warna yang beraneka. Ketika tangannya mendekap tubuh hangat dengan aroma menenangkan. Saga merasakannya.
"Aku tidak ingin melakukannya." Suara yang lembut, namun tegas itu pun menjadi tanda bahwa hati Saga masih hidup. Ia masih merasakannya.
Dengan gerakan kesal, Juni menutup kembali bahunya lalu memutar tubuh setelah sebelumnya gagal melepaskan diri dari pelukan Saga.
"Apa yang ada di pikiranmu
Sudah hampir 30 menit Juni menunggu di ruang makan, tapi Saga belum datang juga.Setelah kejadian di taman tadi, Saga tak lagi bicara apa pun. Ia langsung mandi dan meninggalkan kamar."Apa Saga tidak ingin makan?" tanya Juni kepada Lenna yang berdiri kaku di belakangnya."Tuan tidak memberikan perintah apa pun, Nyonya. Tunggulah sebentar lagi, mungkin Tuan sedang ada pekerjaan penting."Juni menghela napas. "Ah, baiklah."Juni kembali menunggu. Bolak-balik menoleh ke arah pintu dan meja yang masih kosong."Bagaimana? Ini sudah hampir sejam, Lenna.""Saya akan memanggilnya." Lenna mengayun langkah keluar dari ruang makan, tapi Juni menahannya."Tidak. Biar aku saja.""Baik, mari saya antar ke ruangan Tuan Besar."Juni mengikuti langkah Lenna ke ruangan Saga. Mereka tak perlu menuruni tangga karena ruangan Saga juga ada di lantai tiga. Kendati Juni belum pernah ke sana, tapi ia sudah merasa familiar den
Saga menggandeng Juni ke ruang makan dengan langkah tergesa seolah sudah sangat kelaparan. Juni mencebik dalam hati. 'Ternyata dia juga kelaparan!'Lelaki itu bahkan menarik kursi di ujung meja untuk Juni sampai Juni terperangah dan akan mematung entah sampai kapan jika Saga tak bersuara."Duduklah. Aku yakin kamu sudah sangat lapar."Ah, gaya bicaranya yang mesra kembali. Setidaknya dia tak lagi bersikap dingin.Akhirnya pelayan menyajikan makan malam di meja makan. Juni mengembuskan napas lega karena ia baru saja berjuang untuk mendapatkan makan malam ini. Mulai dari menunggu lelaki itu selama satu jam sampai membujuk dan menjemputnya di ruangannya.Saga tersenyum saat melihat Juni makan dengan lahap. Ia sampai melupakan makanannya sendiri."Kamu sangat lapar ternyata."Juni tak memutuskan perhatian dari piringnya."Ya, aku menunggumu lama.""Maafkan aku."Mata Juni melebar dengan makanan yang penuh di mulut
Kejutan itu memang sangat indah. Saga membawanya ke lantai tiga dengan letak meja yang membuatnya bisa melihat semua sisi kota yang gemerlap dan terasa seperti surga.Bangunan-bangunan yang berjajar dan berkilau indah menjamah mata Juni saat ia duduk di kursinya."Suka?"Juni mengangguk. Dia sangat menyukainya. Terlebih saat alunan piano dan gesekan lembut biola berpadu, menenangkan dan menambah suasana romantis yang indah ini.Pandangannya beredar pada seisi restoran yang amat sepi. Hanya ada mereka berdua dan para pramusaji yang berlalu lalang sesekali."Kita harus menikmati malam ini berdua saja." Sepertinya Saga mengerti arti tatapan Juni."Kau tidak perlu menyewa satu restoran.""Hanya restoran lantai ini saja. Orang-orang bisa makan di lantai yang lain."Beberapa pramusaji menyajikan makanan pembuka. Makanan-makanan bergaya Eropa yang mewah."Makanlah."Setelah menghabiskan makanan pembuka hingga makan
Napas keduanya terengah-engah saat ciuman mereka terlepas. Juni menyandarkan kepalanya di dada bidang Saga yang naik turun."Aku mencintaimu, Honey."Mantra cinta yang diucapkan Saga bagai bola api yang menghunjam hati Juni tanpa henti. Gelombang yang berbahaya itu lagi-lagi memasuki hatinya. Namun, Juni tidak ingin mengakui.Juni menyangkal. Karena baginya semua ini hanyalah sensasi dari ciuman Saga yang teramat hebat, juga efek dari perlakuan lembut dan penghargaan yang lelaki itu berikan padanya."Aku ingin ke toilet."Saga tak bergerak untuk beberapa saat, mungkin sedang menormalkan ritme napasnya yang menggebu."Aku akan menemanimu," katanya, tanpa bergeser sedikit pun.Juni mendongak dan menatap mata Saga yang berkabut."Aku akan pergi sendiri."Juni butuh sendiri. Juni butuh menjauh sejenak dari lelaki ini. Karena dia teramat berbahaya. Jantung Juni pun belum jua surut dari debaran yang menggila."Kal
Jeni mengangkat dagu, matanya memicing melihat sosok Saga yang ambruk jauh di depan sana dengan darah yang meluber di kepalanya.Kepala botol yang sedari tadi dipegangnya ia lempar ke sembarang arah kemudian menepuk-nepuk tangannya dengan seringai puas."Ternyata kau bisa ambruk juga, Saga Atlanta."Jeni menunduk mengamati gaun hitamnya yang terciprati noda darah milik Saga. Ah, lagi pula gaun ini hanya tiruan.Setelah menyuruh para suruhannya membawa Juni, gadis bersurai lurus itu mengganti gaun yang sama dengan milik Juni. Yah ... gaunnya sangat sederhana, jadi gampang saja ditiru, walau tentu saja bahan dan kainnya tidak semewah milik Juni.Jeni segera kembali ke toilet untuk mengganti gaunnya. Setelah ini, adalah giliran Rafael. Tugasnya sudah selesai.Ponselnya berbunyi. Setelah melihat nama Rafael di layar panggilan, segera Jeni mengangkatnya. Mungkin dia ingin melaporkan bahwa Juni sudah dia bawa ke tempat yang aman."Hal
Rafael tak membuang waktu. Setelah melihat Juni memejamkan mata dengan kondisi yang mengerikan, ia segera mengangkat tubuh sang istri dan membawanya keluar dari gudang itu.Kendati dengan dada yang luar biasa sesak dan hati yang teramat sakit, Rafael memantapkan langkah membawa istrinya ke lantai paling atas.Di atas rooptop, Rafael berhenti. Menunggu sesuatu yang datang beberapa menit kemudian.Sebuah helikopter mendarat di sana. Dengan cepat, Rafael naik setelah mengeratkan pelukannya pada Juni.Tak pelak darah ikut membasahi kemeja putih Rafael.Setelah duduk di dalam helikopter, dengan Juni di atas pangkuannya, Rafael menatap wanita itu dengan kekhawatiran yang amat kental. "Bertahanlah sebentar, Sayang."***Rafael menatap lekat wanita yang terbaring di ranjangnya. Sangat dalam sampai ia tak sempat mengedipkan mata."Akhirnya kau ada di rumahku, Sayang. Ini rumah kita." Sorot matanya berkilat sedih. "Aku merindukanmu."
Saga terbangun di rumah sakit. Aroma antiseptik dan bau yang menyengat menusuk indra pendengarannya.Ia meringis kala merasakan ngilu yang teramat sangat di kepalanya saat ia bergerak. Saga mencoba bangun dan mengabaikan rasa sakitnya."Anda tidak bisa bangun begitu saja, Tuan." Edward yang tadinya duduk di sofa menghampirinya.Melihat Edward, mengingatkan Saga tentang kejadian menghilangnya Juni. Saat itu juga ia menggeram. "Di mana wanita itu, Edward?"Edward menunduk dengan ekspresi yang rumit. "Kami belum menemukannya, Tuan.""Seberapa hebat wanita itu sampai kalian tidak bisa menemukannya?" Saga menggertakkan gigi. Urat-urat di lehernya menegang sempurna.Kening Edward berkerut. "Sepertinya Nyonya diculik oleh orang berkekuatan besar. Kami belum bisa melacaknya karena CCTV di sepanjang area itu juga disabotase."Ada seringai di bibir Saga sebelum ia tertawa dengan muka menggelap. Kedua alis Edward sampai tertaut melihat sang tuan
Rafael berjalan muram ke dapur. Ditumpukannya kedua lengannya di atas meja makan. Ini sangat menyakitkan. Ketika Juni hanya mencari pria lain saat ia bangun, Rafael merasa dirinya seperti orang asing.Padahal mereka saling mencintai. Ah, itu mungkin hanya dulu, bukan sekarang.Rafael bernapas berat. Bahunya merosot lemah.Dulu saat ia tak memiliki apa-apa, Juni ada di sampingnya. Rafael seperti mendapatkan mutiara yang bersinar dalam kegelapan hidupnya.Namun, sekarang saat ia punya segalanya, wanita itu menjauh darinya."Haruskah aku kembali seperti dulu supaya kamu kembali ke sisiku?"Sebenarnya apa yang membuat Juni berpaling? Tidak mungkin ia ingin kembali ke rumah Atlanta yang jelas-jelas memperlakukannya dengan buruk. Ia tidak mungkin ingin pulang dengan sukarela."Apa dia mengancam Juni?" Rafael menelaah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Saga, walau hanya dia yang mengenali pria itu.Laki-laki berparas
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari