Saga menggandeng Juni memasuki kamarnya dengan tergesa, seolah gairahnya tak lagi dapat ia tahan.
Untuk sejenak hati Juni berdenyut nyeri. Bahwa lelaki ini hanya menginginkan tidur dengannya. Ia hanya ingin Juni menurut dan melayani hasratnya.
Juni tersenyum nanar kala Saga membaringkannya di atas kasur dan kembali mencumbu dadanya dengan lihai seolah tak ada lagi waktu yang tersisa untuk mereka.
Gerakannya gesit, namun begitu ahli dan sangat tahu cara membuat Juni menikmati setiap sentuhannya. Bahkan Juni tak merasakan dirinya sudah telanjang bulat di bawah kuasa Saga dengan tatapan penuh pemujaan dari lelaki itu.
"Ah, kau sangat indah. Aku ingin memilikimu. Aku menginginkanmu ... lagi dan lagi." Kemudian menghunjamkan ciuman mesra di sepanjang perut juni.
Sekian menit yang dipenuhi oleh desahan dan gairah yang meluap-luap, di situlah Juni merasakan senjata keras Saga mencoba menembusnya.
"Kau begitu indah," katanya lagi. Entah sudah
Dua hari kemudian, kediaman Atlanta .... Seorang pelayan berkuncir dua menunduk dengan Lenna di hadapannya. Sang kepala pelayan tengah memeriksa sebuah surat yang baru saja diserahkan pelayan itu. "Apa penyakitnya separah itu?" "Ya, Kepala. Sebenarnya sudah lama ia mengalami gejalanya, tapi baru sekarang penyakitnya ketahuan setelah ia memeriksanya ke dokter. Dia ingin fokus berobat dulu." "Aku turut berduka. Sampaikan salamku pada kakakmu, Serina." Serina masih menunduk. "Baik. Terima kasih atas pengertiannya. Anda sangat baik." "Pergilah. Aku akan mengirimkan tunjangan dan gaji terakhir untuk kakakmu nanti." "Baik, terima kasih. Saya akan mengemasi barang-barang Kakak." Pelayan bernama Serina itu menunduk hormat lalu berlalu dari hadapan Lenna. Tiga puluh menit kemudian, Serina sudah berada di depan pintu utama dengan sebuah koper besar di tangannya dan ransel di punggungnya. Ia ditahan oleh beberapa pengawal se
Saga mengakui ... bahwa keberadaan wanita itu begitu penting. Saat ia dengan tergesa menyelesaikan rapat dan tanpa basa-basi pulang ke rumah.Ia tahu dirinya telah jatuh begitu dalam. Membiarkan dirinya tenggelam seperti halnya Rosalia. Saat dia dengan bodohnya melupakan apa saja yang Juni lakukan di belakangnya.Saat ia menurunkan ego untuk meminta maaf terlebih dahulu dan pulang dengan cepat untuk memeluknya erat.Sama seperti dua hari sebelumnya, Saga juga pulang empat jam lebih awal sebelum malam mengambil alih.Dengan dada berdebar antusias, ia langsung menuju kamar Juni. Setengah berlari dan menahan gejolak asing di hatinya.Dibukanya pintu kamar Juni sedikit lebih keras, lalu kemudian menyesal. Mungkin saja Juni akan kaget. Ah, sepertinya dirinya sedikit terlalu antusias.Namun, yang ditemuinya bukan Juni yang terkesiap atau menatapnya dalam, melainkan kekosongan.Mungkinkah ia sedang berjalan-jalan di sekitar
"Nyonya tidak ada di mana-mana, Tuan," lapor Edward. Walau terlihat datar, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang kental.Rahang Saga semakin mengetat. Rambut kelamnya teracak liar dan sorot matanya berkilat bengis menatap lantai seolah benda itulah yang telah menenggelamkan Juni ke dasar tanah."Cari," bisiknya rendah, hampir-hampir seperti desisan. "Cari sampai ketemu.""Baik." Edward tetap mempertahankan gestur tenang dan profesional-nya."Bawa Lenna ke hadapanku," perintah lelaki itu kemudian.Tanpa menunggu lama, Lenna sudah berdiri di hadapan Saga yang tengah duduk terpaku di atas sofa.Saga mengangkat wajah dan menghunjam Lenna dengan pandangan mengintimidasi."Apa ada petunjuk menghilangnya Juni?""Tidak, Tuan. Kami sudah mencarinya tapi tak ket—""Laporkan semuanya! Semua yang terjadi selama dua hari ini. Apa pun itu. Sekecil apa pun, aku ingin tahu.""Baik."Lenna melaporkan banyak
Ketukan sepatu tinggi Maria memenuhi lantai ruang tengah kediaman Lahendra. Langkahnya terayun dengan anggun dan tak memedulikan sekitar."Dari mana, Kak?"Suara lembut yang terdengar menyebalkan itu menghentikan langkah Maria yang hendak meninggalkan ruang tengah. Ia menoleh pada Leticia yang tengah duduk santai di sofa sembari menyilang kaki seperti ratu.Maria mengangkat sebelah alis dengan dingin sebelum kembali mengayun langkahnya, mengabaikan Leticia sepenuhnya."Habis mengerjakan urusan penting?"Maria tetap tak menghiraukan. Baginya, Leticia tak ubahnya seperti nyamuk tidak tahu diri."Oh, ayolah, Kak. Sampai kapan kau akan mengabaikanku, hm?""Aku tidak punya waktu untuk meladenimu."Leticia mengangkat bahu dengan senyum mengejek."Dan jangan bersikap sok manis padaku.""Ohho ... aku kan memang manis dari dulu, itu sebabnya Mas Sandi berpaling padaku. Iya, kan?"Ekspresi dingin dan kaku di wa
Tak sedetik pun terlewat oleh mata Saga, semua pergerakan pelayan maupun para pengawal yang sibuk mencari Juni ke sana kemari."Sudah temukan pelayan itu?" tanyanya saat Edward menghadap."Kami sudah mendatangi rumahnya, tapi rumah itu kosong dan tetangganya mengatakan dia sudah pergi tiga hari yang lalu."Kedua alis Saga beradu. "Ke mana dia pergi?""Tak ada petunjuk tentang itu, Tuan.""Aku tak mengharapkan kata 'tak ada' dari mulutmu, Edward. Cari tahu semua tentang keluarganya dan juga adiknya yang bernama serina itu!" Rahang Saga semakin mengetat dengan hunjaman mata yang kian tajam.Edward tertegun sejenak sebelum menarik napas dan kembali melanjutkan laporannya. "Dari penuturan orang-orang terdekatnya, dia tak punya adik. Dia hanya punya ayah yang sakit-sakitan sejak lama.""Tidak punya adik? Lalu siapa Serina?" Saga mendecak keras sampai pelayan-pelayan yang lewat bergidik ketakutan."Kami sedang mencari tahu, Tuan."
"Kau tampak begitu rapi, ingin ke suatu tempat?"Suasana sarapan di ruang makan kediaman Lahendra tampak tenang saat Sandi bertanya dengan santai pada Maria."Ya." Seperti biasa, Maria akan menjawab singkat dan dingin."Ke mana?""Ke tempat teman."Leticia bergabung dalam obrolan basa-basi itu dan mencoba mencairkan suasana dengan senyum manis yang dibuat-buat. "Wah, seperti biasa Kak Maria punya banyak teman ya, aku jadi iri deh.""Kau juga harus lebih bersosialisasi lagi, Leti." Tatapan Sandi berpindah pada Leticia di sisi meja yang lain dan seketika sorot matanya berubah hangat."Ya, aku juga ingin begitu. Tapi kau tahu ... yaaa para nyonya dari keluarga terhormat itu tidak suka bergaul denganku yang berkasta rendah ini."Kedua alis Sandi tertaut dan tatapannya menajam. "Siapa yang berani mengataimu berkasta rendah?"Sekilas Leticia melirik Maria lewat ekor matanya. "Yah ... orang-orang yang merasa sangat terhor
Langkah kaki Maria bergema ketika memasuki vila pribadinya. Sembari bergelut dengan takhta Lahendra dan orang-orang memuakkan di dalamnya, ia banyak membeli vila, rumah, apartemen dan real estate lainnya untuk dirinya sendiri. Vila yang terletak di pegunungan ujung kota ini memakan waktu tiga sampai empat jam dalam perjalanan. Dengan langkah tegasnya, ia menaiki tangga setelah membuka blazer dan menyampirkan di punggung sofa. Di tengah tangga ia berpapasan dengan Juni yang sepertinya hendak turun. Juni memandangnya heran. Mungkin merasa ganjil karena Maria tiba-tiba perhatian dengan datang mengunjunginya selama dua hari berturut-turut. Padahal perjalanan ke sini memakan waktu yang lumayan lama. Maria bisa membaca isi pikiran Juni dari ekspresinya. "Aku cuma ingin melihatmu." Maria meneliti keseluruhan diri Juni. Anak ini hampir sama seperti dirinya. Dia keras kepala, tegas dan tak segan-segan mengambil risiko tinggi untuk pilihan yang
Usianya 15 tahun. Malam itu Saga ikut makan malam dengan orang tuanya.Dengan seorang wanita seksi di pangkuan sang ayah. Makan sambil bercumbu. Sedang Rosalia memegang sendok dengan tangan bergetar dan memandang mereka murka di ujung meja.Dalam cumbuannya yang tak habis-habis, Rafael melirik Saga yang menatap tajam ke arahnya. Serta merta lelaki itu berhenti kemudian menyorot Saga tak kalah tajam."Apa yang kau lihat?" Sepasang alis Rafael menukik tajam.Saga tak menurunkan tatapannya. Disorotnya sang ayah lebih tajam lagi."Hah! Anak kurang ajar! Beraninya kau menatapku dengan mata melotot begitu!"Wanita di pangkuan Rafael sedikit terkesiap kala nada tinggi lelaki itu bergema di ruang makan."Turunkan pandanganmu, Berengsek!"Tapi Saga tak menurut. Ditatapnya Rafael dengan mata berkilat jijik sekaligus berang.Sekonyong-konyong Rafael menyapu semua piring di atas meja sehingga jatuh berserakan. Pecah dengan makanan y
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari