Usianya 15 tahun. Malam itu Saga ikut makan malam dengan orang tuanya.
Dengan seorang wanita seksi di pangkuan sang ayah. Makan sambil bercumbu. Sedang Rosalia memegang sendok dengan tangan bergetar dan memandang mereka murka di ujung meja.
Dalam cumbuannya yang tak habis-habis, Rafael melirik Saga yang menatap tajam ke arahnya. Serta merta lelaki itu berhenti kemudian menyorot Saga tak kalah tajam.
"Apa yang kau lihat?" Sepasang alis Rafael menukik tajam.
Saga tak menurunkan tatapannya. Disorotnya sang ayah lebih tajam lagi.
"Hah! Anak kurang ajar! Beraninya kau menatapku dengan mata melotot begitu!"
Wanita di pangkuan Rafael sedikit terkesiap kala nada tinggi lelaki itu bergema di ruang makan.
"Turunkan pandanganmu, Berengsek!"
Tapi Saga tak menurut. Ditatapnya Rafael dengan mata berkilat jijik sekaligus berang.
Sekonyong-konyong Rafael menyapu semua piring di atas meja sehingga jatuh berserakan. Pecah dengan makanan y
"Rencana apa lagi sih, Bu?" Jeni memutar bola mata jengah ketika sang ibu tahu-tahu datang ke kamarnya dan meminta untuk membicarakan rencana mereka di pesta nanti."Hei, ada apa denganmu? Besok ulang tahunmu dan Juni pasti datang. Cuma itu kesempatan kita untuk menghancurkannya karena yang terakhir kali gagal."Jeni memutar bola mata sambil berjalan ke arah ranjang. "Baiklah. Sepertinya Ibu mau bernasib sama seperti Saleh Dipomo."Leticia mengekor di belakang Jeni. "Mana bisa Atlanta memenjarakan kita? Jangan sampai ketahuan dan bertindaklah secara halus."Jeni menoleh pada sang ibu dan menatap seolah Leticia adalah anak TK yang tidak mengerti apa pun. "Apa Ibu tidak pernah mendengar rumor tentang beruang kutub itu?"Dan Leticia hanya mengangkat bahu seolah tidak peduli. Wajahnya memancarkan kesombongan bahwa Atlanta tidak bisa mengadilinya karena dia adalah Lahendra.Jeni mengembuskan napas kesal. "Karena inilah Ibu tidak pernah bisa
Jeni tersenyum manis kepada setiap tamu yang menyapanya dan memberinya ucapan selamat ulang tahun dan selamat bertambah umur.Yah, sebenarnya dia tidak terlalu suka dengan ucapan bertambah umur itu. Terkesan seperti, 'Selamat, ajalmu semakin dekat alias sebentar lagi kamu mati.'Well, bukan pesta mewah dengan dekorasi yang luar biasa indah ini yang menjadi pusat kesenangannya. Melainkan dua orang yang baru saja keluar dari mobil dan melangkah memasuki pesta.Yang satu tersenyum ceria dengan sangat antusias, satunya lagi bermuka tegang dengan gurat-gurat kecemasan seperti orang yang sembelit.Jeni memasang senyum terbaiknya kala kedua orang itu menghampirinya. Nazura bahkan melompat-lompat riang sedang lelaki yang digandengnya sama sekali tidak fokus. Jeni bisa melihat titik-titik keringat di pelipisnya.'Kakak Ipar pertama sudah datang, tinggal tunggu Kakak Ipar kedua.' Jeni bertepuk tangan dalam hati, menanti kedua orang itu benar-benar mend
Maria menjauhi keramaian pesta dengan pikiran penuh tentang Rafael.Bagaimana bisa dia kembali?Rafael tak boleh bertemu dengan Saga.Maria mengembuskan napas berat sebelum menelepon seseorang."Halo, Nyonya Lahendra.""Kenapa Anda membiarkan anak itu kembali ke sini, Tuan Tanaka?""Oh ya, kebetulan sekali teman dekat putriku adalah anak tirimu." Nada suara di seberang sana terdengar santai kendati suara Maria sudah meninggi."Saya tidak tahu kalau Anda bisa mengingkari perjanjian kita dengan sangat mudah.""Tunggu dulu, Nyonya Lahendra. Aku tidak bermaksud mengingkari kontrak perjanjian kita.""Lalu mengapa Rafael ada di rumahku sekarang? Anda sedang memberikan kejutan kepada saya? Sayang sekali, karena bukan saya yang berulang tahun!" Mata Maria menyipit marah. Jika saja Tuan Tanaka ada di depannya, laki-laki itu pasti akan mematung melihat bagaimana mengerikannya wajah dingin yang kini terlihat marah itu.
Rafael terus menunggu dengan tidak sabar kapan Nazura akan mengakhiri pembicaraannya dengan Jeni maupun teman-temannya yang tahu-tahu sudah akrab dengan Nazura.Ia tak ingin berlama-lama di pesta ini."Sudah tidak sabar ingin pulang atau tidak sabar bertemu dengan istri lamamu?"Suara halus dengan nada mengejek itu seketika membuat Rafael menoleh dan mendapati Jeni mengerling jail padanya."Aku sangat kaget lho saat tahu Kakak Ipar adalah calon tunangan Nazura ups—apa mesti kupanggil mantan kakak ipar?"Rafael tidak mengerti apa yang dilakukan oleh gadis ini."Tidak bertemu dengan madumu? Oh, atau racun? Ah, ini sangat membingungkan. Hebat sekali kakakku bisa punya dua suami sekaligus."Rafael mengernyit, tak menyukai ucapan yang terdengar santai itu. Suami Juni hanyalah dirinya. Tidak ada yang lain."Saga Atlanta sudah datang. Sayangnya tidak bersama dengan Juni. Padahal aku ingin melihat drama picisan
Saga menyeringai di dalam mobilnya. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada si pemilik pesta, ia langsung minta pamit.Ia tersenyum mengerikan dalam cahaya mobil yang redup."Jadi dia yang bernama Estigo?"Saga bahkan jijik menyebut nama Rafael.Ia tak tanggung-tanggung menyelidiki tentang masa lalu Juni.Semua tentang Rafael ada di tangannya."Dia yang kau ajak bertemu di rumah sempit itu?"Saga berbisik di kegelapan, seolah Juni ada bersamanya. Kedua alisnya menukik mengintimidasi.Ia tahu, pria di samping Jeni adalah Rafael. Pria yang menatapnya seperti akan mencekiknya saat itu juga.Dan Saga harus menahan diri untuk tak menerjangnya dan memberikan peringatan, "Jangan dekati istriku, Berengsek!"Saga menatap lurus dalam redupnya cahaya mobil. Mata cokelatnya berkilat seperti hewan buas."Lihat dan camkan. Akan kuhancurkan orang itu sampai kau tidak punya tempat dan alasan la
Debar di dada Juni belum jua reda meski suara tembakan beruntun itu tak lagi terdengar dan kehadiran seseorang di atas sana sudah tak lagi terasa mencekam.Kedua kakinya masih gemetar. Juni memijat pelipisnya yang terasa amat pening.Tembakan demi tembakan yang brutal itu membuat jantungnya hampir keluar.Setelah keluar dari kamar Juni, Maria kembali beberapa menit kemudian."Ikut aku."Kedua alis Juni terangkat. "Ke mana, Bu?"Juni melihat titik-titik keringat yang bertakhta di pelipis Maria."Ke ruang paling bawah. Tinggallah di sana."Maria meraih tangan Juni dan memaksanya berdiri kendati sang putri terus mencercanya dengan banyak pertanyaan.Saat turun ke lantai bawah, Juni melihat keadaan di ruang tengah berubah, seolah vlla ini kosong dan tak berpenghuni. Kain-kain putih bertebaran menutupi sofa dan perabot lain.Juni mengerutkan kening. "Ada apa ini, Bu?""Aku akan jelaskan nanti."Mari
"Kau senang, Sayang?"Tuan Tanaka menyambut mereka sekembalinya dari pesta mewah di kediaman Lahendra."Tentu saja, Ayah. Orang-orang Indonesia memang sangat ramah. Aku sangat senang." Nazura tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Ia sampai melompat-lompat seperti anak kecil meski dengan sepatu tingginya.Rafael mengernyit. Jangan sampai gadis itu terjatuh."Wah, jangan bilang kau akan menetap di sini bersama Rafael."Nazura menoleh senang pada Rafael. "Aku tidak keberatan tinggal di mana saja jika bersama Kak Rafael." Lalu mengerling manja.Tuan Tanaka memberikan lirikan tajam pada sang putri. "Lalu ayahmu yang sudah tua ini mau kau apakan, hm?""Aku akan mencarikan Ayah istri yang muda. Dengan begitu Ayah tidak akan kesepian tanpaku."Seketika Tuan Tanaka tertawa tanpa beban kemudian memeluk gemas putrinya."Terserah kau saja. Melihatmu tertawa seperti ini saja sudah membuat Ayah sangat bahagia, sayangku.
"Setelah meninggalkan vila itu, Maria Lahendra tak lagi kembali."Tiga hari setelah Saga memporak-porandakan vila milik sang mertua, Maria tak lagi bergerak ke mana pun. Ia hanya ke kantornya lalu pulang ke rumah. Begitulah laporan yang Saga terima dari Edward."Sudahi mengawasinya. Sekarang bergerak dan awasi Estigo.""Baik."Untuk waktu yang lama, Saga hanya menumpukan kedua sikunya di atas meja kerja. Saat ekor matanya menangkap ponsel di samping tubuhnya, ia mengangkat wajah dan kembali memandang Edward tajam."Ponsel Juni sudah diperbaiki?""Sudah, Tuan. Seluruh data di dalamnya masih tersimpan dan dapat terbaca.""Bagus. Berikan aku file-nya."Edward mengulurkan sebuah disk kecil ke tangan Saga. Dengan cepat Saga memasukkan data-data disk itu ke dalam laptopnya kemudian memutar salah satu percakapan Juni bersama kontak bernama Rafael."Sayang ...."Sapaan pembuka yang terdengar lirih dan sangat m
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari