Di bawah senja yang hening terdapat seorang ayah yang sedang merenung, wajahnya penuh dengan ekspresi kekecewaan. Beliau adalah seorang pria bijaksana yang sedang menghadapi kenyataan pahit bahwa anak gadisnya, Feli, mengandung di saat ia belum menikah.
Feli, dengan tatapan bersalah dan berdosa mencoba mencari cara untuk menjelaskan keputusannya kepada ayahnya. Suasana rumah itu dipenuhi dengan ketegangan yang sulit diucapkan."Bagaimana ini bisa terjadi? Ayah tidak mengerti bagaimana kau bisa sampai pada titik ini tanpa memikirkan konsekuensinya." Tatapan Ayah Feli lurus ke depan seolah anak yang berada di sampingnya tak ada."Ayah, aku tahu aku membuat kesalahan besar. Aku terjebak di rasa yang salah. Tapi aku dan Danish saling mencintai, kami masih merasa memiliki satu sama lain.""Mengandung di luar nikah bukan hanya merugikanmu, tapi juga merugikan keluarga kita. Apa yang akan orang lain katakan?""Ayah, itulah alasannya kenapa DaniYuan tiba di Bali dengan hati yang penuh kegembiraan karena pertemuan spesial dengan kekasihnya, Rafan. Ini adalah pertama kalinya ia berlibur dengan kekasih simpannya itu. Saat mereka bertemu di bandara, mata mereka bersinar dengan kebahagiaan. Mereka menghabiskan akhir pekan yang tak terlupakan di pulau surga ini, menjelajahi tempat-tempat eksotis, merasakan aroma bunga frangipani yang harum, dan mendengarkan riuh rendah ombak di pantai yang tenang.Setiap senja di Bali dihabiskan dengan berjalan berdua, tangan dalam tangan, menyaksikan matahari terbenam di ufuk barat, menciptakan gambaran indah yang seakan-akan dipahat oleh dewa-dewi pulau itu sendiri. Mereka berbagi cerita, impian, dan canda tawa, membangun ikatan yang lebih dalam di antara mereka. Makan malam romantis di tepi pantai dengan cahaya lilin, suara alunan musik Bali yang lembut, dan tatapan sayang di antara mereka membuat momen-momen itu terasa magis dan mendalam."Rafan, seandainya saja b
Lelah. Itulah yang dirasakan oleh Danish semenjak ia memiliki dua istri. Satu istri yang ia sembunyikan menuntutnya untuk lebih sering dengannya. Sementara Danish tak bisa mengabulkannya setiap waktu. Ia mengira semua masalah akan selesai jika mereka sudah menikah, tapi nyatanya semua tambah runyam dan melelahkan bagi Danish. Waktu istirahat yang kurang, pikiran yang terus diajaknya bekerja membuat perubahan pada fisikmya sedikit terlihat. Ia lebih kurus dari sebelumnya. Sempat menjadi pertanyaan dipikiran ibunya. Tapi Danish hanya menjawab ia sedang kelelahan. 'Kelelahan mengurus dua istri,' sahut Rafan kala itu. Tak ada yang tahu bahwa Danish memiliki istri simpanan termasuk Yuan. Hanya Rafan seorang yang tahu. Entahlah, ia ragu jika memberitahukan kabar ini pada Yuan. Ia takut jika lukanya akan semakin menganga. Ia sedang berusaha untuk menyembuhkan luka dan membuatnya percaya bahwa ada sosok manusia yang selalu bersamanya yang mencintainya dengan ha
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Danish sedikit gugup. Pria itu segera mengabiskan sarapannya, atmosfer di ruang makan mendadak tak nyaman sejak Pak Jo memuja Rafan. Lebih tepatnya memuja menurut Danish tentunya. Ditambah lagi mendengar cerita Rafan tadi jujur saja membuat ia kepikiran. Bagaimana tidak? Pria yang dimaksud Rafan tadi kenapa mirip sekali dengan ceritanya? Apa memang yang dimaksud Rafan adalah dirinya? Rafan tahu rahasianya? Tapi rasanya tidak mungkin jika kakaknya itu tahu, jika memang tahu, tidak mungkin kedua orang tanya diam saja. Sudah pasti ia habis dikuliti, kan? Pikiranya yang terus bekerja memikirkan ucapan Rafan membuat ia bersiap berangkat bekerja tanpa fokus pada persiapannya. Danish kecil yang ceroboh nyatanya terbawa hingga detik ini. Ponselnya tertinggal di meja, dan ia tak menyadarinya.Sepertinya hari ini memang bukan hari baik untuk Danish. Paginya diawali dengan mood yang tidak baik saat berada di meja makan. Nafsu makannya berkurang bahkan hilang dan s
Rafan yang baru menerima pesan dari Yuan, tanpa pikir panjang memutuskan untuk pulang. Teleponnya tak terangkat, pikirannya tambah tak bisa berpikir dengan baik. Berbagai tangisan dan hancurnya sang kekasih menari-nari dalam pikirannya dan pelupuk matanya. Ia sudah membayangkan pasti wanita itu akan jauh lebih hancur dari sebelumnya. Namun ternyata, apa yang Rafan pikirkan tidak terjadi, justru ia melihat Yuan yang baik-baik saja dan berkutat di dapur entah ia membuat apa. Setelah melihat situasi rumah yang sepi, ia pun berjalan ke dapur. "Apa yang kau lakukan?""Rafan, jam berapa ini? Kau pulang? Tidak ada orang di rumah, tidak perlu menjaga jarak. Ibu lagi pergi."Rafan yang berdiri di depan kulkas itu kini akhirnya melangkah dan mendekati Yuan. Tangannya ia lingkarkan di sepanjang perut wanita itu. Beberapa kali ia mencium dan mengendus tengkuk Yuan yang saat itu terlihat jelas. "Jangan begini, aku takut nanti ada yang datang. Semua jadi berantakan kalau kita ketahuan, hanya tin
Begitu mendengar namanya dipanggil sepasang kekasih tersembunyi itu seketika melepas pelukan masing-masing. Menyadari bahwa yang memanggil itu adalah Danish, Rafan seketika keluar dari dapur melalui pintu samping. Sementara Yuan mengelap pipinya yang basah dan menyembunyikan wajahnya yang tengah terluka. Beruntung keduanya tak ketahuan bermesraan di dapur. "Kau di sini?""Iya, ada apa? Kau pulang? Tumben.""Ponselku tertinggal, apa ada telepon tadi?""Ha? Aku dari tadi sibuk di sini. Menyiram tanaman, lalu aku membuat kue. Jadi aku belum sempat ke kamar. Aku tidak tahu kalau ponselmu tertinggal."Danish mengangguk paham. Dari jawaban Yuan yang sederhana itu, ia bisa percaya bahwa Yuan memang tidak mengetahui keberadaan ponselnya tadi karena jika wanita itu melihat atau tahu ada telepon dari Feli, sudah pasti wanita itu akan bertanya siapa nama kontak yang ia simpan dengan nama Yeobo. "Baiklah, kalau begitu aku kembali ke kantor. Kau membuat kue, tumben?" tanyanya melongok ke meja
Akhirnya, akhirnya hari yang sudah di tunggu Yuan akan datang esok hari. Tinggal beberapa jam lagi, rasanya ia ingin tidur cepat agar malam berjalan dengan cepat pula. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia hanya membolak-balikan badan, berusaha mencari posisi yang nyaman, tapi tak kunjung terpejam. Jika dulu ia merasakan sakit dan sedih saat Danish memilih untuk menyelinap keluar, maka malam ini ia berharap suaminya itu melakukan hal yang sama agar ia bisa ke kemar Rafan dan tidur dengan pria itu. Ia butuh sebuah pelukan, pelukan hangat yang saat ini sebenarnya masih haram ia rasakan. Ah, ia benci ini. Sebenarnya logikanya mengatakan bahwa ia tidak boleh dan tidak ingin bergantung pada Rafan. Apa pun keadaannya, apa pun situasinya, dan apa pun yang ia rasakan, ia sangat ingin baik dirinya, tubuhnya, pikirannya, hatinya, tidak ingin bergantung pada pria itu. Tetapi apa daya, Yuan tidak bisa mengatur perasaannya. Kita semua tidak bisa mengatur perasaan kita akan jatuh pada siapa, ak
"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang kedua. Maaf aku belum menjadi istri yang terbaik dan belum bisa memenuhi apa yang kau inginkan. Aku sedang merencanakan jika kita tidak mendapatkan keturunan dengan cepat, bagaimana kalau kita program bayi tabung saja? Bukankah itu pilihan yang bagus?"Di pagi yang masih buta dan tubuh yang masih sama-sama dalam selimut, Yuan sudah mengucapkan sebuah kalimat yang biasa saja menurutnya. Sebenarnya ia muak melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus berpura-pura setidaknya untuk terakhir kalinya. Tidak tanggung-tanggung, wanita itu sangat terlihat posesif pagi ini. Ia sedikit memaksakan tubuhnya untuk mendesak tubuh dan meraba-raba tangan Danish, lalu ia letakkan di sepanjang pinggang. Ia ingin membuat momen atau kenangan romantis setidaknya untuk terakhir kalinya sebelum kejutan nanti malam akan meledakkan kehidupannya. Bisa dibilang ketenangan sebelum badai datang. 'Ayo lakukan, Yuan. Kau pasti bisa, buatlah momen romantis ini seromanti
Malam itu untuk pertama kalinya Danish berpartisipasi dalam mengatur meja makan. Ia dengan sukarela membantu Yuan di dapur, menghidangkan makanan dan membantunya memasang layar monitor yang terhubung dengan sebuah laptop. Sebenarnya banyak pertanyaan di pikiran Danish, tapi ia berusaha untuk diam. Karena ia tahu layar monitor itu pasti berhubungan dengan kejutan yang dimaksud oleh istrinya tadi pagi. Bukan kejutan namanya jika diberitahu sekarang, kan? Itulah sebabnya kenapa ia lebih memilih bungkam dan menunggu momen yang tepat untuk mengetahui kejutan apa yang sudah disiapkan oleh istrinya. "Tidak-tidak, sepertinya kurang ke kiri sedikit saja." Yuan bolak-balik mengarahkan pandangannya ke arah monitor dan meja makan. Ia ingin semua sempurna, ia memastikan, dan ia harus yakin bahwa semua orang yang duduk di meja makan nanti akan melihat dengan jelas layar monitor yang ada di depan meja makan ini. "Oke cukup.""Apalagi yang harus aku lakukan? Astaga Yuan, haruskah kita memasang l
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se