"Tutup mulutmu adik ipar, kau ingin membuat semua penghuni rumah datang ke sini dan melihat keadaan kita?" Rafan kembali melompat ke ranjang seraya membekap mulut Yuan yang berteriak ketika mendapati dirinya yang masih belum mengenakan celana.
Dengan kasar Yuan memindahkan tangan kakak iparnya dari mulutnya, "kau yang salah, dan lagipula kenapa kau naik lagi di ranjangku? Harusnya kau cepat-cepat pakai celana dan keluar dari sini. Oh Tuhan, kau membuat mataku tercemar oleh adik kecilmu itu."
Air muka Rafan berubah menjadi wajah-wajah tak terima sekaligus tercengang. Bagaimana bisa Yuan mengatakan bahwa adiknya ini kecil di saat semalam mereka menghabiskan malam panas dengan dirinya yang tak henti-hentinya memuja betapa nikmatnya adiknya ini.
"Apa kau bilang, adikku kecil? Seharusnya aku merekam kegiatan panas kita semalam supaya aku ada bukti, bahwa kau selalu memuja adik yang kau sebut kecil ini. Di setiap kali aku memberikan hentakan kau selalu–."
"Sudah cukup Rafan, hentikan! Kita akan menghabiskan waktu seharian hanya untuk berdebat, sekarang pergi dari kamarku. Dan jangan ingat-ingat kejadian semalam, kita sudah berjanji akan melupakannya."
Rafan kembali bangkit dari ranjang dan memakai celannya dengan cepat. Sungguh ia baru tahu jika adik iparnya ini cukup menyebalkan. Sudah satu tahun ini Yuan penyandang status sebagai adik iparnya, namun baru tiga bulan belakangan intensitasnya bertemu dengan Yuan jauh lebih sering lantaran dirinya yang setelah menyandang status duda kembali tinggal di rumah kedua orang tuanya.
"Jangan lupa aku adalah kakak iparmu, tidak sopan adik ipar hanya memanggil nama kakaknya," ujar Rafan sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan kamar.
Yuan hanya mencebik. Ia sangat kesal pada dirinya sendiri, betapa bodohnya ia yang selalu memberikan pujian di malam panas semalam. Kembali mengingat betapa dahsyatnya penyatuan semalam membuat wanita itu kembali menunduk memperhatikan seluruh tubuhnya, memastikan bahwa tidak ada bekas atau jejak apa pun yang ditinggalkan oleh Rafan. Untunglah hanya ada beberapa gigitan kecil yang berada di bagian tertutupnya.
Yuan memutuskan untuk membersihkan dirinya begitu menyadari bahwa ia sudah harus segera turun untuk melakukan ritual sarapan.
Setelah setengah jam berkutat pada dirinya sendiri, Yuan akhirnya turun ke lantai dasar. Hawa canggung tiba-tiba saja menyeruak saat langkahnya semakin dekat dengan meja makan. Di sana semua orang sudah berkumpul, tak terkecuali Rafan.
"Selamat pagi semuanya," sapa Yuan seperti biasa.
"Selamat pagi, Sayang. Tumben kamu bangunnya belakangan, biasanya juga duluan kamu ketimbang Ibu."
"Ah iya, Bu. Sebenarnya aku udah bangun dari tadi, tapi Mas Danish sempat telepon. Jadi aku lupa waktu," jawab Yuan sedikit gugup dan mendaratkan bokongnya di kursi.
Aroma tubuh Yuan seketika menyeruak dan memaksa masuk di indra penciuman Rafan. Pria itu sedikit kesulitan menelan ludahnya ketika aroma tubuh Yuan berjejal masuk di hidungnya. Bahkan ia sedikit gugup saat ingatannya kembali terlempar pada malam panas semalam.
Ya, ia menyebutnya malam panas. Karena di setiap gerakan, gaya, dan juga lengkuhan wanita itu mampu membuatnya terbakar oleh hasrat terpendam yang sudah lama tak ia salurkan. Ah sungguh, ia merindukan mendiang istrinya saat ini.
Merasa bahwa dirinya tidak mampu berlama-lama berada di dekat Yuan, ia segera menyudahi sarapannya dan berlalu dari meja makan dengan wajah yang menyebalkan di mata Yuan tentunya.
"Yuan," panggil Bu Veronica di sela-sela makannya.
"Iya, Bu."
"Kau belum ada tanda-tanda hamil?" tanyanya dengan hati-hati.
Bu Veronica sebenarnya tidak enak hati ketika menanyakan hal sensitif ini kepada menantunya. Tapi di sisi lain, beliau sangat ingin segera menimang cucu dari hasil pernikahan anak bungsunya ini. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda dan beliau juga baru saja kehilangan cucu dari Rafan. Beliau ingin sekali rumah itu segera terdengar suara tangis bayi yang meramaikan hari-hari tuanya.
"Belum, Bu. Ibu yang sabar, ya. Aku juga sama kayak Ibu, kok. Aku juga maunya cepet punya momongan. Baik aku maupun Mas Danish juga punya keinginan yang sama. Mungkin belum dikasih aja."
Jika Bu Veronica merasa tak enak hati ketika bertanya, maka Yuan pun merasakan kesedihan yang dalam. Sudah satu tahun ia menikah, dan tak ada tanda-tanda kehamilan menjadi beban untuknya. Terlebih lagi mengingat kakak iparnya dulu hanya butuh waktu dua bulan saja untuk mengandung.
Mengingat kakak iparnya yang telah tiada membuatnya lagi-lagi teringat Rafan. Setiap kali ia mengingat pria itu, yang ada dalam ingatanya adalah pertarungannya di ranjang.
"Kau Kenapa Yuan? Kepalamu sakit, kau sedang tidak enak badan?" tanya Bu Veronica saat menantunya terlihat memijat pelipisnya.
"Ah nggak kok, Bu. Aku nggak apa-apa, mungkin aku lagi bosan aja karena nggak ada Mas Danish."
"Keluarlah. Ke taman, ke mall, ke salon, atau ke mana pun yang kau mau. Banyak pikiran dan stress berpengaruh juga untuk kesuburan. Pastikan pikiranmu selalu enjoy, bahagia, tenang, dan senang."
Yuan mengangguk mengiyakan perkataan ibu mertunya. Jika dipikir-pikir sudah lama ia tidak keluar rumah. Tak ada salahnya jika ia kali ini merefresh isi kepalanya yang melulu tertuju pada aktivitas panas itu.
Akhirnya pagi itu selesai sarapania memutuskan jalan-jalan. Ke salon adalah pilihan pertamanya. Dalam kepalanya sudah ada rencana akan berbelanja untuk dirinya sendiri dan suaminya setelah mempercantik diri. Mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang nanti malam keinginan untuk tampil cantik sedang diujung kepala.
Selesai dengan urusan tubuh dan kecantikannya, Yuan langsung melipir ke pusat perbelanjaan. Sebenarnya ia tak terbiasa masuk ke tempat ramai dan sebesar ini seorang diri.
Tempat tujuan pertama yang ia datangi adalah deretan baju tidur yang seksi, tipis, dan menggoda. Banyak sekali lingerie dengan varian warna dan model yang tergantung di sana. Yuan menjereng beberapa lingerie sembari membayangkan bagaimana lekuk tubuhnya, apakah cukup menggoda, apakah dengan model-model dan warna yang membingungkannya bisa menggoda suaminya nanti?
"Yang mana, ya? Gini nih kalau belanja nggak bawa temen. Bingung, kan, mau pilih yang mana? Ini warnanya bagus, tapi yang ini modelnya juga bagus. Yang satu nggak suka warnanya, yang satu nggak suka modelnya." Yuan menimbang-nimbang dan mengamati dua lingerie yang berada di tangan kanan kirinya.
"Kau bingung menentukan yang mana? Bagaimana kalau ini?" Sebuah suara terdengar sangat dekat. Ia menurunkan kedua lingerie yang ia junjung setinggi ujung kepalanya. Dan seketika kedua matanya membulat.
"Bagaimana bisa kau ada sini, Rafan?" Yuan menoleh ke kanan dan kiri, ia tak menjumpai siapa pun di sini kecuali Rafan. Tidak ada sekretaris atau setidaknya bawahan pria itu. Untuk apa pria ini datang ke pusat perbelanjaan di jam kerja seperti ini? Batinnya."Memangnya kenapa kalau aku ada di sini? Ini di tempat umum, siapa pun berhak ke sini asal punya duit. Adikku menyukai warna cerah, ini bagus untuk menggodanya nanti malam."Rafan mengambil lingerie yang masih berada di tangan Yuan dan mengembalikannya ke tempat semula lalu menyodorkan lingerie pilihannya. Tak kunjung diterima Yuan, pria itu menarik tangan wanita itu dan meletakkannya di gantungan lingerie yang ia bawa. Sedetik kemudian, lingerie itu sudah berpindah tangan. Yuan yang tercengang dan masih shock hanya bergeming. Tak ada perlawanan ataupun kalimat yang wanita itu keluarkan. Ia hanya mampu menatap Rafan yang nampak biasa saja setelah kejadian semalam. Padahal ia dengan susah payah berusaha melupakan, tapi yang ada ma
"Ae in itu teman kuliahku, lagipula sejak kapan kau lancang ingin menjawab panggilan dari ponsel seseorang?" "Kau bukan orang lain, kau suamiku. Harusnya tidak ada privasi di antara kita. Ya kalau itu temanmu, kenapa tiba-tiba wajahmu memucat?"Tatapan yang penuh kecurigaan memperlihatkan perasaan yang tersembunyi. Bibir Yuan yang tegang dan alis yang terangkat menciptakan aura ketidakpercayaan. Hatinya berdebar keras, terjebak dalam labirin pertanyaan tanpa jawaban. Apakah ini hanya paranoid atau benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan? Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Entah mengapa untuk kali ini ia tidak terlalu percaya dengan ucapan suaminya. Nama kontak yang terlalu asing di telinga, panggilan sepagi ini di nomor pribadinya, yang ia tahu seseorang yang menghubungi suaminya di nomor pribadinya hanyalah keluarga besarnya. Untuk teman-teman dan juga rekan kerjanya ia menggunakan ponsel lain. "Sudahlah, Yuan. Kau tidak perlu berpikir ya
Yuan sempat mengira bahwa pertengkaran yang ia lakukan pagi itu adalah pertengkaran yang terakhir. Namun siapa yang mengira, justru pertengkaran pagi itu adalah pertengkaran yang membawa masalah-masalah lain dalam rumah tangganya.Kecurigaan yang memenuhi kepalanya berusaha untuk diabaikan, karena ia sadar semakin memikirkan itu, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Tapi sayangnya, sikap abainya itu justru membuat tingkah Danish semakin menjadi, semakin mencurigakan, semakin berubah, dan semakin menunjukkan sifat aslinya.Pertengkaran yang ia kira sebagai bumbu tambahan dalam rumah tangga. Kini nyatanya menjadi bumbu utama dalam rumah tangganya. Selalau saja ada pertengkaran kecil yang menjadi teman dalam kamar mereka."Berhenti menuang air panas di cangkir yang penuh."Suara bariton yang berjarak dekat dengannya membuatnya terkejut. Ia menunduk dan membola melihat air yang sudah tumpah ruah ke mana-mana. Beruntung air itu tak mengenai ujung kulitnya."Astaga, aku tidak sadar kalau can
Tanpa permisi Rafan masuk ke dalam dan memberikan bogeman pada adik kandungnya. Ia benci kekerasan, ia tak suka baku hantam, tapi ia lebih tak suka jika ada yang menyakiti wanita. Tak peduli siapa yang melakukan dan wanita mana menjadi korban. Kedua orang tuanya adalah orang yang baik, keharmonisan rumah tangga mereka dan juga didikan dari ayahnya harusnya sudah cukup menjadi bekal bagaimana cara memperlakukan wanita terutama istrinya. Ibunya pun selalu memberikan kasih sayang yang berlebih pada kedua anaknya, tapi entah kenapa sikap Danish ini berbanding terbalik dengan sang kakak. Rafan dikenal dengan ketegasan dan kejam saat berada di lingkungan kantornya. Tapi bertingkah sebaliknya saat berada di rumah. Sementara Danish dikenal sebagai pribadi yang humble, humoris, dan hangat. Namun, nyatanya saat di rumah ia berubah menjadi monster bagi sang istri. "Tidak bisakah kau melawan saat mendapat perlakuan kasar seperti itu? Kau berani padaku, kenapa kau t
Yuan yang sedang menikmati coklat hangat itu seketika tersedak ketika mendengar suara bariton dari sang ayah mertua. Ia sedikit salah tingkah saat menatap Rafan yang juga terlihat kikuk dan canggung. "Ke mana Danish?""Aku di sini, Yah."Sahutan dari arah tangga membuat Yuan yang hendak berucap kembali terdiam. Seperti biasa, sepasang suami istri itu akan terlihat biasa saja saat berada di depan kedua orang tuanya. Tak peduli mereka sesaat sebelumnya terlibat pertengkaran. Hanya Rafan yang melihat apa yang mereka sembunyikan. Entah dirinya yang memang perasa atau dirinya satu-satunya yang mengetahui bahwa keduanya sedang tak baik-baik saja. Malam itu suasana kantor begitu ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang berkedudukan penting dalam perusahaan itu dan ada beberapa kolega besar yang turut hadir memeriahkan acara tersebut. Dengan berjalan anggun dan tangan yang terpaut di lengan Danish, Yuan menampilkan senyum keramahan pada setiap manusia yang ia lewati. Nampak beberapa dari m
Tidak mau berpikir yang bukan-bukan membuat Yuan melanjutkan langkahnya. Insiden tadi membuatnya lupa akan sesuatu yang hatusnya ia cari. Ia kembali berkumpul bersama suaminya tanpa bertanya alasan apa yang membuat ia begitu lama di kamar mandi, urusan penting apa yang membuat ia meninggalkan pesta. "Kenapa aromamu seperti bercampur dengan aroma wanita?" "Kau pikir di pesta ini hanya ada pria? Aku bersalaman dengan banyak orang dan tidak hanya dengan pria saja. Tubuhku juga bergesekan dengan banyak orang. Pikiranmu jangan terlalu picik!" "Aku hanya bertanya. Kenapa kau menjawab seolah aku menuduhmu yang tidak-tidak?""Memang pertanyaanmu mengarah ke sana."Pertengkaran yang dilakukan secara berbisik itu berakhir setelah lagi-lagi Danish meninggalkannya untuk yang kedua kalinya. Ia memilih untuk menjamu para mitra bisnisnya dan mengabaikan sang istri. "Aku kalau menjadi kau sudah pasti akan mencari tahu apa yang membuat pasan
Keadaan Yuan sudah berantakan sesaat sampai di rumah. Seperti saat berangkat tadi, ia masuk rumah dengan leluasa tanpa khawatir akan dipergoki oleh orang rumah. Lebih tepatnya, ia tak memikirkan itu, pikirannya terfokus pada rumah tanggannya yang tanpa ia sadari sudah hancur sehancur hidup dan hatinya. Rambut panjang yang acak adul, tubuhnya yang sudah penuh dengan bengkak merah yang terasa gatal membuat siapa pun merasa iba saat melihat penampilannya. Kata-kata Danish tentang dirinya yang bodoh terus saja terdengar di telinganya. Memang benar apa yang dikatakaan pria itu, harusnya ia tidak mengulur-ulur waktu untuk mencari siapa nama asing itu, seharusnya ia tak terlalu acuh pada kenyataan yang sebenarnya sudah membuatnya curiga dari lama. "Yuan, apa itu kau?" tanya seseorang dari belakang. Yuan acuh, ia terus berjalan pelan seakan adegan slow motion di drama-drama. Ia mengabaikan panggilan Rafan seakan telinganya tak mampu mendengar suara selain kata-kata Danish. Bahkan ia tak m
Pagi harinya, semua berjalan seperti biasa. Meskipun berbagai pertanyaan yang sama diterima oleh Yuan, ia tak bosan menjelaskan bahwa ia semalam menjadi korban drama yang ia lihat. "Aku semalam tidak sengaja menemukan drama yang membuat aku sedih dan menangis semalaman. Hanya terbawa suasana, dan aku tertidur setelah melihat dramanya. Jadi aku tertidur setelah aku menangis, itulah kenapa mataku pagi ini sembab."Semua orang percaya bahkan termasuk, Danish. Lebih tepatnya ia tak peduli dan memikirkan apa yang membuat mata istrinya sembab. Ia acuh semenjak kembalinya Feli dalam hidupnya. Mantan kesayangan yang sempat terpisah jauh itu kini kembali sekitar tiga bulan yang lalu. Satu bulan menghabiskan hari bersama membuat Danish kehilangan kendali, dan memilih untuk menjalin hubungan terlarang dengan sang mantan. "Selamat pagi semuanya," sapa Rafan yang baru saja sampai dan langsung menyiduk nasi wadahnya. Untuk sesaat ia melirik ke arah Yuan yang
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se